Empat

Rombongan karyawan Radio Pesona FM sampai di Pantai Mutiara tepat pukul 11 siang. Letaknya yang cukup tersembunyi membuat pantai tersebut tidak terlalu ramai. Pemandangan alam yang memanjakan mata membuat semua orang terkesiap dan kagum. Kecuali Krisna. Laki-laki itu masih tidur pulas dengan mulut terbuka menghadap ke langit-langit mobil.

Mobil berhenti di area parkir tidak jauh dari bibir pantai. Dyah hendak membangunkan Krisna, namun dicegah oleh Mas Henry. Laki-laki berkumis tipis itu meletakkan telunjuk di bibirnya sambil tersenyum jahil.

Dyah mengernyitkan dahi, penasaran kira-kira apa yang hendak dilakukan rekannya itu. Mas Henry mengambil kantong kresek hitam di dalam ranselnya. Kemudian dia membuka kresek itu dan meletakkan di pant*tnya. Terdengar bunyi 'cis' dan 'dut' yang panjang. Wajah Mas Henry terlihat merah padam sembari menahan tawa.

Mas Henry buru-buru menutup rapat kantong kresek di tangannya. Kemudian perlahan dia mengarahkan kantong kresek tersebut ke mulut Krisna yang terbuka lebar. Dyah menggeser duduknya. Berusaha menjauh dan menutup hidungnya yang mungil.

Saat kantong kresek dibuka, aroma pahit dan getir seperti kisah kehidupan Dyah yang rumit, menyeruak di udara. Krisna awalnya tidak juga terbangun, masih tidur mendengkur. Setelah tiga hembusan nafas barulah laki-laki manja itu melotot dan melompat dari duduknya. Mas Henry keluar dari mobil sambil tertawa terbahak-bahak.

"As**uuu Mas Henry, kir*k!" umpat Krisna menyusul keluar dari mobil.

"Hooeekkk!" Krisna menepuk-nepuk perutnya yang terasa mual.

Dyah tersenyum sekilas melihat tingkah konyol rekan-rekannya itu. Sesekali dia menghela nafas. Pikirannya masih kacau. Saat turun dari mobil, semilir angin pantai menyapa Dyah dengan lembut. Meniup rambut hitam panjang terurai itu.

Amel yang sedari tadi memperhatikan Dyah, berjalan mendekat. Amel sudah sangat hafal dengan perempuan yang dikenalnya sejak SMA itu. Dyah adalah gadis yang sangat riang, dan ceria. Saat wajah yang biasanya penuh senyuman itu, terlihat muram, maka dapat dipastikan, Dyah sedang terjebak dalam sebuah masalah.

"Hey, kenapa? Bukankah ini liburan? Kenapa kamu tidak terlihat senang?" tanya Amel setengah berbisik. Dia tidak ingin ada orang lain yang tahu percakapan mereka.

"Aku belum makan," jawab Dyah singkat. Dia tidak ingin berbohong. Dan pada kenyataannya memang dia belum makan. Nasi pecel hangat masakan Bundanya tak jadi disantap.

"Jawaban yang tidak menjawab pertanyaanku. Aku ngerti Dyah, tidak semua masalah itu bisa diceritakan pada orang lain. Tapi kamu harus tahu, jika kamu butuh teman untuk berkeluh kesah, aku akan ada di sebelahmu, mendengarkanmu," ucap Amel menepuk-nepuk punggung Dyah.

Mendengar ucapan Amel, juga suara deru ombak yang pecah di hamparan pasir berwarna putih, tiba-tiba saja rasa sesak di dada Dyah yang sedari tadi tertahan, kini terdorong keluar melalui air jernih di sudut netra. Air mata itu jatuh tak mampu ditahan. Amel yang menyadarinya segera merangkul Dyah dan membawanya berjalan pergi, menjauh dari rekan-rekan yang lain.

Dua sahabat itu kini duduk di bawah pohon ketapang yang berada di sudut pantai, sedikit jauh dari warung-warung yang berjajar di dekat tempat parkir kendaraan. Dyah duduk menatap ombak laut yang menghembuskan angin semilir, meniup helai rambutnya yang terurai. Kecantikan yang natural, siapapun akan mengakuinya.

"Menangislah, jika itu membuatmu lega. Kupikir, pantai adalah tempat yang tepat untuk menghapuskan kesedihanmu. Bukankah kamu merasakannya? Dekat dengan alam membuat hatimu terasa lebih lega." Amel memandang air berwarna biru di hadapannya.

Dyah terdiam, menarik nafas dalam-dalam. Mata bulat jernih itu nampak sayu menatap tengah laut.

"Bagaimana kamu tahu?" tanya Dyah setelah dadanya tak lagi terasa sesak.

"Aku sering ke pantai. Juga ke gunung. Alam memberimu keindahan, untuk melepas kegundahan," jawab Amel sembari tersenyum.

"Idih, kayak pujangga saja kamu Mel," seloroh Dyah mengejek. Amel terkekeh.

"Aku merasa di dunia ini hidup sendirian Mel." Dyah menghela nafas. Matanya masih asyik mengikuti ombak yang datang dan kembali ke tengah laut. Amel diam menunggu kelanjutan cerita sahabatnya itu. Dia tidak ingin menyela atau bertanya. Karena Amel sadar, terkadang kesedihan hanya butuh didengarkan. Tak perlu nasehat ataupun saran.

"Bapak dan Bunda setiap hari mengungkit soal umur, soal pekerjaan, soal jodoh. Kupikir dengan diam semua itu akan berlalu, nyatanya makin menjadi-jadi. Aku lelah Mel. Kenapa anak pertama harus menanggung mimpi dan keinginan orangtua? Kenapa aku tidak bisa menentukan tujuan hidupku sendiri?" keluh Dyah lirih.

Amel kini mengerti apa yang membuat sahabatnya itu gundah.

"Kamu tahu, dimana batas dunia Dyah?" tanya Amel setelah menghela nafas pelan.

"Di ujung laut kan? Itu terlihat dari sini," jawab Dyah cepat, sembari jarinya menunjuk ujung laut biru di hadapannya.

"Bukan." Amel menggeleng.

"Batas dunia itu sebenarnya di pandangan kita, di pikiran kita. Yang terlihat di matamu belum tentu demikian adanya. Kamu mengira ujung dunia di laut sana. Padahal jika kamu mengayuh perahu, di ujung laut itu masih ada pulau, bahkan sebuah negara. Aku tidak bisa memberimu nasehat. Tapi kuharap kamu tidak memandang dunia ini dengan pikiran yang sempit. Kenapa kamu harus merasa hidup sendirian di saat ada teman-temanmu, ada aku yang akan mendukungmu?" jelas Amel dengan mata berbinar.

Dyah termenung. Perkataan Amel menancap ke dalam hati. Dyah mengusap sudut mata menggunakan punggung tangannya. Sayup-sayup terdengar suara Mbak Fafa memanggil.

"Hey gadis-gadis jomblo. Ayo bantuin nata tikar! Kita makan di pinggir pantai!" teriak Mbak Fafa dari kejauhan.

"Siap Mbak!" sahut Amel sambil mengangkat tangannya.

"Kamu kalau mau menenangkan diri dulu, tetap duduk disini saja. Biar aku yang bantuin Mbak Fafa," ucap Amel pada Dyah.

"Aku sebentar lagi nyusul ya." Dyah tersenyum. Amel mengangguk.

"Semangat! Kita kesini untuk senang-senang pokoknya," ucap Amel beranjak dari duduk dan berlari-lari kecil ke arah Mbak Fafa.

Saat melihat Amel sendirian yang datang, sedangkan Angel masih duduk bersantai di bibir pantai, Mbak Fafa mengernyitkan dahi.

"Kok kamu sendirian? Kenapa anak itu?" tanya Mbak Fafa ketus. Amel tersenyum sekilas. Se galak-galaknya Mbak Fafa, perempuan paruh baya itu sangat peduli pada rekan kerjanya.

"Lagi galau Mbak. Biarkan Dyah sendirian dulu ya Mbak. Biar aku yang bantuin nata tempat makan," usul Amel. Dia sedikit memohon. Mbak Fafa mengangguk setuju.

Dyah masih melamun memandangi gelombang dan riak air asin. Di tengah laut terlihat kapal-kapal nelayan, seperti terombang-ambing oleh derasnya ombak. Cuaca cukup terik, namun udara terasa sejuk.

Handphone di saku celana Dyah bergetar. Dyah mengambilnya dan melihat di layar tertulis nama Bunda. Meski hati masih menyimpan rasa kecewa, Dyah tetap mengangkat telepon dari Bundanya itu.

"Hallo Bunda, Assalamualaikum," ucap Dyah mengucap salam.

"Waalaikumsalam Nduk. Bunda ada kabar yang membahagiakan untuk kamu," jawab Bu Ngaimah. Dari nada bicaranya, Dyah dapat menerka jika Sang Bunda tengah berbahagia.

"Apa Bunda?"

Bersambung___

Terpopuler

Comments

mie pedas

mie pedas

ada yg dateng ngelamar ya bunda...

2023-08-11

0

IG: _anipri

IG: _anipri

real

2023-05-26

0

Yuli Eka Puji R

Yuli Eka Puji R

candaan yg ga lucu, nak aq langsung tak antemi punya kawan ga punya adab

2023-05-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!