Terjebak Cinta Kaki Tangan Mafia

Terjebak Cinta Kaki Tangan Mafia

Menolong Pria Asing

Jeni sedang bekerja paruh waktu di sebuah mini market. Seperti biasa, ia akan melakukannya sepulang kuliah hingga malam hari. Itu semua ia lakukan karena ia adalah seorang anak yatim piatu. Hasil dari kerja paruh waktu itu digunakannya untuk biaya hidup. Meskipun sebenarnya dia memiliki seorang kakak yang selalu bersedia membantunya.

Jeni sedang membereskan beberapa produk dan memasukkannya ke rak, saat seorang pria dengan pakaian serba hitam masuk dengan sedikit mengerang. Jeni segera menemui sang pelanggan dan menanyakan apa yang pria itu butuhkan. Jeni tidak bisa melihat wajahnya karena helm yang menutupinya.

“Tuan, apa ada yang bisa dibantu?” tanya Jeni.

“Aku butuh obat atau perban atau apapun. Aku harus menutup lukaku!” pria itu bicara dengan suara beratnya.

Jeni memperhatikan pria itu baik-baik. Dia tampak cukup kesakitan. Hingga Jeni melihat sebuah luka mengalirkan darah segar di sisi perutnya. Meskipun pria itu berusaha untuk menutupinya dengan satu tangannya. Tentu saja Jeni memekik ketakutan.

“Tu-tuan, kau terluka!” pekik Jeni.

“Aku tahu. itu kenapa aku meminta kau untuk mengambilkanku obat.” Pria itu sepertinya cukup kesal sekarang.

Jeni segera kembali ke kesadarannya. Ia berusaha mencari beberapa obat yang dimaksud, tapi karena terlalu panik, Jeni jadi tidak menemukan semuanya. Padahal semua alat dan obat-obatan itu jelas ada di mini market itu. Ia justru berlari kembali ke arah pria misterius itu.

“Tuan, aku tidak bisa menemukan apapun di sini. Kenapa kita tidak pergi ke rumah sakit saja? Aku bisa mengantarkanmu.” Jeni segera menawarkan bantuan.

Pria itu menggeleng. “Tidak. Aku sangat membenci rumah sakit. Kalau kau membawaku kesana, aku justru akan pingsan karena baunya.”

“Ah, baiklah. Kalau begitu … aku akan membawamu ke apartemenku. Aku akan mengobatimu di sana.” Jeni dengan cepat mengalungkan tangan di pundaknya.

Sang pria yang masih mengenakan helm itu, hanya bisa tersenyum di balik helmnya. Gadis di sisinya ini entah terlalu fokus ingin membantunya atau memang terlalu polos saja. Pria itu masih bisa berjalan dengan sangat baik, tapi kenapa gadis ini justru membopongnya seperti itu.

“Aku akan mematikan komputer dulu dan juga menutup toko. Kau tunggu sebentar di luar ya?” tanya Jeni berjalan perlahan bersama sang pria.

Sesuai ucapannya, Jeni dengan sigap kembali masuk ke dalam toko dan mematikan komputer. Meraih tasnya di rak bawah komputer dan membawanya keluar setelah memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah menutup toko, Jeni kembali mengalungkan lengan sang pria di pundaknya.

Mereka berjalan menyusuri malam yang sunyi. Jeni memang selalu menggunakan jalan tikus untuk pulang ke apartemennya yang lebih terlihat seperti sebuah kamar kos dengan rumah yang sangat besar saja. Itu karena kamarnya memang berukuran sangat kecil.

Hanya berjalan sekitar lima menit, mereka sudah tiba di lantai dua apartemen yang merupakan kamar Jeni. Gadis itu membuka pintunya dan menuntun pria asing itu duduk di satu-satunya sofa yang ada di sana. Kamar apartemen itu cukup sempit, tapi jelas cukup untuk dirinya sendiri.

Jeni dengan sigap mengambil kotak peralatan medis yang tersimpan di bawah laci TV. Dia kembali dan pria itu perlahan membuka jaket yang dikenakannya. Pria asing itu merintih sebentar. Luka itu masih tertutup kaos hitam polos dan pria itu dengan perlahan menaikkannya hingga ke dada.

Jeni melihat darah yang cukup banyak mengalir di sisi tubuh pria itu. Bahkan sudah banyak menetes di tangan dan juga celana sang pria.

“Tidak usah khawatir. Ini hanya terserempet saja. Lukanya aku rasa tidak terlalu dalam juga. Kalau kau bisa … cukup tutup saja luka ini setelah memberinya sedikit obat.” Pria itu memberi saran.

Jeni hanya mengangguk bagai hipnotis. Bahkan di detik ini, ia tidak bisa melihat wajah sang pria, tapi entah kenapa dia menuruti saja semua perintahnya. Ia membersihkan luka itu dengan telaten. Kemudian ia membubuhkannya dengan sedikit obat yang dia miliki. Sebelum akhirnya menutupnya dengan perban yang baru.

“Ini sudah selesai,” ucap Jeni setelah fokus mengerjakan semuanya.

“Terima kasih banyak, hm, siapa namamu?” tanya sang pria kemudian.

“Namaku Jeni.”

“Jadi, Jeni, kau bekerja di mini market itu sebelumnya?” tanya sang pria lagi.

“Ya. Aku memang bekerja di sana sore hingga malam. Kalau pagi aku harus kuliah,” terang Jeni.

“Dan kau tinggal di sini sendirian?” tanya si pria lagi.

“Iya. Aku sendirian. Aku punya kakak laki-laki, tapi dia tinggal di apartemen yang berbeda denganku,” jelas Jeni lagi.

“Hm, informasi yang sangat banyak darimu. Apa kau tidak penasaran denganku?” tanya si pria kemudian.

Jeni dengan polosnya mengangguk. Pria itu dengan segera membuka helm yang sedari tadi masih menutupi wajahnya. Sungguh, Jeni bisa katakan ia terpesona oleh ketampanan pria itu. Bahkan mungkin ia sedikit menganga karena bahkan dalam kondisi kacau begitu, ia masih terlihat tampan.

Matanya berwarna abu gelap. Tatapannya dalam dengan alis hitam lebat. Ada sedikit bekas luka di pangkal hidungnya yang mancung sempurna. Senyumnya juga sangat misterius tapi sangat menarik. Rahangnya terutama sangat seksi dan terkesan kuat juga kokoh.

“Wow, kau tampan.” Jeni sepertinya reflek mengatakannya.

“Hahaha. Tapi apapun alasannya, kau seharusnya tidak mudah membiarkan pria manapun masuk ke dalam apartemenmu dengan mudah. Apa ini bukan pertama kalinya kau melakukan ini?” tanya si pria yang belum menyebutkan nama itu.

“Eh, itu, tidak! Aku pertama kali melakukan ini. Aku … aku juga tidak tahu kenapa aku melakukan ini.” Jeni jadi salah tingkah sendiri.

“Aku mengerti. Kau hanya seorang gadis polos dan baik hati yang berniat membantu orang lain. Tapi … aku harap kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi.” Pria itu mencoba berdiri dan mengenakan jaketnya.

“Eh, kau mau kemana? Apakah tidak perlu istirahat terlebih dahulu? Lukamu itu masih baru selesai aku obati.” Jeni dengan cepat ikut berdiri.

“Tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja. Tiga hari lagi aku akan datang di jam yang sama. Aku harap kau ada di apartemen ini untuk mengganti perbanku ya,” ucap si pria sekali lagi membuat Jeni mengangguk.

“Ok.”

“Gadis pintar. Kalau begitu aku pergi dulu ya. Dan ingat jangan pernah membukakan pintu untuk pria asing, kecuali aku.”

Pria itu mengenakan helmnya kembali dan segera berjalan pergi dari sana. Meninggalkan Jeni yang masih mematung dan bahkan masih belum mengetahui nama pria yang barusan ditolongnya. Hingga pintu itu tertutup, baru Jeni menyadari sesuatu.

“Ya ampun. Apa yang sudah aku lakukan? Aku bahkan masih belum tahu namanya. Aku juga tidak bertanya dari mana dia mendapatkan luka itu. Bagaimana kalau ternyata dia adalah penjahat?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!