Aku Single Mom
" Mal, aku hamil!" Ucapku siang ini di pinggir danau.
Pria bernama Akmal yang sedang berdiri di sampingku menatap tajam kearah ku.
" Aku hamil!" Ulang ku lagi lebih keras.
" Terus?" Tanyanya acuh.
" Kamu harus tanggung jawab." Ucapku lagi.
" Gak bisa, kita masih sekolah." Ucapnya tegas.
" Maksudmu?" Aku pura-pura tidak mengerti maksud pembicaraannya.
" Gugurkan!" Titahnya.
Aku menarik kerah bajunya, " dasar pecundang! Ini anak mu. Kamu mau lari dari tanggung jawab?"
Ia menghempaskan tanganku," Wanita murahan, tidak pantas untukku. Aku masih punya cita-cita yang ingin ku gapai. Bisa jadi dia bukan anakku." Ucapnya sinis.
" Kamu bilang ini bukan anakmu? Kamu ingat? Kamu yang merenggut keperawanan ku malam itu." Aku kembali mengingatkan momen manis saat kami merasakan surga dunia di sebuah rumah kosong.
" Maaf, aku gak bisa tanggung jawab." Ia berlalu meninggalkanku sendiri di pinggir danau ini.
Aku mengejarnya, namun aku kalah cepat oleh langkah kakinya yang panjang.
Mobil putih sport milik Akmal sudah menjauh.
Aku menangis bersama turun hujan yang jatuh sore ini. Alam seolah ikut bersedih meratapi kesialan nasibku.
Sudah dua jam aku duduk di pinggir danau ini. Baju ku sudah basah karena hujan yang deras. Air mataku belum mau berhenti, bahkan mataku sudah terasa bengkak karena terlalu lama menangis. Danau ini selalu sepi, dulu hanya aku dan Akmal yang sering berkunjung kesini.
Sayup-sayup terdengar suara adzan, yang menandakan bahwa hari sudah hampir magrib. Aku berjalan terseok-seok menyusuri jalan setapak yang sedikit becek karena guyuran air hujan tadi.
Jika berjalan kaki, butuh waktu lima belas menit untuk sampai di rumah. Sesekali aku mengusap pipiku yang basah. Badanku seperti menggigil karena kedinginan. Tak pernah kubayangkan jika takdir hidupku akan seperti ini.
Namaku Salsabila, biasa ibu dan ayah memanggilku Salsa. Aku anak pertama dan adikku yang kedua namanya Zaskia berumur dua belas tahun.
Ayahku adalah seorang buruh kasar, semua pekerjaan yang menghasilkan uang selalu ia kerjakan. Sedang ibu, ia hanya ibu rumah tangga.
Tak terasa aku sudah sampai di depan rumah, Ayah sedang duduk santai di teras rumah sambil menikmati segelas kopi disampingnya.
" Assalamu'alaikum..." Aku mengucapkan salam.
" Dari mana jam segini baru pulang?" Tanya ayah.
" Dari kerja kelompok,yah." Jawab ku bohong.
Aku buru-buru membersihkan diri, selanjutnya aku masuk kekamar dan mengurung diri di ruangan kecil ini.
Aku meraih ponsel yang dari tadi tersimpan di dalam tas. Mencari nama Akmal, mencoba menelponnya. Berharap hatinya luluh. Namun nomornya sudah tidak bisa di hubungi, nyatanya nomor ku sudah di blokir.
" Akmal! Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi ini. Bagaimana jika nanti perutku membesar?
Tega banget sih kamu sama aku." Aku mulai berbicara sendiri, namun mengecilkan volume suara ku karena takut di dengar oleh ayah dan ibu.
Aku berusaha menghubungi teman-teman Akmal, tapi mereka sama saja, tidak ada yang mau mengangkat telpon dariku.
Aku terduduk di tepi ranjang. Meletakan ponsel di atas meja. Aku meluruskan kakiku, mengurutnya pelan-pelan.
Hari ini bukan hanya kaki ku yang lelah, namun hatiku pun tak beda jauh.
Apa yang harus ku lakukan??? Aku memukul kepalaku sendiri karena tak menemukan solusi atas masalahku sendiri.
Tok..tok..tok..
" Sal? Sudah tidur?" Ada panggilan dari luar, sepertinya itu suara ibu.
Aku membuka pintu, ada wajah teduh ibu di depan pintu kamarku.
" Ada apa, bu?" Tanyaku.
" Uda makan?" Tanya ibu.
Aku hanya mengangguk, gugup rasanya untuk berbohong. Bagaimana aku bisa makan, jika melihat makanan saja rasanya aku seperti ingin muntah.
" Ya sudah, kamu lagi ngerjain tugas?" Ibu melongok kedalam kamarku.
" E- i ya,bu." Jawabku singkat.
Tanpa banyak kata ibu meninggalkanku sendiri. Aku masih terpaku menatap punggung ibu yang sedikit membungkuk.
" Ya Allah, maafkan hambamu ini.." kembali air mataku menetes.
****
Aku sudah siap mengenakan seragam sekolah. Berkali-kali aku mematut tampilanku di cermin. Memperhatikan perutku yang masih rata. Aku juga sedang mencari cara agar bisa terhindar dari acara sarapan bersama keluarga.
" Mbak, di panggil ibu." Zaskia mengagetkanku.
Belum sempat aku menjawab, ia sudah kabur dari kamarku.
Aku mengambil tas, kemudian berjalan ke ruang makan. Ayah, ibu juga Zaskia sedang asyik menikmati sarapannya pagi ini.
Aku hanya terpaku menatap mereka yang begitu lahapnya menikmati nasi putih yang masih mengepul dengan lauk sambal telur.
Aku menutup mulutku. Jangan sampai aku muntah didepan ibu dan ayah.
" Sa, kenapa hanya berdiri di situ? Ayo segera sarapan! Lihat sudah hampir jam tujuh." Ibu menghentikan makannya dan mengambil piring untukku.
" Bu... Aku bawa bekal saja. Hari ini ada jadwal piket." Ucapku beralasan.
" Bu, segera buatkan bekal untuk Salsa, takutnya nanti terlambat." Perintah ayah.
Tanpa membuang waktu ibu segera mengisi nasi beserta lauk kedalam bekal nasi.
Aku berpamitan pada mereka berdua.
Ku langkahkan kaki menuju gedung sekolahku yang hanya berjarak lima ratus meter dari rumahku.
Aku tidak seperti biasanya. Keringat membasahi bajuku. Badanku pun terasa lemas.
Dengan susah payah akhirnya aku bisa sampai di sekolah.
Untuk melepas lelah, aku menjatuhkan badanku di kursi panjang. Aku memandang deretan sepeda motor yang terparkir rapi. Salah satunya adalah sepeda motor milik Akmal.
Rasa lelah yang dari tadi melanda seketika hilang hanya karena mengingat namanya saja.
Aku berjalan kearah kelas dua belas ipa 1.
Akmal adalah salah satu siswa terpandai di sekolah ini. Hingga membuat aku jatuh cinta padanya.
Jadi ketika tiba-tiba Akmal menyatakan cinta padaku, tanpa membuang waktu aku langsung menerimanya.
Ada keraguan untuk masuk kedalam kelas ipa ini. Tapi demi janin yang butuh pertanggungjawaban Akmal, ku bulatkan tekad ku.
Aku berdiri di depan pintu kelas Akmal. Ia sedang asyik bercengkrama dengan beberapa teman cowok dan ceweknya.
Aku masih terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Hingga seorang temannya yang ku kenal bernama Syam menyenggol Akmal.
Syam menunjuk kearah ku. Wajah Akmal yang semula tersenyum ramah dengan teman-teman seketika berubah bete saat menatapku.
Ia menatapku sinis. Beberapa temannya masih asyik menggoda kami. Dengan langkah berat Akmal berjalan ke arahku.
Wajahnya pagi ini seperti bukan wajah Akmal yang ku kenal beberapa bulan lalu. Wajah itu, seperti wajah durian yang penuh duri. Tidak ada senyum sama sekali. Kemana wajah riang itu Akmal?
Kini kami sudah saling berhadapan,
" Mau apa?" tanyanya jutek.
Sakit semalam saja belum sembuh, kini ia menabur garam lagi di luka itu. Aku berusaha menahan tangis. Jangan sampai air mataku nanti mengundang tanya orang yang melihat kami.
Dengan bibir bergetar, " Kita butuh bicara Akmal." Ucapku penuh penekanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Lina Aulia Hikmah
akad aja akadd 😁
2023-09-05
3
Hasrie Bakrie
Assalamualaikum ijin mampir ya thor 💪
2023-09-01
2
Fiza Chelsea
masih nyimak ☺️
2023-09-01
2