Setelah pria asing itu pergi, Jeni memilih untuk membereskan semua sisa kegiatan yang sebelumnya ia lakukan. Kakaknya selalu bisa datang tiba-tiba dan melihat pemandangan berantakan semacam itu di atas meja, ia pasti akan curiga dan mengomelinya seperti kebiasaan sehari-harinya.
Tidak lama berselang, bel pintunya berbunyi lagi. Ini sudah hampir jam 10 malam. Siapa yang mengunjunginya malam-malam begini? Jeni dengan cepat membuka pintunya dan benar saja ada sang kakak berdiri di sana. Kakak lelakinya yang bernama Juan. Dia datang bersama sahabat sekaligus partner kerjanya yang bernama Hope.
“Kak, ini sudah sangat malam. Kenapa kalian mengganggu jam istirahatku?” tanya Jeni kesal.
“Hei, aku datang karena kebetulan saja aku sedang berkeliling di daerah sini. Aku pikir tidak ada salahnya sekalian mengunjungimu kan?” tanya Juan yang berjalan masuk ke dalam apartemen.
“Apa lagi yang ingin kau ketahui kali ini?” tanya Jeni enggan.
“Hm … tidak. Aku hanya … mencium aroma parfum laki-laki yang sedikit asing di apartemen ini.” Juan mengendus.
“Cih, jangan mengada-ada, Kak. Aku akan mengambil minuman untuk kalian.” Jeni mengambil dua minuman kaleng dingin di dalam kulkas.
“Jeni, jangan terlalu ketus begitu pada kakakmu. Paling tidak karena dia aku bisa menemuimu. Kenapa kau jarang sekali membalas pesan dariku?” Hope tersenyum.
“Aish, kau ini! Kalau kau ingin mendekati adikku, setidaknya jangan lakukan itu di hadapanku!” Juan terlihat siap memukul sahabatnya itu.
“Juan, justru karena kau sahabatku, setidaknya beri aku dukungan. Buat aku dan adikmu semakin dekat. Kau bisa mulai dengan mengatakan hal-hal yang baik tentang aku.” Hope duduk di salah satu kursi.
“Huh, aku tidak ingin terlibat dengan ini! Lagipula dari pada sibuk mengejar adikku, lebih baik kau kejar penjahat yang tadi hampir kita tangkap itu! ” Juan terlihat acuh.
Memang sudah menjadi rahasia umum di antara ketiganya kalau Hope menyukai Jeni. Walau sisi baiknya, Hope sama sekali tidak memaksakan diri dan bertindak menyebalkan. Itu kenapa Jeni masih bisa terus bersikap baik dan ramah juga pada Hope. Mereka masih bisa berbincang seru seperti biasa.
“Penjahat? Penjahat seperti apa yang kamu maksud?” tanya Jeni salah fokus.
“Kau tidak perlu tahu! Yang selalu perlu kau ingat hanya lah pesan-pesan dariku. Jangan terlalu baik, apalagi pada orang yang tak pernah kau temui sebelumnya!” Juan mengingatkan.
“Kak, kau sudah mengatakannya ribuan kali. Aku mengerti. Aku juga akan berhati-hati. Lagipula … apa yang terjadi di masa lalu itu, belum tentu juga akan terjadi di masa kini.” Jeni mencoba mengingatkan.
Juan tidak bisa berpikir demikian. Apa yang terjadi pada dirinya dan Jeni saat kecil, masih membekas diingatannya hingga saat ini. Berbeda bagi Jeni yang saat itu masih berusia empat tahun, Juan yang sudah berusia sembilan tahun, mengingat semuanya dengan baik.
Pembunuhan kedua orangtuanya yang secara kebetulan berada di waktu dan tempat yang salah. Berniat ingin membantu seorang wanita yang terluka di tepian jalan. Justru keduanya menjadi korban pembunuhan dari para penjahat yang menginginkan kematian sang wanita. Misteri yang bahkan belum terpecahkan hingga kini.
Suatu malam, pintu rumah Juan dan Jeni diketuk. Keduanya yang hidup dengan orang tua dan nenek mereka membuka pintu. Sang nenek dengan sigap mengambil alih ketika melihat dua orang petugas polisi memberikan informasi mengenai kematian orang tua Juan dan Jeni.
Juan masih ingat benar, bagaimana percakapan yang terjadi antara sang nenek juga petugas.
“Mohon maat, Nyonya. Kami datang untuk memberi kabar bahwa putra dan menantu putri Anda meninggal dalam sebuah peristiwa tragis.”
Tentu saja sang nenek menangis dan berteriak histeris. Ia bahkan jauh tersungkur dan sejenak melupakan bahwa ada dua cucu yang menunggunya dengan khawatir. Juan yang jelas paham apa yang diucapkan sang polisi, hanya bisa memeluk sang adik yang berdiri bersembunyi di belakangnya.
“Putra dan menantu putri Anda sepertinya menjadi korban karena mereka tidak sengaja melihat hal yang semestinya tidak mereka ketahui. Melalui olah TKP sementara, kami bisa melihat ada segerombolan orang yang sepertinya sedang mengejar seseorang. Kemungkinan besar, dua anak Anda mengetahuinya, jadi terpaksa mereka ikut dibunuh untuk meniadakan saksi.”
Sang nenek semakin terpukul. Ia tentu percaya bahwa putra dan menantunya adalah dua orang yang baik, lalu bagaimana mereka mendapat nasib yang seburuk itu. Nenek juga sempat menatap sang cucu yang masih berdiri di ujung tangga dengan tatapan penuh tanya.
“Saat ini, kami belum bisa mengetahui dengan pasti siapa orang-orang yang bertanggung jawab atas insiden ini. Kami harap, kalian bisa sabar menanti hasil penyidikannya.”
Sang polisi pergi begitu saja. Nenek tentu saja harus memutar otak untuk menghidupi dua cucunya. Setelah proses pemakaman orang tua June dan Jeni, ia menjual rumah tersebut yang menajdi satu-satunya harta kekayaan yang tertinggal. Mereka kemudian menyewa rumah yang jauh lebih kecil. Nenek bahkan harus hidup sebagai pembantu rumah tangga hingga ia meninggal.
Nenek meninggal saat usia Juan 17 tahun. Sang nenek sempat meninggalkan sisa harta yang tersisa untuk biaya kuliah Juan. Itu lah kenapa, ia saat ini bertanggung jawab penuh dengan Jeni. Belum lagi setelah puluhan tahun, orang yang bertanggungjawab untuk kematian ayah dan ibu belum juga ditemukan.
“Kak, apa kau mendengarku?” tanya Jeni yang tak kunjung mendapat jawaban.
“Jeni, karena kau tak banyak tahu, bukan berarti apa yang terjadi di masa lalu itu tidak berarti. Hingga detik ini, kita belum menemukan orang yang bertanggungjawab akan kematian Ayah dan Ibu. Itu alasanku menjadi polisi hari ini. Aku akan mengungkap baik cepat atau lambat pelaku pembunuhan ayah dan ibu malam itu. Sekarang, aku sudah mulai menemukan beberapa nama. Aku hanya harus menemukan bukti-buktinya.” Juan terlihat penuh tekad.
Apa yang kakaknya katakan itu memang benar. Ia memang lupa mengenai apa yang terjadi di masa lalu. Sejauh yang ia ingat hanya ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan. Kadang ia lupa, kakaknya lah yang paling banyak menderita. harus menjadi kepala rumah tangga di usia yang sangat belia dan juga harus mengurusnya sebagai adik.
“Maafkan aku, Kak.”
“Aku tidak memintamu banyak, Jeni. Aku akan jauh lebih senang kalau kau bisa hidup tenang dan jalani kuliahmu juga gapai mimpimu. Sedangkan aku, kau harus biarkan aku melakukan apa yang harus aku lakukan.” Juan akhirnya memilih pergi dari apartemen itu.
Jeni merenungkan perkataannya sebelumnya. Sang Kakak pasti merasa sakit hati dengan apa yang dia ucapkan. Jeni merasa bersalah dan hanya bisa menghela nafas kasar. Kuliahnya saat ini pun Juan lah yang membiayai semuanya. Selebihnya Jeni berusaha menutupinya dengan beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu. Juan memang sudah berkorban banyak sekali untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments