~Katelia~
“Kamu yakin kamu akan baik-baik saja?” tanya Mama dengan nada khawatir.
Sopir menghentikan mobil cukup jauh dari gerbang sekolah. Ada banyak kendaraan lain juga, jadi kami tidak bisa berada tepat di pagar utama. Ditambah lagi, bus pariwisata berderet di depan gerbang sekolah, memaksa aku untuk jalan kaki.
“Iya, Ma. Aku akan kembali dengan selamat. Kami hanya pergi ke Samosir. Para guru juga tahu kami tidak boleh naik kapal yang kelebihan muatan.” Aku mencium kedua pipinya. “Sampai nanti, Ma.”
Dia melepas aku dengan berat hati. Keluargaku selalu menjaga aku, tetapi kelewat protektif. Wajar saja, aku anak perempuan satu-satunya. Kedua kakak laki-lakiku juga tidak kalah berlebihan saat melindungi aku. Seandainya saja mereka tahu seperti apa aku di sekolah.
“Perasaaanku tidak tenang sejak kita sampai di sini. Apa sebaiknya kamu tidak ikut saja? Kita bisa jalan-jalan sekeluarga kalau kamu ingin sekali pergi ke Samosir,” ucap seorang wanita di depan anak perempuan yang jelek dan gendut.
Gadis itu melirik aku dengan takut sebelum bergeser dan berlindung di balik tubuh mamanya. Aku melewatinya tanpa membalas tatapan atau menyapanya. Dia bukan satu-satunya orang yang mundur atau bersembunyi ketika aku lewat. Siswa lainnya juga melakukan hal yang sama.
“Kat, sini!” panggil seorang teman baikku. Aku mendekati dia dan kedua temanku yang lain. Ada seorang laki-laki yang sangat tampan berdiri di samping mereka. “Sepupuku ingin berkenalan denganmu. Dia akan kuliah di kota ini, jadi kalian akan sering bertemu.”
Mereka bertiga adalah sahabat baikku, tetapi tidak tahu di mana aku akan melanjutkan studi. Aku akan berikan kejutan itu nanti lewat pengumuman hasil seleksi ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Aku mau kuliah di mana kedua kakakku berada, bukan di kampus yang ada di kota ini.
Pemuda itu menjabat tanganku terlalu lama, tetapi aku tidak menarik tanganku darinya. Aku sangat menikmati tatapan penuh kagum orang akan kecantikanku. Selain itu, telapak tanganku tentu sangat halus sehingga dia enggan melepasnya.
“Ayo, anak-anak. Saatnya untuk masuk ke bus. Perhatikan di mana nama kalian berada.” Wali kelas kami bicara lewat pengeras suara.
Aku tidak perlu memeriksa di bus mana namaku berada. Teman-teman menarik aku mendekati bus yang berada paling depan. Para siswa lain bergeser secara teratur memberi jalan kepada kami. Aku berjalan dengan santai, menikmati setiap tatapan penuh ketakutan mereka.
Mereka yang satu bus denganku terlihat pucat, termasuk gadis gendut dan jelek itu. Mengapa orang seperti dia bisa bertahan hidup, aku tidak paham. Apa orang tuanya tidak malu punya putri seburuk rupa dia? Sudah jelek, gendut, bodoh lagi. Paket lengkap yang selalu membuat tanganku gatal.
“Heh, pindah!” Chika menendang kaki tempat duduk barisan kedua paling depan. Dua siswa yang ada di kursi itu segera berdiri dan menurutinya. Dua siswa lain di seberangnya juga pindah. Jadi, kami berempat bisa duduk sejajar bersama.
“Aku sudah bilang, jangan duduk di situ. Kalian tidak percaya,” bisik seseorang di barisan keempat, di mana keempat siswa tadi pindah.
“Seharusnya kita tidak pindah. Jumlah kita sama dengan mereka, mengapa kita yang mengalah?” ucap seorang gadis yang tidak aku kenal.
“Sudah diam.” Gadis pertama meletakkan jarinya di depan bibirnya melihat aku menatap mereka. “Dia bukan lawan kita.”
Benar. Aku bukan lawan kalian.
“Waahhh …!” Semua siswa yang ada di dalam bus pariwisata memukau kagum melihat indahnya pemandangan Danau Toba.
Sudah berapa kali pun mendatangi tempat ini, tidak ada yang bisa menahan diri untuk mengagumi keindahannya. Apalagi pada saat hari cerah dan tidak berkabut. Kami belum berhenti, karena masih jauh dari tempat perhentian. Namun pemandangan itu cukup membuat kami semakin tidak sabar.
Bus berhenti tidak jauh dari dermaga. Kami keluar lebih dahulu, karena siswa lain terlalu takut untuk berdiri dari tempat duduk mereka. Guru meminta kami untuk berbaris dan menjaga barang masing-masing. Lima kapal sudah siap untuk membawa kami ke seberang.
Sembari para guru memeriksa daftar hadir dan memastikan semua siswa tidak ada yang ketinggalan, kami berfoto. Teman-teman juga tidak mau ketinggalan mengabadikan momen tersebut. Aku hanya berpose, sedangkan mereka bergantian memotret dengan gadget mereka.
Tidak sampai satu jam, kami tiba di Tomok. Karena kami berada di bagian atas kapal, maka kami menunggu sampai semua orang di geladak bawah mengantri menuju dermaga. Chika turun lebih dahulu, kemudian gadis gendut itu. Kami memberikan semua tas kami kepadanya begitu kami ada di geladak bawah. Dia berjalan dengan linglung padahal tas kami tidak berat. Aku dan teman-teman terkikik melihatnya.
“Dasar gendut tidak berguna!” Chika menjitak kening gadis itu. “Namamu sangat bagus, tetapi muka buruk rupa. Apa orang tuamu tidak malu punya anak sejelek ini?” Dia mendorong tubuhnya agar tidak menghalangi jalan kami.
Aku melewatinya tanpa melakukan apa pun, tetapi tiba-tiba saja dia memekik terkejut. Tanganku dipegang, lalu ditarik. Sebelum aku memahami apa yang sedang terjadi, aku terjatuh dari kapal. Kami berdiri di bagian tanpa pagar sehingga meluncur bebas ke danau.
Dia tidak mau melepaskan tanganku saat kami terus tenggelam menuju dasar danau. Gadis bodoh ini tidak bisa berenang dan hanya bergerak panik, tidak karuan. Sial. Aku mulai merasakan paru-paruku panas. Kalau aku tidak ke permukaan segera, aku bisa mati bersamanya.
Tiba-tiba saja ada sinar sangat terang dari arah atas diikuti dengan bunyi guruh yang teredam air. Lalu sebuah cahaya mengelilingi kami. Aku ketakutan melihat keanehan itu, tetapi gadis gendut itu tidak mau melepaskan tanganku. Jadi, aku tidak bisa menjauh untuk menyelamatkan diri. Cahaya itu mulai mengisap kami sampai aku harus menutup mata karena silaunya. Apa yang terjadi?
“Kat, Katelia! Bangun! Buka matamu!” Terdengar teriakan orang-orang memanggil namaku. “Katelia! Kamu tidak boleh mati. Bangun!”
Aku membuka mata dan melihat keadaan di sekitarku gelap. Merasakan tetesan air jatuh ke dahiku, ini pasti karena gerimis. Aku menarik napas panjang. Oh, syukurlah! Aku masih hidup! Gadis bodoh itu berani sekali menarik aku tenggelam bersamanya. Untung saja, aku tidak mati.
“Kat! Katelia!” Aneh. Mengapa mereka terus menyebut namaku? “Buka matamu! Tolong, jangan pergi. Bangunlah.” Panggilannya berasal tidak jauh dariku.
Aku menoleh perlahan ke arah datangnya suara. Orang-orang berkerumun di sebelah kananku. Apa yang mereka lakukan di sana? Aku ada di sini. Aku mencoba untuk bangun, tetapi tubuhku terasa berat sekali. Aku menarik napas dan mencobanya lagi.
Hanya untuk duduk saja, napasku sampai ngos-ngosan. Aku kembali melihat ke arah kananku. Aku nyaris tertawa sendiri melihat keanehan itu. Aku ada di sini, tetapi mereka memanggil aku di sebelah sana. Aku yang jatuh ke danau mengapa pikiran mereka yang terganggu?
“Gendut bodoh! Semua ini gara-gara kamu!” Chika tiba-tiba saja mendekat dan memukul dadaku. Aku menatapnya tidak percaya. Berani sekali dia melakukan ini? “Kalau Kat tidak sadar juga, kamu akan menyusul dia! Kamu dengar itu!? Mengapa bukan kamu yang mati?!”
“Kamu—” Tidak pernah satu pun dari mereka berani menyentuh aku. Lancang sekali dia memukul dadaku? Sebelum aku sempat membalas, seseorang melerai kami.
“Katelia belum mati, sebaiknya lo jangan bicara sembarangan.” Aku menoleh ke arah Theo. Apa aku tidak salah lihat? Cowok resek yang sok tahu ini membela aku? Aku, musuh bebuyutannya sejak kami kelas satu SMU? Sepertinya semua orang sudah gila.
“Pak Guru sudah berusaha untuk memberi pertolongan. Lihat! Kat masih juga tidak sadarkan diri! Apa kamu tahu apa yang terjadi kalau seseorang tidak bernapas terlalu lama??” seru Chika dengan panik. Kedua teman kami menahan tubuhnya agar tidak memukul Theo.
Aku melihat ke arah yang dia tunjuk. Beberapa siswa menjauh sehingga aku bisa melihat dengan jelas tubuh yang berbaring di sana. Aku mengucak-ngucek mata, tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku ada di sini, lalu mengapa tubuhku ada di sana?
Teman-teman bisa melihat aku, jadi aku tidak mungkin seorang hantu. Aku memegang pipiku. Sejak kapan pipiku jadi tembam begini? Aku melihat pakaian yang aku kenakan. Sepertinya baju ini tidak asing. Aku mengangkat kedua tanganku dan melihat jemarinya yang gemuk.
“Tidak mungkin!” Aku melompat terkejut. “Mustahil. Ini tidak mungkin.” Aku memegang rambut, memeriksa leher, dan memandang kakiku. Aku pasti sedang bermimpi.
Namun setelah berkali-kali menggosok mata, aku masih berada di tubuh yang sama. Badanku justru berada tidak jauh dariku dan sedang ditangani oleh dua orang guru. Satu memompa dadanya, yang lain memberinya napas buatan. Ini tidak mungkin kenyataan.
Bagaimana bisa aku ada di sini, sedangkan tubuhku di sana? Kakiku melangkah sendiri, mendekati aku yang terasa begitu jauh. Tubuh yang biasanya hanya bisa aku lihat dengan jelas lewat cermin, justru sedang aku tatap tanpa bantuan kaca apa pun.
“Hei, jangan! Dia jadi begitu gara-gara kamu. Aku tidak akan membiarkan kamu melukai dia lagi.” Chika menghalangi aku berjalan mendekati badanku.
“Lepaskan tanganku.” Aku memegang tangannya itu dan mendorongnya menjauh. Dia membulatkan matanya, seolah-olah tidak pernah diperlakukan seperti itu.
“Katelia!” Wali kelasku memanggil dengan suara penuh harap. “Oh, syukurlah.” Dia dan guru lain yang membantu berhenti memberikan napas buatan.
Bunyi sirene ambulans memecah keheningan malam. Mereka membawa tubuhku di atas sebuah brankar, lalu memasukkan ke mobil itu. Ketiga sahabatku menghalangi aku mendekati badanku. Aku benar-benar sial. Orang-orang pun mulai bingung harus melakukan apa. Liburan yang seharusnya menjadi kenangan terindah kami di masa terakhir SMU, berubah bencana.
Tidak tahu harus melakukan apa, kami hanya menuruti perintah para guru. Bus yang membawa kami ke Parapat sudah siap untuk mengantar kami pulang ke Medan. Siswa lain disambut oleh keluarga mereka, sedangkan aku hanya berdiri sendiri di keramaian.
“Tante gue datang menjemput. Ayo, kami antar ke rumah lo,” kata Theo. Aku menoleh ke arahnya. Melihat tidak ada jalan lain, aku ikut masuk ke mobilnya.
“Kamu yakin dia tidak perlu ke rumah sakit?” tanya seorang wanita yang duduk di jok depan. “Kata kamu, dia juga ikut tercebur ke danau bersama Katelia.”
“Tante benar juga. Kita bawa dia ke rumah sakit. Semua orang hanya fokus kepada Katelia sampai lupa bahwa ada dua korban yang tenggelam.” Theo berdecak kesal.
Ada apa dengan dia? Aku tidak tenggelam. Apa gunanya aku pernah juara renang kalau keluar dari danau dengan selamat saja tidak bisa? Amarilis bodoh itu yang membuat semuanya jadi begini. Baguslah, mereka membawa aku ke rumah sakit. Jadi, aku bisa mencari cara untuk kembali ke tubuhku yang sebenarnya.
Orang tuaku pasti meminta aku dibawa ke rumah sakit terbaik di kota kami. Tempat itu tidak jauh dari sekolah, jadi aku tidak heran tante Theo membawa aku ke rumah sakit yang sama. Beberapa teman dan guru juga terlihat di dekat ruang UGD.
“Ternyata Katelia benar. Dia orang yang tidak berguna. Lihat saja apa yang sudah dia lakukan. Begitu ada kesempatan, dia meneggelamkan teman kita,” bisik seseorang. Dia bicara cukup keras sehingga bisa aku dengar saat kami melewatinya.
“Katelia juga yang salah. Dia nekat melawan gadis gendut itu. Jelas saja dia kalah saat satu lawan satu,” ucap yang lain. Aku mengepalkan tinjuku mendengar hinaan itu. Aku memang tidak segemuk Amarilis, tetapi aku jauh lebih kuat darinya.
“Biar aku yang daftarkan, kamu bawa dia untuk diperiksa,” kata tante Theo dengan lembut ketika kami memasuki ruangan dengan banyak bilik itu.
Pemuda itu menurut. Dia membawa aku ke bagian dalam UGD diantar tatapan sinis teman-teman. Seorang perawat menunjuk ke bilik yang masih kosong. Aku diminta untuk menunggu sampai dokter datang. Theo hanya diam saat dia menemani aku di dalam bilik.
Aku tidak mendengar suara Mama. Apa tubuhku tidak dibawa ke sini? Apa yang terjadi sampai aku bisa ada di tubuh gendut dan lemah ini? Yang aku ingat hanyalah cahaya yang menyilaukan. Lalu aku terbangun di tepi danau. Tubuhku berbaring tidak jauh dariku, sedangkan aku berada di badan ini.
“Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?” Seorang pria memakai baju serba putih memasuki bilik bersama seorang perawat.
“Dia tenggelam di danau, Dokter. Kami berhasil menyelamatkan dia, tetapi untuk memastikan dia baik-baik saja kami membawanya ke sini,” kata Theo, menjawab pertanyaannya.
“Baik. Kita periksa kondisi fisik terlebih dahulu, ya.” Dia memasang stetoskopnya, lalu mendekati aku.
“Di mana teman yang ikut tercebur bersamaku, Dokter? Namanya Katelia,” tanyaku tidak sabar.
“Gadis itu sedang berada di ruang ICU. Semoga saja dia selamat seperti kamu.” Dia meminta aku membuka mulut, lalu memeriksa keadaannya. “Baik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi fisik yang bisa dilihat oleh mata. Hanya ada sedikit masalah pada paru-paru. Mungkin kemasukan air saat bernapas lewat hidung di danau.”
Dokter itu memberi anjuran untuk beristirahat dan menjaga pola makan, serta resep obat yang perlu aku minum. Aku tidak mencurigai apa pun sebelumnya. Sesak yang aku rasakan semula aku pikir karena tubuh gemuk ini. Ternyata akibat ada cairan pada paru-paru.
“Di mana anak itu?” Terdengar suara Mama. Akhirnya! Aku berdiri dan melihat penuh harap ke arah tirai bilik. Mama pasti bisa mengetahui sifat putrinya sendiri. Tidak seperti teman-temanku yang aku pikir adalah sahabat baikku. “Di mana perempuan yang sudah membunuh putriku itu!?”
Orang yang sudah membunuh putri Mama? Apa maksudnya? Apa aku tidak salah dengar? Oh, Tuhan. Apakah terjadi sesuatu pada tubuhku?
Jantungku berdebar dengan keras. Tidak. Aku pasti salah menyimpulkan. Tidak mungkin Amarilis mati dalam tubuhku. Iya. Pasti bukan itu maksud Mama. Mungkin dia hanya marah seperti yang teman-teman lakukan. Mama tidak akan kesal setelah tahu siapa aku.
Tirai bilik di mana aku berada terbuka dengan kasar. Wajah itu akhirnya berada di depanku. Mama yang sangat menyayangi aku dan memberikan apa pun yang aku minta. Wanita yang selalu ada di pihakku ketika dua saudara laki-lakiku menggoda aku.
“Pembunuh!!” Dia mendekat dengan cepat, lalu menarik kerah kausku. “Mengapa kamu menarik putriku ikut tenggelam ke danau!? Hah!? Mengapa!? Apa salahnya kepadamu!!? Kalau mau mati, mengapa tidak mati sendiri saja?? Mengapa kamu membunuh putriku juga!!?”
“Pembunuh!!” Dia menampar pipiku dengan keras. Theo dan dokter segera menjauhkan dia dari aku. “Mengapa kamu bisa selamat!? Mengapa bukan kamu yang mati!? Kembalikan putriku!! Kembalikan dia!! Lepaskan aku! Gadis ini perlu diberi pelajaran!!”
Seluruh tubuhku gemetar dengan hebat. Rasa sakit akibat tamparan itu tidak seberapa dibandingkan dengan tatapan penuh luka pada mata Mama. Jantungku berdebar kencang memekakkan telingaku. Apa aku tidak salah dengar? Kata Mama, aku sudah mati? Benarkah tubuh di mana Amarilis berada sudah meninggal?
Tidak. Ini tidak benar. Aku harus melakukan sesuatu. Mama masih berteriak meluapkan emosinya, maka aku berlari melewatinya menuju ruang ICU. Amarilis tidak boleh mati! Gadis gendut yang bodoh itu tidak bisa melakukan ini kepadaku! Dia tidak boleh mati!
“Suster! Suster, di mana tubuh Amarilis, ah, maksudku, di mana tubuh Katelia??” tanyaku kepada suster jaga di depan ruangan itu.
“Sudah dibawa ke kamar mayat untuk dimandikan,” jawabnya dengan enteng. Dia masih sibuk dengan kertas yang ada di hadapannya.
“Tidak. Dia belum mati. Kalian harus menolongnya. Cepat, suruh mereka kembali ke sini! Dia belum mati, Suster!” Aku memukul-mukul meja, menarik perhatiannya.
Dia mengangkat kepalanya dari kertas-kertas itu. “Ah, kamu pasti temannya.” Dia memasang wajah sedih. “Aku tahu berita ini berat bagimu. Maafkan aku, tetapi gadis itu sudah meninggal. Kami sudah berusaha sekeras mungkin. Sayangnya, dia tidak tertolong lagi.”
“Kalian salah! Dia belum mati!” seruku panik. Kepalaku mendadak kosong, tidak tahu harus berbuat apa. “Cepat, bawa dia kembali ke sini! Aku tahu bagaimana cara membuat dia pulih lagi!” Aku tidak tahu harus melakukan apa, tetapi aku bisa pikirkan nanti.
“Dik, teman kamu sudah tiada. Sebaiknya kamu pulang atau temani dia di rumah duka. Kami bukan Tuhan yang bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Kami hanya tenaga medis,” katanya lagi dengan nada simpatik.
“Apa yang lo lakukan di sini?” tanya seseorang dari sebelah kiriku. “Gue baru tahu lo peduli dengan Katelia. Dia sudah meninggal, Mar. Tidak ada lagi yang bisa lo lakukan.”
“Pembunuh! Kamu akan masuk penjara dan mati di sana! Lihat saja! Aku tidak akan diam sampai kamu masuk penjara!” seru Mama yang juga ikut datang mengikuti aku.
Beberapa teman sekelas dan guru juga berdiri di dekatnya. Mereka menatap aku dengan berbagai ekspresi sampai kepalaku pusing melihatnya. Tidak pernah ada orang yang mengasihani, menuduh, atau merendahkan aku dengan mata mereka, tetapi pandangan itu kini ditujukan kepadaku.
Kakiku tidak kuat lagi menahan beban tubuhku sehingga aku terduduk di lantai. Amarilis meninggal, lalu bagaimana dengan aku? Ini bukan tubuhku. Apa aku akan hidup seperti ini selamanya? Sampai aku juga mati menyusul dia? Oh, Tuhan. Apa dosaku?
“Sayang?” Seseorang berlutut di dekatku. “Oh, Tuhan, terima kasih.” Wanita itu memeluk tubuhku, lalu mengusap-usap kepalaku. “Syukurlah, kamu baik-baik saja.”
“Apa ada yang sakit, Nak?” tanya seorang pria yang berlutut di sisi kananku. “Mengapa kamu duduk di lantai yang dingin ini? Ayo, kita duduk di bangku.”
Aku menurut ketika mereka mengangkat lenganku dan membawa aku ke kursi terdekat. Mereka yang menuduh aku sesuka mereka sudah pergi melihat jasadku. Hanya Theo yang masih berada di dekatku, tetapi tidak mengatakan apa pun setelah aku menolak untuk duduk di kursi.
Hatiku hancur berkeping-keping mendengar semua orang menuduh aku telah membunuh diriku sendiri. Namun itu tidak seberapa dibandingkan hilangnya semangat hidupku, karena harus berada di tubuh ini seumur hidup. Dia pasti akan mati muda karena tidak pernah menjaga kesehatan. Hilang sudah semua rencana masa depan yang telah aku susun dengan baik.
“Mengapa dia seperti ini? Apa dia kehilangan pendengaran setelah jatuh ke danau?” tanya wanita itu kepada Theo. “Mengapa dia diam saja?”
“Mungkin sedang terguncang, Tante. Semua orang tadi memarahi dia karena sudah menyebabkan Katelia meninggal,” jawab Theo pelan.
“Orang-orang kurang ajar! Putriku sangat baik, dia tidak akan bisa menyakiti siapa pun.” Wanita itu menggeram kesal. Dia kemudian menatap dan membelai pipiku. “Ayo, kita pulang saja. Temanmu sudah mengambilkan obat, kamu istirahat di rumah juga pasti sembuh.”
Aku dan wanita itu pulang menggunakan taksi, sedangkan suaminya mengendarai sepeda motor tua milik mereka. Tidak punya tempat tinggal lain, aku terpaksa menurut. Ketika melihat rumah kecil mereka, aku hanya bisa meringis dalam diam. Setidaknya, ini lebih baik daripada tidur di jalan.
Yang membuat aku bisa bertahan lama berada di rumah itu adalah aroma kue. Wangi yang sama dengan kue yang Amarilis bawa ke sekolah. Dia menitipkan kue itu ke kantin dan selalu habis dibeli oleh siswa maupun guru. Kue yang beberapa kali aku borong hanya untuk diinjak-injak di depannya.
“Istirahatlah. Aku akan membuatkan sup ayam untukmu.” Wanita itu menyelimuti tubuhku, lalu keluar dari ruangan. Aku hanya bisa bengong menatap langit-langit kamar.
“Nak.” Pintu kamar dibuka dan pria tadi masuk dengan telunjuk di depan bibirnya. “Ini ada makanan kesukaan kamu. Jangan sampai mamamu tahu. Makanlah.”
Aku melihat sebungkus makanan yang dibawanya. Dia membantu aku duduk, lalu memberikan plastik yang berisi kotak. Aku membukanya dan ada beberapa potong ayam goreng di dalamnya. Ini adalah makanan kesukaan Amarilis? Pantas saja dia gemuk begini.
Namun aku tidak bisa memilih-milih makanan, apalagi aku baru sadar bahwa aku tidak makan apa pun sejak jatuh ke danau. Aku segera melahap semua ayam itu. Tidak peduli berapa yang aku santap, aku tidak berhenti sampai kotak itu hanya berisi tulangnya.
“Bagus. Ayo, kembali berbaring. Mamamu sebentar lagi pasti datang.” Dia menyalakan obat nyamuk bakar untuk menghilangkan aroma ayam goreng tadi.
Aku baru saja menutup mata ketika pintu kamar terbuka dan seseorang masuk. Apa lagi yang mau diberikan ayah Amarilis kepadaku? Saat membuka mata, aku malah bertemu pandang dengan seorang laki-laki yang masih muda.
Dia meletakkan telunjuknya di depan bibirnya. “Aku bawa makanan kesukaan Kakak.” Makanan lagi? Dia menyelipkan sesuatu di balik selimutku. “Jangan makan sekarang. Nanti saja setelah makan sup buatan Mama.” Dia melihat ke kanan kiri, lalu keluar dari kamar.
Wanita itu datang membawa sebuah baki. Dia menyuapi aku makan sepiring nasi dan semangkuk sup ayam. Rasa masakannya lumayan, walau tidak seenak buatan kokiku di rumah. Aku terkejut tubuhku sanggup menghabiskannya setelah makan satu kotak ayam goreng.
“Nah, istirahatlah. Kalau kamu perlu sesuatu, panggil aku, ya.” Dia membelai pipiku dengan sayang.
Air mata mengancam keluar dari mataku. Merasakan kasihnya, aku merindukan Mama. Walau aku ada dalam tubuh Amarilis, keluarganya bukan keluargaku. Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa kembali kepada keluargaku?
Meskipun orang-orang mendorong badanku dan menolak aku menghadiri pemakaman tubuhku sendiri, aku tidak menyerah. Aku melihat penguburan jasadku yang didiami Amarilis dari jauh. Papa, Mama, dan kedua kakakku menangis mengiris jantungku.
Mereka memanggil namaku dengan lirih sampai semua orang yang hadir ikut menangis. Padahal yang mereka panggil ada di sini, bukan di sana. Aku masih hidup, selamat dari insiden itu. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap kali aku mencoba untuk mendekat, mereka menolak aku dan meneriaki aku pembunuh.
“Kamu puas sekarang?” Tanpa aku sadari, Chika berdiri di sisiku. Dia mendorong tubuhku dengan keras, tetapi aku bergeming. “Apa kamu puas sudah membunuh Katelia?”
“Aku tidak membunuh dia, Chika,” kataku, lelah dengan semua tuduhan salah sasaran itu.
“Kamu tidak membunuhnya??” Rahma mendorong dari sebelah kananku. “Heh, kami semua melihat kamu menarik tangan Kat sampai dia ikut tenggelam ke danau. Jadi, kamu yang membunuhnya!” Dia menusuk-nusuk bagian atas dada kananku dengan telunjuknya.
“Aku tidak—” Bagian belakang lututku ditendang sehingga aku jatuh di atas kedua lututku. Sakitnya luar biasa. Belum sempat mengerti apa yang sedang terjadi, kedua tanganku dipegang dan aku dipaksa untuk telentang. Kakiku sampai terasa sakit karena masih tertekuk.
“Penjahat! Pembunuh!” Chika duduk di atas perutku dan menampar kedua pipiku dengan keras secara bergantian. “Mati kau! Mati dan masuk neraka! Di sana tempat untuk pembunuh!!”
Tubuh lemah ini hanya ukurannya saja yang besar. Aku tidak bertenaga sehingga tidak bisa menarik kedua tanganku dari pegangan kuat Rahma dan Nisa. Kalau wajahku dipukul terus, muka yang sudah jelek ini bisa semakin hancur. Belum lagi rasa sakitnya adalah hal yang baru bagiku. Aku tidak pernah merasakan fisikku disakiti sehebat ini untuk kesekian kalinya.
“Hei, apa kalian sudah gila??” Chika diangkat dengan paksa dari atas tubuhku. “Lepaskan dia! Sudah cukup kalian menyakiti dia! Katelia mati bukan kesalahannya!”
Lagi-lagi Theo menolong aku. Ketiga gadis itu menatap aku dengan mata tajam. Pipiku berdenyut merasakan tamparan yang bertubi-tubi tadi. Mengapa orang-orang tidak pernah mau memberi aku kesempatan untuk bicara? Aku berulang kali berusaha memberi tahu semua orang akulah Katelia.
“Kalian sebaiknya bertobat sebelum menyusul Katelia. Dia mati karena sering menyakiti Amarilis.” Kalimat itu menusuk jantungku sangat dalam.
Itukah alasannya? Aku selamat dan hidup dalam tubuh Amarilis karena kejahilanku? Jadi, aku akan hidup selamanya dalam tubuh gendut, jelek, dan lambat ini? Ya, ampun. Masa depanku hancur. Aku tidak mau semua impian dan rencana yang sudah aku susun jadi berantakan begini.
Tunggu. Masa depanku belum rusak. Bila ini sudah menjadi jalan hidupku, maka aku tidak mau gendut, miskin, dan bodoh sampai mati. Aku tidak akan membiarkan kutukan ini menang. Akulah yang menentukan nasibku. Aku punya keluarga yang sayang kepadaku, itu saja sudah cukup. Pasti ada jalan untuk mengubah nasibku.
“Bangun, anak malas!” Aku merasakan sebuah pukulan keras di kepalaku. “Cepat bawa kue ke kantin! Kita tidak akan bisa makan sampai akhir pekan kalau kamu hanya tidur!”
“Sekolah libur, Ma. Untuk apa aku bawa kue ke kantin?” Aku mengusap-usap kepalaku. Beberapa hari terakhir wanita ini sangat baik. Mengapa dia mendadak bersikap kasar kepadaku?
“Hanya kelas tiga yang libur. Adik-adik kelasmu, ‘kan, tetap masuk. Cepat, pergi!” Dia menarik aku sekuat tenaga agar bangun dari tempat tidur. Dasar Amarilis lemah, aku kalah kuat dari mamanya.
Aku menaiki sepeda membawa kue dalam wadah besar di keranjang depan. Satpam menyapa aku dengan ramah. Aku hanya tersenyum seadanya. Setelah memberikan semua kue itu dan menerima uang dari ibu penjaga kantin, aku bergegas pergi.
Melihat ada pengumuman membutuhkan karyawan di sebuah swalayan mini, aku segera berhenti, dan memasukinya. Bukannya mendapatkan kabar baik, mereka langsung menolak karena tubuhku gendut. Sial. Untuk apa harus bertubuh langsing kalau hanya mengangkat barang? Swalayan bodoh!
“Dik, kamu sebaiknya berkaca. Tokoku memang kecil, tetapi aku tidak akan bisa menarik pelanggan kalau pegawaiku gendut dan jelek begini,” ejek pemilik toko berikutnya. “Sana pergi! Bisa-bisa aku tidak dapat rezeki hari ini karena kedatanganmu.” Dia mendorong tubuhku dengan kasar.
Kalau pekerjaan rendah saja butuh badan ramping dan wajah cantik, kapan aku bisa mendapatkan uang? Mustahil bisa mengubah badan ini dalam sekejap. Biaya kuliah tidak murah. Karena itu, aku tahu Amarilis hanya belajar sampai SMU. Mamanya galak, jadi aku tidak akan bisa meminta uang darinya. Lulusan SMU bisa apa? Aduh, aku harus bagaimana sekarang?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!