Jeni sedang bekerja paruh waktu di sebuah mini market. Seperti biasa, ia akan melakukannya sepulang kuliah hingga malam hari. Itu semua ia lakukan karena ia adalah seorang anak yatim piatu. Hasil dari kerja paruh waktu itu digunakannya untuk biaya hidup. Meskipun sebenarnya dia memiliki seorang kakak yang selalu bersedia membantunya.
Jeni sedang membereskan beberapa produk dan memasukkannya ke rak, saat seorang pria dengan pakaian serba hitam masuk dengan sedikit mengerang. Jeni segera menemui sang pelanggan dan menanyakan apa yang pria itu butuhkan. Jeni tidak bisa melihat wajahnya karena helm yang menutupinya.
“Tuan, apa ada yang bisa dibantu?” tanya Jeni.
“Aku butuh obat atau perban atau apapun. Aku harus menutup lukaku!” pria itu bicara dengan suara beratnya.
Jeni memperhatikan pria itu baik-baik. Dia tampak cukup kesakitan. Hingga Jeni melihat sebuah luka mengalirkan darah segar di sisi perutnya. Meskipun pria itu berusaha untuk menutupinya dengan satu tangannya. Tentu saja Jeni memekik ketakutan.
“Tu-tuan, kau terluka!” pekik Jeni.
“Aku tahu. itu kenapa aku meminta kau untuk mengambilkanku obat.” Pria itu sepertinya cukup kesal sekarang.
Jeni segera kembali ke kesadarannya. Ia berusaha mencari beberapa obat yang dimaksud, tapi karena terlalu panik, Jeni jadi tidak menemukan semuanya. Padahal semua alat dan obat-obatan itu jelas ada di mini market itu. Ia justru berlari kembali ke arah pria misterius itu.
“Tuan, aku tidak bisa menemukan apapun di sini. Kenapa kita tidak pergi ke rumah sakit saja? Aku bisa mengantarkanmu.” Jeni segera menawarkan bantuan.
Pria itu menggeleng. “Tidak. Aku sangat membenci rumah sakit. Kalau kau membawaku kesana, aku justru akan pingsan karena baunya.”
“Ah, baiklah. Kalau begitu … aku akan membawamu ke apartemenku. Aku akan mengobatimu di sana.” Jeni dengan cepat mengalungkan tangan di pundaknya.
Sang pria yang masih mengenakan helm itu, hanya bisa tersenyum di balik helmnya. Gadis di sisinya ini entah terlalu fokus ingin membantunya atau memang terlalu polos saja. Pria itu masih bisa berjalan dengan sangat baik, tapi kenapa gadis ini justru membopongnya seperti itu.
“Aku akan mematikan komputer dulu dan juga menutup toko. Kau tunggu sebentar di luar ya?” tanya Jeni berjalan perlahan bersama sang pria.
Sesuai ucapannya, Jeni dengan sigap kembali masuk ke dalam toko dan mematikan komputer. Meraih tasnya di rak bawah komputer dan membawanya keluar setelah memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah menutup toko, Jeni kembali mengalungkan lengan sang pria di pundaknya.
Mereka berjalan menyusuri malam yang sunyi. Jeni memang selalu menggunakan jalan tikus untuk pulang ke apartemennya yang lebih terlihat seperti sebuah kamar kos dengan rumah yang sangat besar saja. Itu karena kamarnya memang berukuran sangat kecil.
Hanya berjalan sekitar lima menit, mereka sudah tiba di lantai dua apartemen yang merupakan kamar Jeni. Gadis itu membuka pintunya dan menuntun pria asing itu duduk di satu-satunya sofa yang ada di sana. Kamar apartemen itu cukup sempit, tapi jelas cukup untuk dirinya sendiri.
Jeni dengan sigap mengambil kotak peralatan medis yang tersimpan di bawah laci TV. Dia kembali dan pria itu perlahan membuka jaket yang dikenakannya. Pria asing itu merintih sebentar. Luka itu masih tertutup kaos hitam polos dan pria itu dengan perlahan menaikkannya hingga ke dada.
Jeni melihat darah yang cukup banyak mengalir di sisi tubuh pria itu. Bahkan sudah banyak menetes di tangan dan juga celana sang pria.
“Tidak usah khawatir. Ini hanya terserempet saja. Lukanya aku rasa tidak terlalu dalam juga. Kalau kau bisa … cukup tutup saja luka ini setelah memberinya sedikit obat.” Pria itu memberi saran.
Jeni hanya mengangguk bagai hipnotis. Bahkan di detik ini, ia tidak bisa melihat wajah sang pria, tapi entah kenapa dia menuruti saja semua perintahnya. Ia membersihkan luka itu dengan telaten. Kemudian ia membubuhkannya dengan sedikit obat yang dia miliki. Sebelum akhirnya menutupnya dengan perban yang baru.
“Ini sudah selesai,” ucap Jeni setelah fokus mengerjakan semuanya.
“Terima kasih banyak, hm, siapa namamu?” tanya sang pria kemudian.
“Namaku Jeni.”
“Jadi, Jeni, kau bekerja di mini market itu sebelumnya?” tanya sang pria lagi.
“Ya. Aku memang bekerja di sana sore hingga malam. Kalau pagi aku harus kuliah,” terang Jeni.
“Dan kau tinggal di sini sendirian?” tanya si pria lagi.
“Iya. Aku sendirian. Aku punya kakak laki-laki, tapi dia tinggal di apartemen yang berbeda denganku,” jelas Jeni lagi.
“Hm, informasi yang sangat banyak darimu. Apa kau tidak penasaran denganku?” tanya si pria kemudian.
Jeni dengan polosnya mengangguk. Pria itu dengan segera membuka helm yang sedari tadi masih menutupi wajahnya. Sungguh, Jeni bisa katakan ia terpesona oleh ketampanan pria itu. Bahkan mungkin ia sedikit menganga karena bahkan dalam kondisi kacau begitu, ia masih terlihat tampan.
Matanya berwarna abu gelap. Tatapannya dalam dengan alis hitam lebat. Ada sedikit bekas luka di pangkal hidungnya yang mancung sempurna. Senyumnya juga sangat misterius tapi sangat menarik. Rahangnya terutama sangat seksi dan terkesan kuat juga kokoh.
“Wow, kau tampan.” Jeni sepertinya reflek mengatakannya.
“Hahaha. Tapi apapun alasannya, kau seharusnya tidak mudah membiarkan pria manapun masuk ke dalam apartemenmu dengan mudah. Apa ini bukan pertama kalinya kau melakukan ini?” tanya si pria yang belum menyebutkan nama itu.
“Eh, itu, tidak! Aku pertama kali melakukan ini. Aku … aku juga tidak tahu kenapa aku melakukan ini.” Jeni jadi salah tingkah sendiri.
“Aku mengerti. Kau hanya seorang gadis polos dan baik hati yang berniat membantu orang lain. Tapi … aku harap kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi.” Pria itu mencoba berdiri dan mengenakan jaketnya.
“Eh, kau mau kemana? Apakah tidak perlu istirahat terlebih dahulu? Lukamu itu masih baru selesai aku obati.” Jeni dengan cepat ikut berdiri.
“Tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja. Tiga hari lagi aku akan datang di jam yang sama. Aku harap kau ada di apartemen ini untuk mengganti perbanku ya,” ucap si pria sekali lagi membuat Jeni mengangguk.
“Ok.”
“Gadis pintar. Kalau begitu aku pergi dulu ya. Dan ingat jangan pernah membukakan pintu untuk pria asing, kecuali aku.”
Pria itu mengenakan helmnya kembali dan segera berjalan pergi dari sana. Meninggalkan Jeni yang masih mematung dan bahkan masih belum mengetahui nama pria yang barusan ditolongnya. Hingga pintu itu tertutup, baru Jeni menyadari sesuatu.
“Ya ampun. Apa yang sudah aku lakukan? Aku bahkan masih belum tahu namanya. Aku juga tidak bertanya dari mana dia mendapatkan luka itu. Bagaimana kalau ternyata dia adalah penjahat?”
Setelah pria asing itu pergi, Jeni memilih untuk membereskan semua sisa kegiatan yang sebelumnya ia lakukan. Kakaknya selalu bisa datang tiba-tiba dan melihat pemandangan berantakan semacam itu di atas meja, ia pasti akan curiga dan mengomelinya seperti kebiasaan sehari-harinya.
Tidak lama berselang, bel pintunya berbunyi lagi. Ini sudah hampir jam 10 malam. Siapa yang mengunjunginya malam-malam begini? Jeni dengan cepat membuka pintunya dan benar saja ada sang kakak berdiri di sana. Kakak lelakinya yang bernama Juan. Dia datang bersama sahabat sekaligus partner kerjanya yang bernama Hope.
“Kak, ini sudah sangat malam. Kenapa kalian mengganggu jam istirahatku?” tanya Jeni kesal.
“Hei, aku datang karena kebetulan saja aku sedang berkeliling di daerah sini. Aku pikir tidak ada salahnya sekalian mengunjungimu kan?” tanya Juan yang berjalan masuk ke dalam apartemen.
“Apa lagi yang ingin kau ketahui kali ini?” tanya Jeni enggan.
“Hm … tidak. Aku hanya … mencium aroma parfum laki-laki yang sedikit asing di apartemen ini.” Juan mengendus.
“Cih, jangan mengada-ada, Kak. Aku akan mengambil minuman untuk kalian.” Jeni mengambil dua minuman kaleng dingin di dalam kulkas.
“Jeni, jangan terlalu ketus begitu pada kakakmu. Paling tidak karena dia aku bisa menemuimu. Kenapa kau jarang sekali membalas pesan dariku?” Hope tersenyum.
“Aish, kau ini! Kalau kau ingin mendekati adikku, setidaknya jangan lakukan itu di hadapanku!” Juan terlihat siap memukul sahabatnya itu.
“Juan, justru karena kau sahabatku, setidaknya beri aku dukungan. Buat aku dan adikmu semakin dekat. Kau bisa mulai dengan mengatakan hal-hal yang baik tentang aku.” Hope duduk di salah satu kursi.
“Huh, aku tidak ingin terlibat dengan ini! Lagipula dari pada sibuk mengejar adikku, lebih baik kau kejar penjahat yang tadi hampir kita tangkap itu! ” Juan terlihat acuh.
Memang sudah menjadi rahasia umum di antara ketiganya kalau Hope menyukai Jeni. Walau sisi baiknya, Hope sama sekali tidak memaksakan diri dan bertindak menyebalkan. Itu kenapa Jeni masih bisa terus bersikap baik dan ramah juga pada Hope. Mereka masih bisa berbincang seru seperti biasa.
“Penjahat? Penjahat seperti apa yang kamu maksud?” tanya Jeni salah fokus.
“Kau tidak perlu tahu! Yang selalu perlu kau ingat hanya lah pesan-pesan dariku. Jangan terlalu baik, apalagi pada orang yang tak pernah kau temui sebelumnya!” Juan mengingatkan.
“Kak, kau sudah mengatakannya ribuan kali. Aku mengerti. Aku juga akan berhati-hati. Lagipula … apa yang terjadi di masa lalu itu, belum tentu juga akan terjadi di masa kini.” Jeni mencoba mengingatkan.
Juan tidak bisa berpikir demikian. Apa yang terjadi pada dirinya dan Jeni saat kecil, masih membekas diingatannya hingga saat ini. Berbeda bagi Jeni yang saat itu masih berusia empat tahun, Juan yang sudah berusia sembilan tahun, mengingat semuanya dengan baik.
Pembunuhan kedua orangtuanya yang secara kebetulan berada di waktu dan tempat yang salah. Berniat ingin membantu seorang wanita yang terluka di tepian jalan. Justru keduanya menjadi korban pembunuhan dari para penjahat yang menginginkan kematian sang wanita. Misteri yang bahkan belum terpecahkan hingga kini.
Suatu malam, pintu rumah Juan dan Jeni diketuk. Keduanya yang hidup dengan orang tua dan nenek mereka membuka pintu. Sang nenek dengan sigap mengambil alih ketika melihat dua orang petugas polisi memberikan informasi mengenai kematian orang tua Juan dan Jeni.
Juan masih ingat benar, bagaimana percakapan yang terjadi antara sang nenek juga petugas.
“Mohon maat, Nyonya. Kami datang untuk memberi kabar bahwa putra dan menantu putri Anda meninggal dalam sebuah peristiwa tragis.”
Tentu saja sang nenek menangis dan berteriak histeris. Ia bahkan jauh tersungkur dan sejenak melupakan bahwa ada dua cucu yang menunggunya dengan khawatir. Juan yang jelas paham apa yang diucapkan sang polisi, hanya bisa memeluk sang adik yang berdiri bersembunyi di belakangnya.
“Putra dan menantu putri Anda sepertinya menjadi korban karena mereka tidak sengaja melihat hal yang semestinya tidak mereka ketahui. Melalui olah TKP sementara, kami bisa melihat ada segerombolan orang yang sepertinya sedang mengejar seseorang. Kemungkinan besar, dua anak Anda mengetahuinya, jadi terpaksa mereka ikut dibunuh untuk meniadakan saksi.”
Sang nenek semakin terpukul. Ia tentu percaya bahwa putra dan menantunya adalah dua orang yang baik, lalu bagaimana mereka mendapat nasib yang seburuk itu. Nenek juga sempat menatap sang cucu yang masih berdiri di ujung tangga dengan tatapan penuh tanya.
“Saat ini, kami belum bisa mengetahui dengan pasti siapa orang-orang yang bertanggung jawab atas insiden ini. Kami harap, kalian bisa sabar menanti hasil penyidikannya.”
Sang polisi pergi begitu saja. Nenek tentu saja harus memutar otak untuk menghidupi dua cucunya. Setelah proses pemakaman orang tua June dan Jeni, ia menjual rumah tersebut yang menajdi satu-satunya harta kekayaan yang tertinggal. Mereka kemudian menyewa rumah yang jauh lebih kecil. Nenek bahkan harus hidup sebagai pembantu rumah tangga hingga ia meninggal.
Nenek meninggal saat usia Juan 17 tahun. Sang nenek sempat meninggalkan sisa harta yang tersisa untuk biaya kuliah Juan. Itu lah kenapa, ia saat ini bertanggung jawab penuh dengan Jeni. Belum lagi setelah puluhan tahun, orang yang bertanggungjawab untuk kematian ayah dan ibu belum juga ditemukan.
“Kak, apa kau mendengarku?” tanya Jeni yang tak kunjung mendapat jawaban.
“Jeni, karena kau tak banyak tahu, bukan berarti apa yang terjadi di masa lalu itu tidak berarti. Hingga detik ini, kita belum menemukan orang yang bertanggungjawab akan kematian Ayah dan Ibu. Itu alasanku menjadi polisi hari ini. Aku akan mengungkap baik cepat atau lambat pelaku pembunuhan ayah dan ibu malam itu. Sekarang, aku sudah mulai menemukan beberapa nama. Aku hanya harus menemukan bukti-buktinya.” Juan terlihat penuh tekad.
Apa yang kakaknya katakan itu memang benar. Ia memang lupa mengenai apa yang terjadi di masa lalu. Sejauh yang ia ingat hanya ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan. Kadang ia lupa, kakaknya lah yang paling banyak menderita. harus menjadi kepala rumah tangga di usia yang sangat belia dan juga harus mengurusnya sebagai adik.
“Maafkan aku, Kak.”
“Aku tidak memintamu banyak, Jeni. Aku akan jauh lebih senang kalau kau bisa hidup tenang dan jalani kuliahmu juga gapai mimpimu. Sedangkan aku, kau harus biarkan aku melakukan apa yang harus aku lakukan.” Juan akhirnya memilih pergi dari apartemen itu.
Jeni merenungkan perkataannya sebelumnya. Sang Kakak pasti merasa sakit hati dengan apa yang dia ucapkan. Jeni merasa bersalah dan hanya bisa menghela nafas kasar. Kuliahnya saat ini pun Juan lah yang membiayai semuanya. Selebihnya Jeni berusaha menutupinya dengan beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu. Juan memang sudah berkorban banyak sekali untuknya.
Sudah mengganti pakaiannya dengan yang baru, seorang pria berjalan menuju sebuah ruangan di ujung lorong. Rumah besar tersebut memiliki pilar yang tinggi kokoh dengan ukiran-ukiran megah berwarna emas. Banyak penjaga berpakaian serba hitam dengan celana motif militer berjaga di sepanjang jalan.
Begitu sang pria itu membuka pintunya, sebuah suara segera berteriak nyaring memekakkan telinga.
“Vee, bangsat! Apa yang kau lakukan?! Bagaimana bisa dua polisi berpangkat rendahan itu menemukan dermaga itu?” tanya sang pria kesal.
“Aku juga tidak tahu tentang itu, Tuan Darco. Mereka tiba-tiba saja ada di sana dan memberondong kami dengan tembakan. Tapi, aku bisa pastikan bahwa pengiriman itu tetap berhasil.” Vee coba mencari alasan.
“Berhasil katamu?” Pria bernama Tuan Darco itu memukul dengan sangat kencang hingga bibir Vee berdarah.
Vee yang tersungkur, hanya berdiri kembali ke posisi siap istirahatnya.
“Apa kau tidak tahu kerugian yang kau ciptakan dari semua kekacauan itu? Kita harus kehilangan dermaga itu. Itu berarti kita butuh tambahan waktu dan biaya untuk mencari yang baru. Kau pasti mengerti kan setiap detik dan dolar itu sangat berarti bagi kelancaran bisnis kita. Apa kau bisa mempertanggungjawabkannya?” tanya Darco kesal.
“Tuan, kau tahu bagaimana kesetiaanku padamu selama ini. Aku pasti akan melakukannya. Aku akan bertanggungjawab dengan semua yang terjadi,” ucap Vee.
“Lalu bagaimana dengan dua polisi bodoh itu? Kenapa kau membiarkan mereka terus mengikutimu? Kenapa tidak kau bunuh saja keduanya sejak awal?” tanya Darco kesal.
“Aku akan menyingkirkan mereka juga nantinya, Tuan Darco!”
Darco yang masih emosi, tidak bisa berhenti. Ia kembali memukul perut dan dada Vee membuatnya tersungkur kali ini.
“Alasan! Kau itu lemah! Aku tahu di lubuk hatimu yang terdalam, satu-satunya alasan untuk tidak membunuh mereka adalah karena kau beranggapan mereka adalah orang yang baik. Picik sekali!” Darco menegaskan.
“Aku … akan bertindak lebih baik lain kali.”
“Sebaiknya kau memang melakukannya, Vee. Aku harap kau tidak lupa siapa yang membawamu dan merawatmu dengan sangat baik. Aku harap kau bisa membayarku setelah semua yang aku berikan padamu!” Darco menegaskan.
Vee akhirnya memilih pergi dari sana. Ia tahu pria yang memiliki ruangan itu sedang berada dalam kondisi hati yang sangat buruk. Jelas ada hal yang lebih menyiksanya karena Vaa mendengar bahwa musuh bebuyutannya yang sudah lama menghilang, mulai menunjukkan batang hidungnya lagi dan membuat gara-gara. Hal itu ia ketahui lagi dari sang kepala pelayan, Bibi Maria.
Sebelum ia pergi menemui Darco di ruangannya, Vee menemui Bibi Maria di dapur. Di sanalah wanita yang selama ini merawatnya itu selalu berada. Ia juga sosok yang selama ini selalu merawat Vee. Termasuk setelah Vee mendapatkan luka-lukanya karena perkelahian ataupun dihajar oleh Darco.
“Aku harap kau tidak terlalu ambil pusing dengan semua celotehannya. Kondisi hatinya memang sudah buruk sejak beberapa hari yang lalu setelah Darco mendengar bahwa musuhnya, Shancez, berniat meluncurkan aplikasi judi online.” Bibi Maria menjelaskan.
“Judi online?” tanya Vee meratap.
Judi online jelas merupakan ancaman bagi Darco yang memiliki bisnis judi paling besar di negara mereka. Kalau selama ini judi tersebut bisa dilakukan secara konvensional di mana para pelakunya harus datang ke satu titik, judi online bisa meminimalisir hal tersebut. Tentu saja hal itu bisa membuat bisnis judi milik Darco terganggu.
