Kembali Bekerja

“Jeni, terima kasih karena kau sudah bersedia masuk sendirian beberapa hari ini. Aku sama sekali tidak bisa meninggalkan ibuku di rumah sakit. Aku juga harus mengurus adikku yang masih bersekolah,” ucap Irene, rekan kerja Jeni.

“Hei, kenapa harus sungkan? Paling penting adalah ibumu segera pulih kembali. Sekarang ibumu sudah pulang dari rumah sakit kan? Aku sangat amat lega mendengarnya.” Jeni tersenyum dari mesin kasir.

“Terima kasih banyak. Kau memang teman terbaik. Tapi … tidak ada hal buruk yang terjadi saat aku pergi kan?” tanya Irene menebak.

Jeni jadi teringat lagi kejadian malam itu saat ia akhirnya berkenalan dengan seorang pria bernama Vante. Entah kenapa walau mereka baru saja saling mengenal, tapi sepertinya mereka sudah sangat dekat. Walau mencurigakan dan misterius, tapi sama sekali Je ni tidak takut dengan sosok pria itu.

“Jeni, kenapa melamun?” tanya Irene menepuk pundaknya.

“Eh, hehehe. Aku hanya mengingat kejadian yang cukup … unik. Aku berkenalan dengan seorang pria di hari pertama kau tidak masuk kerja.” Jeni tersipu malu.

“Ah benarkah? Lalu … apa yang terjadi?” tanya Irene ingin tahu.

Jeni akhirnya menceritakan pertemuan itu dengan Vante. Termasuk ketika ia menolong Vante yang terluka entah karena apa. Irene sesuai tebakannya langsung marah padanya. Sahabatnya itu berkisah panjang lebar mengenai bahayanya menolong orang asing, apalagi yang jelas terluka seperti itu.

“Apa kakakmu tahu tentang ini? Kau tahu kan dia pasti tidak suka dengan hal semacam itu?” tanya Irene berlagak khawatir.

“Ck, kau ini. Aku menceritakannya padamu karena aku percaya padamu. Aku tidak ingin kau justru ikut menyalahkanku dengan apa yang terjadi. Aku bisa menjamin dia pria yang baik.” Jeni dengan cepat membela.

“Benarkah? Dari mana kau tahu sedangkan baru dua kali kau bertemu dengannya? Kalaupun ia pria yang baik, kenapa dia tak jujur tentang luka itu padanya? Aku harap kau mengerti, aku mengatakan ini hanya karena aku peduli padamu.” Irene mencoba memberi pengertian.

“Ya aku tahu. Tenang saja. Aku mengerti.” Jeni berusaha meyakinkan.

“Hm, baiklah kalau begitu. Lalu … bagaimana kuliahmu?” tanya Irene melanjutkan.

“Kuliahku seperti biasa berjalan dengan cukup baik. Kau tahu kan aku selalu nomor dua di kelas karena Liza. Bagaimanapun aku akan selalu kalah dengan dia yang berasal dari keluarga berada. Terakhir kali ada audisi untuk teater lokal. Aku mengikutinya dengan adil. Bahkan juri saat itu mengatakan aktingku sangat bagus dan aku punya kesempatan yang sangat besar untuk mendapat peran utama. Tapi, kau tahu apa? Aku hanya berakhir menjadi pemeran pembantu,” cerita Jeni.

“Wow, tidak mengejutkan ya. Dunia memang hanya milik mereka yang punya harta dan tahta. Aku pun juga sempat mendapatkan pengalaman buruk kemarin saat menemani ibuku di rumah sakit. Mengingatnya saja membuat kepalaku ingin meledak. Tapi, paling penting adalah kesembuhan ibuku. Aku lega dia sekarang baik-baik saja,” ucap Irene kali ini.

“Benar. Aku minta maaf karena belum bisa menjenguk ibumu saat dia dirawat di rumah sakit. Kau tahu kan aku sibuk kuliah dan bekerja. Aku berjanji akan mampir lain kali.,” kata Jeni.

“Iya, kau harus. Ibuku sudah menganggapmu seperti anak sendiri.” Jeni menepuk pundak sang sahabat.

