Rumah Untuk Jiwaku
~Katelia~
“Kamu yakin kamu akan baik-baik saja?” tanya Mama dengan nada khawatir.
Sopir menghentikan mobil cukup jauh dari gerbang sekolah. Ada banyak kendaraan lain juga, jadi kami tidak bisa berada tepat di pagar utama. Ditambah lagi, bus pariwisata berderet di depan gerbang sekolah, memaksa aku untuk jalan kaki.
“Iya, Ma. Aku akan kembali dengan selamat. Kami hanya pergi ke Samosir. Para guru juga tahu kami tidak boleh naik kapal yang kelebihan muatan.” Aku mencium kedua pipinya. “Sampai nanti, Ma.”
Dia melepas aku dengan berat hati. Keluargaku selalu menjaga aku, tetapi kelewat protektif. Wajar saja, aku anak perempuan satu-satunya. Kedua kakak laki-lakiku juga tidak kalah berlebihan saat melindungi aku. Seandainya saja mereka tahu seperti apa aku di sekolah.
“Perasaaanku tidak tenang sejak kita sampai di sini. Apa sebaiknya kamu tidak ikut saja? Kita bisa jalan-jalan sekeluarga kalau kamu ingin sekali pergi ke Samosir,” ucap seorang wanita di depan anak perempuan yang jelek dan gendut.
Gadis itu melirik aku dengan takut sebelum bergeser dan berlindung di balik tubuh mamanya. Aku melewatinya tanpa membalas tatapan atau menyapanya. Dia bukan satu-satunya orang yang mundur atau bersembunyi ketika aku lewat. Siswa lainnya juga melakukan hal yang sama.
“Kat, sini!” panggil seorang teman baikku. Aku mendekati dia dan kedua temanku yang lain. Ada seorang laki-laki yang sangat tampan berdiri di samping mereka. “Sepupuku ingin berkenalan denganmu. Dia akan kuliah di kota ini, jadi kalian akan sering bertemu.”
Mereka bertiga adalah sahabat baikku, tetapi tidak tahu di mana aku akan melanjutkan studi. Aku akan berikan kejutan itu nanti lewat pengumuman hasil seleksi ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Aku mau kuliah di mana kedua kakakku berada, bukan di kampus yang ada di kota ini.
Pemuda itu menjabat tanganku terlalu lama, tetapi aku tidak menarik tanganku darinya. Aku sangat menikmati tatapan penuh kagum orang akan kecantikanku. Selain itu, telapak tanganku tentu sangat halus sehingga dia enggan melepasnya.
“Ayo, anak-anak. Saatnya untuk masuk ke bus. Perhatikan di mana nama kalian berada.” Wali kelas kami bicara lewat pengeras suara.
Aku tidak perlu memeriksa di bus mana namaku berada. Teman-teman menarik aku mendekati bus yang berada paling depan. Para siswa lain bergeser secara teratur memberi jalan kepada kami. Aku berjalan dengan santai, menikmati setiap tatapan penuh ketakutan mereka.
Mereka yang satu bus denganku terlihat pucat, termasuk gadis gendut dan jelek itu. Mengapa orang seperti dia bisa bertahan hidup, aku tidak paham. Apa orang tuanya tidak malu punya putri seburuk rupa dia? Sudah jelek, gendut, bodoh lagi. Paket lengkap yang selalu membuat tanganku gatal.
“Heh, pindah!” Chika menendang kaki tempat duduk barisan kedua paling depan. Dua siswa yang ada di kursi itu segera berdiri dan menurutinya. Dua siswa lain di seberangnya juga pindah. Jadi, kami berempat bisa duduk sejajar bersama.
“Aku sudah bilang, jangan duduk di situ. Kalian tidak percaya,” bisik seseorang di barisan keempat, di mana keempat siswa tadi pindah.
“Seharusnya kita tidak pindah. Jumlah kita sama dengan mereka, mengapa kita yang mengalah?” ucap seorang gadis yang tidak aku kenal.
“Sudah diam.” Gadis pertama meletakkan jarinya di depan bibirnya melihat aku menatap mereka. “Dia bukan lawan kita.”
Benar. Aku bukan lawan kalian.
“Waahhh …!” Semua siswa yang ada di dalam bus pariwisata memukau kagum melihat indahnya pemandangan Danau Toba.
Sudah berapa kali pun mendatangi tempat ini, tidak ada yang bisa menahan diri untuk mengagumi keindahannya. Apalagi pada saat hari cerah dan tidak berkabut. Kami belum berhenti, karena masih jauh dari tempat perhentian. Namun pemandangan itu cukup membuat kami semakin tidak sabar.
Bus berhenti tidak jauh dari dermaga. Kami keluar lebih dahulu, karena siswa lain terlalu takut untuk berdiri dari tempat duduk mereka. Guru meminta kami untuk berbaris dan menjaga barang masing-masing. Lima kapal sudah siap untuk membawa kami ke seberang.
Sembari para guru memeriksa daftar hadir dan memastikan semua siswa tidak ada yang ketinggalan, kami berfoto. Teman-teman juga tidak mau ketinggalan mengabadikan momen tersebut. Aku hanya berpose, sedangkan mereka bergantian memotret dengan gadget mereka.
Tidak sampai satu jam, kami tiba di Tomok. Karena kami berada di bagian atas kapal, maka kami menunggu sampai semua orang di geladak bawah mengantri menuju dermaga. Chika turun lebih dahulu, kemudian gadis gendut itu. Kami memberikan semua tas kami kepadanya begitu kami ada di geladak bawah. Dia berjalan dengan linglung padahal tas kami tidak berat. Aku dan teman-teman terkikik melihatnya.
“Dasar gendut tidak berguna!” Chika menjitak kening gadis itu. “Namamu sangat bagus, tetapi muka buruk rupa. Apa orang tuamu tidak malu punya anak sejelek ini?” Dia mendorong tubuhnya agar tidak menghalangi jalan kami.
Aku melewatinya tanpa melakukan apa pun, tetapi tiba-tiba saja dia memekik terkejut. Tanganku dipegang, lalu ditarik. Sebelum aku memahami apa yang sedang terjadi, aku terjatuh dari kapal. Kami berdiri di bagian tanpa pagar sehingga meluncur bebas ke danau.
Dia tidak mau melepaskan tanganku saat kami terus tenggelam menuju dasar danau. Gadis bodoh ini tidak bisa berenang dan hanya bergerak panik, tidak karuan. Sial. Aku mulai merasakan paru-paruku panas. Kalau aku tidak ke permukaan segera, aku bisa mati bersamanya.
Tiba-tiba saja ada sinar sangat terang dari arah atas diikuti dengan bunyi guruh yang teredam air. Lalu sebuah cahaya mengelilingi kami. Aku ketakutan melihat keanehan itu, tetapi gadis gendut itu tidak mau melepaskan tanganku. Jadi, aku tidak bisa menjauh untuk menyelamatkan diri. Cahaya itu mulai mengisap kami sampai aku harus menutup mata karena silaunya. Apa yang terjadi?
“Kat, Katelia! Bangun! Buka matamu!” Terdengar teriakan orang-orang memanggil namaku. “Katelia! Kamu tidak boleh mati. Bangun!”
Aku membuka mata dan melihat keadaan di sekitarku gelap. Merasakan tetesan air jatuh ke dahiku, ini pasti karena gerimis. Aku menarik napas panjang. Oh, syukurlah! Aku masih hidup! Gadis bodoh itu berani sekali menarik aku tenggelam bersamanya. Untung saja, aku tidak mati.
“Kat! Katelia!” Aneh. Mengapa mereka terus menyebut namaku? “Buka matamu! Tolong, jangan pergi. Bangunlah.” Panggilannya berasal tidak jauh dariku.
Aku menoleh perlahan ke arah datangnya suara. Orang-orang berkerumun di sebelah kananku. Apa yang mereka lakukan di sana? Aku ada di sini. Aku mencoba untuk bangun, tetapi tubuhku terasa berat sekali. Aku menarik napas dan mencobanya lagi.
Hanya untuk duduk saja, napasku sampai ngos-ngosan. Aku kembali melihat ke arah kananku. Aku nyaris tertawa sendiri melihat keanehan itu. Aku ada di sini, tetapi mereka memanggil aku di sebelah sana. Aku yang jatuh ke danau mengapa pikiran mereka yang terganggu?
“Gendut bodoh! Semua ini gara-gara kamu!” Chika tiba-tiba saja mendekat dan memukul dadaku. Aku menatapnya tidak percaya. Berani sekali dia melakukan ini? “Kalau Kat tidak sadar juga, kamu akan menyusul dia! Kamu dengar itu!? Mengapa bukan kamu yang mati?!”
“Kamu—” Tidak pernah satu pun dari mereka berani menyentuh aku. Lancang sekali dia memukul dadaku? Sebelum aku sempat membalas, seseorang melerai kami.
“Katelia belum mati, sebaiknya lo jangan bicara sembarangan.” Aku menoleh ke arah Theo. Apa aku tidak salah lihat? Cowok resek yang sok tahu ini membela aku? Aku, musuh bebuyutannya sejak kami kelas satu SMU? Sepertinya semua orang sudah gila.
“Pak Guru sudah berusaha untuk memberi pertolongan. Lihat! Kat masih juga tidak sadarkan diri! Apa kamu tahu apa yang terjadi kalau seseorang tidak bernapas terlalu lama??” seru Chika dengan panik. Kedua teman kami menahan tubuhnya agar tidak memukul Theo.
Aku melihat ke arah yang dia tunjuk. Beberapa siswa menjauh sehingga aku bisa melihat dengan jelas tubuh yang berbaring di sana. Aku mengucak-ngucek mata, tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku ada di sini, lalu mengapa tubuhku ada di sana?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 219 Episodes
Comments