Cyber Enemy
...PROLOG...
Aku tidak pernah membayangkan seorang laki-laki yang selama ini menyayangiku melebihi kedua orang tuaku akan mengkhianati ku dan ayahku. Tetapi semua itu berubah ketika aku menginjakkan kaki di sebuah kota kecil yang dingin untuk melaksanakan misi ku sebagai pengintai.
Gadis mungil tomboi dan kaya raya yang menjadi incaran ku, telah membuka mataku yang selama ini dibutakan. Dia duduk di hadapanku, membuka kedoknya sendiri dan membongkar kedok paman yang selama ini sangat menyayangiku. Dia juga yang telah menyelamatkan ayahku dari kematian, meskipun beberapa bulan kemudian, kematian itu tetap datang menjemputnya.
Aku terdiam melihat tubuh tua renta yang sudah pucat dan kaku itu terbaring di pemakaman. Tanah Basah menutupi jasadnya. Senyum terakhirnya masih terkembang di bibirnya yang telah membeku selamanya.
...***...
Aku Raja. Usiaku, tidak ada yang tahu. Karena usiaku di identitas tanda pengenal tak pernah sama dengan usiaku yang sebenarnya.
Aku biasa di panggil Rey. Aku seorang Cyber Enemy, musuh dunia maya yang akan meretas data-data bahkan membobol keuangan orang-orang yang memiliki aliran dana di luar kewajaran.
Kelompok kami memiliki inisial CEP (Cyber Enemy Predator). Di kepolisian, setiap kali ada informasi berharga yang mengatasnamakan CEP, itu artinya kepolisian akan segera mendapatkan tangkapan besar di suatu tempat.
Di tempat ini, aku bekerja sebagai pengintai. Aku meretas data orang-orang di suatu tempat, mendapatkannya, menganalisanya, kemudian turun ke lapangan untuk melihat langsung kehidupan mereka, dari mana mereka mendapatkan uang dalam jumlah yang sangt banyak.
Seperti hari ini. Aku berdiri di pinggir jalan, menatap bangunan luas yang terbentang megah di bawah jalan yang ku pijak. Gedung putih itu bertingkat tiga belas, menjulang tinggi di tengah hamparan rumput hijau yang terbelah oleh anak sungai. Garis yang berkelok-kelok membentuk lengkungan dan lingkaran tergambar di atasnya. Semburat titik-titik hitam yang menyebar di sekitanya, menandakan banyaknya titik lahan parkir yang dibutuhkan untuk menampung kendaraan ribuan mahasiswa yang hilir mudik di dalam gedung. Entah ini kampus ke berapa yang akan ku masuki dalam lima belas tahun terakhir ini.
Sebelumnya, aku tidak pernah bermimpi aku akan terikat selamanya dengan kota kecil yang dingin ini. Ketika aku menginjakkan kakiku di sini, mendaftar di salah satu universitas ternama di kota ini, seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu berfikir aku hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari satu tahun untuk berada di tempat ini. Dan hari ini adalah hari pertama aku masuk ruang kelas kuliah dengan mata kuliah pengantar arkeologi tekstual.
Aku mengambil jurusan ini bukan karena aku ingin menjadi arkeolog, tapi hanya sekedar iseng karena aku sudah bosan dengan mata kuliah aljabar, alogaritma, statistika dan teman-temannya. Aku sudah mengantongi dua ijasah IT dari dua universitas ternama dan aku tidak perlu teori untuk bisa mengakses komputer di seluruh negeri.
Toh aku hanya butuh dua atau empat semester saja. Aku mengingatkan diriku sendiri saat dengan langkah gontai aku memasuki ruangan kelas yang masih kosong.
Masih terlalu pagi. Hanya ada dua anak laki-laki di sana, duduk di deretan tengah, saling mengobrol. Aku berjalan lurus ke belakang, tersenyum sedikit saat melewati mereka. Aku sengaja mengambil posisi paling ujung belakang karena tak ingin ada yang mengintip aktivitas ku di antara mendengarkan materi perkuliahan.
Beberapa menit berlalu, bangku-bangku mulai terisi dan celoteh mahasiswa baru mulai ramai.
Aku membuka laptop lalu menyambungkan WiFi pada WLAN universitas. Satu... dua... tiga... sepuluh... lima puluh... tujuh puluh.... Ku dapati anak-anak yang ceroboh juga telah menyalakan WiFi yang terhubung dengan WLAN universitas dan tentu saja berada di jaringan yang sama dengan yang ku gunakan. Tidak hanya laptop dan notebook, malah kebanyakan adalah ponsel. Perangkat pintar yang dengan mudah membuka seluruh rahasia yang mereka pikir telah mereka simpan dengan aman dengan bermacam sandi rumit bahkan sidik jari. Ha! Beberapa dari mereka bahkan dengan polosnya mengaktifkan bluetooth tanpa perlu menggunakannya.
Dengan lihai tanganku mulai meretas data-data di dalamnya. Aku memang ahli meretas data, tetapi aku tidak pernah mengganggu data atau akun sosial media orang lain dengan keahlian ku. Aku tidak pernah iseng, apalagi melakukan tindak kejahatan online seperti menyalah gunakan akun seseorang. Itu pekerjaan rendahan menurutku.
Aku mulai meretas data-data mereka satu per satu. Beberapa ponsel kutemukan pernah bahkan sering berhubungan dengan nomor-nomor ponsel mangsa-mangsaku. Ada yang anaknya, saudaranya, temannya, bahkan beberapa dosen di sini masuk dalam kandidat calon mangsaku. Tentu saja. Kampus ini termasuk universitas elite dengan biaya per semester yang tidak murah. Yang kuliah di sini tentu kebanyakan anak-anak pejabat dan konglomerat. Aku tersenyum puas.
Seseorang masuk, mendorong pintu kelas agak terlalu berisik. Kepalaku mendongak.
“Hai, Raya!” Seorang anak laki-laki yang berdiri di tengah kelas menyambut kedatangan gadis yang mendorong pintu itu.
Gadis itu mengangkat tangannya, melambai ke tengah ruangan. Beberapa anak ikut meneriakkan namanya sambil balas melambai. Sepertinya gadis ini cukup populer.
“Stevan... Yo... Bram....” Gadis itu mengepalkan tangan, meninju satu-satu kepalan tangan yang juga mengarah kepadanya. Mungkin itu semacam salam yang biasa mereka gunakan.
Aku menggelengkan kepala dan kembali menunduk memandang layar laptopku.
Tidak lama, gadis dengan rambut hitam jigrak itu membanting tubuhnya di kursi di sebelahku.
"Hai, Boy. Baru masuk? Aku tidak melihatmu di orientasi mahasiswa baru," sapanya.
Aku menoleh. Dia mengeluarkan notebook hitam 11” dari tas ransel abu-abunya, kemudian melempar tasnya ke bawah kursi. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang sudah acak-acakan sambil mengerut menatapku.
"Eh, ya. Aku, aku tidak ikut orientasi," jawabku sedikit kebingungan. Aku tidak terbiasa di sapa seramah itu oleh seseorang. Di tempat-tempat sebelumnya, mereka bahkan seringkali mengabaikan ku, menganggap ku pria culun yang tidak pandai bersosialisasi.
Gadis itu tersenyum lebar, melirik laptopku sejenak –untung aku sudah menggantinya dengan situs bola– lalu kembali ke notebook miliknya dan membukanya.
Dosen dengan rambut hitam tebal dan disisir rapi memasuki ruang kelas. Laki-laki 50an tahun itu memperkenalkan diri, menyebut namanya, pak Bondan.
Pak Bondan memulai kelas dengan memanggil nama kami satu persatu sesuai urutan absen. Tiba pada nama Yofinda Altara Raya, gadis di sebelahku mengangkat tangan.
Aku menatapnya dan tatapanku jatuh pada telinganya. Sebuah benda hitam yang menempel pada sisi belakang daun telinganya –di belakang anting hitam berbentuk naga yang melingkar di sepanjang cuping telinganya– tersambung pada bulatan besar yang menempel di sisi kepalanya. Rambut jigraknya yang pendek berantakan tersisir ke arah dapan, sedikit bisa menyamarkan keberadaan benda mencolok itu. Aku mengerutkan kening. Alat bantu dengar. Gadis ini tuna rungu. Aku membatin dengan iba.
Aku masih memandangnya ketika dia menoleh –mungkin merasakan tatapanku– dan mengerutkan alis.
"Ada yang salah?" tanyanya ramah.
Kaget, aku berusaha tersenyum, tapi dia sudah memalingkan muka dan kembali memandang notebooknya.
belum habis kaget ku, aku dikejutkan oleh kelainan lain pada dirinya. Matanya... Matanya terlihat aneh. Sepertinya kedua matanya berbeda. Yang satu hitam dengan sorot mata tajam seperti layaknya mata normal meski lebih dalam, tetapi yang satu lagi lebih datar dan berbayang tipis walau pun sama-sama hitam. Meski sekilas tampak sama, tapi jelas kedua matanya berbeda. Terkesan seperti orang yang mengenakan lensa kontak hanya pada sebelah mata.
Di depan, pak Bondan mulai mengoceh tentang mata kuliah, memaksaku mengalihkan pandangan dari gadis Raya. Aku memperhatikan dengan bosan, hanya menyerap beberapa penjelasan yang sedikit menarik.
Sembilan puluh menit berlalu, bel berbunyi. Semua anak mulai beranjak, tetapi Raya tidak.
“Hai.” Sapa ku.
Raya memalingkan wajahnya dari notebook –layarnya menampilkan film kartun kucing biru– memandangku. Dia tidak menjawab, hanya menatapku diam.
“Yofinda? Aku Rey.” Aku mengulurkan tangan, menyapa dengan nama depannya seolah telingaku tak pernah menangkap bagaimana teman-teman lain menyapanya.
“Raya,” jawabnya datar tanpa ekspresi, lalu kembali memandang notebooknya. Dibiarkannya tanganku menggantung di udara. Sial. Kenapa dia berubah begitu dingin. Bukankah tadi dia menyapaku dengan sangat ramah. Atau, dia tersinggung karena aku memperhatikan mata dan telinganya tadi.
Aku menarik kembali tanganku dan kembali pada laptopku. Rasa iba tiba-tiba saja merasuk ke dalam hatiku. Gadis ini –ketika datang pagi tadi– begitu riang dan jelas mempunyai banyak teman. Dia hidup hampir normal walau dengan banyak kecacatan fisik pada tubuhnya. Tetapi, jelas dia memiliki kekurangan dan dia tidak suka kekurangannya diperhatikan dengan tatapan ingin tahu seperti tatapanku tadi.
“Kamu tidak ke kantin?” tanyaku, berusaha memperbaiki rasa bersalah yang bersarang di hatiku. Raya menjawab dengan gelengan, lalu mendorong kursi di depannya dengan kaki untuk memberiku jalan. Aku cepat-cepat menggeleng.
“Tidak. Aku juga tidak ke kantin,” jawabku.
Raya, kembali memandangku dan mengerutkan kening. Sedetik kemudian dia sudah kembali memandang layar notebooknya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments