Istri Pemalas, Suami Selingkuh
Kehidupan di desa yang serba sulit, jauh dari jangkauan pelayanan pemerintah dan sangat minin pengetahuan. Sepasangan suami-istri hidup dalam sebuah kesulitan karena memiliki banyak anak.
Pak Ali dan ibu Erna mempunyai delapan orang anak, dua perempuan dan enam laki-laki. Ibu Erna tidak pernah mengenal alat kontrasepsi karena puskesmas jauh dari desa dan untuk ke sana tentunya harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Ibu-ibu yang tinggal di desa itu melahirkan di rumah saja dengan bantuan dukun yang hanya bermodal pengalaman. Kadangkala ada ibu yang melahirkan harus meregang nyawa karena kehabisan darah.
Lin adalah anak kedua dari pasangan pak Ali dan ibu Erna. Ketika tamat Sekolah Dasar ia sudah harus bekerja di kota. Kakaknya yang pertama pun demikian halnya. Dengan modal bisa baca tulis ia pergi merantau ke kota besar.
Sita adalah teman sekampung yang sudah bekerja selama satu tahun di kota Beringin, dialah yang membantu Lin untuk mencari pekerjaan di kota tersebut. Sita sendiri bekerja sebagai pembantu di rumah salah seorang pengusaha di kota tersebut dan tugasnya di rumah itu hanya menyapu ruangan, mengepal, dan menyapu halaman yang tidak terlalu luas. Ada tiga orang yang bekerja di rumah itu dan masing-masing punya tugas.
Umur Lin waktu saat itu baru menginjak usia tiga belas tahun tapi postur tubuhnya sudah menyamai gadis remaja yang sudah berusia enam belas tahun. Ia diterima bekerja di salah satu rumah makan untuk mencuci bekas peralatan makan.
Hari pertama masuk kerja terasa berat bagi Lin karena hampir-hampir ia tidak punya waktu untuk istirahat dan pekerjaan itu baginya sangatlah melelahkan. Telapak tangannnya keram karena selalu basah oleh air.
Seminggu kemudian ia hampir-hampir menyerah tapi mengingat keadaan orang tua yang ada di kampung, ia pun pasrah untuk tetap masuk kerja.
Besaran gaji yang akan diterima setiap bulan hanya Rp 1.000.000. Bagi Lin, itu adalah jumlah yang besar karena makanan dan tempat tinggal ditanggung oleh yang punya rumah makan.
Lama-kelamaan Lin sudah terbiasa dengan pekerjaan itu namun kerap kali ia mendapat teguran karena sering terlambat bangun dan menurut bosnya ia juga sangat lamban bekerja.
Tak terasa ia sudah enam bulan bekerja di rumah makan tersebut. Waktu yang sudah dilalui dengan suka dan duka telah membawa banyak perubahan pada dirinya.
Bulan kemarin ia sudah sempat mengirim hasil keringatnya kepada orang tua yang ada di kampung. Uang sejumlah Rp 4.000.000 ia titip kepada Sita yang kebetulan izin kepada bosnya untuk pulang kampung karena ayahnya sakit.
Bukan main senangnya kedua orang tua Lin mendapat kiriman uang dari anaknya. Mereka gelap mata melihat uang dengan jumlah besar sehingga tidak sampai seminggu uang tersebut sudah ludes. Tidak ada barang berharga yang dibeli karena mereka hanya foya-foya tanpa berpikir bagaimana perjuangan anaknya di kota untuk bisa mendapatkan uang tersebut.
Raka, kakak pertama Lin yang bekerja di Morowali sebagai buruh bangunan hanya satu kali mengirim uang kepada orang tuanya karena ia kesal saat mengetahui bahwa orang tuanya menyalahgunakan uang tersebut pada hal Raka sangat berharap uang tersebut akan digunakan untuk merehap rumah sedikit demi sedikit dan untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Rumah tempat mereka tinggal berukuran kecil dengan atap alang-alang dan masih berlantai tanah.
Sewaktu Raka mengirim uang, ia berpesan kepada temannya untuk disampaikan kepada orangtuanya bahwa tolong uang ini gunakan untuk membeli atap seng agar air tidak masuk ke dalam rumah ketika hujan turun, sisanya untuk membeli beras dan keperluan lainnya. Untuk lantainya nanti menunggu kiriman berikutnya.
Di desa tempat kedua orang tuanya tinggal juga belum ada PLN dan alat komunikasi sehingga desa tersebut sangat tertinggal.
Anak-anak yang pergi merantau sangat sulit untuk berkomunikasi dengan orang tuanya. Komunikasi hanya bisa dilakukan dengan menulis surat atau mengirim pesan lisan melalui teman yang sempat pulang ke kampung.
Paling parah lagi karena ada banyak orang tua yang tinggal di desa itu buta huruf. Anak-anak mereka juga kebanyakan hanya tamat Sekolah Dasar karena hanya sekolah itu yang tersedia sedangkan sekolah dengan jenjang lebih di atas lagi seperti Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas hanya ada di luar desa mereka dan jaraknya cukup jauh sehinngga tidak ada niat oraang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat yang lebih tinggi.
Pemahaman mereka, yang penting anak-anak sudah bisa membaca dan menulis itu sudah cukup.
Ketertinggalan desa Harapan ini sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat yang ada di dalamnya. Seperti halnya, tidak mampu mengelolah uang dengan baik. Jangankan masalah itu, hal-hal yang sederhana saja seperti kebersihan lingkungan sangat terabaikan.
Ketersediaan tenaga kesehatan dan tenaga guru sangat terbatas karena medan yang sulit di jangkau. Jalanan rusak dan sulit dilalui kendaraan roda dua apalagi kendaraan roda empat bahkan sering orang-orang mengatakan lebih cepat sampai tujuan dengan jalan kaki dibanding naik kendaraan.
Raka yang telah bekerja selama satu tahun sudah bisa membeli sebuah ponsel tapi hanya digunakan untuk menghubungi teman-teman kerja karena di kampung belum ada jaringan. Untuk mengetahui keadaan adiknya, ia menghubungi ponsel milik Sita karena Sita juga sudah punya alat canggih tersebut. Kebetulan tempat tinggal Lin dan Sita tidak terlalu jauh dan bisa dijangkau dengan jalan kaki dan Sita bisa sekali-kali mengunjungi Lin di tempat kerjanya karena pekerjaannya tidak sepanjang hari dilakukan yang penting kerjaannya hari itu sudah beres maka ia bisa minta izin kepda bosnya untuk keluar.
"Kakak enak kerjanya, bisa istirahat lama-lama," kata Lin yang sibuk mencuci pelaratan ketika Sita datamg menghampirinya.
"Iya, kamu yang sabar siapa tahu ke depannya bisa dapat pekerjaan lain atau kalau kamu di sini kerjanya bagus, bos kamu bisa memberikan pekerjaan yang lebih baik lagi!" ujar Sita memberi semangat kepada Lin yang tampak lelah dengan pekerjaan yang sedang dilakukan.
"Nih, ada chat dari kakakmu!" kata Sita sambil menyodorkan ponselnya kepada Lin yang sudah selesai mengeringkan tangannya.
(Jangan terlalu sering mengirim uang kepada mama dan papa ke kampung karena mereka tidak bisa mengelolahnya dengan baik. Kalau sudah gajian simpan saja dulu, nanti saya kabari kalau ada cutiku baru kita sama-sama pulang ke kampung dan memperbaiki rumah orang tua kita di sana) chat dari Raka.
"Bagaimana cara membalasnya?" tanya Lin dengan polos karena barusan ia memegang alat canggih ini.
Sita dengan sabar mengajarinya.
Lin pun mulai mengetik dengan kaku, kadang kala hurufnya dobol-dobol karena jarinya lama menyentuh layar ponsel lalu dihapus lagi tapi pada akhirnya pesan itu jadi juga.
(Iya Kak, terima kasih sarannya! Baik-baik di rantau orang) Balasan chat itu dikirim.
Lin menyerahkan benda pipi itu kembali kepada Dita. Dalam hati ia berharap supaya dalam waktu dekat ini ia juga bisa membeli ponsel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments