Kelas mulai terisi mahasiswa lain yang akan mengikuti mata kuliah pak Bondan. Raya menutup notebooknya, memasukkannya asal ke dalam tas punggungnya lalu menyampirkannya di satu pundak sambil berdiri dan segera berjalan keluar kelas.
Kemeja kotak-kotak hitam garis hijau yang dikenakannya untuk melapisi kaos hitam ketat, melambai sedikit saat dia berjalan. Lengan kemejanya dilipat hingga sebatas siku. Langkahnya mantap di bawah sepatu kets limited edition brand internasional –aku terkejut melihatnya– yang mungkin hanya dia satu-satunya yang mengenakannya di kota ini. Perpaduan gaya rambut, baju dan sepatu itu sangat cocok menempel di tubuhnya yang mungil tapi terlihat sangat lincah.
Aku mengikutinya keluar ruangan menuju kelas berikutnya, kepurbakalaan Indonesia.
Raya duduk satu deret di depanku, mengambil posisi di dekat dinding. Bahu dan kepalanya bersandar santai pada dinding di sisi kirinya. Laptopnya menyala menampilkan film kartun beruang kuning.
Pak Karman, dosen kali ini, tampangnya sangar seperti kepala polisi. Badan tegap, kumis melintang di atas bibir yang tegas, mata dan alis tajam. Kesan pertama yang ditimbulkan adalah orang ini sangat serius, tidak gampang digertak apa lagi diajak bermain-main.
"Selamat siang. Sudah tahu nama saya, kan?" tanyanya begitu kakinya menapak di depan kelas.
"Siapa yang tidak hadir?"
Beberapa kepala menggeleng.
"Lengkap?"
Beberapa yang tadi menggeleng kini mengangguk.
"Baik. Adam Muhammad?" Seorang laki-laki keriting di ujung depan mengangkat tangan.
"Berilius Dimpudus."
Laki-laki lain bertubuh gendut mengangkat tangan.
"Citra Herlina."
"Ervina Maria."
"Gofar Alm Syah."
Laki-laki bertubuh kecil mengangkat tangan.
"Kenapa namamu Alm?" tanyanya, menatap datar laki-laki itu.
"Itu juga yang pertama kali saya tanyakan kepada ibu saya saat saya baru masuk kelas 1 SD, Pak." Anak itu menjawab, seisi kelas terbahak.
"Lalu?"
"Ibu saya bilang itu kesalahan Dinas Pencatatan Sipil. Nama yang ibu berikan Alam, tapi mereka menulisnya kurang huruf," jawab anak itu.
"Salah ibumu juga kenapa saat menerima berkas tidak dikoreksi." Pak Karman menimpali datar. Gekuruh tawa kembali terdengar dari seisi kelas.
"Intan Pratiwi." pak Karman melanjutkan.
"Leo Prakosa."
.
.
.
.
"Yofinda Altara Raya." Raya mengangkat tangan, matanya tidak berpindah dari beruang kuningnya yang kini dikejar-kejar kawanan lebah.
Usai mengabsen semua nama, Pak Karman langsung memasuki materi kuliah, tidak banyak basa basi.
Laki-laki itu menampilkan slide situs-situs purbakala di Indonesia. Yang menarik bagiku, dia tidak lagi membahas mengenai candi-candi yang membosankan, melainkan menampilkan situs-situs purbakala yang belum pernah ku ketahui keberadaannya. Diikuti dengan penjelasan menarik tentang latar belakang situ tersebut, alih-alih hanya membahas tentang tahun dan fungsi situs di masa silam, itu membuat pelajaran yang seharusnya membosankan menjadi terasa menarik.
Empat puluh menit berlalu, slide share menampilkan dua kata umum, terima kasih.
"Ada pertanyaan?" tanya pak Karman. Matanya memindai setiap mahasiswa yang duduk tegang di kursinya.
Hening. Entah semua sudah benar-benar pahan, atau takut untuk mengangkat tangan karena aura pak Karman yang begitu dingin.
"Baiklah kalau semua sudah mengerti." Pak Karman berjalan ke balik meja.
Beberapa anak menghela nafas lega, karena kuliah akan di tutup lebih awal.
"Kalau begitu sekarang saya yang bertanya." Pak Karman melanjutkan kalimatnya dari balik meja, tangannya meraih daftar hadir.
Beberapa mata membelalak ngeri, beberapa memucat, yang lain membeku. Sementara di depan sana, wajah pak Karno menyeringai buas.
Laki-laki itu mulai bertanya sambil matanya memindai nama-nama pada lembar daftar hadir.
"Muhamad Jauhar." Dia menyebut satu nama, setelah mengucapkan deretan pertanyaan rumit. Yang disebut namanya mengangkat tangan, wajahnya memucat.
"Kenapa wajah mu menjadi seputih mayat?" tanya pak Karman, melihat perubahan di wajah Jauhar."
"T-tidak, Pak."
"Kau yakin tidak sedang menahan gas beracun?"
Tidak ada yang berani tertawa, takut terkena lemparan pertanyaan. Jauhar menggeleng cepat.
"Bagus. Kalau begitu kau bisa menjawab pertanyaan ku sekarang."
Meski tergagap dan patah-patah, Jauhar toh berhasil menjawab dengan baik pertanyaan pak Karman.
"Apa yang membuat situs Trinil terkenal. Citra."
Gadis itu mendongak, menatap tegang. "Setelah ditemukan atap tengkorak dan tulang paha Homo Erectus atau Manusia Jawa."
"Siapa yang menemukan?"
Citra membuka mulut, tapi pak Karman mengangkat tangan menghentikan. "Aurelia Nastiti," katanya.
"Eugene Dubois," jawab Nastiti cepat.
Pak karman mengangguk-angguk puas.
"Berikutnya. Situs yang berupa tapak tangan merah di dinding tebing. Yofinda."
Hening. Ku lihat Raya tidak bergerak dari posisinya bersandar di dinding.
"Yofinda Altara Raya."
Ketika nama Raya disebut hingga dua kali dan dia tidak menyahut, Pak Karman mendongak. Begitu pun aku, membungkuk mengintip Raya yang tetap bersandar dengan tenang, matanya terpejam. Tidur.
Astaga! Anak ini benar-benar gila. Tertidur di kelas pada hari pertama masuk kuliah dengan dosen killer berdiri di depan kelas. Apa yang dia harapkan.
Laki-laki yang duduk tepat di depanku menendang kursinya. Merasakan gerakan keras, mata Raya terbuka, tatapannya langsung jatuh pada dosen yang berdiri membelalak galak di depan kelas. Pelan-pelan dia menegakkan tubuh ke posisi duduk normal, selayaknya mahasiswa di dalam kelas.
"Nah, begitu lebih baik." Pak Karman menatap Raya lekat-lekat. "Jadi... apa jawabannya nona Yofinda?" tanya dosen killer itu, dengan tatapan membunuh.
“Maaf, Pak. Saya tidak terbiasa dengan nama Yofinda. Mungkin jika Anda menyebut saya Raya, saya akan mengerti Anda mengajukan pertanyaan kepada saya,” jawab Raya. Suaranya sangat tenang, tanpa rasa bersalah atau takut sedikitpun.
Dosen di depan menggeleng tidak percaya, matanya masih membelalak dan semakin lebar. Aku sampai khawatir bola matanya akan terlepas dari rongganya.
"Baiklah, Raya." Dia menekan kalimatnya pada kata Raya. "Kalau begitu, sekarang jawab pertanyaan saya." Pak Karno manggut-manggut di depan kelas, menunggu detik-detik untuk menerkam gadis itu bulat-bulat.
Raya menggerakkan tangan kirinya ke telinga, menggosok-gosok alat dengar di balik telinganya. Matanya yang cacat menyipit sedikit, wajahnya mengernyit. Tampaknya dia sudah menyadari bahwa dirinya terpojok dan sedang berusaha mencari jalan keluar dari masalah ini.
Di depan kelas, seringai kemenangan mulai tersungging di wajah pak Karman yang kejam.
Dan... demi Neptunus yang menjaga seluruh lautan, Raya tiba-tiba saja berdiri, tersenyum.
"Situs yang memiliki tapak tangan berwarna merah di dinding tebing adalah situs purbakala Kokas, terletak di distrik Kokas, kabupaten Fakfak, Papua Barat. Masyarakat setempat biasa menyebutnya situs tapurarang yang artinya cap tangan darah."
Raya menjawab dengan tepat, meski tanpa mendengarkan pertanyaannya. Atau mungkin sebenarnya dia mendengarkan. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, matanya tadi terpejam sebelum temannya menendang kursinya.
Tapi, bagaimana mungkin dia bisa menjawab pertanyaan dengan tepat kalau dia tertidur. Maka, jawaban satu-satunya adalah dia tidak tidur dan dia menyimak pelajaran.
Pak Karno juga membeku di depan kelas, kaget mendengar jawaban Raya yang dikutip persis kata per kata dari slide yang ditampilkan pak Karno di depan, beberapa menit yang lalu. Seringai seketika menghilang dari wajah pak Karno, berganti dengan ekspresi antara kecewa dan kagum.
Aku mengedarkan pandang ke seluruh kelas, mengamati ekspresi-ekspresi kaget yang sama dari bangku-bangku deret belakang yang tahu Raya tadi memang tertidur.
Kecewa mangsanya berhasil lolos, pak Karno melanjutkan bertanya pada mahasiswa lain, mencari mangsa lain. Tapi hingga bel berbunyi, tidak ada anak yang tidak mampu menjawab pertanyaan pak Karno.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments