...CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA, MOHON MAAF JIKA ADA KESAMAAN YANG HADIR TANPA DISENGAJA....
...INI HANYA CERITA FIKTIF JADI JANGAN SAMPAI TERBAWA KE DUNIA NYATA....
...SEKIAN TERIMAKASIH....
...______________________________________...
...—H A P P Y R E A D I N G—...
...______________________________________...
NIKA mendengus kesal, melihat senyum lebar yang ditunjukkan Khalil padanya sedari tadi. “Ada apa Papih?” tanya Nika akhirnya setelah lama membungkam.
“Itu, rekan kamu siapa tuh?”
“Kak Fayyadh?” tanya balik Nika.
“Jadi namanya Fayyadh,” ucap Khalil mengangguk mengerti.
Nika menggeleng heran masih tak percaya atas sikap Papihnya. “Tempo hari perasaan Nika liat Papih asik banget ngobrol sama Kak Fayyadh di Kafe, ternyata belum tau namanya, gimana sih?”
“Ya maaf, namanya orang tua, ketemu yang se-frekuensi ya bablas,” bela Khalil tak mau disalahkan.
“Yaudah, Nika berangkat ya Pih. Nggak enak sama Kak Fayyadh, Papih jangan telfon Nika terus, Nika malu!”
“Ngapain malu orang ditelfon sama Papihnya sendiri, terkecuali kalau kamu ditelfon sama Papih orang lain baru malu,” lontar Khalil bercanda.
“Udah, Papih kebiasaan nih, orang lagi buru-buru juga,” jelas Nika kesal. Khalil tertawa. “Siap, yang mau nge-date, siap Non!”
“Papih, Nika nggak mau ya ngambek sama Papih sebelum pergi.”
“Kenapa emang?” tanya Khalil menggoda. “Takut nggak dikasih uang jajan 'kan?”
“Itu paham, udah ya Pih. Kalau Papih terus ngajakin ngobrol yang ada Nika batal pergi, udah Papih keluar, Nika mau pake sepatu dulu,” ucap Nika mendorong Khalil keluar dari pintu kamarnya.
“Jahat banget, Papih sendiri di usir,” ucap Khalil dengan nada yang dibuat sedih.
“Please, PAPIH!!”
Khalil mengalah, melenggang pergi turun ke lantai bawah sambil tertawa. “Hai, Nak Fayyadh!” sapa Khalil melihat Fayyadh yang menatapnya bingung. “Sabar ya, tuan putrinya masih pakai sepatu.”
“Iya, saya minta maaf om minjem Nika pas weekend,” ucap Fayyadh.
“Minjem? Kamu pikir Nika barang?” sindir Khalil tajam. Fayyadh yang menyadari kesalahannya langsung tergugup berusaha mencari penjelasan sebelum akhirnya tawa Khalil terdengar. “Saya bercanda Fayyadh.”
“Om bisa aja bikin saya deg-degan.”
“Kita udah pernah ngobrol santai tapi belum kenalan. Kenalin nama Om, Khalil,” ujar Khalil menyodorkan tangannya, dengan cepat Fayyadh membalas jabatan tangan itu. “Fayyadh, Om.”
“Jadi, dimana martabaknya?” tanya Khalil. “Martabak Om?” Khalil membalas pertanyaan Fayyadh.
Fayyadh menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Gini, Om. Maaf, kebetulan 'kan ini masih siang menjelang sore, jadi tukang martabak belum buka. Kemungkinan nanti saya anter Nika, pasti saya belikan.”
“Saya suka kamu anak muda,” puji Khalil menepuk bangga pundak milik Fayyadh. “Kamu ingat janji. Tapi, saya nggak serius, saya cuma mau ngetes kamu masih ingat sama janji kamu atau nggak, lanjutkan saya suka cara kamu.”
“Om ini lucu, padahal saya udah nggak enak hati sama Om.”
“Makasih pujiannya ya Fayyadh, banyak yang bilang memang saya cocok jadi pelawak,” jawab Khalil.
Fayyadh tersenyum getir. “Om maaf maksud saya nggak begitu, say—”
“Fayyadh, santai aja ngobrol sama saya. Saya emang suka bercanda, kamu ini gugupnya kayak ngobrol sama calon mertua aja, beda sama waktu di kafe tempo hari,” nilai Khalil.
“Om bisa aja,” jawab Fayyadh.
Nika yang baru saja menuruni tangga langsung mengerutkan dahinya bingung mendapati Khalil dan Fayyadh yang kembali menukar tawa. “Asik banget kalian berdua ngobrolnya,” sindir Nika.
“Ini cukup jadi rahasia kita berdua aja ya, Fayyadh,” ucap Khalil dibalas tatapan tanda tanya oleh Nika maupun Fayyadh.
“Rahasia apaan Pih? Kok mainnya rahasiaan?”
Khalil tak menjawab memilih mendorong putrinya keluar dari rumah disusul Fayyadh yang mengekor dibelakang Khalil. “Hati-hati ya Fayyadh, bawa motornya jangan ngebut - ngebut. Bahaya kalau sampai luka nanti Mamihnya marah sama saya,” peringat Khalil tajam.
“Iya om, saya pasti bawa Nika kembali kerumah ini dengan selamat kok!” jawab Fayyadh meyakinkan.
Khalil mengangguk. “Satu sama Nika,” sindir Khalil, Nika hendak berteriak kesal sebelum akhirnya Khalil melenggang pergi memasuki area rumah.
“Ayo Nika!” ajak Fayyadh menyerahkan helm untuk juniornya pakai. “Makasih Kak,” jawab Nika menerima helm tersebut.
“Udah mau berangkat Non?” tanya Pak Yanto penjaga kebun sekaligus supir pribadi keluarga Nika.
“Iya Pak, Nika berangkat dulu ya,” pamit Nika diikuti utasan senyum milik Fayyadh.
“Pegangan Nika,” lontar Fayyadh. “Lu nggak perlu pegangan sama pinggang gue kalau risih, bisa pegangan kemeja gue aja,” jelas Fayyadh karena Nika tak kunjung berpegangan.
“Kak Fayyadh nggak lagi modus 'kan?”
“Lu fikir gue cowok apaan? Ini 'kan demi keselamatan lu juga, ayo nanti keburu telat kita.” pada akhirnya Nika mengalah, memilih memegang area pinggang kemeja yang dikenakan oleh Fayyadh.
Khalil yang sedari tadi mengintip dari jendela rumahnya hanya tersenyum, putrinya sudah tumbuh besar sekarang. “Harusnya kamu liat ini, Ning.”
...꒰🖇꒱...
Motor milik Fayyadh melaju, membelah jalanan yang kala siang itu tampak ramai, maklum ini hari minggu, waktu yang pas untuk berpergian setelah lima hari bekerja.
“Lu kepanasan?” tanya Fayyadh menepis cahaya menyilaukan dari sang surya.
Nika yang sendari tadi menyipitkan matanya mengangguk. “Lumayan Kak!”
“Oke, kita mampir bentar,” ucap Fayyadh membelokkan stang motornya ke salah satu toko pakaian yang terletak di pinggir jalan. “Kita ngapain kesini Kak?” tanya Nika bingung.
“Ayo!” ajak Fayyadh, dengan kebingungan Nika turun dari motor. Fayyadh dengan cekatan melepaskan helm yang tengah dipakai oleh Nika ketika melihat gadis itu tampak kesusahan. “Maafin gue ya, gue nggak punya mobil, jadi lu harus kepanasan,” ungkap Fayyadh tak enak hati.
“Kak Fayyadh ngomong apaan sih!” jawab Nika melihat raut wajah bersalah dari Fayyadh.
“Yaudah ayo, semakin lama kita diluar malah semakin panas,” ajak Fayyadh menggandeng tangan milik Nika secara tiba-tiba. Sementara gadis itu termenung tak bisa protes. Ia hanya bisa pasrah mengikuti langkah kaki Fayyadh menuntunnya masuk ke dalam toko tersebut. “Lu suka warna apa, Nika?”
“Warna?” tanya Nika bingung. “Hmm, army?”
Fayyadh mengangguk langsung menarik tangan Nika ke jajaran cardigan lengan panjang yang menjadi tujuannya ke toko tersebut, dipilihnya dengan seksama warna favorit dari Nika. “Ini gimana, suka?”
“Kak?” tanya Nika melepaskan genggaman tangannya dengan Fayyadh.
“Ya?”
“Nika bingung. Ini maksudnya apa ya?” tawa Fayyadh menggema. Ia tersenyum menatap lurus manik mata milik Nika. “Biar lu nggak kepanasan, lu pakai lengan pendek jadi mari kita cari aman.”
“This is over,” protes Nika.
“*I want buy the cardigan for gif*t.”
“Gift? For me?”
Fayyadh mengangguk. “Ya buat lu lah, 'kan nggak mungkin buat gue.”
“Nika bingung Kak,” jelas Nika. Fayyadh hanya diam, memilih berjalan menuju meja kasir dan membayar cardigan pilihannya. “Terimakasih, Mbak!”
“Sama-sama Kak,” jawab pegawai tersebut tersenyum ramah ke arah Fayyadh. “Nika, ini pakai, terus kita lanjut lagi, jalan.”
Nika mengangguk. Masih tidak habis fikir dengan jalan pikiran pria di depannya. Sulit untuk ia mengerti. “Jangan bingung Nika, anggap aja ini permintaan maaf gue udah buat lu kepanasan. Gue dah janji sama Om Khalil buat jagain lu, nggak enak kalau gue ngelanggar.”
“Oh karena Papih,” jelas Nika mengerti.
“Nggak juga Nika, gue juga nggak pengen liat lu kepanasan,” pertegas Fayyadh menatap manik mata milik Nika sambil memasangkan helm untuk gadis tersebut.
“Kak, Nika ini perempuan,” lontar Nika tiba-tiba.
Fayyadh tertawa kecil. Masih menatap Nika yang tampak lucu dengan helm milik Fayyadh. “Yang bilang lu laki-laki siapa Nika?”
“Bukan itu maksud Nika Kak, yang Nik—”
“Anggap aja gue lagi berjuang dalam proses PDKT Ka,” jawab Fayyadh langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Hah? PDKT? Sama siapa?” tanya Nika masih terkejut. Fayyadh menelan saliva-nya dengan berat, sebelum memberanikan diri menatap manik mata milik Nika. “Lu!”
Detik selanjutnya waktu terasa terhenti bagi Nika, suara bising kendaraan seolah lenyap begitu saja. Bersama manik tegas Fayyadh yang seolah menembus tubuhnya begitu dalam Nika terhanyut dalam debaran jantung yang tak dapat ia jelaskan secara rinci.
“Nika?” panggil Fayyadh panik melihat Nika mematung tak berkedip. “Nik? Nyebut woy!”
“NIKA!!”
...꒰🖇꒱...
“Aduh ketua BEM, kita tumben dateng telat,” sindir Deena ketika mendapati Fayyadh datang bersama Nika. “Pantes aja, jemput cewek dulu. Buaya! Buaya!”
“Mulut lu lemes amat Deen, biarin temen lu baru dapet mangsa,” timpal Adri.
Fayyadh mendelik kesal setelah mempersilakan Nika untuk duduk di sebelahnya. “Buaya! Buaya! Mantan aja nggak punya gue,” bela Fayyadh tak terima.
“Ya gimana mau punya mantan, kan selama ini cuma baperin abis itu ngilang, eaa, suhunya Adri!” bongkar sang ketua event.
“Hati-hati ya dik Nika, Fayyadh diem-diem menghanyutkan. Tapi kalau dah bucin maksimal get well soon lu nggak bisa pergi,” peringat Deena dengan tatapan tajam.
Fayyadh menatap manik mata Nika, sembari menggenggam tangan gadis itu lembut. “this a joke,” ucap Fayyadh.
Nika hanya memilih membungkam. Manik mata milik Fayyadh seolah menyihirnya. Ia memilih mengembangkan senyum tak ingin berpendapat apa-apa. Toh sejauh ini ia memandang Fayyadh hanya sebagai seniornya tidak lebih, untuk saat ini.
“Buruan mulai rapatnya, keburu buka nih!” sindir salah satu anggota BEM sekaligus koordinator bagian keamanan.
“Cielah puasa apaan lu hari minggu,” jawab Adri ketus sebelum membuka acara rapat.
Selama rapat berlangsung dan setelah bagian keuangan menyelesaikan laporan sementaranya, Fayyadh banyak diam, terus memperhatikan Nika yang tampak kurang nyaman. Apalagi berulang kali tatapan Deena seolah mengintimidasinya. “Mau tuker tempat duduk?” bisik Fayyadh.
Nika mengerutkan dahinya bingung. “Biar lu nyaman, Nik. Ayo!” gadis itu akhirnya mengangguk. Ternyata Fayyadh menyadari kegelisahannya. Duduk di depan Deena persis membuat pikirannya tidak tenang. Apalagi kejadian tempo hari mengenai penambahan pengisi acara yang membuatnya menangis. “Ada gue tenang aja,” tegas Fayyadh mencoba menenangkan Nika.
“Makasih Kak,” ucap Nika dibalas anggukan oleh pria tersebut.
Rapat yang dihadiri oleh puluhan orang itu akhirnya berakhir. Menyisakan pengurus inti dan koordinator yang masih harus menjelaskan arahan dari Adri, dan beberapa tambahan dan koreksi dari Fayyadh. Nika hanya menyimak, bersama salah satu teman satu angkatan yang menjadi wakil Sekretaris. Lagi, bagaimana cara Fayyadh berbicara dan menjelaskan adalah poin tersendiri yang baru Nika temui.
“Kak Fayyadh keren ya, Ka,” puji wakil Sekretaris event tersebut. Nika hanya bisa mengangguk setuju. “Lu ada hubungan sama Kak Fayyadh? Kemarin gue liat lu ngobrol sama Kak Fayyadh dikafe, terus sekarang berangkat bareng.”
“Ini cuma karena event aja kok murni, dan karena kebetulan searah jadi bareng, jangan nyebar rumor aneh loh,” perjelas Nika tegas meski diakhiri tawa.
“Okey ada yang mau nambahin?” lontar Adri dibalas gelengan oleh beberapa orang. “Oke kita tutup. Untuk hasil rapat udah dirangkum sama wakil Sekretaris, jangan lupa kirim di grup, siapa tau ada yang cuma dengerin tapi pikiran fokus ke ayang.”
“Serius, Dri!” tegur Fayyadh.
“Ampun mas bro!” ucap Adri takut. “Thanks buat semuanya yang udah hadir, untuk rapat selanjutnya jadwal bakalan nyusul, diharapkan seluruh divisi totalitas ngelakuin tugasnya bisa?”
“Bisa!”
“Oke, see you next time!” tutup Adri yang langsung dibalas suara riuh beberapa orang yang tampak terburu untuk kembali ke rumahnya masing-masing.
Fayyadh juga sama bangkit berdiri sambil memainkan kunci motor di tangan kirinya. “Ayo, Nika!” ajaknya.
“Lah, lu kagak ngumpul dulu mas bro?” tanya Adri.
“Nggak, gue udah ada janji sama seseorang,” jawab Fayyadh dibalas tatapan bingung oleh teman-temannya. “Duluan semua,” pamit Fayyadh diikuti oleh senyum milik Nika.
“Taruhan sama gue, kalau Fayyadh sama Nika nggak bakal sampai jadian!” tantang Deena kepada Adri. “Yang kalah kudu nurutin permintaan yang menang,” usul Adri yang dengan tegas ditolak oleh Deena. “Kalau lu menang permintaan lu diluar logika semua, Dri!” protesnya. “Lu mau nggak?” tanya Adri yang dengan enggan dibalas anggukan oleh Deena.
Baik Nika maupun Fayyadh tampak jalan beriringan menuju parkiran. “maaf kalau kelakuan Deena sama Adri tempo hari buat lu kagak nyaman,” ucap Fayyadh membuka obrolan.
“Nggak kok kak, bener kata Papih, Nika itu cengeng,” jawab Nika.
“Mereka emang keterlaluan Nika, udah jangan dibahas.”
Nika tertawa menggeleng heran membuat dua alis Fayyadh tampak menyatu. “Kak Fayyadh aneh, padahal Kak Fayyadh duluan loh yang mulai,” sindir Nika.
“Iya juga sih, yaudah ayo kita pulang, tapi mampir dulu ya beli martabak, mau?” ajak Fayyadh, membuat Nika mengangguk. Bagaimanapun ia hanya menumpang, jadi kemana Fayyadh pergi maka ia akan ikut. “By the way, Om Khalil suka martabak apa?”
“Martabak kesukaan Papih?” tanya balik Nika.
“Iya Nika, kan gue beli emang sengaja buat Om Khalil.”
Nika menatap Fayyadh dengan curiga. “Kak Fayyadh nggak lagi diperas 'kan sama Papih?” detik itu juga tawa Fayyadh terlontar bersamaan dengan tangannya yang reflek mengancak surai rambut milik Nika.
...꒰🖇꒱...
Dengan tatapan bingung Khalil terdiam menatap putrinya yang terus memandangnya dengan tatapan tajam. “Okey, kali ini Papih salah apalagi?” tanyanya pasrah.
“Papih minta dibeliin Martabak sama Kak Fayyadh? Aduh Papih 'kan bisa beli sendiri, kalau Papih males beli sendiri bisa minta tolong loh sama Pak Yanto. Kan malah Nika jadi nggak enak sama Kak Fayyadh,” protes Nika.
Khalil hanya terdiam menikmati setiap kata yang terlontar dari mulut putrinya. “Suatu saat kamu akan mengerti kata-kata ini ‘bahwa sejatinya seorang pria itu dipegang ucapannya, bukan hanya janji yang menjadi omong kosong belaka’ suatu saat kamu pasti mengerti Nika,” Jelas Khalil.
“Apa Papih juga dulu janji pernah bahagiain Mamih? Kalau iya berarti Papih bukan pria sejati,” ungkap Nika sebelum menaiki tangga rumahnya menuju lantai dua. Khalil hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar. Boomerang.
“Ning, Doktrin apa yang sudah kamu tanam di diri Nika?” tanya Khalil frustasi.
✄ - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - -06-04-23𖠄ྀྀ
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments