NovelToon NovelToon

Cyber Enemy

TEMPAT BARU

...PROLOG...

Aku tidak pernah membayangkan seorang laki-laki yang selama ini menyayangiku melebihi kedua orang tuaku akan mengkhianati ku dan ayahku. Tetapi semua itu berubah ketika aku menginjakkan kaki di sebuah kota kecil yang dingin untuk melaksanakan misi ku sebagai pengintai. 

Gadis mungil tomboi dan kaya raya yang menjadi incaran ku, telah membuka mataku yang selama ini dibutakan. Dia duduk di hadapanku, membuka kedoknya sendiri dan membongkar kedok paman yang selama ini sangat menyayangiku. Dia juga yang telah menyelamatkan ayahku dari kematian, meskipun beberapa bulan kemudian, kematian itu tetap datang menjemputnya.

Aku terdiam melihat tubuh tua renta yang sudah pucat dan kaku itu terbaring di pemakaman. Tanah Basah menutupi jasadnya. Senyum terakhirnya masih terkembang di bibirnya yang telah membeku selamanya.

...***...

Aku Raja. Usiaku, tidak ada yang tahu. Karena usiaku di identitas tanda pengenal tak pernah sama dengan usiaku yang sebenarnya.

Aku biasa di panggil Rey. Aku seorang Cyber Enemy, musuh dunia maya yang akan meretas data-data bahkan membobol keuangan orang-orang yang memiliki aliran dana di luar kewajaran.

Kelompok kami memiliki inisial CEP (Cyber Enemy Predator). Di kepolisian, setiap kali ada informasi berharga yang mengatasnamakan CEP, itu artinya kepolisian akan segera mendapatkan tangkapan besar di suatu tempat.

Di tempat ini, aku bekerja sebagai pengintai. Aku meretas data orang-orang di suatu tempat, mendapatkannya, menganalisanya, kemudian turun ke lapangan untuk melihat langsung kehidupan mereka, dari mana mereka mendapatkan uang dalam jumlah yang sangt banyak.

Seperti hari ini. Aku berdiri di pinggir jalan, menatap bangunan luas yang terbentang megah di bawah jalan yang ku pijak. Gedung putih itu bertingkat tiga belas, menjulang tinggi di tengah hamparan rumput hijau yang terbelah oleh anak sungai. Garis yang berkelok-kelok membentuk lengkungan dan lingkaran tergambar di atasnya. Semburat titik-titik hitam yang menyebar di sekitanya, menandakan banyaknya titik lahan parkir yang dibutuhkan untuk menampung kendaraan ribuan mahasiswa yang hilir mudik di dalam gedung. Entah ini kampus ke berapa yang akan ku masuki dalam lima belas tahun terakhir ini.

Sebelumnya, aku tidak pernah bermimpi aku akan terikat selamanya dengan kota kecil yang dingin ini. Ketika aku menginjakkan kakiku di sini, mendaftar di salah satu universitas ternama di kota ini, seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu berfikir aku hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari satu tahun untuk berada di tempat ini. Dan hari ini adalah hari pertama aku masuk ruang kelas kuliah dengan mata kuliah pengantar arkeologi tekstual. 

Aku mengambil jurusan ini bukan karena aku ingin menjadi arkeolog, tapi hanya sekedar iseng karena aku sudah bosan dengan mata kuliah aljabar, alogaritma, statistika dan teman-temannya. Aku sudah mengantongi dua ijasah IT dari dua universitas ternama dan aku tidak perlu teori untuk bisa mengakses komputer di seluruh negeri. 

Toh aku hanya butuh dua atau empat semester saja. Aku mengingatkan diriku sendiri saat dengan langkah gontai aku memasuki ruangan kelas yang masih kosong.

Masih terlalu pagi. Hanya ada dua anak laki-laki di sana, duduk di deretan tengah, saling mengobrol. Aku berjalan lurus ke belakang, tersenyum sedikit saat melewati mereka. Aku sengaja mengambil posisi paling ujung belakang karena tak ingin ada yang mengintip aktivitas ku di antara mendengarkan materi perkuliahan.

Beberapa menit berlalu, bangku-bangku mulai terisi dan celoteh mahasiswa baru mulai ramai. 

Aku membuka laptop lalu menyambungkan WiFi pada WLAN universitas. Satu... dua... tiga... sepuluh... lima puluh... tujuh puluh.... Ku dapati anak-anak yang ceroboh juga telah menyalakan WiFi yang terhubung dengan WLAN universitas dan tentu saja berada di jaringan yang sama dengan yang ku gunakan. Tidak hanya laptop dan notebook, malah kebanyakan adalah ponsel. Perangkat pintar yang dengan mudah membuka seluruh rahasia yang mereka pikir telah mereka simpan dengan aman dengan bermacam sandi rumit bahkan sidik jari. Ha! Beberapa dari mereka bahkan dengan polosnya mengaktifkan bluetooth tanpa perlu menggunakannya.

Dengan lihai tanganku mulai meretas data-data di dalamnya. Aku memang ahli meretas data, tetapi aku tidak pernah mengganggu data atau akun sosial media orang lain dengan keahlian ku. Aku tidak pernah iseng, apalagi melakukan tindak kejahatan online seperti menyalah gunakan akun seseorang. Itu pekerjaan rendahan menurutku. 

Aku mulai meretas data-data mereka satu per satu. Beberapa ponsel kutemukan pernah bahkan sering berhubungan dengan nomor-nomor ponsel mangsa-mangsaku. Ada yang anaknya, saudaranya, temannya, bahkan beberapa dosen di sini masuk dalam kandidat calon mangsaku. Tentu saja. Kampus ini termasuk universitas elite dengan biaya per semester yang tidak murah. Yang kuliah di sini tentu kebanyakan anak-anak pejabat dan konglomerat. Aku tersenyum puas.

Seseorang masuk, mendorong pintu kelas agak terlalu berisik. Kepalaku mendongak. 

“Hai, Raya!” Seorang anak laki-laki yang berdiri di tengah kelas menyambut kedatangan gadis yang mendorong pintu itu.

Gadis itu mengangkat tangannya, melambai ke tengah ruangan. Beberapa anak ikut meneriakkan namanya sambil balas melambai. Sepertinya gadis ini cukup populer.

“Stevan... Yo... Bram....” Gadis itu mengepalkan tangan, meninju satu-satu kepalan tangan yang juga mengarah kepadanya. Mungkin itu semacam salam yang biasa mereka gunakan.

Aku menggelengkan kepala dan kembali menunduk memandang layar laptopku. 

Tidak lama, gadis dengan rambut hitam jigrak itu membanting tubuhnya di kursi di sebelahku.

"Hai, Boy. Baru masuk? Aku tidak melihatmu di orientasi mahasiswa baru," sapanya.

Aku menoleh. Dia mengeluarkan notebook hitam 11” dari tas ransel abu-abunya, kemudian melempar tasnya ke bawah kursi. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang sudah acak-acakan sambil mengerut menatapku.

"Eh, ya. Aku, aku tidak ikut orientasi," jawabku sedikit kebingungan. Aku tidak terbiasa di sapa seramah itu oleh seseorang. Di tempat-tempat sebelumnya, mereka bahkan seringkali mengabaikan ku, menganggap ku pria culun yang tidak pandai bersosialisasi.

Gadis itu tersenyum lebar, melirik laptopku sejenak –untung aku sudah menggantinya dengan situs bola– lalu kembali ke notebook miliknya dan membukanya. 

Dosen dengan rambut hitam tebal dan disisir rapi memasuki ruang kelas. Laki-laki 50an tahun itu memperkenalkan diri, menyebut namanya, pak Bondan.

Pak Bondan memulai kelas dengan memanggil nama kami satu persatu sesuai urutan absen. Tiba pada nama Yofinda Altara Raya, gadis di sebelahku mengangkat tangan.

Aku menatapnya dan tatapanku jatuh pada telinganya. Sebuah benda hitam yang menempel pada sisi belakang daun telinganya –di belakang anting hitam berbentuk naga yang melingkar di sepanjang cuping telinganya– tersambung pada bulatan besar yang menempel di sisi kepalanya. Rambut jigraknya yang pendek berantakan tersisir ke arah dapan, sedikit bisa menyamarkan keberadaan benda mencolok itu. Aku mengerutkan kening. Alat bantu dengar. Gadis ini tuna rungu. Aku membatin dengan iba. 

Aku masih memandangnya ketika dia menoleh –mungkin merasakan tatapanku– dan mengerutkan alis.

"Ada yang salah?" tanyanya ramah.

Kaget, aku berusaha tersenyum, tapi dia sudah memalingkan muka dan kembali memandang notebooknya.

belum habis kaget ku, aku dikejutkan oleh kelainan lain pada dirinya. Matanya... Matanya terlihat aneh. Sepertinya kedua matanya berbeda. Yang satu hitam dengan sorot mata tajam seperti layaknya mata normal meski lebih dalam, tetapi yang satu lagi lebih datar dan berbayang tipis walau pun sama-sama hitam. Meski sekilas tampak sama, tapi jelas kedua matanya berbeda. Terkesan seperti orang yang mengenakan lensa kontak hanya pada sebelah mata. 

Di depan, pak Bondan mulai mengoceh tentang mata kuliah, memaksaku mengalihkan pandangan dari gadis Raya. Aku memperhatikan dengan bosan, hanya menyerap beberapa penjelasan yang sedikit menarik.

Sembilan puluh menit berlalu, bel berbunyi. Semua anak mulai beranjak, tetapi Raya tidak. 

“Hai.” Sapa ku. 

Raya memalingkan wajahnya dari notebook –layarnya menampilkan film kartun kucing biru– memandangku. Dia tidak menjawab, hanya menatapku diam.

“Yofinda? Aku Rey.” Aku mengulurkan tangan, menyapa dengan nama depannya seolah telingaku tak pernah menangkap bagaimana teman-teman lain menyapanya.

“Raya,” jawabnya datar tanpa ekspresi, lalu kembali memandang notebooknya. Dibiarkannya tanganku menggantung di udara. Sial. Kenapa dia berubah begitu dingin. Bukankah tadi dia menyapaku dengan sangat ramah. Atau, dia tersinggung karena aku memperhatikan mata dan telinganya tadi.

Aku menarik kembali tanganku dan kembali pada laptopku. Rasa iba tiba-tiba saja merasuk ke dalam hatiku. Gadis ini –ketika datang pagi tadi– begitu riang dan jelas mempunyai banyak teman. Dia hidup hampir normal walau dengan banyak kecacatan fisik pada tubuhnya. Tetapi, jelas dia memiliki kekurangan dan dia tidak suka kekurangannya diperhatikan dengan tatapan ingin tahu seperti tatapanku tadi.

“Kamu tidak ke kantin?” tanyaku, berusaha memperbaiki rasa bersalah yang bersarang di hatiku. Raya menjawab dengan gelengan, lalu mendorong kursi di depannya dengan kaki untuk memberiku jalan. Aku cepat-cepat menggeleng.

“Tidak. Aku juga tidak ke kantin,” jawabku. 

Raya, kembali memandangku dan mengerutkan kening. Sedetik kemudian dia sudah kembali memandang layar notebooknya lagi.

TERTIDUR

Kelas mulai terisi mahasiswa lain yang akan mengikuti mata kuliah pak Bondan. Raya menutup notebooknya, memasukkannya asal ke dalam tas punggungnya lalu menyampirkannya di satu pundak sambil berdiri dan segera berjalan keluar kelas. 

Kemeja kotak-kotak hitam garis hijau yang dikenakannya untuk melapisi kaos hitam ketat, melambai sedikit saat dia berjalan. Lengan kemejanya dilipat hingga sebatas siku. Langkahnya mantap di bawah sepatu kets limited edition brand internasional –aku terkejut melihatnya– yang mungkin hanya dia satu-satunya yang mengenakannya di kota ini. Perpaduan gaya rambut, baju dan sepatu itu sangat cocok menempel di tubuhnya yang mungil tapi terlihat sangat lincah.

Aku mengikutinya keluar ruangan menuju kelas berikutnya, kepurbakalaan Indonesia.

Raya duduk satu deret di depanku, mengambil posisi di dekat dinding. Bahu dan kepalanya bersandar santai pada dinding di sisi kirinya. Laptopnya menyala menampilkan film kartun beruang kuning.

Pak Karman, dosen kali ini, tampangnya sangar seperti kepala polisi. Badan tegap, kumis melintang di atas bibir yang tegas, mata dan alis tajam. Kesan pertama yang ditimbulkan adalah orang ini sangat serius, tidak gampang digertak apa lagi diajak bermain-main.

"Selamat siang. Sudah tahu nama saya, kan?" tanyanya begitu kakinya menapak di depan kelas.

"Siapa yang tidak hadir?"

Beberapa kepala menggeleng.

"Lengkap?"

Beberapa yang tadi menggeleng kini mengangguk.

"Baik. Adam Muhammad?" Seorang laki-laki keriting di ujung depan mengangkat tangan.

"Berilius Dimpudus."

Laki-laki lain bertubuh gendut mengangkat tangan.

"Citra Herlina."

"Ervina Maria."

"Gofar Alm Syah."

Laki-laki bertubuh kecil mengangkat tangan.

"Kenapa namamu Alm?" tanyanya, menatap datar laki-laki itu.

"Itu juga yang pertama kali saya tanyakan kepada ibu saya saat saya baru masuk kelas 1 SD, Pak." Anak itu menjawab, seisi kelas terbahak.

"Lalu?"

"Ibu saya bilang itu kesalahan Dinas Pencatatan Sipil. Nama yang ibu berikan Alam, tapi mereka menulisnya kurang huruf," jawab anak itu.

"Salah ibumu juga kenapa saat menerima berkas tidak dikoreksi." Pak Karman menimpali datar. Gekuruh tawa kembali terdengar dari seisi kelas.

"Intan Pratiwi." pak Karman melanjutkan.

"Leo Prakosa."

.

.

.

.

"Yofinda Altara Raya." Raya mengangkat tangan, matanya tidak berpindah dari beruang kuningnya yang kini dikejar-kejar kawanan lebah.

Usai mengabsen semua nama, Pak Karman langsung memasuki materi kuliah, tidak banyak basa basi.

Laki-laki itu menampilkan slide situs-situs purbakala di Indonesia. Yang menarik bagiku, dia tidak lagi membahas mengenai candi-candi yang membosankan, melainkan menampilkan situs-situs purbakala yang belum pernah ku ketahui keberadaannya. Diikuti dengan penjelasan menarik tentang latar belakang situ tersebut, alih-alih hanya membahas tentang tahun dan fungsi situs di masa silam, itu membuat pelajaran yang seharusnya membosankan menjadi terasa menarik.

Empat puluh menit berlalu, slide share menampilkan dua kata umum, terima kasih.

"Ada pertanyaan?" tanya pak Karman. Matanya memindai setiap mahasiswa yang duduk tegang di kursinya.

Hening. Entah semua sudah benar-benar pahan, atau takut untuk mengangkat tangan karena aura pak Karman yang begitu dingin.

"Baiklah kalau semua sudah mengerti." Pak Karman berjalan ke balik meja.

Beberapa anak menghela nafas lega, karena kuliah akan di tutup lebih awal.

"Kalau begitu sekarang saya yang bertanya." Pak Karman melanjutkan kalimatnya dari balik meja, tangannya meraih daftar hadir.

Beberapa mata membelalak ngeri, beberapa memucat, yang lain membeku. Sementara di depan sana, wajah pak Karno menyeringai buas.

Laki-laki itu mulai bertanya sambil matanya memindai nama-nama pada lembar daftar hadir.

"Muhamad Jauhar." Dia menyebut satu nama, setelah mengucapkan deretan pertanyaan rumit. Yang disebut namanya mengangkat tangan, wajahnya memucat.

"Kenapa wajah mu menjadi seputih mayat?" tanya pak Karman, melihat perubahan di wajah Jauhar."

"T-tidak, Pak."

"Kau yakin tidak sedang menahan gas beracun?"

Tidak ada yang berani tertawa, takut terkena lemparan pertanyaan. Jauhar menggeleng cepat.

"Bagus. Kalau begitu kau bisa menjawab pertanyaan ku sekarang."

Meski tergagap dan patah-patah, Jauhar toh berhasil menjawab dengan baik pertanyaan pak Karman.

"Apa yang membuat situs Trinil terkenal. Citra."

Gadis itu mendongak, menatap tegang. "Setelah ditemukan atap tengkorak dan tulang paha Homo Erectus atau Manusia Jawa."

