Teman-teman bisa melihat aku, jadi aku tidak mungkin seorang hantu. Aku memegang pipiku. Sejak kapan pipiku jadi tembam begini? Aku melihat pakaian yang aku kenakan. Sepertinya baju ini tidak asing. Aku mengangkat kedua tanganku dan melihat jemarinya yang gemuk.
“Tidak mungkin!” Aku melompat terkejut. “Mustahil. Ini tidak mungkin.” Aku memegang rambut, memeriksa leher, dan memandang kakiku. Aku pasti sedang bermimpi.
Namun setelah berkali-kali menggosok mata, aku masih berada di tubuh yang sama. Badanku justru berada tidak jauh dariku dan sedang ditangani oleh dua orang guru. Satu memompa dadanya, yang lain memberinya napas buatan. Ini tidak mungkin kenyataan.
Bagaimana bisa aku ada di sini, sedangkan tubuhku di sana? Kakiku melangkah sendiri, mendekati aku yang terasa begitu jauh. Tubuh yang biasanya hanya bisa aku lihat dengan jelas lewat cermin, justru sedang aku tatap tanpa bantuan kaca apa pun.
“Hei, jangan! Dia jadi begitu gara-gara kamu. Aku tidak akan membiarkan kamu melukai dia lagi.” Chika menghalangi aku berjalan mendekati badanku.
“Lepaskan tanganku.” Aku memegang tangannya itu dan mendorongnya menjauh. Dia membulatkan matanya, seolah-olah tidak pernah diperlakukan seperti itu.
“Katelia!” Wali kelasku memanggil dengan suara penuh harap. “Oh, syukurlah.” Dia dan guru lain yang membantu berhenti memberikan napas buatan.
Bunyi sirene ambulans memecah keheningan malam. Mereka membawa tubuhku di atas sebuah brankar, lalu memasukkan ke mobil itu. Ketiga sahabatku menghalangi aku mendekati badanku. Aku benar-benar sial. Orang-orang pun mulai bingung harus melakukan apa. Liburan yang seharusnya menjadi kenangan terindah kami di masa terakhir SMU, berubah bencana.
Tidak tahu harus melakukan apa, kami hanya menuruti perintah para guru. Bus yang membawa kami ke Parapat sudah siap untuk mengantar kami pulang ke Medan. Siswa lain disambut oleh keluarga mereka, sedangkan aku hanya berdiri sendiri di keramaian.
“Tante gue datang menjemput. Ayo, kami antar ke rumah lo,” kata Theo. Aku menoleh ke arahnya. Melihat tidak ada jalan lain, aku ikut masuk ke mobilnya.
“Kamu yakin dia tidak perlu ke rumah sakit?” tanya seorang wanita yang duduk di jok depan. “Kata kamu, dia juga ikut tercebur ke danau bersama Katelia.”
“Tante benar juga. Kita bawa dia ke rumah sakit. Semua orang hanya fokus kepada Katelia sampai lupa bahwa ada dua korban yang tenggelam.” Theo berdecak kesal.
Ada apa dengan dia? Aku tidak tenggelam. Apa gunanya aku pernah juara renang kalau keluar dari danau dengan selamat saja tidak bisa? Amarilis bodoh itu yang membuat semuanya jadi begini. Baguslah, mereka membawa aku ke rumah sakit. Jadi, aku bisa mencari cara untuk kembali ke tubuhku yang sebenarnya.
Orang tuaku pasti meminta aku dibawa ke rumah sakit terbaik di kota kami. Tempat itu tidak jauh dari sekolah, jadi aku tidak heran tante Theo membawa aku ke rumah sakit yang sama. Beberapa teman dan guru juga terlihat di dekat ruang UGD.
“Ternyata Katelia benar. Dia orang yang tidak berguna. Lihat saja apa yang sudah dia lakukan. Begitu ada kesempatan, dia meneggelamkan teman kita,” bisik seseorang. Dia bicara cukup keras sehingga bisa aku dengar saat kami melewatinya.
“Katelia juga yang salah. Dia nekat melawan gadis gendut itu. Jelas saja dia kalah saat satu lawan satu,” ucap yang lain. Aku mengepalkan tinjuku mendengar hinaan itu. Aku memang tidak segemuk Amarilis, tetapi aku jauh lebih kuat darinya.
“Biar aku yang daftarkan, kamu bawa dia untuk diperiksa,” kata tante Theo dengan lembut ketika kami memasuki ruangan dengan banyak bilik itu.
Pemuda itu menurut. Dia membawa aku ke bagian dalam UGD diantar tatapan sinis teman-teman. Seorang perawat menunjuk ke bilik yang masih kosong. Aku diminta untuk menunggu sampai dokter datang. Theo hanya diam saat dia menemani aku di dalam bilik.
Aku tidak mendengar suara Mama. Apa tubuhku tidak dibawa ke sini? Apa yang terjadi sampai aku bisa ada di tubuh gendut dan lemah ini? Yang aku ingat hanyalah cahaya yang menyilaukan. Lalu aku terbangun di tepi danau. Tubuhku berbaring tidak jauh dariku, sedangkan aku berada di badan ini.
“Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?” Seorang pria memakai baju serba putih memasuki bilik bersama seorang perawat.
“Dia tenggelam di danau, Dokter. Kami berhasil menyelamatkan dia, tetapi untuk memastikan dia baik-baik saja kami membawanya ke sini,” kata Theo, menjawab pertanyaannya.
“Baik. Kita periksa kondisi fisik terlebih dahulu, ya.” Dia memasang stetoskopnya, lalu mendekati aku.
“Di mana teman yang ikut tercebur bersamaku, Dokter? Namanya Katelia,” tanyaku tidak sabar.
“Gadis itu sedang berada di ruang ICU. Semoga saja dia selamat seperti kamu.” Dia meminta aku membuka mulut, lalu memeriksa keadaannya. “Baik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi fisik yang bisa dilihat oleh mata. Hanya ada sedikit masalah pada paru-paru. Mungkin kemasukan air saat bernapas lewat hidung di danau.”
Dokter itu memberi anjuran untuk beristirahat dan menjaga pola makan, serta resep obat yang perlu aku minum. Aku tidak mencurigai apa pun sebelumnya. Sesak yang aku rasakan semula aku pikir karena tubuh gemuk ini. Ternyata akibat ada cairan pada paru-paru.
“Di mana anak itu?” Terdengar suara Mama. Akhirnya! Aku berdiri dan melihat penuh harap ke arah tirai bilik. Mama pasti bisa mengetahui sifat putrinya sendiri. Tidak seperti teman-temanku yang aku pikir adalah sahabat baikku. “Di mana perempuan yang sudah membunuh putriku itu!?”
Orang yang sudah membunuh putri Mama? Apa maksudnya? Apa aku tidak salah dengar? Oh, Tuhan. Apakah terjadi sesuatu pada tubuhku?
Jantungku berdebar dengan keras. Tidak. Aku pasti salah menyimpulkan. Tidak mungkin Amarilis mati dalam tubuhku. Iya. Pasti bukan itu maksud Mama. Mungkin dia hanya marah seperti yang teman-teman lakukan. Mama tidak akan kesal setelah tahu siapa aku.
Tirai bilik di mana aku berada terbuka dengan kasar. Wajah itu akhirnya berada di depanku. Mama yang sangat menyayangi aku dan memberikan apa pun yang aku minta. Wanita yang selalu ada di pihakku ketika dua saudara laki-lakiku menggoda aku.
“Pembunuh!!” Dia mendekat dengan cepat, lalu menarik kerah kausku. “Mengapa kamu menarik putriku ikut tenggelam ke danau!? Hah!? Mengapa!? Apa salahnya kepadamu!!? Kalau mau mati, mengapa tidak mati sendiri saja?? Mengapa kamu membunuh putriku juga!!?”
“Pembunuh!!” Dia menampar pipiku dengan keras. Theo dan dokter segera menjauhkan dia dari aku. “Mengapa kamu bisa selamat!? Mengapa bukan kamu yang mati!? Kembalikan putriku!! Kembalikan dia!! Lepaskan aku! Gadis ini perlu diberi pelajaran!!”
Seluruh tubuhku gemetar dengan hebat. Rasa sakit akibat tamparan itu tidak seberapa dibandingkan dengan tatapan penuh luka pada mata Mama. Jantungku berdebar kencang memekakkan telingaku. Apa aku tidak salah dengar? Kata Mama, aku sudah mati? Benarkah tubuh di mana Amarilis berada sudah meninggal?
Tidak. Ini tidak benar. Aku harus melakukan sesuatu. Mama masih berteriak meluapkan emosinya, maka aku berlari melewatinya menuju ruang ICU. Amarilis tidak boleh mati! Gadis gendut yang bodoh itu tidak bisa melakukan ini kepadaku! Dia tidak boleh mati!
“Suster! Suster, di mana tubuh Amarilis, ah, maksudku, di mana tubuh Katelia??” tanyaku kepada suster jaga di depan ruangan itu.
“Sudah dibawa ke kamar mayat untuk dimandikan,” jawabnya dengan enteng. Dia masih sibuk dengan kertas yang ada di hadapannya.
“Tidak. Dia belum mati. Kalian harus menolongnya. Cepat, suruh mereka kembali ke sini! Dia belum mati, Suster!” Aku memukul-mukul meja, menarik perhatiannya.
Dia mengangkat kepalanya dari kertas-kertas itu. “Ah, kamu pasti temannya.” Dia memasang wajah sedih. “Aku tahu berita ini berat bagimu. Maafkan aku, tetapi gadis itu sudah meninggal. Kami sudah berusaha sekeras mungkin. Sayangnya, dia tidak tertolong lagi.”
“Kalian salah! Dia belum mati!” seruku panik. Kepalaku mendadak kosong, tidak tahu harus berbuat apa. “Cepat, bawa dia kembali ke sini! Aku tahu bagaimana cara membuat dia pulih lagi!” Aku tidak tahu harus melakukan apa, tetapi aku bisa pikirkan nanti.
“Dik, teman kamu sudah tiada. Sebaiknya kamu pulang atau temani dia di rumah duka. Kami bukan Tuhan yang bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Kami hanya tenaga medis,” katanya lagi dengan nada simpatik.
“Apa yang lo lakukan di sini?” tanya seseorang dari sebelah kiriku. “Gue baru tahu lo peduli dengan Katelia. Dia sudah meninggal, Mar. Tidak ada lagi yang bisa lo lakukan.”
“Pembunuh! Kamu akan masuk penjara dan mati di sana! Lihat saja! Aku tidak akan diam sampai kamu masuk penjara!” seru Mama yang juga ikut datang mengikuti aku.
Beberapa teman sekelas dan guru juga berdiri di dekatnya. Mereka menatap aku dengan berbagai ekspresi sampai kepalaku pusing melihatnya. Tidak pernah ada orang yang mengasihani, menuduh, atau merendahkan aku dengan mata mereka, tetapi pandangan itu kini ditujukan kepadaku.
Kakiku tidak kuat lagi menahan beban tubuhku sehingga aku terduduk di lantai. Amarilis meninggal, lalu bagaimana dengan aku? Ini bukan tubuhku. Apa aku akan hidup seperti ini selamanya? Sampai aku juga mati menyusul dia? Oh, Tuhan. Apa dosaku?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 219 Episodes
Comments