Jeni bekerja seperti biasa. Dia menjaga kasir dengan sesekali membereskan barang-barang. Hari ini juga ada pengiriman produk yang jumlahnya cukup besar. Jeni begitu letih hingga pintu terbuka yang berarti ada pelanggan kali ini.

“Selamat malam, Tuan,” sapa Jeni ramah. “Eh, kau?”

Ya, itu adalah sosok Vee yang sedang berdiri di ambang pintu. Kedua tangannya berada di dalam saku jaketnya. Dia berjalan masuk mencari beberapa barang setelah tersenyum pada Jeni. Entah kenapa Jeni jadi salah tingkah sendiri. Irene kebetulan sedang berada di gudang karena sibuk menghitung barang. Sayang sekali ia tidak bisa menunjukkan Vee pada Irene.

Vee membawa sekeranjang penuh ke meja kasir. Heran juga karena sang pria belanja cukup banyak. Kebanyakan makanan instan dan cemilan. Jeni dengan cekatan menghitung semuanya. Tidak ada perbincangan di antara mereka. Jeni terlalu malu untuk bicara. Hingga Jeni selesai menghitung semuanya dan menyebutkan totalnya pada Vee.

“Apa pekerjaanmu lancar? Kau masih bekerja sendirian?” tanya Vee memperhatikan sekitar.

“Ah, tidak. Ada temanku di dalam. Hm, apa rumahmu ada di dekat sini?” tanya Jeni akhirnya.

“Ah, tidak juga.”

Vee sama sekali tidak berbohong. Rumah Darco memang cukup jauh dari sana. Ia bisa berada di minimarket itu hanya karena dia berada di dalam pelarian saja. Lagipula apa yang dia dapatkan ini bukan untuk dirinya. Melainkan untuk sosok gadis yang sedang berdiri di depannya.

“Lalu kenapa kau berbelanja hingga ke sini?” tanya Jeni ingin tahu.

“Hm … sebenarnya ini untuk kita. Malam-malam seperti ini, kamu pasti lapar kan?” tanya Vee mendadak.

“Hah?” Jeni menoleh ke sekitar.

Jam sudah menunjukkan pukul 09.30 malam dan situasi minimarket memang cukup lengang. Toh, dia juga tidak sendirian malam ini. Ia juga masih berada di dalam minimarket.

“Baiklah. Ayo kita duduk di sana.” Jeni menunjukkan bangku yang menghadap ke jendela.

Keduanya berada di sana. Jeni dengan sukarela membantu Vee untuk menambahkan air panas di mi instan kemasan mereka. Mereka berdua duduk menghadap jendela dan suasana sunyi kembali terjadi.

“Jadi, untuk apa ini?” tanya Jeni kali ini.

“Anggap saja ucapan terima kasih karena kau sudah menolongku. Aku ingin kita menjadi sedikit lebih dekat,” ucap Vee terus terang.

“Owh ya. Untuk apa?” tanya Jeni dengan polosnya.

“Kalau aku boleh terus terang. Aku tertarik padamu. Bagiku kau gadis yang unik dan polos,” jawab Vee cepat.

“Uhuk uhuk.”

Jeni dengan cepat tersedak. Pria di hadapannya itu begitu terus terang. Tapi, dengan wajah sedemikian rupa, siapa juga yang akan menjadi rendah diri. Ia pasti adalah sosok yang sangat percaya diri.

“Maaf?” tanya Jeni bingung.

“Ayo makan. Mi ini akan segera dingin kalau kau terus bicara.” Vee mengalihkan pandangan menuju mi di hadapannya.

Jeni masih menatap pria misterius itu dengan tatapan penuh tanya. Tak terasa pasti wajahnya memerah karena grogi saat ini. Bagaimana bisa ia dengan mudah mengatakan tertarik padahal pertemuan mereka terjadi beberapa hari yang lalu.

Di lain sisi, Vee tersenyum dalam hati. Sejujurnya dia juga bingung kenapa mulutnya dengan mudah menyatakan perasaan. Gadis di sisinya ini memang dengan cepat membuatnya menggila. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang terus mengawasi mereka dari kejauhan. Mengambil beberapa foto dari sepasang insan yang sedang menikmati mi instan mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!