Kehidupan di desa yang serba sulit, jauh dari jangkauan pelayanan pemerintah dan sangat minin pengetahuan. Sepasangan suami-istri hidup dalam sebuah kesulitan karena memiliki banyak anak.
Pak Ali dan ibu Erna mempunyai delapan orang anak, dua perempuan dan enam laki-laki. Ibu Erna tidak pernah mengenal alat kontrasepsi karena puskesmas jauh dari desa dan untuk ke sana tentunya harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Ibu-ibu yang tinggal di desa itu melahirkan di rumah saja dengan bantuan dukun yang hanya bermodal pengalaman. Kadangkala ada ibu yang melahirkan harus meregang nyawa karena kehabisan darah.
Lin adalah anak kedua dari pasangan pak Ali dan ibu Erna. Ketika tamat Sekolah Dasar ia sudah harus bekerja di kota. Kakaknya yang pertama pun demikian halnya. Dengan modal bisa baca tulis ia pergi merantau ke kota besar.
Sita adalah teman sekampung yang sudah bekerja selama satu tahun di kota Beringin, dialah yang membantu Lin untuk mencari pekerjaan di kota tersebut. Sita sendiri bekerja sebagai pembantu di rumah salah seorang pengusaha di kota tersebut dan tugasnya di rumah itu hanya menyapu ruangan, mengepal, dan menyapu halaman yang tidak terlalu luas. Ada tiga orang yang bekerja di rumah itu dan masing-masing punya tugas.
Umur Lin waktu saat itu baru menginjak usia tiga belas tahun tapi postur tubuhnya sudah menyamai gadis remaja yang sudah berusia enam belas tahun. Ia diterima bekerja di salah satu rumah makan untuk mencuci bekas peralatan makan.
Hari pertama masuk kerja terasa berat bagi Lin karena hampir-hampir ia tidak punya waktu untuk istirahat dan pekerjaan itu baginya sangatlah melelahkan. Telapak tangannnya keram karena selalu basah oleh air.
Seminggu kemudian ia hampir-hampir menyerah tapi mengingat keadaan orang tua yang ada di kampung, ia pun pasrah untuk tetap masuk kerja.
Besaran gaji yang akan diterima setiap bulan hanya Rp 1.000.000. Bagi Lin, itu adalah jumlah yang besar karena makanan dan tempat tinggal ditanggung oleh yang punya rumah makan.
Lama-kelamaan Lin sudah terbiasa dengan pekerjaan itu namun kerap kali ia mendapat teguran karena sering terlambat bangun dan menurut bosnya ia juga sangat lamban bekerja.
Tak terasa ia sudah enam bulan bekerja di rumah makan tersebut. Waktu yang sudah dilalui dengan suka dan duka telah membawa banyak perubahan pada dirinya.
Bulan kemarin ia sudah sempat mengirim hasil keringatnya kepada orang tua yang ada di kampung. Uang sejumlah Rp 4.000.000 ia titip kepada Sita yang kebetulan izin kepada bosnya untuk pulang kampung karena ayahnya sakit.
Bukan main senangnya kedua orang tua Lin mendapat kiriman uang dari anaknya. Mereka gelap mata melihat uang dengan jumlah besar sehingga tidak sampai seminggu uang tersebut sudah ludes. Tidak ada barang berharga yang dibeli karena mereka hanya foya-foya tanpa berpikir bagaimana perjuangan anaknya di kota untuk bisa mendapatkan uang tersebut.
Raka, kakak pertama Lin yang bekerja di Morowali sebagai buruh bangunan hanya satu kali mengirim uang kepada orang tuanya karena ia kesal saat mengetahui bahwa orang tuanya menyalahgunakan uang tersebut pada hal Raka sangat berharap uang tersebut akan digunakan untuk merehap rumah sedikit demi sedikit dan untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Rumah tempat mereka tinggal berukuran kecil dengan atap alang-alang dan masih berlantai tanah.
Sewaktu Raka mengirim uang, ia berpesan kepada temannya untuk disampaikan kepada orangtuanya bahwa tolong uang ini gunakan untuk membeli atap seng agar air tidak masuk ke dalam rumah ketika hujan turun, sisanya untuk membeli beras dan keperluan lainnya. Untuk lantainya nanti menunggu kiriman berikutnya.
Di desa tempat kedua orang tuanya tinggal juga belum ada PLN dan alat komunikasi sehingga desa tersebut sangat tertinggal.
Anak-anak yang pergi merantau sangat sulit untuk berkomunikasi dengan orang tuanya. Komunikasi hanya bisa dilakukan dengan menulis surat atau mengirim pesan lisan melalui teman yang sempat pulang ke kampung.
Paling parah lagi karena ada banyak orang tua yang tinggal di desa itu buta huruf. Anak-anak mereka juga kebanyakan hanya tamat Sekolah Dasar karena hanya sekolah itu yang tersedia sedangkan sekolah dengan jenjang lebih di atas lagi seperti Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas hanya ada di luar desa mereka dan jaraknya cukup jauh sehinngga tidak ada niat oraang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat yang lebih tinggi.
Pemahaman mereka, yang penting anak-anak sudah bisa membaca dan menulis itu sudah cukup.
Ketertinggalan desa Harapan ini sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat yang ada di dalamnya. Seperti halnya, tidak mampu mengelolah uang dengan baik. Jangankan masalah itu, hal-hal yang sederhana saja seperti kebersihan lingkungan sangat terabaikan.
Ketersediaan tenaga kesehatan dan tenaga guru sangat terbatas karena medan yang sulit di jangkau. Jalanan rusak dan sulit dilalui kendaraan roda dua apalagi kendaraan roda empat bahkan sering orang-orang mengatakan lebih cepat sampai tujuan dengan jalan kaki dibanding naik kendaraan.
Raka yang telah bekerja selama satu tahun sudah bisa membeli sebuah ponsel tapi hanya digunakan untuk menghubungi teman-teman kerja karena di kampung belum ada jaringan. Untuk mengetahui keadaan adiknya, ia menghubungi ponsel milik Sita karena Sita juga sudah punya alat canggih tersebut. Kebetulan tempat tinggal Lin dan Sita tidak terlalu jauh dan bisa dijangkau dengan jalan kaki dan Sita bisa sekali-kali mengunjungi Lin di tempat kerjanya karena pekerjaannya tidak sepanjang hari dilakukan yang penting kerjaannya hari itu sudah beres maka ia bisa minta izin kepda bosnya untuk keluar.
"Kakak enak kerjanya, bisa istirahat lama-lama," kata Lin yang sibuk mencuci pelaratan ketika Sita datamg menghampirinya.
"Iya, kamu yang sabar siapa tahu ke depannya bisa dapat pekerjaan lain atau kalau kamu di sini kerjanya bagus, bos kamu bisa memberikan pekerjaan yang lebih baik lagi!" ujar Sita memberi semangat kepada Lin yang tampak lelah dengan pekerjaan yang sedang dilakukan.
"Nih, ada chat dari kakakmu!" kata Sita sambil menyodorkan ponselnya kepada Lin yang sudah selesai mengeringkan tangannya.
(Jangan terlalu sering mengirim uang kepada mama dan papa ke kampung karena mereka tidak bisa mengelolahnya dengan baik. Kalau sudah gajian simpan saja dulu, nanti saya kabari kalau ada cutiku baru kita sama-sama pulang ke kampung dan memperbaiki rumah orang tua kita di sana) chat dari Raka.
"Bagaimana cara membalasnya?" tanya Lin dengan polos karena barusan ia memegang alat canggih ini.
Sita dengan sabar mengajarinya.
Lin pun mulai mengetik dengan kaku, kadang kala hurufnya dobol-dobol karena jarinya lama menyentuh layar ponsel lalu dihapus lagi tapi pada akhirnya pesan itu jadi juga.
(Iya Kak, terima kasih sarannya! Baik-baik di rantau orang) Balasan chat itu dikirim.
Lin menyerahkan benda pipi itu kembali kepada Dita. Dalam hati ia berharap supaya dalam waktu dekat ini ia juga bisa membeli ponsel.
Lin sedang bekerja seperti biasanya ketika seorang laki-laki yang baru bekerja beberapa hari di rumah makan itu datang membawa peralatan bekas makan untuk dicuci.
Tugas Rian di rumah makan itu adalah membersihkan meja dan mengangkut peralatan bekas makan oleh para pelanggan ke tempat mencuci.
Rian dan Lin selalu bertemu setiap saat. Seringnya bertemu membuat keduanya jadi akrab, selain itu keduanya juga merasa senasib karena dua-duanya berasal dari desa terpencil.
Rian juga berasal dari sebuah desa yang jaraknya tidak terlalu jauh dari desa tempat tinggal Lin.
Rian merasa iba melihat Lin yang selalu berkutat dengan cuciannya. Suatu hari ia membantu Lin mencuci piring walau Lin sudah melarangnya.
Keduanya pun makin akrab dan suatu hari mereka minta izin untuk jalan-jalan karena kebetulan hari raya dan rumah makan tidak buka.
Pemilik rumah makan memberi izin kepadanya. Rian yang baru satu bulan bekerja belum punya uang tapi ia ingin mengantar Lin untuk membeli HP.
Selama Kurang lebih satu tahun Lin bekerja di kota Beringin baru kali ini ia keluar untuk menghirup udara segar. Lin mengagumi keindahan kota tersebut dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi.
"Waooow...," gumannya.
"Ada apa?" tanya Rian heran melihat tingkah Lin yang menurutnya sangat kampungan.
Lin tidak segera menjawab, ia malah berdecak kagum sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat lampu-lampu warna-warni yang ada di sepanjang jalan.
Sekarang Rian baru mengerti apa yang membuat Lin termangu.
"Indahnya, saya baru pertama kali menyaksikan semua ini," ucapnya dengan mulut masih ternganga.
"Saya kira kamu sudah berada di sini selama setahun," kata Rian.
"Iya, tapi barusan keluar kandang, lagian siapa juga yang mau menemani saya keluar? Teman saja nggak punya," Lin berkata apa adanya.
Rian manggut-manggut. Walaupun ia belum cukup sebulan datang ke kota ini tapi boleh dikata setiap hari ia keluar untuk menemani pak Mamang berbelanja. Pak Mamang bertugas kepasar setiap hari untuk membeli bahan makanan yang akan diolah di rumah makan tempat Lin dan Rian bekerja.
Rian menggandeng tangan Lin memasuki sebuah Maal yang ada di pusat kota. Sejenak Lin menatap Rian lalu melirik tangannya yang sudah digenggam erat.
Sekilas ia tersenyum, ada getar aneh yang menjalar mengalirkan perasaan bahagia. Inikah namanya cinta?
Lin belum tahu apa-apa tentang perasaannya. Apakah di umur empat belas tahun ini ia sudah jatuh cinta?
Berbeda dengan Rian, ketika sedang duduk di kelas tiga SMA ia telah melakukan hal yang di luar batas. Seorang siswi teman kelasnya mengaku hamil dan yang ditunjuk sebagai pelakunya adalah Rian.
Desa asal Rian memang masih terpencil tapi sudah ada Sekolah Menengah Atas yang siswanya hanya satu kelas per tingkat.
Waktu itu Rian tidak bisa mengelak tapi nasib baik masih berpihak kepadanya karena ia sempat mengikuti Ujian Nasional sebelum perempuan itu meminta tanggung jawabnya untuk segera menikahinya.
Kedua orang tua Rian sangat menentang pernikahan itu tapi mereka tidak bisa membatalkan karena pihak perempuan mengancam akan menyelesaikan masalah tersebut secara adat jika Rian lari dari tanggung jawabnya.
Walaupun Rian tahu persis bahwa dirinya hanya dijebak karena baru sebulan ia pernah menghampiri perempuan itu, sementara jika dilihat perkembangan perutnya dapat dipastikan bahwa usia kandungannya sudah lebih dari satu bulan.
Pernikahan Rian dengan teman kelasnya yang bernama Yuyun itu tidak berlangsung lama. Rian pergi meninggalkan dia karena ada salah seorang teman prianya bernama Danu yang juga sekelas dengan mereka dulu di SMA yang berterus terang kepadanya bahwa anak yang ada dalam kandungan Yuyun adalah anaknya dan hal itu membuat Rian dan istrinya bertengkar.
Dari pertengkaran hebat itu akhirnya Yuyun mengaku dengan jujur bahwa apa yang dikatakan oleh Danu itu benar adanya, hanya saja waktu itu ia tidak bisa menuntut tanggung jawabnya karena keduanya juga sedang bertengkar gara-gara Danu tahu bahwa Rian sering datang ke rumah kostnya.
Rian pergi mengadu nasibnya ke kota Beringin dan di sinilah ia bertemu dengan Lin, seorang gadis desa yang lugu dan masih belia.
Keduanya terus berjalan-jalan mengintari mall untuk mencuci mata. Lin bingung saat mau naik ke lantai dua melihat eskalator. Ia berpikir, kenapa tangga itu terus berputar dan jalan sendiri.
"Ayo kita naik ke atas soalnya barang yang hendak kamu beli ada di lantai atas!" ajak Rian. Lin terpaku menatap Rian karena bingung.
"Ayo, nanti saya pegang!" ajak Rian lagi. Rian sudah pernah ke tempat ini saat baru datang dari kampung. Kakak sepupu Rian yang tinggal di kota ini yang mengajaknya jalan-jalan sebelum dapat pekerjaan sehingga ia sudah punya pengalaman.
"Nggak ah, lebih baik kita pualng aja! Saya takut naik ke atas," ucap Lin dengan mimik wajah yang ragu.
Rian tertawa lalu menarik lengan Lin dan mencari tangga biasa lalu naik ke lantai dua lewat tangga tersebut. Lin hanya terbengong-bengong. Kenapa tidak dari tadi bilang kalau ada tangga biasa?
Lin benar-benar polos dan kampungan membuat Rian menertawakan dalam hati tapi sifat polosnya inilah yang membuat Rian tertarik dan ingin lebih mengenalnya lebih dalam lagi.
Mereka menuju ke tempat jualan HP. Lin hanya bingung ketika ditanya tentang merk HP yang mau dibeli. Ia sama sekali tidak tahu, yang ada dipikirannya bahwa semua HP itu sama saja.
Melihat kenyataan itu, Rian terpaksa yang memilih merk HP yang sama dengam miliknya. Ia mengambil benda pipih dengan merk Samsung lalu memeriksanya dengan teliti.
"Gimana kalau yang ini?" tanya Rian sambil memperlihatkan HP itu kepada Lin.
"Terserah kamu aja deh, saya jadi pusing!" sahut Lin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Yang ini, berapa harganya, Mbak?"
"Rp 1.300.000,"
Mata Lin membulat mendengar nominal harga yang disebut oleh karyawan tersebut.
"Gimana Lin, apa uang kamu cukup untuk membeli HP ini?" tanya Rian.
"Kok mahal bangat," katanya balik bertanya. Sangkahnya barang itu paling tidak hanya seharga tiga ratus ribuan.
"Harganya memang segitu, ada yang murah tapi dengan merk lain yang biasanya cepat rusak dan ada juga yang mungkin hanya dua ratus ribuan tapi hanya bisa digunakan untuk menelepon dan tidak ada kameranya. Masakan kamu mau beli yang gituan? Udah ketinggalan loh!" Rian menjelaskan.
Tampak Lin sedang memikirkan sesuatu. Rupanya ia sedang menghitung dalam hati, ada berapa uang yang sedang ia kantongi.
"Oke deh, yang itu aja!" sahutnya sambil menunjuk HP merk Samsung.
Setelah memasukkan kartu, karyawan itu mencoba membuka aplikasi yang ada di dalamnya lalu memperlihatkan kepada Rian dan Lin. Rian mencoba kamera depan lalu menarik tubuh Lin agar lebih dekat dan berselfi.
"Ayo, sekali lagi! Senyum dong!"
Lin tersenyum dan Rian segera mengambil gambarnya dan memperlihatkan hasilnya.
"Bagus 'kan?"
Lin menatapnya dan mengangguk. Tampak wajahnya berseri-seri karena senang melihat fotonya yang serasi dengan Rian terpampang dalam layar HP yang akan segera menjadi miliknya.
Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan lembaran uang. Setelah menghitung uang tersebut ia menyodorkan kepada si penjual sebanyak tiga belas lembar pecahan seratus ribu dan masih ada lebihnya dua lembar.
Rian mengambil barang yang sudah dikemas itu lalu mencari tempat jualan tas dan dompet. Lin mengikut bagai kerbau yang dicucuk hidungnya.
Rian kembali menggandeng tangan Lin dan naik ke lentai berikutnya melalui tangga biasa. Apa yang sedang dicari ada di lantai tersebut.
Sebuah tas mini berwarna hitam dan dompet yang berwarna cokelat menjadi pilihan Rian. Sementara itu Lin hanya sibuk melirik kesana-kemari melihat keramaian yang begitu sesak.
"Ini pasti cocok buat kamu!" kata Rian sambil memasangkan tas selempang pada bahu Lin.
Lin hanya menaikkan alisnya. Rian paham bahwa tak ada lagi gunanya untuk bertanya dan minta pendapat kepada Lin.
Ia memeriksa lebel harga yang melekat pada barang tersebut dan sambil menggandeng tangan Lin ia menuju ke kasir untuk membayar.
"Berapa Mbak?" tanya Rian.
"Totalnya Rp 125.000," sahut kasir dengan ramah.
Lin mengeluarkan uangnya dari saku setelah dikode oleh Rian dan membayarnya lalu mencari jalan keluar.
Setelah keluar dari mall tersebut, Rian merasa sangat haus dan lapar. Ia tahu Lin masih punya uang yang bisa dibelikan makanan dan minuman dingin.
Sekilas Rian mengedarkan pandangannya untuk mencari-cari penjual yang dekat dari tempat tersebut dan benar saja, di seberang jalan ada warung yang terbuka.
Kendaraan yang lalu lalang sangat ramai sehingga mereka menyeberang dengan sangat hati-hati. Lin yang benar-benar tidak punya pengalaman sebelumnya untuk.menyeberangi jalan yang ramai dengan kendaraan sangat takut hingga tubuhnya basah oleh keringat.
"Pesan gado-gado dua bungkus dan dua cap es buahnya, Mbak!" Rian langsung memesan makanan dan minuman dingin setelah keduanya sudah duduk di warung itu.
Sambil menunggu pesanannya, Rian membuka dos HP milik Lin dan memasukkan ke tas yang baru dibeli lalu meyerahkan kepadanya.
"Sini uang kembaliannya tadi!" pinta Rian.
Lin merogoh kantongnya dan memberikan uang tersebut kepada Rian yang sudah siap dengan dompet yang sudah terbuja di tangannya.
"Nah, ini tempat uangmu sekarang!" kata Rian setelah mengisi dompet tadi dengan uang pemberian Lin lalu memasukkan ke dalam tas.
Lin tersenyum bangga melihat penampilannya sekarang dengan adanya tas selempang di tubuhnya. Ia sering melihat pengunjung rumah makan tempat ia bekerja yang berpenampilan seperti itu.
Rian pun ikut bahagia melihatnya. Ia menatap Lin yang duduk berhadapan dengannya dengan tatapan haru karena kasihan. Lin benar-benar belum punya pengalaman dalam berpenampilan sebagai seorang gadis padahal ia punya wajah yang cantik dengan kulit sawo matang tapi tidak terawat baik.
Tak lama kemudian minuman yang dipesan itu datang diantar oleh pelayan. Rian yang dari tadi merasa haus langsung menikmati es buah tersebut hingga tak tersisa sedangkan Lin yang merasa baru dengan sajian tersebut hanya bisa menghabiskan setengahnya.
Tanpa rasa malu, Rian meraihnya dari hadapan Lin dan menikmatinya. Hal tersebut membuat Lin merasa hidupnya sangat berarti. Setelah itu keduanya baru makan.
"Tolong kamu bayar harga minuman tadi!" kata Rian yang sudah bersiap-siap untuk pulang.
Lin kembali merogoh sakunya dengan wajah yang bingung karena tangannya tidak merasakan sesuatu benda berada dalam saku tersebut. Rian jadi cekikikan melihat tingkahnya.
"Heyy, tadi kamu simpan uangmu di mana?" tanya Rian.
"Oh, iya, saya lupa," Lin menepuk jidatnya. Ia baru ingat bahwa uang itu ada di dalam dompet. Maklum tidak biasa menyimpan uang di dompet karena memang tidak punya benda tersebut.
Dengan tergesa ia membuka tasnya dan mengambil dompet yang berisi uang yang akan digunakan untuk membayar minuman yang sudah dinikmati tadi.
Dalam perjalanan pulang, Rian berjanji akan mengajari Lin untuk menggunakan HPnya jika ada waktu luang, namun untuk saat ini belum bisa karena sudah hampir larut malam.
Keduanya pun berpisah setelah tiba di tempatnya bekerja dan masing-masing masuk ke kamarnya.
Rian tinggal sekamar dengan pak Mamang sedangkan Lin hanya sendirian di kamar belakang.
Malam itu Lin sangat sulit untuk merebahkan tubuhnya. Perjalananya hari ini sangat berkesan. Ia merasa senang punya teman yang perhatian.
Sebelum tidur ia terus memandangi gambar dirinya dengan Rian dalam layar ponselnya sambil senyum-senyum sendiri. Karena terbawa perasaan, hampir saja ia lupa untuk mengisi baterai ponsel tersebut sesuai dengan anjuran dari si penjual. Dengan gegas ia melompat dari tempat tidur lalu mengambil cas yang masih tersimpan rapi di tasnya.
Sementara itu, Rian yang ada di kamarnya juga belum bisa tidur. Ia senyum-senyum sambil menatap langit-langit dan kadang ia merasa geli ketika ingat kepribadian Lin yang kampungan dengan mimik wajah yang polos.
Pakaiannya pun asal-asalan, tadi ia tidak mengganti pakaiannya ketika berangkat ke mall. Jangankan berganti pakian, nyisir rambut aja nggak, tapi Rian dapat memaklumi dan tak mau ikut campur dulu. Menurut Rian, nantilah berikutnya kalau ia belum berubah maka perlu untuk mengingatkan, sebab ini kehidupan di kota, bukan di desa.
"Emang kamu habis dari mana, sih? Tadi saya cari-cari, eh, nggak nongol-nongol," kata pak Maman.
"Biasa, ngantar calon pacar ke mall," sahutnya dengan bangga.
"Ohh, pantas aja, si Lin juga seharian ini nggak kelihatan batang hidungnya. Rupanya kalian keluar untuk bersenang-senang," ujar pak Mamang.
Rian tertawa menanggapi ujaran pak Mamang.
Pak Maman merasa senang sangat terbantu sejak Rian kerja di tempatnya karena selama ini ia selalu ke pasar sendirian dan mengangkut bahan-bahan yang dibeli tapi sekarang ia sudah punya teman yang tenaganya kuat karena masih muda.
Pak Mamang berasal dari daerah yang jauh dan datang ke kota Beringin untuk mengadu nasib lantaran di daerahnya sangat sulit mata pencaharian. Ia terpaksa meninggalkan istri dan dua orang anaknya yang masih kecil-kecil demi mencari biaya hidup.
Rian sangat terharu mendengar cerita pak Mamang yang tak jauh berbeda dengan kehidupan orang-orang di desanya.
Hampir semua orang mengeluh dengan naiknya harga beras yang diikuti dengan harga kebutuhan pokok lainnya. Hal ini terjadi pasca corona yang melanda seluruh belahan dunia.
Malam semakin larut, pak Mamang dan Rian akhirnya tertidur dengan nyenyak. Mereka butuh istirahat yang cukup karena besoknya sudah ada pekerjaan menanti dan sudah menjadi rutinitas yang entah sampai kapan baru bisa pensiun dari pekerjaan tersebut.
Keesokan harinya mereka bangun disaat hari masih gelap. Rian yang punya tugas untuk membersihkan langsung memgambil sapu dan mulai menyapu bagian dalam ruangan terlebih dahulu. Sedang pak Mamang membersihkan di luar rumah.
Ia melirik ke pintu kamar Lin yang masih tertutup rapat. Rian mendekati dan mengetuk tapi tidak ada sahutan dari dalam. Akhirnya ia mengetuk lebih keras lagi dan tak lama kemudian Lin terbangun dengan gelagapan. Ia mengira bahwa yang membangunkannya adalah Nyonya karena hal ini sudah sering terjadi. Nyonya pemilik rumah makan menggedor-gedor pintu kamarnya dengan kasar tapi Lin masih tetap mengulangi kesalahan yang sama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!