ABOUT YOU 1998
...︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽...
...CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA, MOHON MAAF JIKA ADA KESAMAAN YANG HADIR TANPA DISENGAJA....
...INI HANYA CERITA FIKTIF JADI JANGAN SAMPAI TERBAWA KE DUNIA NYATA....
...SEKIAN TERIMAKASIH....
...______________________________________...
...—H A P P Y R E A D I N G—...
...______________________________________...
HEMBUSAN angin menerbangkan setiap kenangan yang sudah terkubur, bersama mimpi dan gemerisik daun mengalun dengan lembut membawa jiwanya terus menyelami pada setiap cuplikan masa lalu. Menyeret kaki lemahnya sambil terus menatap lurus pada terowongan dimensi waktu yang berhasil membuat gemelatuk giginya terdengar, serta bibir pucat dengan buliran air mata dan keringat yang nampak berbaur. Ia mematung, mendapati seorang pria di ujung lorong menantinya dengan seutas senyum dan sebuah uluran tangan yang terasa hangat dalam kenangannya.
Mimpi buruk. Sebuah peringatan yang otaknya kirimkan enggan menyadarkannya untuk kembali pada kenyataan. Rasa hangat atas kerinduan yang menumpuk itu berhasil membuat sudut bibirnya terangkat. Dengan gerakan cepat kakinya melangkah, hampir berlari mendekati seseorang yang berhasil membuatnya menampung kerinduan begitu dalam.
Semakin dekat jarak diantara mereka, semakin sesak baginya, air mata yang tanpa izin mengalir itu sulit untuk ia pahami. Ia tetap berusaha, mendekat meski kakinya mulai mati rasa, ia menyerah merangkak mengejar alasannya untuk terus tersenyum.
Tapi, tak lama senyum indah itu luntur, bersama tangis yang kali ini terdengar memilukan, menggema memenuhi heningnya terowongan. Pria itu tak sendiri, diujung lorong diterangi cahaya temaram seorang wanita tampak berdiri disamping pria yang ia cintai bersama gadis kecil dalam dekapan pujaan hatinya. Suara tawa mereka menggema, seolah menertawakan nasib suramnya. Nasib seorang wanita 20 tahunan yang rela merangkak hanya untuk mengejar cinta yang nyatanya tak pantas ia perjuangkan.
“HAH!” seorang wanita tampak membuka matanya dengan lebar, bersama nafas yang menggebu dan bulir keringat sebesar biji jagung.
Ia memegangi dadanya, mengatur nafas untuk menyadarkan diri. “mimpi buruk itu lagi,” lontarnya tak percaya.
Lagi dan lagi mimpi sialan dengan alur yang sama itu terus menerus merusak ketenangan hidupnya.
Mengambil nafas yang dalam ia terdiam merasakan semilir angin yang datang dengan lembut, menerbangkan daun-daun yang gugur begitu saja berpindah ke tempat lain. Membawa setiap rasa dengan sensasi senyuman yang berbeda.
Ia mengusap sisa air mata di pipinya menyisakan wajah sembab yang menghiasi wajah cantiknya, wanita itu terpaku meresapi sopannya angin yang datang membelai lembut wajahnya.
Mengenggam dengan erat sebuah kertas ditangannya hanyalah jalan akhir yang dapat ia peroleh. Sebelum menggadah menatap bersihnya langit tanpa sapuan awan.
Sudut bibirnya terangkat, bersama air mata yang berhasil tertahan. Tawanya terdengar, begitu lirih, begitu menyayat hati.
Kembali menurunkan kepalanya ia menyugar rambutnya frustasi. Tentang pikiran penuh yang menghantui otaknya, tentang ribuan pemikiran dan rancangan yang terasa tak akan menjadi sebuah kenyataan.
Ia tertegun. Sentuhan jemari kecil seseorang berhasil membuat kekhawatirannya melebur.
"Kenapa kamu menangis?" suara kecil itu adalah pembuka, sebuah awal dimana ia mendapati gadis cantik dengan sorot mata lembut tersenyum tulus kearahnya.
"Jadi, kenapa kakak menangis?" ulangnya lagi.
Ia memilih tak menjawab, menatap netra gadis kecil itu dalam. Tanpa sadar, bendungan air mata yang berhasil ia bangun, jebol saat itu juga.
Gadis kecil itu membawanya dalam dekapan, menepuk pelan punggung wanita dewasa dalam dekapan tangan kecilnya.
"Jangan nangis Sweety, i'm here for you."
Wanita itu tertegun, sebelum menyamankan posisinya begitu dalam seolah kembali menemukan tempatnya untuk pulang. “Menangislah, tidak akan ada orang yang mengatakan dirimu lemah,” ucap gadis itu seolah sihir penenang.
Tangisnya mulai mereda, lebih tepatnya rasa malu yang begitu besar memaksanya untuk menghentikan kegiatannya untuk menangis.
“Sudah merasa baikkan?” tanya sang gadis kecil membuat wanita itu menganggukkan kepalanya dengan pelan.
“Aku belum pernah dewasa, tapi kata Papa seseorang berhak menangis, apapun itu alasannya.”
“Berapa umurmu?” tanya sang wanita dengan suara gemetar.
“Aku? Tahun ini aku berumur enam tahun, sebentar lagi akan masuk sekolah dasar dan bertemu dengan teman-teman!” jawabnya girang.
Senyuman simpul diberikan oleh wanita tersebut, sambil merapihkan surai rambut milik gadis kecil itu yang tertiup oleh angin. “Papamu pasti orang hebat,” puji sang wanita.
“He is my Superhero for me,” jawabnya penuh bangga.
“Kau juga hebat, empatimu is very amazing! Aku terkejut melihat tindakan maupun kata-katamu, terasa aneh jika hal itu diucapkan oleh gadis manis berumur enam tahun ini,” jelas sang wanita mencubit gemas hidung mungil gadis kecil dihadapannya.
Gadis itu tersenyum lebar, menatap lamat wajah lawan bicaranya. “Very pretty!”
“Who? Me?”
“Ya, kakak cantik sekali jika tersenyum, seperti melihat pelangi sehabis hujan, seperti itu gambaran aku melihat kakak,” ucap sang gadis kecil dengan serius.
“Kamu tau alasanku tersenyum? Alasan mengapa pelangi itu hadir saat hujan selesai dengan tugasnya?”
“Matahari!” sahut sang gadis kecil itu dengan semangat.
Wanita itu menjetikkan ibu jarinya, “Kamu benar, dan kaulah matahari itu!”
“Benarkah?”
“Iya, mungkin aku akan terus berlarut jika matahari yang menyamar sebagai gadis kecil ini tidak menghampiriku,” jawabnya. “Ngomong-ngomong siapa namamu?”
“Aku?”
“Ya, Your name.”
“Namaku An—”
“ANNIKA!!!!”
“PAPA!!!!” panggil Annika berlari menuju pria dewasa dengan wajah lelahnya.
Wanita itu bangkit berdiri, sedikit terkejut dengan siapa sosok yang gadis kecil bernama Annika itu panggil ‘papa’
“Where are you go, honey? Aku mencarimu?” ucapnya penuh kekhawatiran.
“I'm sorry Papa, tadi saat aku bermain aku lihat kakak itu menangis, jadi aku mendekatinya lalu menenangkannya seperti yang Papa lakukan saat aku menangis,” jelas Annika menggebu-gebu.
Pria itu tersenyum, seraya mengusap surai rambut milik Annika. “Hey Sweety, untuk kedepannya bisakah meminta ijin kepada Papa sebelum pergi?”
Dengan sedikit lesu Annika mengangguk sebelum memeluknya Papanya sambil terus melontarkan permintaan maaf.
“It's okay Annika, it's okay,” ucap pria tersebut memenangkan.
“Sorry?” panggil wanita itu membuat atensi pria dihadapannya mengalihkan fokusnya. “Hai Kak Fayyadh?”
Pria itu tertegun, menatap tak percaya wanita dengan senyum lembut yang dipermanis oleh dua gigi gingsul tersebut. “Nika? Hei, bagaimana kabar kamu? Sudah lama bukan kita nggak ketemu? Kamu kemana aja?” tanya Fayyadh tergesa-gesa.
“Tenang kak, tarik nafas, Nika nggak bakal pergi kok,” jelas wanita bernama Nika itu diakhiri tawa.
“She name is, Annika, allright?” tanya Nika penuh kehati-hatian.
Fayyadh mengangguk, membenarkan. “Sama seperti namamu.”
“Why?” tanya Nika tak mengerti.
“Sweety, kenalin, she is Aunty Nika. Kalian punya nama yang sama,” ucap Fayyadh berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Annika.
“Hai kak Nik—, maksud Annika, Hai aunty Nika, nama aku Annika!!!” seru Annika penuh semangat.
Nika tertawa. “Jadi, gadis manis penuh kejutan ini Annika.”
“Iya, Annika yang berart—”
“ANGGUN!” jawab Fayyadh dan Annika kompak.
“Nika masih nggak nyangka kak, kalau Annika kecil itu anaknya kakak,” jelas Nika menyembunyikan luka yang tak dapat ia jelaskan.
Fayyadh tersenyum kecut. “maaf atas kejadian enam tahun yang lalu Ka, saya benar-benar minta maaf.”
Nika menggeleng tersenyum lembut menatap Annika. Ia memejamkan matanya sejenak sebelum berani menatap penuh keyakinan manik mata meneduhkan milik Fayyadh.
“Mungkin saat itu adalah keputusan terbaik yang harus kak Fayyadh ambil, lagipula kejadian itu sudah lama berlalu, dan lagi Nika maupun Kak Fayyadh sudah memiliki kehidupan masing-masing bukan sekarang?”
“Tidak, Nika. Keputusan saya justru membuat hubungan kita semakin tidak karuan. Kepergian kamu yang semakin membuat saya tertekan untuk mencari cara bagaimana saya harus menjelask—”
“Kak Fayyadh, Nika mohon sama kakak untuk jangan pernah bahas lagi ya kak? Untuk sekarang Nika belum siap dengar semua penjelasan kakak, waktunya Nika rasa kurang pas,” jelas Nika memotong.
Menghembuskan nafas dengan berat Fayyadh mengangguk, seolah mengerti akan sikap Nika yang selalu teringat dalam ingatannya.
“Hai, Annika. Kenapa kamu ada dirumah sakit ini? Menjenguk seseorang?” tanya Nika berjongkok menemani Annika yang tampak serius memperhatikan kupu-kupu.
Annika menggeleng. “Aku kesini untuk Check Up, Papa bilang, supaya aku bisa sekolah aku harus berkunjung ke dokter Arsa.”
“Jadi, kenapa dengan Annika kak?” tanya Nika menengok ke arah Fayyadh.
“Bisa kita mengobrol di tempat yang nyaman Nika? Saya rasa hujan sebentar lagi akan turun,” jelas Fayyadh membuat Nika dengan enggan menuruti ucapan pria dari masa lalunya tersebut.
“Annika, ayo kita masuk, berbincang dengan Aunty Nika sebelum bertemu dengan dokter Arsa,” ajak Fayyadh.
Gadis kecil itu mengangguk, bangkit berdiri dan mengenggam tangan milik Nika. Sementara, Nika hanya bisa tertegun mendapati perlakuan tiba-tiba yang diberikan Annika untuknya. “Maaf, Annika selalu seperti itu saat bersama dengan Priya, kamu masih ingat dengan Priya?”
“Tidak mungkin jika aku melupakan sahabatku semasa kuliah dulu bukan Kak Fayyadh?”
“Benar juga!”
“Aunty Nika kenal dengan Aunty Priya?” tanya Annika.
Nika mengangguk. “Karena Aunty-mu aku dan Papamu bertemu.”
“Berarti Aunty Nika sahabat Papa juga? Sama seperti Aunty Nika yang bersahabat dengan Aunty Priya?”
“Y-ya jika bisa disimpulkan secara garis besar seperti itu, benar bukan Kak Fayyadh?” ujar Nika membubuhkan sedikit senyum terpaksa diwajahnya.
Fayyadh terdiam, ia menyadari dengan jelas sorot mata milik Nika yang tampak berbeda. Ia mematung, sepertinya karenanya lah Nika terluka begitu dalam.
“Kamu mau pesan apa Nika?” tanya Fayyadh ketika mereka sudah terduduk di salah satu kursi di kantin rumah sakit.
Nika terdiam cukup lama sebelum akhirnya Fayyadh berbicara. “Bagaimana dengan Mie Ayam?” tawar Fayyadh. “Dulu, setiap kali makan sama saya bukannya kamu selalu request buat cari tempat makan mie ayam?”
“Oh, boleh,” lirih Nika.
“Jadi, kamu mau apa Annika?” tanya Fayyadh tersenyum lembut ke arah gadis kecil di sampingnya.
Sementara Annika tampak menimang memilih dengan teliti serta membaca deret menu disalah satu stand dengan serius. Annika menatap manik mata Fayyadh sebelum keduanya berujar, “Spaghetti!!!” ucap mereka kompak.
Suara tawa Annika terdengar, bersama Fayyadh yang dengan gemas mengusap kepala anaknya tersebut. Dari arah belakang Nika hanya melihat, enggan untuk bergabung, dalam benaknya sesuatu yang berat terasa menyakitkan untuk ia bayangkan.
“Annika, bisa kamu duduk disana sama Aunty Nika?” tanya Fayyadh melirik ke arah Nika yang tampak melamun. “Hei Nika, are you okay?”
Nika tersentak dari lamunannya, langsung menyunggingkan senyum penuh tanda tanya. “Aku akan membawa pesanan kita ke meja, bolehkah saya meminta tolong untuk mengajak Annika ke salah satu meja disana?” tanya Fayyadh menunjuk salah satu meja berwarna putih tersebut.
“Baiklah, Ayo Annika kita kesana!” ajak Nika mengenggam lembut jemari mungil milik Annika. “Annika?”
Gadis kecil yang sudah terduduk rapi di kursi itu mendongak, “Ada apa Aunty?”
“Where your Mom?”
“My Mama?” tanya Annika balik.
“Ya, Your Mama.”
Annika tersenyum, menatap lamat ke arah Nika. “In Heaven.” jawaban Annika berhasil membuat Nika termenung. Ia memandang tak percaya ke arah Annika yang malah tersenyum dengan ceria.
Nika masih tak percaya, ada apa dengan enam tahun yang sudah ia lewatkan untuk melarikan diri? Berapa banyak kejadian yang ia lewatkan untuk menjadi sosok yang pengecut?
“Nika? Annika? Nika? Hei!” panggil Fayyadh berusaha menyadarkan Nika dari lamunannya. “Are you okay?” tanyanya ketika melihat Nika sudah tersadar.
“You can share your problem to me,” ungkap Fayyadh khawatir.
Nika menggeleng. “Aku baik-baik saja, sungguh.”
“Apa kehadiran saya yang membuat suasana hati kamu rusak? Sepertinya iya. Saya minta maaf Nika, saya tidak bern—”
“Kak Fayyadh?” panggil Nika lembut, membuat tubuh Fayyadh membeku. Panggilan dengan intonasi yang selama ini selalu membekas dihatinya.
“Nika?”
“Iya kak?” tanya Nika binggung.
Fayyadh menatap Nika dalam, sebelum akhirnya pria itu memalingkan wajahnya ke arah lain, ia mengalihkan matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Aunty, Annika nggak bisa pakai sumpit,” ungkap Annika membuat Nika beralih fokus membantu gadis kecil itu.
Dalam diamnya, Fayyadh bersyukur bisa kembali bertemu dengan Nika setelah semuanya telah terjadi, ia bersyukur pencariannya selama ini membuahkan hasil dengan cara yang tak pernah ia sangka.
“Nika?” panggil Fayyadh setelah berusaha meyakinkan dirinya.
Nika menoleh, “ada apa kak?”
“Maaf, jika saya lancang, apa kamu sudah menikah? Atau kamu sudah memiliki pasangan?” tanya Fayyadh melirik sebuah cincin yang tampak telah usang melekat di jari manis milik Nika. “Cincin itu?”
“Seorang pria dulu pernah memberikan cincin ini kepada Nika, selagi masih bisa Nika pakai, Nika rasa Nika tidak harus melepasnya.”
Fayyadh tersenyum seolah sesuatu membanggakan telah menimpa dirinya. Sementara Nika menatap binggung ke arah Fayyadh yang masih melukiskan senyum miliknya. “Kak Fayyadh kenapa?”
“Terimakasih Nika, sekali lagi terimakasih telah memakai dan menjaga cincin itu,” ungkap Fayyadh. “Tapi, kamu belum menjawab pertanyaan saya.”
Nika menyatukan kedua alisnya, bingung. “Apa kak?”
“Maaf apa kamu sudah memiliki pasangan?”
“Maaf kak, bukannya terlalu lancang menanyakan hal itu?” tanya balik Nika tak nyaman.
“Karena itu saya minta maaf, Nika.” Fayyadh menghembuskan nafasnya dengan berat. “Ini tentang mamanya Annika.”
“Saya sudah tau kak,” jelas Nika memotong.
Fayyadh tersenyum. “Selama ini, saya selalu nyariin kamu Nika, selain untuk minta maaf saya juga ingin kamu jadi ib—”
“Nika?” sapa seseorang mengejutkan Nika yang tengah menatap serius ke arah Fayyadh.
Wanita itu mendongak mendapati seorang pria dengan jas putih membalut tubuhnya. “Arsa!”
Arsa tersenyum melihat kehadiran Annika yang tampak lahap mengunyah spagetti suapan Nika. Tapi, air mukanya langsung berubah melihat kehadiran Fayyadh bersama Nika.
“Dokter Arsa kenal dengan Nika?” tanya Fayyadh.
“Ya, saya kenal Nika melebihi siapapun,” jelas Arsa penuh penekanan. “Nika, bisa kamu tunggu saya di tempat biasa?” tanya Arsa lembut.
“Saya punya si cantik Annika disini, pasien saya, kamu bisa tunggu saya sebentar?” Nika mengangguk, sorot mata Arsa membuat Nika terdiam.
“Dokter Arsa, kekasih Nika?” Tanya Fayyadh sebelum Nika bangkit berdiri.
Arsa hanya tersenyum menatap Nika yang membungkam.
✄ - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - -02-04-23𖠄ྀྀ
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Liu Zhi
manisnya kata²mu, Dik
2023-04-22
1
abdan syakura
Mampir nih Thor....
2023-04-08
1