“Heh! Apa yang kau lakukan di sini!?”
Seseorang menendang kotak bekas minuman yang aku letakkan di trotoar. Aku sedang bersiap untuk mencari uang lewat kemampuanku, tetapi pria jelek urakan itu malah datang mengganggu. Aku agak kecut melihat dia tidak sendirian.
“Aku mau mengamen. Ada yang salah?” tanyaku, balik menantangnya.
“Sudah ada yang punya tempat ini. Pergi!” Dia menendang kardus itu lagi.
“Yang dahulu datang yang dapat tempat,” kataku, tidak mau kalah.
“Kau mau mati?” Dia mengeluarkan sebilah pisau lipat dari saku celananya, lalu membukanya. Aku merapatkan bibirku melihatnya. Dasar pengecut. Beraninya main senjata tajam.
Aku terpaksa pergi mencari tempat lain. Padahal trotoar itu cukup strategis karena berada di daerah perkantoran. Pagi hari begini sudah ramai dengan karyawan yang berjalan menuju tempat kerja mereka. Aku sudah capai mengayuh sepeda ke sini, malah sudah ada yang merasa itu tempatnya.
Menemukan tempat yang bagus, aku menjaga jarak dengan gerobak penjual makanan. Sudah siap dengan kardus dan peralatanku, seorang pemuda datang dan mengancam aku untuk pergi. Pria penjual makanan itu tidak menolong, jadi aku mengalah lagi.
Seharian itu, waktuku habis hanya untuk mencari tempat. Baru saja bahagia mendapatkan tempat dan beberapa uang, datang lagi orang lain yang mengeklaim tempat itu miliknya. Orang yang sudah berkerumun mendengar permainanku langsung bubar, tidak memberi sepeser pun.
“Kamu dari mana saja? Sudah sore baru kembali. Apa kamu pikir aku membeli bahan makanan pakai uang mainan??” kata Mama, memarahi aku ketika pulang pada sore hari.
“Maaf, Ma.” Aku memberikan uang dari ibu penjaga kantin kepadanya. Tanpa mengatakan apa pun lagi, aku masuk ke kamar.
Perempuan miskin ini bahkan tidak punya ponsel, tablet, atau laptop yang bisa aku pakai untuk menghibur diri. Zaman sekarang, mana ada lagi anak muda yang menonton siaran televisi. Eh, hanya itu yang mereka punya sebagai hiburan.
Saat aku merasakan mataku memanas, aku segera mengambil sebuah buku dan pulpen, lalu mulai menulis not demi not lagu yang akan aku mainkan. Tidak ada gunanya membuang waktu dengan menyesali diri. Aku tidak akan pernah kembali menjadi Katelia.
“Lo? Kamu tidak sekolah, Nak? Mengapa malah ada di tempat ini?” sapa seorang ibu penjual lontong. Aku melihat tempat itu sepi. Namun ada penjual, maka ada pelanggan.
“Saya sudah kelas tiga, Bu. Sedang menunggu pengumuman, jadi tidak perlu ke sekolah lagi.” Aku tersenyum tipis. Dia mengangguk mengerti. “Apa tempat ini bisa saya pakai untuk mengamen?”
“Tentu saja. Silakan. Kamu pasti tidak bisa mencari tempat di lokasi yang lebih ramai, ya,” tebaknya. Aku mengangguk pelan. “Walau kelihatannya sepi, dagangan saya selalu habis. Jadi, kamu juga pasti akan dapat beberapa rupiah hari ini.”
Aku tersenyum senang mendengarnya. Aku sudah pulang mengantar uang dari ibu penjaga kantin, maka aku tenang seharian berada di luar. Setelah meletakkan kardus dan menyiapkan alat musik, aku pun mulai memilih sebuah lagu sebagai pemanasan.
“My Heart Will Go On” adalah lagu yang paling aku hafal dan kuasai. Jadi, aku memilihnya sebagai lagu pertama. Suasana pagi yang sejuk ditemani bunyi kendaraan yang lalu-lalang membuat gesekan busur biolaku semakin syahdu. Lalu sebuah tepuk tangan mengejutkan aku.
“Wah, Nak! Bagus sekali! Aku tahu lagu itu! Lagu lama. Filmnya juga bagus sekali!” puji ibu itu dengan tulus sambil terus menepuk tangannya. “Kamu bermain di sini saja denganku. Wah, aku pasti akan dapat banyak pelanggan gara-gara kamu.”
“Semoga, ya, Bu,” ucapku penuh harap.
“Oh, sial! Mereka datang pagi sekali!” pekik ibu itu sambil melihat ke arah jalan. “Ayo, kita kabur. Nanti balik lagi setelah keadaan aman.” Dia sedikit mendorong tubuhku.
“Memangnya ada apa, Bu?” tanyaku bingung, tetapi aku memasukkan biolaku ke tempatnya.
“Itu Satpol PP. Mereka akan menangkap kita kalau kita tidak kabur sekarang!” Dia lari terbirit-birit sambil mendorong gerobaknya seorang diri. Oh, Tuhan. “Cepat, cepat! Jangan sampai tertangkap!”
Aku belum dapat apa pun sudah ada masalah. Aku berlari sekuat tenaga sambil membawa sepeda sejauh mungkin. Ke mana lagi aku mencari tempat? Namun aku menuruti ucapan ibu tadi dengan kembali begitu keadaan aman. Banyak sekali tantangan mencari uang demi bertahan hidup. Pertama aku bertemu preman, kedua Satpol PP.
Setelah hari berakhir, aku tidak mendapat sebanyak yang aku harapkan. Jangankan lima ratus ribu, seratus ribu pun tidak. Aku nyaris lemas ketika mengayuh sepeda pulang ke rumah. Keluarga itu tidak tahu aku memiliki biola, karena aku sembunyikan di bawah barang tak terpakai di gudang kecil tempat penyimpanan sepeda.
Kalau mereka sampai tahu, identitasku yang sebenarnya bisa ketahuan. Aku tidak punya tempat tinggal lain, jadi mereka adalah harapanku satu-satunya. Apalagi setelah pendapatan hari ini, aku tidak yakin akan punya cukup uang untuk membayar kamar sewa sendiri.
“Kamu ke mana saja akhir-akhir ini?” tanya mama Amarilis saat kami makan malam. “Kamu pergi pagi, pulang sebentar untuk mengantar uang, lalu tidak kembali sampai malam.”
“Mencari pekerjaan, Ma,” jawabku dengan jujur.
“Kamu mencari pekerjaan apa sampai malam begitu?” tanya adik Amarilis yang bernama Hercules. Nama yang aneh. Tubuhnya tidak tinggi besar layaknya anak Dewa Zeus yang ada di acara televisi.
“Apa saja yang menerima gadis gendut,” kataku sekenanya. Mereka pun terdiam.
Pada hari berikutnya, aku kembali mengalami hal yang sama. Kabur dari Satpol PP, lalu kembali setelah situasi aman. Uang yang aku dapat tidak seberapa dibandingkan dengan rasa lelahnya. Namun aku mendapatkan makan siang gratis dari ibu penjual lontong tersebut.
“Permainan musik kamu sangat menghibur. Aku jadi tidak kesepian berjualan di sini. Semoga rezeki kamu dilancarkan Tuhan, ya.” Dia menepuk bahuku. Aku terharu mendengarnya. “Ah, lontongnya sudah habis. Kamu mau tambah lagi?”
“Tidak, Bu. Terima kasih. Saya sudah kenyang.” Aku mengusap pelan perutku. Dia sudah sangat baik, jadi aku tidak mau takabur dengan meminta tambah.
Karena pendapatanku tidak ada perkembangan selama dua hari itu, aku mencoba pergi ke taman pada akhir pekan. Ternyata ada banyak sekali pemain musik, selain penjual makanan dan mainan yang sudah bersiap menjajakan barang dan jasanya.
Aku menemukan tempat yang masih kosong, lalu meminta izin sebelum bersiap-siap. Dua pedagang itu tidak keberatan, maka aku meletakkan kardus dan menyiapkan biolaku. Orang-orang sedang berolahraga, jadi aku memilih lagu yang bisa memacu semangat mereka.
“Wah, wah! Permainan kamu bagus sekali!” ucap pria penjual sarapan dan kopi di sebelah kananku. Aku tersenyum kepadanya. “Aku bisa betah menunggu sampai daganganku habis.”
“Aku malah tidak mau pulang walau daganganku nanti sudah habis,” kata ibu penjual gado-gado.
Orang-orang mendekati gerobak mereka, lalu tidak ragu melempar uang yang mereka punya ke dalam kardus yang sudah aku siapkan. Satu per satu orang mulai mengerumuni aku dan mendengar permainanku sambil menikmati sarapan atau minuman mereka.
Bermain di taman pada akhir pekan ternyata jauh lebih menguntungkan. Aku mendapat sepuluh kali lebih banyak dari pendapatan harian di tempat yang sepi itu. Uang yang aku dapatkan pada hari Minggu justru lebih banyak daripada hari Sabtu. Akhirnya, aku bisa juga mencari uang sendiri!
“Yang sudah melihat namanya, minggir, dong,” ucap para siswa dari arah belakangku. Kami semua datang ke sekolah untuk melihat pengumuman kelulusan. Aku sengaja datang pagi seperti biasanya, tetapi sudah banyak yang lebih dahulu datang daripada aku.
Jantungku berdebar-debar dengan kencang khawatir tidak lulus dari SMU ini. Amarilis adalah orang yang bodoh dan sangat lambat, jadi aku tidak akan heran jika dia tidak lulus Ujian Nasional. Begitu menemukan namanya, aku nyaris menangis bahagia. Syukurlah!
Beban yang berat seolah-olah diangkat dari kedua pundakku melihatnya. Bagus. Ini awal yang baik. Universitas tidak akan peduli dengan nilainya yang pas-pasan, asalkan aku lulus ujian masuk nanti. Satu per satu masalahku pun teratasi.
“Wow, Amarilis.” Tiga orang gadis menghalangi langkahku menuju gerbang sekolah. “Aku tidak pernah menduga bahwa kamu akan lulus dari sekolah ini.”
Tidak mau ribut dengan mereka, aku menghindar. Aku berjalan menuju gerbang dengan berjalan sedikit ke sebelah kiri. Mereka tidak mau melepaskan aku dengan bergeser dan menghalangi jalanku. Aku menghela napas panjang.
“Aku harus pulang. Aku tidak punya waktu untuk bermain-main seperti kalian,” kataku.
“Apa katamu? Heh, kamu masih bisa bebas setelah membunuh orang, jangan berlagak hebat. Kami tidak akan pernah memaafkan perbuatan jahatmu itu!” Chika mendorong bahuku dengan kasar.
Perempuan ini, aku kasih hati minta jantung. Apa dia pikir aku tidak berani melawan? Namun aku seorang diri, tidak cukup kuat untuk menghadapi mereka bertiga. Apalagi gadis ini hanya badannya yang gendut, tenaganya nol.
“Dia bilang dia mau pulang. Sebaiknya kalian lepaskan dia dan cari hobi lain.” Terdengar suara Theo dari arah belakangku. Gadis itu merapatkan bibirnya dan menyingkir, maka aku bisa pergi.
Aku menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Theo dan berterima kasih. Aku bergegas pulang ke rumah dan memberitahukan kabar itu kepada ayah dan ibu Amarilis. Mereka bersikap biasa saja, tidak antusias sama sekali. Lalu aku mengerti alasannya ketika kami makan malam bersama.
“Karena aku lulus, aku berencana untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri,” kataku, menyampaikan rencanaku.
“Kamu sudah berjanji tidak akan bicara tentang kuliah lagi,” kata mama Amarilis, menggelengkan kepalanya. “Apa kamu lupa dengan kesepakatan kita?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 219 Episodes
Comments
Herlina Sibagariang
Ayuk di lanjut lagi kk author. Ceritanya keren..Semangat pengen tau kelanjutannya.
2023-04-05
3