...︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽...
...CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA, MOHON MAAF JIKA ADA KESAMAAN YANG HADIR TANPA DISENGAJA....
...INI HANYA CERITA FIKTIF JADI JANGAN SAMPAI TERBAWA KE DUNIA NYATA....
...SEKIAN TERIMAKASIH....
...______________________________________...
...—H A P P Y R E A D I N G—...
...______________________________________...
HEMBUSAN angin menerbangkan setiap kenangan yang sudah terkubur, bersama mimpi dan gemerisik daun mengalun dengan lembut membawa jiwanya terus menyelami pada setiap cuplikan masa lalu. Menyeret kaki lemahnya sambil terus menatap lurus pada terowongan dimensi waktu yang berhasil membuat gemelatuk giginya terdengar, serta bibir pucat dengan buliran air mata dan keringat yang nampak berbaur. Ia mematung, mendapati seorang pria di ujung lorong menantinya dengan seutas senyum dan sebuah uluran tangan yang terasa hangat dalam kenangannya.
Mimpi buruk. Sebuah peringatan yang otaknya kirimkan enggan menyadarkannya untuk kembali pada kenyataan. Rasa hangat atas kerinduan yang menumpuk itu berhasil membuat sudut bibirnya terangkat. Dengan gerakan cepat kakinya melangkah, hampir berlari mendekati seseorang yang berhasil membuatnya menampung kerinduan begitu dalam.
Semakin dekat jarak diantara mereka, semakin sesak baginya, air mata yang tanpa izin mengalir itu sulit untuk ia pahami. Ia tetap berusaha, mendekat meski kakinya mulai mati rasa, ia menyerah merangkak mengejar alasannya untuk terus tersenyum.
Tapi, tak lama senyum indah itu luntur, bersama tangis yang kali ini terdengar memilukan, menggema memenuhi heningnya terowongan. Pria itu tak sendiri, diujung lorong diterangi cahaya temaram seorang wanita tampak berdiri disamping pria yang ia cintai bersama gadis kecil dalam dekapan pujaan hatinya. Suara tawa mereka menggema, seolah menertawakan nasib suramnya. Nasib seorang wanita 20 tahunan yang rela merangkak hanya untuk mengejar cinta yang nyatanya tak pantas ia perjuangkan.
“HAH!” seorang wanita tampak membuka matanya dengan lebar, bersama nafas yang menggebu dan bulir keringat sebesar biji jagung.
Ia memegangi dadanya, mengatur nafas untuk menyadarkan diri. “mimpi buruk itu lagi,” lontarnya tak percaya.
Lagi dan lagi mimpi sialan dengan alur yang sama itu terus menerus merusak ketenangan hidupnya.
Mengambil nafas yang dalam ia terdiam merasakan semilir angin yang datang dengan lembut, menerbangkan daun-daun yang gugur begitu saja berpindah ke tempat lain. Membawa setiap rasa dengan sensasi senyuman yang berbeda.
Ia mengusap sisa air mata di pipinya menyisakan wajah sembab yang menghiasi wajah cantiknya, wanita itu terpaku meresapi sopannya angin yang datang membelai lembut wajahnya.
Mengenggam dengan erat sebuah kertas ditangannya hanyalah jalan akhir yang dapat ia peroleh. Sebelum menggadah menatap bersihnya langit tanpa sapuan awan.
Sudut bibirnya terangkat, bersama air mata yang berhasil tertahan. Tawanya terdengar, begitu lirih, begitu menyayat hati.
Kembali menurunkan kepalanya ia menyugar rambutnya frustasi. Tentang pikiran penuh yang menghantui otaknya, tentang ribuan pemikiran dan rancangan yang terasa tak akan menjadi sebuah kenyataan.
Ia tertegun. Sentuhan jemari kecil seseorang berhasil membuat kekhawatirannya melebur.
"Kenapa kamu menangis?" suara kecil itu adalah pembuka, sebuah awal dimana ia mendapati gadis cantik dengan sorot mata lembut tersenyum tulus kearahnya.
"Jadi, kenapa kakak menangis?" ulangnya lagi.
Ia memilih tak menjawab, menatap netra gadis kecil itu dalam. Tanpa sadar, bendungan air mata yang berhasil ia bangun, jebol saat itu juga.
Gadis kecil itu membawanya dalam dekapan, menepuk pelan punggung wanita dewasa dalam dekapan tangan kecilnya.
"Jangan nangis Sweety, i'm here for you."
Wanita itu tertegun, sebelum menyamankan posisinya begitu dalam seolah kembali menemukan tempatnya untuk pulang. “Menangislah, tidak akan ada orang yang mengatakan dirimu lemah,” ucap gadis itu seolah sihir penenang.
Tangisnya mulai mereda, lebih tepatnya rasa malu yang begitu besar memaksanya untuk menghentikan kegiatannya untuk menangis.
“Sudah merasa baikkan?” tanya sang gadis kecil membuat wanita itu menganggukkan kepalanya dengan pelan.
“Aku belum pernah dewasa, tapi kata Papa seseorang berhak menangis, apapun itu alasannya.”
“Berapa umurmu?” tanya sang wanita dengan suara gemetar.
“Aku? Tahun ini aku berumur enam tahun, sebentar lagi akan masuk sekolah dasar dan bertemu dengan teman-teman!” jawabnya girang.
Senyuman simpul diberikan oleh wanita tersebut, sambil merapihkan surai rambut milik gadis kecil itu yang tertiup oleh angin. “Papamu pasti orang hebat,” puji sang wanita.
“He is my Superhero for me,” jawabnya penuh bangga.
“Kau juga hebat, empatimu is very amazing! Aku terkejut melihat tindakan maupun kata-katamu, terasa aneh jika hal itu diucapkan oleh gadis manis berumur enam tahun ini,” jelas sang wanita mencubit gemas hidung mungil gadis kecil dihadapannya.
Gadis itu tersenyum lebar, menatap lamat wajah lawan bicaranya. “Very pretty!”
“Who? Me?”
“Ya, kakak cantik sekali jika tersenyum, seperti melihat pelangi sehabis hujan, seperti itu gambaran aku melihat kakak,” ucap sang gadis kecil dengan serius.
“Kamu tau alasanku tersenyum? Alasan mengapa pelangi itu hadir saat hujan selesai dengan tugasnya?”
“Matahari!” sahut sang gadis kecil itu dengan semangat.
Wanita itu menjetikkan ibu jarinya, “Kamu benar, dan kaulah matahari itu!”
“Benarkah?”
“Iya, mungkin aku akan terus berlarut jika matahari yang menyamar sebagai gadis kecil ini tidak menghampiriku,” jawabnya. “Ngomong-ngomong siapa namamu?”
“Aku?”
“Ya, Your name.”
“Namaku An—”
“ANNIKA!!!!”
“PAPA!!!!” panggil Annika berlari menuju pria dewasa dengan wajah lelahnya.
Wanita itu bangkit berdiri, sedikit terkejut dengan siapa sosok yang gadis kecil bernama Annika itu panggil ‘papa’
“Where are you go, honey? Aku mencarimu?” ucapnya penuh kekhawatiran.
“I'm sorry Papa, tadi saat aku bermain aku lihat kakak itu menangis, jadi aku mendekatinya lalu menenangkannya seperti yang Papa lakukan saat aku menangis,” jelas Annika menggebu-gebu.
Pria itu tersenyum, seraya mengusap surai rambut milik Annika. “Hey Sweety, untuk kedepannya bisakah meminta ijin kepada Papa sebelum pergi?”
Dengan sedikit lesu Annika mengangguk sebelum memeluknya Papanya sambil terus melontarkan permintaan maaf.
“It's okay Annika, it's okay,” ucap pria tersebut memenangkan.
“Sorry?” panggil wanita itu membuat atensi pria dihadapannya mengalihkan fokusnya. “Hai Kak Fayyadh?”
Pria itu tertegun, menatap tak percaya wanita dengan senyum lembut yang dipermanis oleh dua gigi gingsul tersebut. “Nika? Hei, bagaimana kabar kamu? Sudah lama bukan kita nggak ketemu? Kamu kemana aja?” tanya Fayyadh tergesa-gesa.
“Tenang kak, tarik nafas, Nika nggak bakal pergi kok,” jelas wanita bernama Nika itu diakhiri tawa.
“She name is, Annika, allright?” tanya Nika penuh kehati-hatian.
Fayyadh mengangguk, membenarkan. “Sama seperti namamu.”
“Why?” tanya Nika tak mengerti.
“Sweety, kenalin, she is Aunty Nika. Kalian punya nama yang sama,” ucap Fayyadh berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Annika.
“Hai kak Nik—, maksud Annika, Hai aunty Nika, nama aku Annika!!!” seru Annika penuh semangat.
Nika tertawa. “Jadi, gadis manis penuh kejutan ini Annika.”
“Iya, Annika yang berart—”
“ANGGUN!” jawab Fayyadh dan Annika kompak.
“Nika masih nggak nyangka kak, kalau Annika kecil itu anaknya kakak,” jelas Nika menyembunyikan luka yang tak dapat ia jelaskan.
Fayyadh tersenyum kecut. “maaf atas kejadian enam tahun yang lalu Ka, saya benar-benar minta maaf.”
Nika menggeleng tersenyum lembut menatap Annika. Ia memejamkan matanya sejenak sebelum berani menatap penuh keyakinan manik mata meneduhkan milik Fayyadh.
“Mungkin saat itu adalah keputusan terbaik yang harus kak Fayyadh ambil, lagipula kejadian itu sudah lama berlalu, dan lagi Nika maupun Kak Fayyadh sudah memiliki kehidupan masing-masing bukan sekarang?”
“Tidak, Nika. Keputusan saya justru membuat hubungan kita semakin tidak karuan. Kepergian kamu yang semakin membuat saya tertekan untuk mencari cara bagaimana saya harus menjelask—”
“Kak Fayyadh, Nika mohon sama kakak untuk jangan pernah bahas lagi ya kak? Untuk sekarang Nika belum siap dengar semua penjelasan kakak, waktunya Nika rasa kurang pas,” jelas Nika memotong.
Menghembuskan nafas dengan berat Fayyadh mengangguk, seolah mengerti akan sikap Nika yang selalu teringat dalam ingatannya.
“Hai, Annika. Kenapa kamu ada dirumah sakit ini? Menjenguk seseorang?” tanya Nika berjongkok menemani Annika yang tampak serius memperhatikan kupu-kupu.
Annika menggeleng. “Aku kesini untuk Check Up, Papa bilang, supaya aku bisa sekolah aku harus berkunjung ke dokter Arsa.”
“Jadi, kenapa dengan Annika kak?” tanya Nika menengok ke arah Fayyadh.
“Bisa kita mengobrol di tempat yang nyaman Nika? Saya rasa hujan sebentar lagi akan turun,” jelas Fayyadh membuat Nika dengan enggan menuruti ucapan pria dari masa lalunya tersebut.
“Annika, ayo kita masuk, berbincang dengan Aunty Nika sebelum bertemu dengan dokter Arsa,” ajak Fayyadh.
Gadis kecil itu mengangguk, bangkit berdiri dan mengenggam tangan milik Nika. Sementara, Nika hanya bisa tertegun mendapati perlakuan tiba-tiba yang diberikan Annika untuknya. “Maaf, Annika selalu seperti itu saat bersama dengan Priya, kamu masih ingat dengan Priya?”
“Tidak mungkin jika aku melupakan sahabatku semasa kuliah dulu bukan Kak Fayyadh?”
“Benar juga!”
“Aunty Nika kenal dengan Aunty Priya?” tanya Annika.
Nika mengangguk. “Karena Aunty-mu aku dan Papamu bertemu.”
“Berarti Aunty Nika sahabat Papa juga? Sama seperti Aunty Nika yang bersahabat dengan Aunty Priya?”
“Y-ya jika bisa disimpulkan secara garis besar seperti itu, benar bukan Kak Fayyadh?” ujar Nika membubuhkan sedikit senyum terpaksa diwajahnya.
Fayyadh terdiam, ia menyadari dengan jelas sorot mata milik Nika yang tampak berbeda. Ia mematung, sepertinya karenanya lah Nika terluka begitu dalam.
“Kamu mau pesan apa Nika?” tanya Fayyadh ketika mereka sudah terduduk di salah satu kursi di kantin rumah sakit.
Nika terdiam cukup lama sebelum akhirnya Fayyadh berbicara. “Bagaimana dengan Mie Ayam?” tawar Fayyadh. “Dulu, setiap kali makan sama saya bukannya kamu selalu request buat cari tempat makan mie ayam?”
“Oh, boleh,” lirih Nika.
“Jadi, kamu mau apa Annika?” tanya Fayyadh tersenyum lembut ke arah gadis kecil di sampingnya.
Sementara Annika tampak menimang memilih dengan teliti serta membaca deret menu disalah satu stand dengan serius. Annika menatap manik mata Fayyadh sebelum keduanya berujar, “Spaghetti!!!” ucap mereka kompak.
Suara tawa Annika terdengar, bersama Fayyadh yang dengan gemas mengusap kepala anaknya tersebut. Dari arah belakang Nika hanya melihat, enggan untuk bergabung, dalam benaknya sesuatu yang berat terasa menyakitkan untuk ia bayangkan.
“Annika, bisa kamu duduk disana sama Aunty Nika?” tanya Fayyadh melirik ke arah Nika yang tampak melamun. “Hei Nika, are you okay?”
Nika tersentak dari lamunannya, langsung menyunggingkan senyum penuh tanda tanya. “Aku akan membawa pesanan kita ke meja, bolehkah saya meminta tolong untuk mengajak Annika ke salah satu meja disana?” tanya Fayyadh menunjuk salah satu meja berwarna putih tersebut.
“Baiklah, Ayo Annika kita kesana!” ajak Nika mengenggam lembut jemari mungil milik Annika. “Annika?”
Gadis kecil yang sudah terduduk rapi di kursi itu mendongak, “Ada apa Aunty?”
“Where your Mom?”
“My Mama?” tanya Annika balik.
“Ya, Your Mama.”
Annika tersenyum, menatap lamat ke arah Nika. “In Heaven.” jawaban Annika berhasil membuat Nika termenung. Ia memandang tak percaya ke arah Annika yang malah tersenyum dengan ceria.
Nika masih tak percaya, ada apa dengan enam tahun yang sudah ia lewatkan untuk melarikan diri? Berapa banyak kejadian yang ia lewatkan untuk menjadi sosok yang pengecut?
“Nika? Annika? Nika? Hei!” panggil Fayyadh berusaha menyadarkan Nika dari lamunannya. “Are you okay?” tanyanya ketika melihat Nika sudah tersadar.
“You can share your problem to me,” ungkap Fayyadh khawatir.
Nika menggeleng. “Aku baik-baik saja, sungguh.”
“Apa kehadiran saya yang membuat suasana hati kamu rusak? Sepertinya iya. Saya minta maaf Nika, saya tidak bern—”
“Kak Fayyadh?” panggil Nika lembut, membuat tubuh Fayyadh membeku. Panggilan dengan intonasi yang selama ini selalu membekas dihatinya.
“Nika?”
“Iya kak?” tanya Nika binggung.
Fayyadh menatap Nika dalam, sebelum akhirnya pria itu memalingkan wajahnya ke arah lain, ia mengalihkan matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Aunty, Annika nggak bisa pakai sumpit,” ungkap Annika membuat Nika beralih fokus membantu gadis kecil itu.
Dalam diamnya, Fayyadh bersyukur bisa kembali bertemu dengan Nika setelah semuanya telah terjadi, ia bersyukur pencariannya selama ini membuahkan hasil dengan cara yang tak pernah ia sangka.
“Nika?” panggil Fayyadh setelah berusaha meyakinkan dirinya.
Nika menoleh, “ada apa kak?”
“Maaf, jika saya lancang, apa kamu sudah menikah? Atau kamu sudah memiliki pasangan?” tanya Fayyadh melirik sebuah cincin yang tampak telah usang melekat di jari manis milik Nika. “Cincin itu?”
“Seorang pria dulu pernah memberikan cincin ini kepada Nika, selagi masih bisa Nika pakai, Nika rasa Nika tidak harus melepasnya.”
Fayyadh tersenyum seolah sesuatu membanggakan telah menimpa dirinya. Sementara Nika menatap binggung ke arah Fayyadh yang masih melukiskan senyum miliknya. “Kak Fayyadh kenapa?”
“Terimakasih Nika, sekali lagi terimakasih telah memakai dan menjaga cincin itu,” ungkap Fayyadh. “Tapi, kamu belum menjawab pertanyaan saya.”
Nika menyatukan kedua alisnya, bingung. “Apa kak?”
“Maaf apa kamu sudah memiliki pasangan?”
“Maaf kak, bukannya terlalu lancang menanyakan hal itu?” tanya balik Nika tak nyaman.
“Karena itu saya minta maaf, Nika.” Fayyadh menghembuskan nafasnya dengan berat. “Ini tentang mamanya Annika.”
“Saya sudah tau kak,” jelas Nika memotong.
Fayyadh tersenyum. “Selama ini, saya selalu nyariin kamu Nika, selain untuk minta maaf saya juga ingin kamu jadi ib—”
“Nika?” sapa seseorang mengejutkan Nika yang tengah menatap serius ke arah Fayyadh.
Wanita itu mendongak mendapati seorang pria dengan jas putih membalut tubuhnya. “Arsa!”
Arsa tersenyum melihat kehadiran Annika yang tampak lahap mengunyah spagetti suapan Nika. Tapi, air mukanya langsung berubah melihat kehadiran Fayyadh bersama Nika.
“Dokter Arsa kenal dengan Nika?” tanya Fayyadh.
“Ya, saya kenal Nika melebihi siapapun,” jelas Arsa penuh penekanan. “Nika, bisa kamu tunggu saya di tempat biasa?” tanya Arsa lembut.
“Saya punya si cantik Annika disini, pasien saya, kamu bisa tunggu saya sebentar?” Nika mengangguk, sorot mata Arsa membuat Nika terdiam.
“Dokter Arsa, kekasih Nika?” Tanya Fayyadh sebelum Nika bangkit berdiri.
Arsa hanya tersenyum menatap Nika yang membungkam.
✄ - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - -02-04-23𖠄ྀྀ
...︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽︽...
...CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA, MOHON MAAF JIKA ADA KESAMAAN YANG HADIR TANPA DISENGAJA....
...INI HANYA CERITA FIKTIF JADI JANGAN SAMPAI TERBAWA KE DUNIA NYATA....
...SEKIAN TERIMAKASIH....
...______________________________________...
...—H A P P Y R E A D I N G—...
...______________________________________...
GEMALATUK giginya terdengar bersama hembusan nafas gusar. Berulang kali ia berdecak untuk mengurangi perasaan yang menghantui pikirannya.
“Lu ngapain si bolak balik kaya setrika belum panas,” sindir seseorang yang bersandar pada salah satu bidang tembok rumah sakit.
Nika menatap tajam kearah pria di sampingnya sembari menenangkan dirinya yang terkejut. “LU!”
“Ya, gw kenapa?” tanya Arsa masih santai. “Soal si bajingan itu 'kan?”
“Dia punya nama, nama dia Kak Fayyadh!”
Arsa tertawa merotasikan kedua matanya malas. “Terus?”
“Lu gila ya, ngaku tunangan gw ke dia?” tanya Nika masih tak percaya.
“Hati lu! Enam tahun berlalu lu masih nyimpen nama cowok bajingan itu 'kan?” sindir Arsa jengah. “Sadar sebelum lu sakit hat—”
“Maksud lu apa Sa?”
“Lu udah dewasa, Nika. Jangan naif, lu paham maksud gue 'kan?”
“Gue nggak sebodoh itu, Arsa!”
“Lu bisa buat janji sama gue?”
Nika mengerutkan dahinya bingung. “Promise? For what?”
“Janji, buat nggak balik jatuh cinta sama bajingan itu!” jelas Arsa penuh penekanan.
“Selama ini lu tau kan soal Annika dan Kak Fayyadh?” tanya Nika mengalihkan topik pembicaraan.
Arsa tertawa renyah. “Ka, jangan ngalihin topik bisa?” Nika menggeleng. “Gue nggak ngalihin topik Arsa!”
“Aduh!” lontar Nika sambil memegangi dahinya yang terkena sentilan keras dari Arsa. “Lu gila ya?”
“Iya, gue gila ngadepin temen gue yang dengan jelas belum selesai sama masa lalunya! Puas lu?” sindir Arsa menatap tajam ke arah Nika
“Apasi Arsa, biasanya juga lu nggak gini, posesif tau nggak!” ungkap Nika tak nyaman.
Arsa melembutkan tatapannya, sembari mengenggam jemari milik Nika. “Nik, gue nggak perduli suatu saat lu nikah sama sahabat gue sendiri, tapi kalau sampai gue liat lu nikah sama bajingan itu gue adalah pihak yang paling menentang dengan keras keputusan itu,” perjelas Arsa.
“Arsa, lu tuh berlebihan tau nggak!” jawab Nika melepaskan pegangan tangannya dengan Arsa. “Lagipula namanya takdir nggak ada yang tau.”
“Bener 'kan. Perasaan lu itu, belum bisa ngelepas cowok bajingan yang udah buat lu menderita selama ini,” lontar Arsa. “Lu boleh anggep gue karakter jahat di antara kisah lu sama cowok bajingan itu, tapi yang harus lu inget, gue cuma nepatin janji gue dari Nyokap lu dan Oma, paham!”
“Iya gue paham,” putus Nika malas memperpanjang perdebatannya dengan Arsa. Ia hanya tak ingin didiamkan oleh pria itu dengan jangka waktu yang tak dapat ia kira.
Arsa tersenyum, menangkupkan wajah Nika dalam tangan besarnya. “Gue cuma butuh janji dari lu Nika. Gue emang terdengar sok ikut campur, tapi gue nggak rela liat lu nangis. Gue nggak rela liat lu menderita kaya enam tahun yang lalu, lu berhak bahagia. Dan ijinin gue buat bikin lu bahagia.”
“Apasi Sa, kalimat lu sok puitis tau nggak. Persis kaya di drama-drama yang sering lu tonton,” balas Nika setelah memukul lengan milik Arsa.
“Cielah lu mah, giliran gue serius malah disangka bercanda. Nanti giliran gue marah baru diem lu, gue terkam lama-lama nih!” ancam Arsa kesal.
Nika mengejek wajah masam milik Arsa. “Tega amat lu mau nerkam bidadari kaya gue.”
“Dih, bidadari dari sudut monas mananya lu? Diliat dari ujung sedotan juga kagak terpancar auran—”
“ARSA LU YA!” lontar Nika kesal bersiap untuk memukul Arsa. Arsa yang melihat itu langsung bersiap berlari, sembari tertawa ia melihat sebuah wajah kesal milik Nika yang membuatnya candu.
“KA! CAPEK!” teriak Arsa melambaikan tangannya.
Nika mendengus kesal. “Mangkannya jangan bikin gue kesel!”
“Lu-nya aja yang sensian. Inget umur, masih aja berlagak ABG lagi kasmaran,” sindir Arsa berjalan mendekat.
“Siapa yang kasmaran?”
“Ya lu lah, masa gue. Sama siapa?”
“Ganteng doang, pasangan nggak punya aduh, dokter kok jomblo!” sindir balik Nika sembari tersenyum mengejek.
Arsa berdecak kesal. “Ya gimana, orang yang gue ajak serius nolak mulu.”
Nika mengerutkan dahinya bingung, sementara Arsa memajukan bibirnya seolah memberikan isyarat. “Ih lu, bibir lu kenapa? Mau dicium?”
“Otak lu!” ucap Arsa menjitak kepala Nika. “Gue tuh nunjuk lu, aduh jadi manusia kok nggak peka.”
“Denger ya Pak Dokter Arsa. Kita tuh sahabatan, dan selamanya akan seperti itu, jangan berharap lebih, anda bukan tipe saya,” jelas Nika.
“Kalau gitu, gue bakal berusaha patahin pemikiran kuno lu itu!”
“Kok kuno sih?” bela Nika tak terima.
“Annika Sabrina Theodor—”
“Nama gue jangan dibolak-balik ya Arsa!” omel Nila.
Arsa mendengus. “Sabrina Annika Theodora. Wanita aneh yang randomnya diluar angkasa, gue janji suatu saat lu bakal jadi milik gue.”
“IN YOUR DREAM!” balas Nika.
“Kan lu mah mulai!” kesal Arsa jengah. “Intinya gue tarik ucapan gue yang rela lu nikah sama sahabat gue sendiri, apalagi lu nikah sama si bajingan itu. Annika harus jadi nyonya Arsa titik nggak pakai koma!”
Nika tertawa mencubit hidung Arsa gemas. “Sadar Om, umur udah mau 25 masih aja berlagak ABG labil.”
“Terserah, gue mau siap-siap pulang,” putus Arsa bersiap untuk pergi meninggalkan area belakang rumah sakit.
“Sendiri aja Om, nggak mau ngajak dedek gemes?”
Arsa berdecak. “Dedek gemes dari mananya lu, balik lu jagain Sakha.”
“Titip Martabak lumer di depan komplek perumahan boleh?” ucap Nika tersenyum manis seolah memohon ke arah Arsa. Sementara pria itu tampak menimbang permintaan Nika.
“Imbalan buat gue apa?” pinta Arsa.
Nika berdecih, “Kalau nggak ikhlas nggak usah, nanti gue pesan online aja!”
“Iya, nanti gue beliin. Gitu aja ngambek. Mau nitip apa lagi?” tawar Arsa.
“Sam—”
“Chat gue aja nanti, keburu macet yang ada gue nggak keburu jenguk Sakha, okey?” perjelas Arsa melirik arloji yang melingkar di tangannya.
“Okay, not problem. Tapi janji ya lu dateng malam ini, gue ada kerjaan soalnya, lebih tepatnya mau bergadang,” ungkap Nika diakhiri tawa. Arsa menghembuskan nafasnya berat sebelum mengangguk setuju dan berpamitan pergi.
Saling melambaikan tangan. Arsa melangkah menjauh. Mau bagaimanapun dalam hidup Nika, hanya Arsa dan Sakha yang ia punya. Dan ia dengan sukarela akan melakukan apapun untuk cinta pertamanya itu. Apapun.
Maka, kehadiran Fayyadh adalah sebuah ancaman besar dalam kisahnya bersama Nika. Dalam hatinya, Arsa berusaha untuk tidak mempertemukan kekasih dimasa lalu itu, tapi sialnya takdir berkata lain.
Dan saat ini, pikirannya dihantui dengan berseminya cinta mereka yang ia yakini baik Nika maupun Fayyadh masih menyimpan perasaan memuakkan itu. Maka tugasnya untuk membuat Nika tidak kembali bersama pria pengecut yang melukai hatinya enam tahun yang lalu. Masa dimana Arsa melihat titik paling rapuh dalam kehidupan Nika.
Masa kelam yang selamanya harus ia kubur dengan kenangan menyenangkan.
“Lu nggak pantes, Ka. Lu nggak pantes terluka dengan orang yang sama,” jelas Arsa sebelum termenung memandang kemudi mobilnya. “Bajingan itu harusnya nggak pernah datang lagi, SIAL!”
...꒰🖇꒱...
“Nika, tunggu!” panggil seseorang membuat langkah milik Nika terhenti. Wanita itu menengok ke sumber suara mendapati sesosok pria dengan kumis tipis miliknya.
“K-kak Fayyadh? Belum pulang?”
Fayyadh menggeleng. “Saya sengaja nunggu kamu Ka, ada sesuatu yang harus saya jelaskan.”
“Apa kak?” tanya Nika. “Tentang hubungan Nika sama Arsa?”
“Bukan. Tapi ini tentang kejadian enam tahun yang lalu, Nika,” koreksi Fayyadh.
“Maaf kak, bukannya tadi Nika udah bilang nggak mau bahas ini lagi?” tolak Nika. “Lagipula baik Nika sama Kak Fayyadh sudah punya hidup masing-masing bukan?”
