Berkeliling memasuki toko dan warung, tidak ada yang mau mempekerjakan aku. Ada yang menolak dengan kasar, ada pula yang menjelaskan tidak mau aku mencuri makanan mereka. Mengapa semua orang punya pikiran buruk hanya karena bentuk tubuh ini?
Lelah mengayuh sepeda, aku beristirahat di sebuah halte. Sayup-sayup aku mendengar bunyi musik. Aku menoleh dan melihat ada kerumunan orang tidak jauh dariku. Penasaran, aku mendekat. Ada seorang pria sedang bermain gitar sambil bernyanyi. Suaranya bagus, tidak seperti pengamen biasa. Pantas saja banyak yang menikmati permainannya.
“Oh, iya! Itu dia!” Aku menjentikkan jemariku. Mengapa aku tidak memikirkan hal itu sedari tadi?
Aku kembali mengayuh sepeda untuk pulang ke rumah. Setelah memberikan uang dari ibu penjaga kantin kepada Mama, aku bergegas ke kamarku. Aku memeriksa setiap lemari, laci, juga kardus yang ada di kamar itu. Sampai ke bawah kasur pun tidak ada uang simpanan Amarilis.
Aku baru tahu ada perempuan muda seceroboh ini. Masa dia sama sekali tidak punya uang tabungan? Tidak ada celengan, uang di antara buku, pakaian, atau barang lainnya, apalagi buku tabungan. Apa orang tuanya tidak pernah memberikan dia uang selembar pun?
“Ma, apa aku boleh pinjam uang?” tanyaku saat kami makan malam. Perempuan itu mendelik tajam, tetapi aku tidak takut. Aku orang yang terbiasa merundung, jadi tidak bisa ditundukkan semudah itu.
“Untuk apa, Kak? Mau beli makanan kesukaan Kakak? Sudah mau tamat SMU, sudah saatnya untuk diet. Apa Kakak pikir ada laki-laki yang mau dengan perempuan gendut?” ejek adik Amarilis.
“Kamu bisa kami sekolahkan sampai tamat SMU saja sudah syukur. Kalau kamu butuh uang, cari pekerjaan sana. Aku tidak punya uang untuk dipinjam. Memangnya kamu bisa mengembalikannya?” sindir Mama. “Kalau masih lapar, tambah saja makananmu.”
Katanya, orang miskin itu dermawan. Mengapa mama Amarilis pelit begini? Aku pikir mamanya yang asli adalah wanita yang mengkhawatirkan dia saat di rumah sakit. Ternyata ini aslinya. Galak sekali. Bagaimana aku bisa mencari pekerjaan dengan badan gendut begini?
Diet dan olahraga sampai satu tahun juga belum tentu berat badannya bisa berkurang. Amarilis bodoh. Masakan mamanya memang enak, tetapi bukan berarti dia menghabiskan semuanya sampai badan jadi lebar dan tidak sehat begini. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Tidak ada uang simpanan sepeser pun, mendapatkan pekerjaan juga susah. Bagaimana aku bisa meraih impianku dengan berpangku tangan? Masa sampai mati nanti, aku hanya mengantar kue buatan wanita ini ke sekolahku? Hidup macam apa itu?
“Aw!” Aku tersandung sesuatu saat keluar dari kamar pada pagi harinya. Belum terbiasa dengan tubuh baru, aku tidak cekatan dan terjatuh di lantai dengan dada di bawah. Aku mengaduh pelan.
“Makanya, mata itu dipakai. Jangan cuma dijadikan pajangan,” ejek pemuda kurang ajar itu dari ruang makan. “Rumah ini sampai bergetar karena badanmu jatuh.”
Aku memeriksa untuk mencari tahu apa yang membuat aku tersandung. Ternyata ada tali ditempel di bingkai pintu. Walau aku melihat langkahku, aku tidak akan memperhatikan ada tali itu di sana. Ini pasti ulah adik Amarilis yang nakal itu.
Lihat saja nanti. Aku pasti akan membalas perbuatannya. Kalau bukan karena aku membutuhkan keluarga ini, aku sudah lama menunjukkan kepadanya siapa aku yang sebenarnya. Untuk sementara, aku harus bertahan. Amarilis bukan Katelia yang suka membangkang.
“Sudah. Cepat, habiskan sarapanmu. Jangan sampai terlambat ke sekolah,” lerai ayah Amarilis. “Ayo, Nak. Kamu juga makanlah, lalu antar kue ke sekolah,” katanya kepadaku.
