“Sayang?” Seseorang berlutut di dekatku. “Oh, Tuhan, terima kasih.” Wanita itu memeluk tubuhku, lalu mengusap-usap kepalaku. “Syukurlah, kamu baik-baik saja.”
“Apa ada yang sakit, Nak?” tanya seorang pria yang berlutut di sisi kananku. “Mengapa kamu duduk di lantai yang dingin ini? Ayo, kita duduk di bangku.”
Aku menurut ketika mereka mengangkat lenganku dan membawa aku ke kursi terdekat. Mereka yang menuduh aku sesuka mereka sudah pergi melihat jasadku. Hanya Theo yang masih berada di dekatku, tetapi tidak mengatakan apa pun setelah aku menolak untuk duduk di kursi.
Hatiku hancur berkeping-keping mendengar semua orang menuduh aku telah membunuh diriku sendiri. Namun itu tidak seberapa dibandingkan hilangnya semangat hidupku, karena harus berada di tubuh ini seumur hidup. Dia pasti akan mati muda karena tidak pernah menjaga kesehatan. Hilang sudah semua rencana masa depan yang telah aku susun dengan baik.
“Mengapa dia seperti ini? Apa dia kehilangan pendengaran setelah jatuh ke danau?” tanya wanita itu kepada Theo. “Mengapa dia diam saja?”
“Mungkin sedang terguncang, Tante. Semua orang tadi memarahi dia karena sudah menyebabkan Katelia meninggal,” jawab Theo pelan.
“Orang-orang kurang ajar! Putriku sangat baik, dia tidak akan bisa menyakiti siapa pun.” Wanita itu menggeram kesal. Dia kemudian menatap dan membelai pipiku. “Ayo, kita pulang saja. Temanmu sudah mengambilkan obat, kamu istirahat di rumah juga pasti sembuh.”
Aku dan wanita itu pulang menggunakan taksi, sedangkan suaminya mengendarai sepeda motor tua milik mereka. Tidak punya tempat tinggal lain, aku terpaksa menurut. Ketika melihat rumah kecil mereka, aku hanya bisa meringis dalam diam. Setidaknya, ini lebih baik daripada tidur di jalan.
Yang membuat aku bisa bertahan lama berada di rumah itu adalah aroma kue. Wangi yang sama dengan kue yang Amarilis bawa ke sekolah. Dia menitipkan kue itu ke kantin dan selalu habis dibeli oleh siswa maupun guru. Kue yang beberapa kali aku borong hanya untuk diinjak-injak di depannya.
“Istirahatlah. Aku akan membuatkan sup ayam untukmu.” Wanita itu menyelimuti tubuhku, lalu keluar dari ruangan. Aku hanya bisa bengong menatap langit-langit kamar.
“Nak.” Pintu kamar dibuka dan pria tadi masuk dengan telunjuk di depan bibirnya. “Ini ada makanan kesukaan kamu. Jangan sampai mamamu tahu. Makanlah.”
Aku melihat sebungkus makanan yang dibawanya. Dia membantu aku duduk, lalu memberikan plastik yang berisi kotak. Aku membukanya dan ada beberapa potong ayam goreng di dalamnya. Ini adalah makanan kesukaan Amarilis? Pantas saja dia gemuk begini.
Namun aku tidak bisa memilih-milih makanan, apalagi aku baru sadar bahwa aku tidak makan apa pun sejak jatuh ke danau. Aku segera melahap semua ayam itu. Tidak peduli berapa yang aku santap, aku tidak berhenti sampai kotak itu hanya berisi tulangnya.
“Bagus. Ayo, kembali berbaring. Mamamu sebentar lagi pasti datang.” Dia menyalakan obat nyamuk bakar untuk menghilangkan aroma ayam goreng tadi.
Aku baru saja menutup mata ketika pintu kamar terbuka dan seseorang masuk. Apa lagi yang mau diberikan ayah Amarilis kepadaku? Saat membuka mata, aku malah bertemu pandang dengan seorang laki-laki yang masih muda.
Dia meletakkan telunjuknya di depan bibirnya. “Aku bawa makanan kesukaan Kakak.” Makanan lagi? Dia menyelipkan sesuatu di balik selimutku. “Jangan makan sekarang. Nanti saja setelah makan sup buatan Mama.” Dia melihat ke kanan kiri, lalu keluar dari kamar.
Wanita itu datang membawa sebuah baki. Dia menyuapi aku makan sepiring nasi dan semangkuk sup ayam. Rasa masakannya lumayan, walau tidak seenak buatan kokiku di rumah. Aku terkejut tubuhku sanggup menghabiskannya setelah makan satu kotak ayam goreng.
“Nah, istirahatlah. Kalau kamu perlu sesuatu, panggil aku, ya.” Dia membelai pipiku dengan sayang.
Air mata mengancam keluar dari mataku. Merasakan kasihnya, aku merindukan Mama. Walau aku ada dalam tubuh Amarilis, keluarganya bukan keluargaku. Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa kembali kepada keluargaku?
Meskipun orang-orang mendorong badanku dan menolak aku menghadiri pemakaman tubuhku sendiri, aku tidak menyerah. Aku melihat penguburan jasadku yang didiami Amarilis dari jauh. Papa, Mama, dan kedua kakakku menangis mengiris jantungku.
Mereka memanggil namaku dengan lirih sampai semua orang yang hadir ikut menangis. Padahal yang mereka panggil ada di sini, bukan di sana. Aku masih hidup, selamat dari insiden itu. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap kali aku mencoba untuk mendekat, mereka menolak aku dan meneriaki aku pembunuh.
“Kamu puas sekarang?” Tanpa aku sadari, Chika berdiri di sisiku. Dia mendorong tubuhku dengan keras, tetapi aku bergeming. “Apa kamu puas sudah membunuh Katelia?”
“Aku tidak membunuh dia, Chika,” kataku, lelah dengan semua tuduhan salah sasaran itu.
“Kamu tidak membunuhnya??” Rahma mendorong dari sebelah kananku. “Heh, kami semua melihat kamu menarik tangan Kat sampai dia ikut tenggelam ke danau. Jadi, kamu yang membunuhnya!” Dia menusuk-nusuk bagian atas dada kananku dengan telunjuknya.
“Aku tidak—” Bagian belakang lututku ditendang sehingga aku jatuh di atas kedua lututku. Sakitnya luar biasa. Belum sempat mengerti apa yang sedang terjadi, kedua tanganku dipegang dan aku dipaksa untuk telentang. Kakiku sampai terasa sakit karena masih tertekuk.
“Penjahat! Pembunuh!” Chika duduk di atas perutku dan menampar kedua pipiku dengan keras secara bergantian. “Mati kau! Mati dan masuk neraka! Di sana tempat untuk pembunuh!!”
Tubuh lemah ini hanya ukurannya saja yang besar. Aku tidak bertenaga sehingga tidak bisa menarik kedua tanganku dari pegangan kuat Rahma dan Nisa. Kalau wajahku dipukul terus, muka yang sudah jelek ini bisa semakin hancur. Belum lagi rasa sakitnya adalah hal yang baru bagiku. Aku tidak pernah merasakan fisikku disakiti sehebat ini untuk kesekian kalinya.
“Hei, apa kalian sudah gila??” Chika diangkat dengan paksa dari atas tubuhku. “Lepaskan dia! Sudah cukup kalian menyakiti dia! Katelia mati bukan kesalahannya!”
Lagi-lagi Theo menolong aku. Ketiga gadis itu menatap aku dengan mata tajam. Pipiku berdenyut merasakan tamparan yang bertubi-tubi tadi. Mengapa orang-orang tidak pernah mau memberi aku kesempatan untuk bicara? Aku berulang kali berusaha memberi tahu semua orang akulah Katelia.
“Kalian sebaiknya bertobat sebelum menyusul Katelia. Dia mati karena sering menyakiti Amarilis.” Kalimat itu menusuk jantungku sangat dalam.
Itukah alasannya? Aku selamat dan hidup dalam tubuh Amarilis karena kejahilanku? Jadi, aku akan hidup selamanya dalam tubuh gendut, jelek, dan lambat ini? Ya, ampun. Masa depanku hancur. Aku tidak mau semua impian dan rencana yang sudah aku susun jadi berantakan begini.
Tunggu. Masa depanku belum rusak. Bila ini sudah menjadi jalan hidupku, maka aku tidak mau gendut, miskin, dan bodoh sampai mati. Aku tidak akan membiarkan kutukan ini menang. Akulah yang menentukan nasibku. Aku punya keluarga yang sayang kepadaku, itu saja sudah cukup. Pasti ada jalan untuk mengubah nasibku.
“Bangun, anak malas!” Aku merasakan sebuah pukulan keras di kepalaku. “Cepat bawa kue ke kantin! Kita tidak akan bisa makan sampai akhir pekan kalau kamu hanya tidur!”
“Sekolah libur, Ma. Untuk apa aku bawa kue ke kantin?” Aku mengusap-usap kepalaku. Beberapa hari terakhir wanita ini sangat baik. Mengapa dia mendadak bersikap kasar kepadaku?
“Hanya kelas tiga yang libur. Adik-adik kelasmu, ‘kan, tetap masuk. Cepat, pergi!” Dia menarik aku sekuat tenaga agar bangun dari tempat tidur. Dasar Amarilis lemah, aku kalah kuat dari mamanya.
Aku menaiki sepeda membawa kue dalam wadah besar di keranjang depan. Satpam menyapa aku dengan ramah. Aku hanya tersenyum seadanya. Setelah memberikan semua kue itu dan menerima uang dari ibu penjaga kantin, aku bergegas pergi.
Melihat ada pengumuman membutuhkan karyawan di sebuah swalayan mini, aku segera berhenti, dan memasukinya. Bukannya mendapatkan kabar baik, mereka langsung menolak karena tubuhku gendut. Sial. Untuk apa harus bertubuh langsing kalau hanya mengangkat barang? Swalayan bodoh!
“Dik, kamu sebaiknya berkaca. Tokoku memang kecil, tetapi aku tidak akan bisa menarik pelanggan kalau pegawaiku gendut dan jelek begini,” ejek pemilik toko berikutnya. “Sana pergi! Bisa-bisa aku tidak dapat rezeki hari ini karena kedatanganmu.” Dia mendorong tubuhku dengan kasar.
Kalau pekerjaan rendah saja butuh badan ramping dan wajah cantik, kapan aku bisa mendapatkan uang? Mustahil bisa mengubah badan ini dalam sekejap. Biaya kuliah tidak murah. Karena itu, aku tahu Amarilis hanya belajar sampai SMU. Mamanya galak, jadi aku tidak akan bisa meminta uang darinya. Lulusan SMU bisa apa? Aduh, aku harus bagaimana sekarang?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 219 Episodes
Comments