"Siapa yang menemukan?"

Citra membuka mulut, tapi pak Karman mengangkat tangan menghentikan. "Aurelia Nastiti," katanya.

"Eugene Dubois," jawab Nastiti cepat.

Pak karman mengangguk-angguk puas.

"Berikutnya. Situs yang berupa tapak tangan merah di dinding tebing. Yofinda."

Hening. Ku lihat Raya tidak bergerak dari posisinya bersandar di dinding.

"Yofinda Altara Raya."

Ketika nama Raya disebut hingga dua kali dan dia tidak menyahut, Pak Karman mendongak. Begitu pun aku, membungkuk mengintip Raya yang tetap bersandar dengan tenang, matanya terpejam. Tidur.

Astaga! Anak ini benar-benar gila. Tertidur di kelas pada hari pertama masuk kuliah dengan dosen killer berdiri di depan kelas. Apa yang dia harapkan. 

Laki-laki yang duduk tepat di depanku menendang kursinya. Merasakan gerakan keras, mata Raya terbuka, tatapannya langsung jatuh pada dosen yang berdiri membelalak galak di depan kelas. Pelan-pelan dia menegakkan tubuh ke posisi duduk normal, selayaknya mahasiswa di dalam kelas.

"Nah, begitu lebih baik." Pak Karman menatap Raya lekat-lekat. "Jadi... apa jawabannya nona Yofinda?" tanya dosen killer itu, dengan tatapan membunuh.

“Maaf, Pak. Saya tidak terbiasa dengan nama Yofinda. Mungkin jika Anda menyebut saya Raya, saya akan mengerti Anda mengajukan pertanyaan kepada saya,” jawab Raya. Suaranya sangat tenang, tanpa rasa bersalah atau takut sedikitpun. 

Dosen di depan menggeleng tidak percaya, matanya masih membelalak dan semakin lebar. Aku sampai khawatir bola matanya akan terlepas dari rongganya. 

"Baiklah, Raya." Dia menekan kalimatnya pada kata Raya. "Kalau begitu, sekarang jawab pertanyaan saya." Pak Karno manggut-manggut di depan kelas, menunggu detik-detik untuk menerkam gadis itu bulat-bulat. 

Raya menggerakkan tangan kirinya ke telinga, menggosok-gosok alat dengar di balik telinganya. Matanya yang cacat menyipit sedikit, wajahnya mengernyit. Tampaknya dia sudah menyadari bahwa dirinya terpojok dan sedang berusaha mencari jalan keluar dari masalah ini.

Di depan kelas, seringai kemenangan mulai tersungging di wajah pak Karman yang kejam. 

Dan... demi Neptunus yang menjaga seluruh lautan, Raya tiba-tiba saja berdiri, tersenyum.

"Situs yang memiliki tapak tangan berwarna merah di dinding tebing adalah situs purbakala Kokas, terletak di distrik Kokas, kabupaten Fakfak, Papua Barat. Masyarakat setempat biasa menyebutnya situs tapurarang yang artinya cap tangan darah."

Raya menjawab dengan tepat, meski tanpa mendengarkan pertanyaannya. Atau mungkin sebenarnya dia mendengarkan. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, matanya tadi terpejam sebelum temannya menendang kursinya.

Tapi, bagaimana mungkin dia bisa menjawab pertanyaan dengan tepat kalau dia tertidur. Maka, jawaban satu-satunya adalah dia tidak tidur dan dia menyimak pelajaran. 

Pak Karno juga membeku di depan kelas, kaget mendengar jawaban Raya yang dikutip persis kata per kata dari slide yang ditampilkan pak Karno di depan, beberapa menit yang lalu. Seringai seketika menghilang dari wajah pak Karno, berganti dengan ekspresi antara kecewa dan kagum.

Aku mengedarkan pandang ke seluruh kelas, mengamati ekspresi-ekspresi kaget yang sama dari bangku-bangku deret belakang yang tahu Raya tadi memang tertidur. 

Kecewa mangsanya berhasil lolos, pak Karno melanjutkan bertanya pada mahasiswa lain, mencari mangsa lain. Tapi hingga bel berbunyi, tidak ada anak yang tidak mampu menjawab pertanyaan pak Karno. 

PENYELIDIKAN

Raya sudah melempar tasnya ke atas pundak dan melangkah mantap menuju pintu, ketika anak-anak lain masih sibuk mengumpulkan barang. Aku segera membereskan peralatan ku, memasukkannya asal ke dalam tas dan berjalan cepat mengejarnya. Entah apa yang mendorongku, tetapi aku merasa bahwa aku harus mengejarnya dan berbicara dengannya.

Mungkin karena sepatunya yang langsung menarik perhatianku. Atau kemeja dan tasnya yang semuanya keluaran brand ternama. Raya, sepertinya bukan perempuan dari kalangan biasa saja.

Pun begitu, aku sama sekali tidak dapat menemukan perangkatnya di jaringan WLAN universitas, membuatku tidak dapat menyelidiki latar belakangnya.

Aku berjalan di sepanjang koridor, mencarinya kemana-mana, tetapi tidak dapat menemukannya. Di kantin, di kelas berikutnya, di tangga-tangga tempat banyak anak duduk-duduk santai sambil tertawa-tawa, nihil.

Hasrat aneh di dalam diriku memaksaku untuk tidak menyerah, untuk terus berjalan dan menemukannya. Kemana gadis itu menghilang. Padahal aku tadi membereskan buku dan laptop secepat tanganku bisa bergerak supaya bisa mengejarnya. Atau mungkin dia sudah pulang. Mungkin dia tidak mengambil mata kuliah berikutnya. Mungkin dia lelah, makanya tadi tertidur di dalam kelas.

Di saat kakiku mulai menyerah dan aku berhenti melangkah, mataku menemukannya sedang duduk sendirian di bangku taman, di bawah pohon akasia.

Bibirku melengkung membentuk senyuman lebar, rasa lega mengisi rongga dadaku yang sedari tadi terasa berat.

Aku menempel pada koridor lantai tiga, menatap ke arahnya, memperhatikannya. Raya terlihat berbicara sendirian. Mungkin dia sedang menelepon. Kedua kakinya dilipat di atas bangku beton, menghadap ke samping, badannya membungkuk menatap notebook yang terbuka di hadapannya. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard sementara tangan kanannya berkali-kali terangkat, menggulung layar di depannya menggunakan ujung jari sebelum kembali menari-nari di atas keyboard.

Menuruti naluri ku, aku memutuskan untuk turun dan menghampirinya. Aku berjalan tenang ke tempat Raya, pelan tanpa suara.

Lima langkah sebelum aku mencapai tempatnya, Raya menoleh. Lalu, bahkan sebelum tangannya menyentuh apa pun, layar notebooknya padam. 

"Hai." Aku menyapa, meski tidak berhasil menyembunyikan ekspresi keterkejutan di wajahku melihat layar notebook Raya yang tiba-tiba mati.

"Kenapa sendirian. Tidak sedang menonton film kartun lagi kan?" tanyaku sok akrab. Raya menggeleng, ekspresinya datar. 

“Boleh bergabung?” tanyaku sopan. Kesopanan berada pada deretan teratas jika kau tidak ingin permintaanmu ditolak mentah-mentah. Walau aku ragu dia akan mengizinkanku bergabung dengannya, tetapi aku toh tetap mencobanya. Siapa tahu beruntung.

Raya memandangku dari atas ke bawah, kembali lagi ke atas, seolah sedang menilai pantas atau tidak aku duduk bersamanya. Tetapi kemudian sekilas senyum tak berekspresi tersungging di bibir tipisnya. Tanpa mengangguk, dia kembali menatap notebooknya dan menyentuhkan jari tengahnya pada touchpad. 

Aku berdiri mematung, mataku menatap ke arah layar notebook. Aku cukup yakin bahwa kali inj akan menghadapi layar dengan lembar kerja, mengingat aku tadi lama memperhatikannya sedang mengetik sesuatu sambil berbicara di telepon.

Betapa terkejutnya aku ketika layar kecil itu menyala, mataku menangkap gambaran pada layar notebooknya yang menunjukkan film kartun yang lain lagi. Untunglah aku sempat mengatur ekspresi terkejutku sebelum dia menoleh. Karena sedetik setelah keterkejutan ku, dia menoleh.