Aduh. Kalau hanya berharap dari hasil penjualan kue, mana bisa membeli barang yang aku butuhkan. Hidupku benar-benar sial. Dari keluarga miskin menjadi orang kaya, gampang. Aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan menjadi miskin begini.
Keluarga kaya? Mengapa aku tidak pikirkan hal itu dari tadi? Benar juga! Aku menuju jalan yang sudah aku rindukan. Nyaris setengah jam bersepeda, aku tiba di depan sebuah gerbang tinggi dan besar. Sekuriti yang sedang berjaga melihat aku dari balik kaca dengan curiga.
“Apa yang kamu lakukan di situ? Kamu mencari seseorang?” tanya pria yang sudah menjadi petugas keamanan di rumah kami selama sepuluh tahun.
“Jangan lupa sesekali menelepon istri. Bapak sudah berapa lama tidak memberi kabar?” tanyaku. Matanya membulat mendengar pertanyaan itu.
“Kamu memata-matai aku, ya?” Dia berubah berang. “Pergi dari sini! Jangan mengganggu aku atau penghuni rumah ini!”
Melihat dia berniat untuk membuka gerbang, aku segera mengayuhkan sepedaku, menjauh dari tempat itu. Siang hari bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan aksiku. Aku perlu kembali saat hari sudah gelap. Semakin cepat aku mengambil benda itu, semakin baik.
“Apa yang kamu lakukan dengan engsel pintu itu?” tanya ayah Amarilis yang baru kembali dari tempat kerjanya. “Biar aku yang urus kalau ada yang rusak.” Dia berjalan mendekat.
“Ah, tidak apa-apa, Pa. Bunyinya sudah mengganggu, jadi aku beri minyak supaya tidak berisik ketika aku masuk dan keluar kamar,” kataku, menolak.
“Bagus. Aku selalu lupa untuk melakukannya.” Dia menunjuk ke arah pintu kamarnya. “Sekalian saja lumasi pintu ini juga.”
“Sudah, Pa. Pintu kamar Adik juga sudah.” Aku menutup tempat minyak itu, lalu kembali berdiri. Pria itu tersenyum, lalu membuka pintu kamar. Dia terlihat puas karena pintunya tidak berderit lagi.
Aku menjadi orang pertama yang pamit tidur. Mereka tetap santai menonton televisi. Sepertinya Amarilis sudah biasa menjadi orang pertama yang masuk kamarnya, karena mereka tidak curiga. Aku menunggu sampai mereka bertiga melakukan hal yang sama, baru mulai bersiap-siap.
Untung saja gadis gendut ini punya satu set kaus dan celana panjang hitam. Rata-rata bajunya berwarna cerah atau bercorak bunga. Heran. Seharusnya orang yang berukuran tubuh sebesar dia lebih banyak memiliki pakaian berwarna gelap. Jadi, dia bisa terlihat sedikit ramping.
Aku menghela napas panjang sebelum memutar kenop pintu kamar. Bagus. Tidak ada suara. Aku menempelkan telinga di pintu kamar adik Amarilis. Sunyi, begitu juga dengan suasana di dalam kamar orang tuanya. Meskipun begitu, aku tetap berjalan berjingkat ke pintu depan. Aku baru bisa bernapas lega setelah berada di luar.
Tantangan berikutnya adalah memasuki rumah tanpa melewati gerbang. Aku menelan ludah dengan berat. Hal yang semula sangat mudah bagiku menjadi mustahil gara-gara perempuan tukang makan ini. Baru memanjat pagar saja, napasku sudah ngos-ngosan.
“Bagaimana aku bisa memanjat ke balkon kamarku?” batinku nyaris putus asa.
Untunglah aku tidak perlu menebak yang mana kamarku, karena semua balkon mirip. Aku sudah lelah, jadi tangan dan kakiku gemetar saat memanjat tangga. Benda itu selalu tersedia di dekat pohon untuk membantu tukang kebun membuang daun yang sudah mengering.
Kerugian memiliki badan gendut semakin terasa. Tenagaku habis menaiki tangga tinggi itu. Tubuhku semakin gemetar, karena rasa takut. Kalau sampai ada yang menangkap basah, mereka pasti akan melempar aku ke penjara. Jadi, aku berhati-hati pindah dari tangga melewati pagar balkon.
Terima kasih, Tuhan. Aku sampai juga di beranda kamarku. Aku mengeluarkan penjepit kertas dan mulai membuka kunci. Sudah terbiasa pulang tengah malam, aku tahu bagaimana masuk kamar tanpa melewati pintu depan. Tanganku bergetar hebat, mempersulit usahaku memutar kuncinya.
Setelah berhasil, aku menyimpan benda itu kembali ke saku celana. Aku tidak boleh meninggalkan barang apa pun yang bisa mengarahkan mereka kepadaku. Mama sangat marah ketika tahu Amarilis yang telah mendorong aku ke danau. Dia tidak akan suka jika tahu gadis ini datang ke sini.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya seseorang dari arah tempat tidur.
Aku menutup mulut sebelum sempat berteriak ketakutan. Lampu di atas nakas dinyalakan dan aku bertemu pandang dengan kakak keduaku. Aduh, mati aku.
“Kak, ini aku,” ucapku dengan suara tertahan.
“Ini aku siapa? Aku tidak kenal siapa kamu,” katanya dengan sengit.
“Sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa yang menyebabkan luka pada pelipis kiriku. Aku harus selalu menggunakan poni untuk menutupi bekasnya gara-gara Kakak.” Aku menyebutkan salah satu rahasia yang hanya kami berdua ketahui.
“Lu-luka,” gumamnya gugup. Dia memperhatikan aku dengan saksama. “Kat? Kamu Katelia?”
“Oh, Kak,” ucapku terharu. Aku segera memeluknya. “Aku senang sekali mendengar nama itu lagi. Aku nyaris gila, karena semua orang memanggil aku Amarilis. Aku benar-benar bahagia, Kak.”
“Apa yang terjadi? Kamu sudah mati, lalu mengapa kamu bisa jadi jelek begini?” katanya terkejut.
Aku segera melepaskan pelukanku. “Jelek? Kalau aku melakukan sedot lemak, memperbaiki susunan gigi, sedikit berdandan, dan menata rambut ini, aku bisa cantik, Kak. Cantik itu mahal.”
“Iya. Ini benar-benar kamu.” Dia melepaskan pelukannya. “Apa yang kamu lakukan di sini? Jangan bilang kamu mau kembali dan mengatakan kepada semua orang bahwa kamu adalah Katelia.”
“Mengapa tidak, Kak?” tanyaku tersinggung. “Karena tubuh ini jelek?”
“Kat, diejek jelek itu tidak seberapa dibandingkan kamu dianggap gila atau malah dijadikan bahan percobaan. Aku tahu mustahil orang percaya gadis ini adalah kamu. Semua piala ini adalah bukti kamu bisa berenang. Aku—” Dia memijat kepalanya, lalu duduk di tepi tempat tidur.
Benar juga. Kalau aku nekat mengatakan kepada orang-orang bahwa aku adalah Katelia, mereka akan mengatakan aku gila. Itu tidak apa-apa. Nah, kalau aku dikurung di rumah sakit jiwa selamanya? Bisa mati aku. Apalagi dijadikan bahan percobaan. Hiii …. Seram.
“Tarik napas, Kak. Lalu keluarkan perlahan. Aku tahu ini berat untuk dicerna.” Aku duduk di sisinya. “Aku juga tidak tahu harus bagaimana, karena terjebak selamanya di badan ini.”
“Oh, Tuhan …,” gumam Kakak dengan mata membulat.
“Gadis yang ada dalam tubuhku itu sudah mati. Jadi, aku akan selamanya menjadi gadis ini.” Aku mengangkat kedua bahuku.
“Kamu datang pasti mau mengambil sesuatu, ambillah. Aku antar lewat pintu, jangan turun lewat balkon. Badanmu ini bisa membuat kamu kehabisan napas sebelum sampai di bawah.” Dia menatap aku dari kepala hingga kaki.
Aku mengambil satu koleksi terbaikku, lalu mendekati pintu. Kakak membukanya dan kami berjalan sesenyap mungkin ke lantai satu. Dia menatap aku cukup lama sebelum memeluk aku lagi. Aku tidak punya waktu untuk bermelankolis ria, jadi aku mendorong tubuhnya.
“Aku harus pergi sebelum ada yang mengetahui kedatanganku,” kataku, mengingatkan.
“Kamu benar. Kamu tinggal di mana? Oh, sebentar.” Dia merogoh sakunya, lalu meletakkan sebuah kartu di tanganku. “Pakai ini. Jangan sampai kamu kelaparan. Baju yang kamu pakai ini jelek sekali.”
“Serius, Kak? Apa Kakak lupa siapa aku?” Aku menolak kartu debit itu. Dia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, aku memotongnya. “Ada hal yang lebih baik yang bisa Kakak lakukan untukku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 219 Episodes
Comments