“Ya. Itu sebenarnya adalah ide brilian dari seorang Shancez. Dia pandai sekali memanfaatkan situasi. Aku rasa dia sudah menunggu waktu ini untuk membalas dendam. Shancez dan Darco itu, punya hubungan yang sangat amat rumit. Semua bermula dari seorang gadis bernama Clarissa.” Vee terlihat menerawang.
“Clarissa. Bisakah kau mengatakannya padaku tentang gadis itu?” tanya Darco.
“Clarissa sebenarnya adalah kekasih Darco. Ia sangat mencintainya dan tak pernah rela gadis itu dimiliki oleh pria lain. Tapi, rupanya hal tersebut didengar hingga ke telinga, Boirez, yang merupakan kakak Shancez. Boirez yang penasaran dengan sosok Clarissa, mendadak ingin memilikinya juga.” Bibi Maria mengingat masa lalu.
“Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya. Yang aku tahu, Clarissa hilang dan ada seseorang yang menculiknya. Darco segera mencari sosok tersebut, tapi bahkan satu tahun, ia juga tidak bisa menemukan Clarissa. Ketika itu, bahkan keseluruhan bisnis ini terdampak. Semua usahanya mengalami defisit.” Bibi Maria menyentuh wajah Vee yang terlihat begitu pilu.
“Bibi Maria, lalu apa yang terjadi dengan Clarissa?” tanya Vee ingin tahu.
“Entah bagaimana, pada akhirnya kami mendengar bahwa Boirez dan Clarissa ditemukan tewas di sebuah rumah megah di tepian pantai. Selama ini mereka ternyata telah hidup bersama. Aku ingat … waktu itu Darco pergi cukup lama. Setelah sekitar satu bulan, kau yang berusia enam tahun datang di pelukannya. Aku hanya ada di sini untuk merawatmu sejak itu.”
Vee bertanya dalam hati, apakah mungkin ia ada kaitannya dengan sosok Clarissa? Sejujurnya, di dalam lubuk hati terdalam, ia masih sangat ingin tahu siapa orangtuanya. Ia sangat ingin tahu kenapa dia berada di dalam pelukan Darco. Pria yang selama ini ingin sekali Vee anggap sebagai ayahnya, tapi selalu terasa salah.
Bibi Maria jelas bisa melihat Vee yang tampak tak nyaman dan segera mengusap kepalanya. “Apa yang kau pikirkan?”
“Hm, tidak banyak.” Vee dengan cepat mengelak.
“Aku masih ingat dengan jelas bagaimana kau saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Kau diduga amnesia saat itu karena trauma yang cukup berat. Tubuhmu cukup kurus dan kau punya beberapa luka di tubuhmu. Sejak saat itu, aku bertahan di sini karena sangat ingin menjagamu.” Bibi Maria mengusap kepala Vee.
“Terima kasih banyak, Bibi Maria.”
“Jadi … karena aku adalah salah satu dari mereka yang berjasa merawatmu hingga sedewasa ini, kau harus katakan padaku siapa yang membalut lukamu itu?” tanya Bibi Maria yang dengan matanya menunjuk ke arah sisi perut Vee.
Entah kenapa Vee sedikit tersenyum saat kembali membayangkan tentang sosok Jeni.
“Ah … aku tahu senyum ini.” Bibi Maria menggoda.
“Bibi Maria! Tolong jangan berspekulasi sembarangan!” Vee dengan cepat memberi isyarat.
“Ayolah, Vee. Katakan padaku siapa namanya, atau bagaimana wajahnya. Dia cantik kan?” Bibi Maria masih menggoda.
“Bi …! Kau terlalu cepat menyimpulkan. Aku akan pergi saja dari sini!” Vee siap berdiri masih menyembunyikan wajah tersipunya.
“Vee, melihatmu tumbuh besar, sungguh aku berharap pada akhirnya kau akan menemukan kebahagiaan. Aku percaya bahwa gadis manapun yang membuatmu jatuh cinta adalah gadis yang sangat spesial. Aku juga berharap, gadis itu akan membawamu keluar dari dunia yang kelam ini.” Bibi Maria menambahkan sebelum pria itu benar-benar pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!