PENYELIDIKAN

Raya sudah melempar tasnya ke atas pundak dan melangkah mantap menuju pintu, ketika anak-anak lain masih sibuk mengumpulkan barang. Aku segera membereskan peralatan ku, memasukkannya asal ke dalam tas dan berjalan cepat mengejarnya. Entah apa yang mendorongku, tetapi aku merasa bahwa aku harus mengejarnya dan berbicara dengannya.

Mungkin karena sepatunya yang langsung menarik perhatianku. Atau kemeja dan tasnya yang semuanya keluaran brand ternama. Raya, sepertinya bukan perempuan dari kalangan biasa saja.

Pun begitu, aku sama sekali tidak dapat menemukan perangkatnya di jaringan WLAN universitas, membuatku tidak dapat menyelidiki latar belakangnya.

Aku berjalan di sepanjang koridor, mencarinya kemana-mana, tetapi tidak dapat menemukannya. Di kantin, di kelas berikutnya, di tangga-tangga tempat banyak anak duduk-duduk santai sambil tertawa-tawa, nihil.

Hasrat aneh di dalam diriku memaksaku untuk tidak menyerah, untuk terus berjalan dan menemukannya. Kemana gadis itu menghilang. Padahal aku tadi membereskan buku dan laptop secepat tanganku bisa bergerak supaya bisa mengejarnya. Atau mungkin dia sudah pulang. Mungkin dia tidak mengambil mata kuliah berikutnya. Mungkin dia lelah, makanya tadi tertidur di dalam kelas.

Di saat kakiku mulai menyerah dan aku berhenti melangkah, mataku menemukannya sedang duduk sendirian di bangku taman, di bawah pohon akasia.

Bibirku melengkung membentuk senyuman lebar, rasa lega mengisi rongga dadaku yang sedari tadi terasa berat.

Aku menempel pada koridor lantai tiga, menatap ke arahnya, memperhatikannya. Raya terlihat berbicara sendirian. Mungkin dia sedang menelepon. Kedua kakinya dilipat di atas bangku beton, menghadap ke samping, badannya membungkuk menatap notebook yang terbuka di hadapannya. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard sementara tangan kanannya berkali-kali terangkat, menggulung layar di depannya menggunakan ujung jari sebelum kembali menari-nari di atas keyboard.

Menuruti naluri ku, aku memutuskan untuk turun dan menghampirinya. Aku berjalan tenang ke tempat Raya, pelan tanpa suara.

Lima langkah sebelum aku mencapai tempatnya, Raya menoleh. Lalu, bahkan sebelum tangannya menyentuh apa pun, layar notebooknya padam. 

"Hai." Aku menyapa, meski tidak berhasil menyembunyikan ekspresi keterkejutan di wajahku melihat layar notebook Raya yang tiba-tiba mati.

"Kenapa sendirian. Tidak sedang menonton film kartun lagi kan?" tanyaku sok akrab. Raya menggeleng, ekspresinya datar. 

“Boleh bergabung?” tanyaku sopan. Kesopanan berada pada deretan teratas jika kau tidak ingin permintaanmu ditolak mentah-mentah. Walau aku ragu dia akan mengizinkanku bergabung dengannya, tetapi aku toh tetap mencobanya. Siapa tahu beruntung.

Raya memandangku dari atas ke bawah, kembali lagi ke atas, seolah sedang menilai pantas atau tidak aku duduk bersamanya. Tetapi kemudian sekilas senyum tak berekspresi tersungging di bibir tipisnya. Tanpa mengangguk, dia kembali menatap notebooknya dan menyentuhkan jari tengahnya pada touchpad. 

Aku berdiri mematung, mataku menatap ke arah layar notebook. Aku cukup yakin bahwa kali inj akan menghadapi layar dengan lembar kerja, mengingat aku tadi lama memperhatikannya sedang mengetik sesuatu sambil berbicara di telepon.

Betapa terkejutnya aku ketika layar kecil itu menyala, mataku menangkap gambaran pada layar notebooknya yang menunjukkan film kartun yang lain lagi. Untunglah aku sempat mengatur ekspresi terkejutku sebelum dia menoleh. Karena sedetik setelah keterkejutan ku, dia menoleh.

“Kau tidak capek berdiri?” Dia bertanya, ekspresi dan nadanya tetap datar. 

“Oh, benar. Boleh aku duduk?” Aku tidak menunggu jawaban, karena kali ini aku sudah siap dan sudah tahu dia tidak akan menjawab. Tapi cukup dengan senyuman dan pertanyaannya barusan, aku yakin dia mengizinkanku berada disini. 

Aku duduk di depannya dan mengeluarkan laptop. Raya menunduk menatap laptopnya, wajahnya terlihat tenang. Aku benar-benar kagum dengan gadis cilik yang misterius ini. Dia begitu mempesonaku. Walaupun dia mungkin tuli dan matanya aneh, tapi bagiku dia sangat menarik. Wajahnya yang selalu datar seperti mengundangku untuk mecahkan banyak teka-teki di dalam dirinya. Dan saat mengingat dia menyapaku dengan ceria seperti pagi tadi, sesuatu di dalam perutku tiba-tiba menggeliat liar.

Sayang sekali ada pekerjaan lain yang harus aku kerjakan tentang dia, sebelum aku bisa mengizinkan diriku untuk lebih mengaguminya. Aku harus mengupas keluarganya dan dilihat dari sepatunya saja, aku yakin aku pasti akan menemukan tumpukan harta di salah satu atau bahkan banyak Bank atas nama orang tuanya. Atau mungkin saja kedua orang tuanya sudah masuk di dalam daftar nama yang akan aku hancurkan dalam semalam.

Aku kembali menyalakan WiFi, menyambungkannya dengan WLAN universitas. Tapi lagi-lagi aku tidak dapat menemukan perangkatnya. Sepertinya Raya tidak menyambungkan perangkatnya dengan WLAN universitas.

"Apa kau selalu melakukannya?" tanyaku basa basi, sengaja membuat kalimatku multi persepsi.

"Apa?" tanya Raya, mengerutkan kening.

"Menonton film kartun. Apa kau memang selalu melakukannya di mana pun, atau hanya saat di kampus, jadi kau bisa memanfaatkan jaringan WiFi gratis?" Ku putuskan bertanya, walaupun tujuanku adalah memancing jawaban apakah dia menggunakan wifi atau tidak. Tidak etis jika harus bertanya langsung, 'kenapa kau tidak menggunakan wifi'. Haha itu pertanyaan bodoh. Dan aku jelas bukan orang bodoh. 

Aku sudah terlatih dalam urusan memancing seseorang agar mengungkap segala informasi yang kubutuhkan. Jadi itu sama sekali bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Kalimatku seperti sudah otomatis terbentuk di dalam otak setiap kali aku membutuhkan umpan. Dan ketampananku serta caraku berbicara telah terbukti selama bertahun-tahun selalu mempermudah permainan ini. 

Raya mendongak, menatapku tajam. Aku cepat-cepat mencari kalimat yang tepat untuk berpura-pura gugup. Itu adalah cara kedua agar ucapan kita tak terlihat diskenario.

“M-maaf kalau aku menyinggungmu. Aku... aku tidak bermaksud....” Aku kembali menggantung kalimatku. Memancing dengan kalimat keraguan adalah cara paling efektif untuk berpura-pura merasa bersalah.

Berhasil. Raya tersenyum dan senyumnya adalah senyum termanis yang pernah kutemui dari ribuan wanita yang sudah ku kenal atau menjadi korbanku.

“Aku tidak tersinggung," katanya. "Dan aku tidak pernah menggunakan WiFi. Terlalu lambat. Aku bukan orang yang suka menunggu,” katanya dengan suara yang lebih ramah.

"Oh tentu saja. Aku tahu kau seperti itu," kataku, pura-pura merasa lega.

Raya mengerutkan alis. “Kau tau?” tanyanya curiga. Mata anehnya menyipit tapi dia masih tersenyum. 

Sekarang ganti aku yang tertawa lalu aku sengaja melirik sepatu yang terpasang di kaki kanannya yang terjulur ke bawah. "Tentu hanya orang-orang yang mengenakan sepatu itu yang malas menggunakan fasilitas gratis yang lambat, bukan."

“Oh!” Dia membelalak kaget, senyumnya seketika menghilang. “Aku hanya... senang merasa nyaman.” Suaranya kembali berubah menjadi dingin.

Aku tidak suka itu. Entah kenapa, aku jelas lebih senang mendengar suaranya yang riang dan senyumnya yang begitu manis. Sikapnya yang dingin terkesan terlalu misterius dan itu menganggu ku.

“Aku tahu, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengungkit soal harganya....” 

“Lupakan.” Dia memotong kalimatku.

“Baiklah.” Aku menurut. “Kalau begitu, boleh sekarang aku bertanya, kenapa kau suka melihat film kartun di dalam kelas?” Aku cepat-cepat mengganti topik pembicaraan.

“Lucu saja,”jawabnya.

“Tetapi kau bahkan tidak pernah tertawa saat menontonnya.”

“Ku kira tidak ada peraturan yang mengatakan bahwa tertawa itu harus terdengar keras, kan,” jawabnya santai.

“Oh, ya kau benar,” kataku asal, sekedar agar dia lega, lalu melanjutkan “Tapi, Bukankan materi kuliah ini masih baru? Bagaimana kau bisa lebih tertarik pada film kartun yang aku yakin sudah kau tonton berulang-ulang, di bandingkan materi perkuliahan.” 

Dia menggeleng pelan. “Aku jenuh di dalam kelas. Jujur saja aku benci duduk diam dan tidak melakukan apa-apa seperti itu,” katanya.

Aku mengerutkan alis lebih dalam, berusaha melihat matanya, tapi dia terus memandang notebook. Aku berniat menanyakan apa yang tertancap di telinga dan kepalanya itu alat bantu dengar, tapi aku mengurungkan niatku. Aku yakin dia akan tersinggung atau malu, dan pasti dia akan kembali bersikap dingin kepadaku.

“Bagaimana kau bisa menjawab pertanyaan pak Karno di kelas tadi, padahal kau tertidur?”Aku kembali mengganti topik, mengingat tingkah anehnya pagi tadi.

Akhirnya Raya mendongak, menatapku. Aku berkonsentrasi menatap mata kanannya dan menghindari mata kirinya yang tidak pernah berkedip. Aku tahu ini akan menyinggung perasaannya, tetapi mata itu sedikit terasa menakutkan.

"Aku tidak pernah tertidur di kelas, Rey." Nadanya tersinggung, tetapi wajahnya sama sekali tidak mewakili kesan di dalam suaranya.

Aku tertawa, meski tanpa suara. "Oh ya?" tanyaku geli.

Raya mengerutkan kening, matanya menyipit memandangku. 

“Baiklah, baiklah.” Aku segera mengucapkan kata-kata finalnya sebelum dia menerkamku.

Raya kembali tersenyum. Manis sekali. Sesuatu di dalam perutku kembali menggeliat liar dan tiba-tiba saja hawa panas terasa mengalir cepat dari dalam perut, ke kepala, menjalar ke seluruh tubuh.

Aku menunduk menghindari tatapannya, berpura-pura melihat jam di tanganku yang ternyata sudah menunjukkan pk.14.00, waktunya masuk kelas dengan materi baru yang lain. Kami mengemasi barang dan mulai berjalan beriringan menuju kelas. 

Raya membuka pintu, masuk, dan langsung melepasnya. Aku segera menangkap pintu yang sudah terayun menutup, sebelum menghantam wajahku.

Sial! Batinku. Sekarang aku tahu kenapa dia begitu berisik saat memasuki kelas. Dia hanya mendorong daun pintunya kemudian melepasnya begitu saja sehingga pintunya berayun membuka dan menutup berkali-kali dan menimbulkan bunyi derit yang menganggu. 

Saat kakiku sudah berada di dalam kelas dengan aman tanpa terhantam pintu, ku perhatikan Raya sudah duduk di tengah kelas, berada di dalam kerumunan anak laki-laki. Mereka mengobrol ramai –agak terlalu berisik– dan tertawa-tawa.

Aku berjalan melewatinya menuju deretan kursi paling belakang. Ada rasa pahit getir yang seolah mengalir di dalam tubuhku dan mulai meracuni

darahku, saat Raya tidak menahanku dan mengabaikanku. Aku membuka laptop, menghembuskan nafas kecewa.

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

raya,,, anti wifi...

2023-04-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!