“Kau tidak capek berdiri?” Dia bertanya, ekspresi dan nadanya tetap datar. 

“Oh, benar. Boleh aku duduk?” Aku tidak menunggu jawaban, karena kali ini aku sudah siap dan sudah tahu dia tidak akan menjawab. Tapi cukup dengan senyuman dan pertanyaannya barusan, aku yakin dia mengizinkanku berada disini. 

Aku duduk di depannya dan mengeluarkan laptop. Raya menunduk menatap laptopnya, wajahnya terlihat tenang. Aku benar-benar kagum dengan gadis cilik yang misterius ini. Dia begitu mempesonaku. Walaupun dia mungkin tuli dan matanya aneh, tapi bagiku dia sangat menarik. Wajahnya yang selalu datar seperti mengundangku untuk mecahkan banyak teka-teki di dalam dirinya. Dan saat mengingat dia menyapaku dengan ceria seperti pagi tadi, sesuatu di dalam perutku tiba-tiba menggeliat liar.

Sayang sekali ada pekerjaan lain yang harus aku kerjakan tentang dia, sebelum aku bisa mengizinkan diriku untuk lebih mengaguminya. Aku harus mengupas keluarganya dan dilihat dari sepatunya saja, aku yakin aku pasti akan menemukan tumpukan harta di salah satu atau bahkan banyak Bank atas nama orang tuanya. Atau mungkin saja kedua orang tuanya sudah masuk di dalam daftar nama yang akan aku hancurkan dalam semalam.

Aku kembali menyalakan WiFi, menyambungkannya dengan WLAN universitas. Tapi lagi-lagi aku tidak dapat menemukan perangkatnya. Sepertinya Raya tidak menyambungkan perangkatnya dengan WLAN universitas.

"Apa kau selalu melakukannya?" tanyaku basa basi, sengaja membuat kalimatku multi persepsi.

"Apa?" tanya Raya, mengerutkan kening.

"Menonton film kartun. Apa kau memang selalu melakukannya di mana pun, atau hanya saat di kampus, jadi kau bisa memanfaatkan jaringan WiFi gratis?" Ku putuskan bertanya, walaupun tujuanku adalah memancing jawaban apakah dia menggunakan wifi atau tidak. Tidak etis jika harus bertanya langsung, 'kenapa kau tidak menggunakan wifi'. Haha itu pertanyaan bodoh. Dan aku jelas bukan orang bodoh. 

Aku sudah terlatih dalam urusan memancing seseorang agar mengungkap segala informasi yang kubutuhkan. Jadi itu sama sekali bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Kalimatku seperti sudah otomatis terbentuk di dalam otak setiap kali aku membutuhkan umpan. Dan ketampananku serta caraku berbicara telah terbukti selama bertahun-tahun selalu mempermudah permainan ini. 

Raya mendongak, menatapku tajam. Aku cepat-cepat mencari kalimat yang tepat untuk berpura-pura gugup. Itu adalah cara kedua agar ucapan kita tak terlihat diskenario.

“M-maaf kalau aku menyinggungmu. Aku... aku tidak bermaksud....” Aku kembali menggantung kalimatku. Memancing dengan kalimat keraguan adalah cara paling efektif untuk berpura-pura merasa bersalah.

Berhasil. Raya tersenyum dan senyumnya adalah senyum termanis yang pernah kutemui dari ribuan wanita yang sudah ku kenal atau menjadi korbanku.

“Aku tidak tersinggung," katanya. "Dan aku tidak pernah menggunakan WiFi. Terlalu lambat. Aku bukan orang yang suka menunggu,” katanya dengan suara yang lebih ramah.

"Oh tentu saja. Aku tahu kau seperti itu," kataku, pura-pura merasa lega.

Raya mengerutkan alis. “Kau tau?” tanyanya curiga. Mata anehnya menyipit tapi dia masih tersenyum. 

Sekarang ganti aku yang tertawa lalu aku sengaja melirik sepatu yang terpasang di kaki kanannya yang terjulur ke bawah. "Tentu hanya orang-orang yang mengenakan sepatu itu yang malas menggunakan fasilitas gratis yang lambat, bukan."

“Oh!” Dia membelalak kaget, senyumnya seketika menghilang. “Aku hanya... senang merasa nyaman.” Suaranya kembali berubah menjadi dingin.

Aku tidak suka itu. Entah kenapa, aku jelas lebih senang mendengar suaranya yang riang dan senyumnya yang begitu manis. Sikapnya yang dingin terkesan terlalu misterius dan itu menganggu ku.

“Aku tahu, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengungkit soal harganya....” 

“Lupakan.” Dia memotong kalimatku.

“Baiklah.” Aku menurut. “Kalau begitu, boleh sekarang aku bertanya, kenapa kau suka melihat film kartun di dalam kelas?” Aku cepat-cepat mengganti topik pembicaraan.

“Lucu saja,”jawabnya.

“Tetapi kau bahkan tidak pernah tertawa saat menontonnya.”

“Ku kira tidak ada peraturan yang mengatakan bahwa tertawa itu harus terdengar keras, kan,” jawabnya santai.

“Oh, ya kau benar,” kataku asal, sekedar agar dia lega, lalu melanjutkan “Tapi, Bukankan materi kuliah ini masih baru? Bagaimana kau bisa lebih tertarik pada film kartun yang aku yakin sudah kau tonton berulang-ulang, di bandingkan materi perkuliahan.” 

Dia menggeleng pelan. “Aku jenuh di dalam kelas. Jujur saja aku benci duduk diam dan tidak melakukan apa-apa seperti itu,” katanya.

Aku mengerutkan alis lebih dalam, berusaha melihat matanya, tapi dia terus memandang notebook. Aku berniat menanyakan apa yang tertancap di telinga dan kepalanya itu alat bantu dengar, tapi aku mengurungkan niatku. Aku yakin dia akan tersinggung atau malu, dan pasti dia akan kembali bersikap dingin kepadaku.

“Bagaimana kau bisa menjawab pertanyaan pak Karno di kelas tadi, padahal kau tertidur?”Aku kembali mengganti topik, mengingat tingkah anehnya pagi tadi.

Akhirnya Raya mendongak, menatapku. Aku berkonsentrasi menatap mata kanannya dan menghindari mata kirinya yang tidak pernah berkedip. Aku tahu ini akan menyinggung perasaannya, tetapi mata itu sedikit terasa menakutkan.

"Aku tidak pernah tertidur di kelas, Rey." Nadanya tersinggung, tetapi wajahnya sama sekali tidak mewakili kesan di dalam suaranya.

Aku tertawa, meski tanpa suara. "Oh ya?" tanyaku geli.

Raya mengerutkan kening, matanya menyipit memandangku. 

“Baiklah, baiklah.” Aku segera mengucapkan kata-kata finalnya sebelum dia menerkamku.

Raya kembali tersenyum. Manis sekali. Sesuatu di dalam perutku kembali menggeliat liar dan tiba-tiba saja hawa panas terasa mengalir cepat dari dalam perut, ke kepala, menjalar ke seluruh tubuh.

Aku menunduk menghindari tatapannya, berpura-pura melihat jam di tanganku yang ternyata sudah menunjukkan pk.14.00, waktunya masuk kelas dengan materi baru yang lain. Kami mengemasi barang dan mulai berjalan beriringan menuju kelas. 

Raya membuka pintu, masuk, dan langsung melepasnya. Aku segera menangkap pintu yang sudah terayun menutup, sebelum menghantam wajahku.

Sial! Batinku. Sekarang aku tahu kenapa dia begitu berisik saat memasuki kelas. Dia hanya mendorong daun pintunya kemudian melepasnya begitu saja sehingga pintunya berayun membuka dan menutup berkali-kali dan menimbulkan bunyi derit yang menganggu. 

Saat kakiku sudah berada di dalam kelas dengan aman tanpa terhantam pintu, ku perhatikan Raya sudah duduk di tengah kelas, berada di dalam kerumunan anak laki-laki. Mereka mengobrol ramai –agak terlalu berisik– dan tertawa-tawa.

Aku berjalan melewatinya menuju deretan kursi paling belakang. Ada rasa pahit getir yang seolah mengalir di dalam tubuhku dan mulai meracuni

darahku, saat Raya tidak menahanku dan mengabaikanku. Aku membuka laptop, menghembuskan nafas kecewa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!