“Justru itu Nika. Saya pengen kamu dengar penjelasan saya, saya mohon ini nggak bakal sampai satu jam,” ungkap Fayyadh berharap.
Sembari menimang Nika menghembuskan nafasnya dalam. “Okay, jadi mau dimana kita bicara?” putusnya mengalah.
“Kamu bakal baik-baik aja?” tanya Fayyadh khawatir. “Maksud say—”
“Kak, kita sudah punya kehidupan masing-masing. Dan Kak Fayyadh tau kalau Nika udah punya tunangan. Bisa tolong jangan bertele-tele? Kita selesaikan semua hari ini,” tegas Nika menatap ke arah Fayyadh. Sementara pria itu mematung menyadari perbedaan besar dalam diri Nika. Ia tersenyum. “Ayo ke taman rumah sakit!” ajak Nika berjalan terlebih dahulu, membiarkan Fayyadh berdiri seorang diri di ramainya ruang tunggu rumah sakit.
Langit hitam yang membentang dengan bulan yang bertengger apik sebagai penerang malam menemani kecanggungan dua insan manusia yang pernah memiliki rasa yang begitu dalam tersebut, rasa dimana sebuah cinta hadir bersamaan kasih sayang yang selalu diberikan.
“Annika, mana?” ucap Nika membuka obrolan.
“Saya suruh supir sama Nanny-nya pulang duluan, Ka,” jawab Fayyadh. “Nika?”
“Ya kak?”
Fayyadh menghembuskan nafasnya panjang, seolah mempersiapkan dirinya. Ia tau kesalahannya amat sangat fatal. “Maaf, saya nggak pernah cerita sama kamu tentang rencana pernikahan saya sama Adel enam tahun yang lalu,” ungkap Fayyadh dengan suara gemetar.
“..kalau bukan karena permintaan orang tua, dan masa depan usaha bapak saya mungkin bakal menolak dengan keras rencana itu, Nika.”
“Kak, nasi udah jadi bubur. Rasanya percuma kalau sekarang Kak Fayyadh menyesal,” jawab Nika.
“Saya tau Nika, saat saya ketemu kamu hari ini ribuan penyesalan itu semakin menumpuk.”
“...kehidupan layak saya sekarang ini atas peran besar papa mertua saya, orang tua Adel. Tapi, satu yang harus kamu tau Nika, semenjak kepulangan saya dari honeymoon saya nyari keberadaan kamu selama ini.”
“..saya datangi tempat tinggal kamu, menanyakan semua sahabat kamu, termasuk adik saya sendiri, Priya. Tapi, entah mengapa semua membungkam. Kamu kemana Nika? Apa kamu pergi karena kecewa sama saya?” tanya Fayyadh mengakhiri penjelasan panjangnya.
Nika hanya tersenyum simpul, merutuki kebodohan Fayyadh yang tidak pernah mengerti keadaanya.
“Jika benar, saya minta maaf sama kamu.”
“Nika, udah maafin Kak Fayyadh. Tapi, ada satu hal yang bikin Nika nggak nyaman ketemu Kak Fayyadh,” ujar Nika terus terang.
“Apa, Ka?” tanya Fayyadh penasaran.
Nika menggeleng, membasahi bibirnya yang kering. Sementara matanya menatap lurus ke arah lampu taman yang menjulang tinggi menyumbang bantuan untuk bulan. “Gimana dengan Kak Adel? Annika bilang Kak Adel sudah disurga?”
“Annika benar. Pernikahan kami rasanya hambar, Nika. Baik saya yang belum memiliki perasaan dengan Adel, ataupun Adel yang terus fokus sama kegiatannya. Tapi, rasa hambar itu berubah, setelah beberapa bulan kami menikah, kabar gembira datang, Adel hamil,” jelas Fayyadh sembari tersenyum. Nika terdiam. Senyum itu, senyum yang sama, senyum yang selalu Nika lihat ketika Fayyadh selalu bersamanya.
“..Annika, bidadari kecil saya berhasil membuat hubungan saya dan Adel sedikit penuh rasa. Sembilan bulan saya dan Adel menghabiskan waktu untuk terus bersama.” Fayyadh terdiam, air wajahnya berubah sendu.
“Ada apa Kak?” tanya Nika khawatir.
Fayyadh menggeleng. “Kehadiran Annika, membawa luka bagi saya, saya harus kehilangan Adel untuk selama lamanya, Nika. Saya harus kehilangan seorang wanita yang mencintai saya secara tulus.”
Nika terhenyak. Matanya berkaca-kaca mendengar ucapan terakhir Fayyadh. Hatinya tercabik bukan main, senyum terukir lebih terlihat dipaksakan. “Nika turut berduka cita atas meninggalnya Kak Adel.”
“Iya, Terimakasih, Nika.” Fayyadh tersenyum membalas senyuman Nika yang masih sama seperti dulu.
“Jadi, selama ini Kak Fayyadh besarin Annika sendirian?” tanya Nika penasaran.
Fayyadh menggeleng. “Saya tidak sekuat itu,” jawab Fayyadh. “Orang tua dan mertua saya turut membantu saya merawat Annika, dan kamu tau buku Parenting yang pernah kita beli bersama?”
Nika mengangguk. “Buku itu, berhasil membuat saya mengerti bagaimana cara membesarkan dan mendidik anak secara benar dan baik. Saya ingin berterimakasih sama kamu, Nika. Berkat kamu, berkat paksaan kamu di masa lalu saya punya ilmu.”
“Iya Kak, rasanya pujian Kak Fayyadh terlalu berlebihan, rasanya juga akan percuma jika Kak Fayyadh hanya membeli dua buku yang sama tapi tidak pernah Kak Fayyadh baca bukan?” tanya Nika.
“Iya, berkat mimpi kamu, Nika. Berkat kamu,” pertegas Fayyadh sekali lagi.
“Cerita saya sudah selesai, bagaim—”
Suara dering telfon milik Nika berhasil memotong ucapan Fayyadh. Dengan cepat Nika meraih benda persegi panjang itu dalam tas selempang miliknya. Arsa menelfon. “Bentar ya Kak, Nika angkat telfon dulu.” Fayyadh mengangguk.
“Apa Arsa?”
“Lu dimana sekarang?”
“Taman rumah sakit, ken—”
“Oke gue kesana sekarang!”
“Ngapain, lu diman—”
Sambungan terputus, Nika menatap heran ke arah layar handpone miliknya menampilkan sebuah foto bayi yang menjadi latar dari layar kunci handphone-nya. “Tunangan kamu?” tanya Fayyadh.
Nika mengangguk, kembali memasukkan handphone ke dalam tas.
“Nika!” panggil Arsa berlari menghampiri Nika.
“Lu kenapa lari, nanti jatuh aja,” peringat Nika. Arsa tak menggubris ucapan Nika, memandang malas ke arah pria disamping sahabatnya itu.
“Selamat malam dokter Arsa,” sapa Fayyadh menyunggingkan senyum.
Arsa membalas sedikit berbasa-basi meski sejujurnya ia malas. “Malam Papa Annika, belum pulang?”
“Saya sengaja, menunggu Nika,” jawab Fayyadh.
“Dimana Annika?”
“Sudah pulang bersama supir dan Nany-nya.” mendengar jawaban Fayyadh membuat Arsa menganggukkan kepalanya.
“Kenapa nggak jagain Sakha?” tanya Arsa marah.
“Tadi, waktu gue mau ke ruangan Sakha, Kak Fayyadh dateng jadi ngobrol dulu bentaran,” jelas Nika.
“Nika, gimana kalau Sakha kenapa-kenapa?” Ungkap Arsa khawatir. “Gimana kalau Sakha nyariin lu? Kan gue udah bilang gue pasti bakal balik lagi, nunggu bentar doang nggak bisa?”
“Maaf dokter Arsa saya memotong. Sebetulnya saya yang memaksa Nika untuk berbincang dengan saya, sekali lagi saya minta maaf,” bela Fayyadh.
Nika hanya diam memandang ke arah Arsa lekat. “Udahkan ngobrolnya?” sindir Arsa. Fayyadh mengangguk. Berpamitan pergi dan kembali meminta maaf.
“Gue dah bilang 'kan sama lu buat nggak deket sam—”
“Kak Fayyadh cuma ngasih penjelasan atas kejadian enam tahun yang lalu Arsa, jangan lebay deh!” kesal Nika.
“Apa yang lu dapet? Kata-kata manis tentang penyesalan Fayyadh? Kata-kata bujukan buat balik lagi bareng?” cecar Arsa dibalut emosi. “Inget ya Nika, gue bakal nolak dengan tegas hubungan kalian nanti!”
“Apasih Sa, kita 'kan udah bahas soal ini tadi, kenapa masih lu ungkit!” ucap Nika. “Lagipula penjelasan Kak Fayyadh cukup jelas kalau nama gue udah nggak ada lagi di hatinya, puas lu!”
Arsa melunak, langsung mendekap tubuh Nika untuk ia bawa pelukannya. Ia terdiam bernafas lega atas kekhawatirannya. “Jangan pernah ngomong bahkan ketemu lagi sama bajingan itu, Nika. Apalagi kalau nggak ada gue, ngerti?”
“Lu apaan si lebay banget,” ujar Nika sambil melepaskan pelukannya dengan Arsa. “Lu tuh terlalu serius jadi tunangan gue tau nggak!”
“Ya lagian, lu diajak serius kagak mau, ya mumpung gue ngaku-ngaku jadi tunangan lu ya gue harus totalitas, ya nggak?” goda Arsa sebelum mendapat cubitan diperut karya Nika. “Aww, Nika mainnya nyubit,” rintih Arsa memegangi perutnya.
Nika tak perduli berjalan terlebih dahulu setelah merebut kantung plastik dalam genggaman Arsa. “Buruan! Lu tadi khawatir sama Sakha!” teriak Nika.
“Sakha! Calon Papa kamu datang!!!!”
Wanita yang berdiri di depan pintu rumah sakit itu hanya menggeleng tak habis pikir. Arsa tidak pernah berubah. Selalu bersikap konyol hanya untuk membuatnya tertawa. “Gila lu!”
“Iya gue gila biar bidadari gue ketawa, eaaa!”
“Gombal!”
“Love you too, Nika!”
✄ - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - -03-04-23𖠄ྀྀ
...CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA, MOHON MAAF JIKA ADA KESAMAAN YANG HADIR TANPA DISENGAJA....
...INI HANYA CERITA FIKTIF JADI JANGAN SAMPAI TERBAWA KE DUNIA NYATA....
...SEKIAN TERIMAKASIH....
...______________________________________...
...—H A P P Y R E A D I N G—...
...______________________________________...
RAUT wajah masam tercetak jelas pada wajah cantik milik seorang gadis berusia 18 tahun. Matanya berkaca-kaca, teringat jelas bagaimana bentak dan cacian yang diberikan senior kepadanya.
Bersandar pada pintu yang baru saja ia tutup, hembusan nafas ia keluarkan begitu berat. Menggadahkan kepala, menghadap langit-langit koridor kampus, ia termenung. Benar kata orang tuanya, harusnya ia tidak bergabung organisasi pada semester pertama. Harusnya ia menikmati masa pengenalan terhadap lingkungan tempatnya kuliah.
Nasi sudah menjadi bubur, hanya tawa miris yang bisa ia berikan untuk kebodohannya sendiri. “Ada apa dengan langit-langitnya?” tanya seseorang membuat gadis itu menengok ke sumber suara.
“Hei, are you okay?” pria itu bertanya lagi, sambil bergerak hendak menghapus cairan bening yang tanpa ijin melewati pipi milik gadis tersebut.
“S-saya permisi dulu kak,” pamit gadis itu berlalu pergi, sembari ia menghapus dengan kasar air mata yang semakin ia tahan malah semakin turun.
Langkahnya memilih terhenti. Di salah satu kursi di koridor buntu depan ruangan alat seni. Memandang kosong data pemasukan dan dana yang ditolak mentah-mentah oleh para seniornya.
“Sial!” runtuknya. Kali ini ia menangis mencurahkan air matanya begitu saja, persetan dengan orang lain yang mendengar tangisnya, persetan dengan penilaian orang lain. Seminggu berkutat dengan tugas kuliah, dan menyempatkan waktu untuk ikut mengumpulkan dana membuat energinya terkuras bukan main.
Saat ini hanya keluhan yang dapat ia lontarkan, hanya kalimat putus asa yang membuatnya ingin memutar kembali waktu. “Ini!” ucap seseorang menyodorkan sebuah tissue yang masih baru. “Kamu, wakil bendahara event ini 'kan?”
Gadis itu mengangguk sembari membuka plastik berkarakter yang melindungi lembaran tissuenya agar tetap steril. “Siapa nama kamu? Maaf saya lupa,” tanyanya.
“Saya? Nika,” jawab gadis itu sembari menghapus air mata. “Maaf,” ucapnya setelah mengeluarkan cairan bening dihidungnya.
Pria itu tertawa. “Santai aja Nika, kenalin nama saya Fayyadh, patner kamu dalam event ini!”
Nika terdiam memandang uluran tangan tersebut, sebelum akhirnya Fayyadh berdehem dan membuatnya menjabat tangan Fayyadh dengan gemetar.
“Maaf jika saya telat muncul dan memperkenalkan diri,” ungkapnya. “Saya mahasiswa semester tujuh baru selesai magang, jadi saya baru bisa menemani kamu sekarang.”
“Mahasiswa semester akhir? Dan Kak Fayyadh masih ikut event ini?” tanya Nika meragu.
“Ada yang salah?” Nika menggeleng. “Nika, saya suka bersosialisasi, saling bertukar pikiran serta gotong royong. Ini event terakhir saya sebelum saya harus benar-benar fokus menyusun skripsi. Kamu mau 'kan bantu saya?”
“Eh?”
“Kok, eh?” tanya balik Fayyadh diakhir tawa. “Saya sudah bilang bukan santai aja sama saya?”
Nika mengangguk. “Bahasa kita terlalu baku ya? Gimana kalau kita ganti dengan ‘lu-gue’ biar kamu nyaman?”
“...kita bakal punya project bareng sekitar dua bulan lebih loh Nika, buat kamu nyaman ya, apalagi kita berdua ngurus mengenai keuangan,” jelas Fayyadh.
“Tapi Kak, ada satu problem yang bikin saya bingung.”
“Apa?” tanya Fayyadh penasaran.
“Soal dana kita. Nika udah hitung semua biaya mulai dari panggung dan lain-lain, tapi kakak senior minta tambahan pengisi acara, sementara uang kita kurang Kak,” ungkap Nika penuh emosi.
Fayyadh tersenyum. “Mereka nggak pernah berubah, lu tenang aja, biar gue obrolin sama Senior yang lain. Lu bisa 'kan hubungi pihak humas sama seksi acara buat konfirmasi tambahan pengisi acara yang mereka minta?”
“Tapi Kak, dan—”
“Nika, percaya sama gue. Itu biar gue yang ngatur.” Nika hanya bisa menghembuskan nafasnya pasrah melihat wajah meyakinkan milik Fayyadh. “Oh ya, setelah lu ketemu sama orang humas dan seksi acara bisa kita ketemu lagi?”
“Kapan kak?”
“Pokoknya setelah lu selesai, lu nyebrang ke kafe depan, lu tenang aja disana aman,” jelas Fayyadh.
“Iya kak, kalau gitu Nika jalan dulu ya,” pamitnya dibalas anggukan oleh Fayyadh.
Pria itu terdiam memandangi tubuh mungil Nika yang perlahan menghilang dari balik koridor. “Kebangetan si Adri anak baru dibuat nangis,” lontar Fayyadh menggelengkan kepalanya heran.
“Woy Fayyadh! Lu dicariin noh sama si Deena!” panggil Adri.
“Kebetulan lu ada disini, balik lu keruangan!” Suruh Fayyadh dengan nada tinggi.
“Lu ngapa dah? Santai bro!” ucap Adri gemetar.
Kini Fayyadh dan Adri telah sampai diruangan dimana mereka sering berkumpul. “FAYYADH AKHIRNYA LU BAL—”
“SIAPA YANG MINTA TAMBAHAN PENGISI ACARA!!!” bentak Fayyadh memandang rekannya satu persatu dengan tajam. “NGGAK ADA YANG MAU JAWAB?!”
“..OTAK LU PADA SEMUA KEMANA? GILA LU, SADAR DANA! NYURUH ANAK BARU AMPE BUAT DIA NANGIS MAU LU APAAN? KALAU MASALAH INI SAMPE NYAMPE KE LUAR, LU ADRI! DAN LU DEENA! TANGGUNG JAWAB!” ancam Fayyadh kesal.
“Santai Yadh, tuh bocah cerita ke lu?” tanya Deena dengan nada manja. “cih, bocah ember amat!”
“Dia wakil gue, wajar gue harus tau kenapa dia sampe nangis keluar dari ruangan ini!” bela Fayyadh. “Lu tuh yang kagak pada ngotak! Kalian lebih senior dari Nika, gengsi lu pada 'kan biar bisa bikin acara lebih wah dari Angkatan tahun lalu? Sekarang gue tanya, lu pada mau nggak kolektif buat bayar tambahan pengisi acara?”
Semua yang disana terdiam. “Kita udah habis banyak kali, Yadh. Yakali kolekti—”
“KALAU PAHAM OTAK DIPAKE DIAWAL!” kesal Fayyadh tak habis pikir.
Deena maju mendekati Fayyadh. “Udah deh Yadh, lu baru balik, okay gue tau lu ketua BEM tapi nggak harus sambil marah-marah juga 'kan? Bisa kita bicara baik-baik?”
“Jam lima gue mau liat contoh promosi stand makanan di event kita berserta gambaran biaya sewa tenda, gue nggak mau tau, kalian pikir caranya biar nutup biaya pengisi acara tambahan, dan lu Adri! sampai jam lima gue belum dapet apa yang gue mau lu harus siap keluarin uang!” putus Fayyadh sebelum berlalu pergi meninggalkan ruangan tanpa kata pamit.
...꒰🖇꒱...
Dengan langkah terburu, Nika berjalan menuju tempat perjanjiannya dengan ketua BEM di kampusnya. Nafasnya tersenggal, ia bisa saja berjalan, tapi rasanya tidak enak jika harus membiarkan seniornya menunggu. Lagipula mengapa ia harus dipasangkan oleh ketua BEM? Bukannya saat rapat penentuan tugas event, seniornya itu tidak hadir. Nika mendengus kesal, menghentikan langkah sambil mengatur nafasnya. Ia sudah sampai.
“Hai Nika!” panggil Fayyadh melambaikan tangannya.
Nika tersenyum, setelah ia rasa nafasnya kembali normal, kakinya melangkah tenang mendekati meja dimana Fayyadh duduk seorang diri. “Kak Fayyadh udah lama nunggunya?” tanya Nika mendapati gelas milik Fayyadh sisa setengah.
“Nggak juga, oh ya lu mau pesen apa?”
“Apa aja deh kak,” jawab Nika bingung.
“Gimana kalau jeruk hangat, mau?” tawar Fayyadh dibalas anggukan oleh Nika. Pria itu bangkit berdiri berjalan menuju meja pemesanan. “Oh ya, gimana kata anak Humas sama Seksi acara?” tanya Fayyadh baru saja kembali.
“Anak Humas si oke-oke aja kak, cuma lamanya dibagian persetujuan ke manager artis yang kak Adri dan kak Deena minta, jadi saya minta maaf udah buat Kak Fayyadh nunggu,” ungkap Nika merasa tak enak hati.
Fayyadh tersenyum. “Santai aja kali, gue juga paham. Oh ya, gimana anak seksi acara, lu nggak kena semprot mereka 'kan?”
Tawa hambar Nika berikan, dengan senyum getir ia menatap ke arah Fayyadh. “Sedikit si kak, mereka cuma kesal harus atur lagi waktunya, belum lagi mereka harus koordinasi sama pihak humas, kemungkinan pihak humas juga bakal ngomel, tapi ya udah terjadi,” jelas Nika. “Lagian, Nika nggak mau ambil pusing. Nika fokus aja buat ngerekap total biaya diakhir.”
“Sorry ya, gara-gara kelakuan senior lu, lu malah yang kena imbas gini. Harusnya Adri yang turun tangan, bukannya nyuruh lu dan cuci tangan,” ucap Fayyadh.
“Iya kak, cuma seru aja si, Nika jadi punya pengalaman baru. Soalnya dulu jaman SMA kalau ada acara di sekolah kebagiannya kalau nggak jadi seksi acara, keamanan atau paling mentok bagian konsumsi,” bela Nika.
“Seru dong, bagian konsumsi. Bisa makan,” lontar Fayyadh diakhiri tawa. Nika menggeleng. “Justru malah Nika sering nggak kebagian nasi kotak, derita anak konsumsi.”
“Nyesek amat, tugas cuma bagian liatin makanan orang,” hibur Fayyadh diiringi tawa milik Nika.
“Ya gitulah kak, nasib.” tawa milik Nika terhenti, berlanjut pada kertas dalam genggaman milik Fayyadh. “Kita mau adain stand makanan dari luar?”
Fayyadh mengangguk, “Buat nutup tambahan biaya pengisi acara. Kalau ngandelin stand makanan kantin kampus ya kurang.”
“Udah disebar kak?” tanya Nika penasaran sambil melirik selebaran yang tengah dipegang oleh Fayyadh. Pria itu menggeleng lantas memberikannya pada Nika agar gadis itu bisa melihatnya. “ada versi soft file-nya? Nanti Nika bakal kirim menfess ke salah satu akun menfess di twitter, siapa tau semakin banyak yang lihat semakin banyak yang hubungin ke kita.”
“Ide bagus. Nanti gue coba deh hubungin Adri or Deena, gue rasa si mereka yang buat.”
Nika mengangguk, sembari menatap wajah Fayyadh lamat. “Ada apa Nika?” tanya Fayyadh sedikit tak nyaman. “Kak? Ini yang Kak Fayyadh maksud? Rencana yang buat Nika nggak perlu khawatir soal dana?”
“Allright! Sebetulnya dari awal gue liat notulen rapat kedua gue udah ngerasa ada yang kurang. Event kita bisa dibilang lebih besar dari tahun lalu, dengan hasil notulen rapat terakhir tentang dana, baik bayangan pengeluaran sama pemasukan beda tipis. Apalagi si Adri sama Deena nekat nambah pengisi acara,” jelas Fayyadh. “Jadi, ya karena event selain buat hiburan gue rasa kita nggak boleh nombok buat biaya, ya kali udah capek tenaga, duit juga keluar, ya 'kan?”
Nika hanya mematung, mendengar penjelasan dari Fayyadh. Tubuhnya seolah tersihir oleh ucapan Fayyadh yang realistis. “Keren Kak!”
“Apanya?” tanya Fayyadh bingung.
“Kakak, Keren!” puji Nika lagi.
Fayyadh tertawa menyadari wajah polos penuh kagum yang masih Nika berikan. “Kalau nggak bisa berfikir cerdas dan tegas. Orang-orang bakal ngeraguin posisi gue sebagai ketua BEM, Ka.”
“Iya juga. By the way, Kak Fayyadh dari dulu suka sama organisasi?”
“Dibilang suka nggak terlalu juga si, cuma gue rasa balik lagi tentang bertukar pikiran dan sosialisasi. Intinya banyak pengalaman baru yang belum pernah gue temuin sebelumnya dan banyak orang baru yang gue temuin dari banyak pertemuan, contohnya lu Nik!” jelas Fayyadh panjang lebar.
“Saya? Kenapa?” tanya Nika bingung. Fayyadh hanya tertawa tak berniat menjawab pertanyaan milik Nika. “Kak Fayyadh beneran nggak mau kasih tau?”
Fayyadh menggeleng. “Buat apa gue kasih tau, nggak penting juga kali, udah diminum dulu, keburu dingin nanti!” peringat Fayyadh menyesap jeruk hangat miliknya.
Nika yang baru saja menyeruput minuman miliknya tertahan akibat suara dering telfon dari dalam tas miliknya. “Sebentar ya kak,” pamit Nika yang dibalas anggukan oleh Fayyadh.
“Halo, Pih?”
“Kamu masih ada kegiatan?”
“Kuliah Nika udah selesai, tinggal bahas tentang event sama bendahara. Tau kan Pih, event yang tempo hari Nika ceritain itu,” jelas Nika.
“Kamu sekarang dimana? Papih abis meeting di restoran nggak jauh dari kampus kamu.”
“Nika? Nika lagi di kafe depan kampus. Yang deket dari sekolah SMP Nika itu.”
“Yaudah, tunggu Papih ya, nggak lama.”
“Iya Pih, Hati-hati ya!” ucap Nika sebelum terdengar tanda sambungan telfon yang sudah terputus.
Fayyadh berdehem, menatap Nika yang memasukkan benda persegi panjang itu dalam tasnya. “Udah dicariin ya? Sorry,” ucap Fayyadh merasa bersalah.
“Nggak kok Kak, Papih cuma nanya kegiatan Nika udah selesai belum, kebetulan Papih ada di deket sini, jadi bisa sekalian jemput. By the way, pembahasannya udah kelar 'kan? Atau ada lagi?” tanya Nika meragu.
“Santai aja Nika, untuk hari ini kita sampai sini dulu, mungkin besok kita lanjut bahas lagi, lagipula udah sore,” jawab Fayyadh. “Oh ya, nomor telfon kamu yang di grup whatsapp yang mana ya?”
Nika kembali mengeluarkan handphone-nya, membuka grup whatsapp dan memperlihatkan foto profil miliknya. “Ini saya udah save, nanti kamu save balik ya, jangan lupa,” peringat Fayyadh membuat Nika mengangguk setuju. “Lucu juga ya Ka, kepanitiaan udah kebentuk tiga minggu lu baru mau save nomer gue.”
“Maaf kak, kan dari awal Nika nggak tau nomer kak Fayyadh yang mana,” jawab Nika. Fayyadh tersenyum, menatap Nika penuh intimidasi. “Kenapa gue nggak yakin, cewek itu gampang loh stalking, yakin nggak pernah stalk gue?”
“Pede banget ih, ya emang sih Kak Fayyadh ketua BEM, aneh kalau nggak ada yang stalk ka—”
“Dari awal udah tau 'kan?” sindir Fayyadh. Nika mengangguk lesu. “Okey, lu udah dijemput tuh!”
Nika menengok ke area luar kafe mendapati mobil Papinya yang terparkir dengan rapi. “Selamat Sore Om,” Sapa Fayyadh.
“Sore, kamu rekan Nika?” tanya Khalil.
“Iya om, kebetulan saya senior-nya Nika, dapet tugas jadi bendahara event tahun ini bareng Nika,” jawab Fayyadh lugas.
Khalil tersenyum, menepuk bahu milik Fayyadh yang berisi. “Saya titip Nika ya, bimbing dia. Maklumin kalau dia suka nangis,” perjelas Khalil yang langsung mendapatkan tatapan tajam oleh Nika.
Fayyadh hanya tersenyum, lalu tertawa melihat wajah masam Nika yang hendak protes. “Bukan maksud mengusir om, tapi lebih baik om pulang sekarang, sebentar lagi jamnya macet,” ucap Fayyadh sembari melirik arloji di pergelangan tangannya.
“Kamu benar juga, yasudah, lain kali mampir kerumah ya, kita ngobrol-ngobrol santai, siapa tau cocok,” lontar Khalil. “Baik, Om. Nanti Fayyadh main, mau dibawain martabak nggak Om biar ngobrolnya lebih asik?” tanya Fayyadh mencairkan suasana.
Khalil tertawa. “Boleh! Nanti saya nyumbang kopi aja ya.” dan sore itu baik Khalil dan Fayyadh menukar tawa mengabaikan Nika yang merasa heran tentang statusnya sebagai anak dari Khalil.
“Kamu cocok!”
“Cocok jadi apa Om?”
“Menantu saya!” jelas Khalil diakhiri tawa.
✄ - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - -05-04-23𖠄ྀྀ
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!