The Story Of Wedding Blues
“Saya ingin mengajukan surat pengunduran diri saya, Pak Hardi.” ucap Arin sambil mengulurkan selembar amplop putih pada Pak Hardi yang merupakan manajer di kantor tempat ia bekerja selama 5 tahun.
Tatapan sinis dan seakan sedang mencaci maki dirinya. Arin hanya bisa diam dan menunggu surat pengunduran dirinya diterima. Jantungnya berdebar dengan cepat penuh dengan kecemasan yang membuat tangannya gemetar.
“Kenapa? Kenapa tiba-tiba kamu mengajukan resign?” tanyanya seakan sedang memojoki Arin yang menjadi bisu karena terlalu tegang. “Apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan lain? Memang kamu nggak sayang sama pekerjaan kamu saat ini. Cari kerja itu sulit, tapi kamu malah keluar …,” ucapnya.
“Saya tahu itu pak,”
“Kalau kamu tahu itu, kenapa resign? Kamu ini perempuan … pacar nggak punya, penampilan biasa saja, ngomong aja gak becus, siapa yang mau terima orang kayak kamu selain tempat ini.” ungkapnya dengan begitu halus cara bicaranya untuk menyindir kelemahan Arin.
Arin semakin tidak tahan dengan ucapan orang yang bahkan tidak pernah sekalipun menghargai para pegawainya dan hanya santai duduk di ruangannya. Jika ia tetap bertahan, ini sama saja Arin akan kehilangan dirinya sendiri. Arin mencoba untuk bersenandung di dalam pikirannya agar tidak mendengar ocehan orang tua yang hanya mementingkan isi perutnya saja. Mulut yang penuh bisa yang bisa beracun yang bisa membunuh seseorang secara perlahan.
“Jadi, apa kamu masih yakin ingin mengundurkan diri?” tanyanya sekali lagi setelah berbicara menghina Arin dengan mulut besarnya.
“Iya. Saya sangat yakin.”
“Tidak perlu di proses, kamu bisa keluar sekarang,” ucapnya sambil mengedikkan dagunya ke arah pintu sebagai tanda jika surat pengunduran diri milik Arin sudah diterima.
Arin tersenyum mendengarnya, itu berarti dirinya tidak usah menunggu dan harus kembali mendengar ocehan pria tua itu. “Terima kasih, Pak.” ucap Arin yang kemudian berjalan keluar ruangan.
Arin sudah berada di meja kerjanya. Sebuah kotak kardus berukuran besar yang ia bawa untuk mengambil semua barang-barang miliknya yang ada di kantor. Salah seorang pegawai menghampiri Arin dan membatu memasukkan barang-barang. Dia bernama Andin.
“Kak Arin, beneran keluar. Nanti aku nggak ada temannya lagi dong …, padahal Kak Arin sudah banyak ngebantu aku,” ucapnya dengan nada sedih tak rena senior kesukaannya tiba-tiba mengundurkan diri.
“Kamu harus belajar berteman dengan yang lain, Ka Fitri juga baik. tapi memang dia jarang berbicara …,” ucap Arin.
“Huff … terus setelah ini kaka bakal kemana? Ada pekerjaan lain?” tanya Andin.
“Untuk saat ini masih belum tau, mungkin beristirahat di rumah. Kamu masih bisa hubungi aku kalau kesepian.” ucap Arin.
“Serius kak? Asik …!” ucap Andin, dia benar-benar anak yang polos dan berhati murni. Semoga saja dia bisa bertahan ditempat ini.
“Makasih ya, sudah bantu. aku pergi …” ucap Arin yang sudah selesai mengepak barang-barang. Arin terdiam beberapa saat, matanya melihat sekeliling — terlihat tidak ada satupun yang peduli dengan dirinya. Ingin rasanya mengucapkan salam perpisahan dengan sopan, namun melihat para teman kerjanya membuat Arin mengurungkan niatnya.
“Hati-hati di jalan kak,” ucap Andin.
“Eung. Thank you …” ucap Arin dengan menelan rasa perih, ia mulai berjalan keluar dari ruangan kantor yang berada di gedung lantai 15.
Berjalan memasuki lift berada dengan beberapa orang pekerja dari berbagai divisi. Mereka tampak begitu sibuk dengan pekerjaan mereka. Sekilas beberapa mereka melihat ke arah Arin, seakan pemandangan ini menjadi biasa.
Akhirnya …
Aku bebas …
Arin berjalan keluar dari gedung, udara hangat yang menyambutnya sungguh terasa segera. Bagaimana bisa rasanya berbeda udara saat ia masih terjebak dalam gedung ini adan setelah berhasil keluar dari gedung ini. Sungguh menakjubkan. Bahkan Arin bisa merasa bahagia hanya dengan menghirup udara.
Inikah yang namanya kebebasan …
***
“APA?!! KELUAR?? KAMU SERIUS DENGAN PILIHAN KAMU? MAU JADI APA KAMU SETELAH KELUAR?” tanya Ibu membentak, ia tak terima mendengar anaknya yang tiba-tiba memutuskan untuk keluar dari pekerjaan.
Padahal Arin baru saja sampai di depan pintu rumah, sepatunya pun belum sampai ia buka namun ia sudah dibentak karena pilihannya.
“Kenapa kamu nggak diskusikan dulu sama kamu?” tanya Ayah yang juga sama dengan Ibu tak terima dengan berita mengejutkan ini bagi mereka.
Arin hanya bisa menghela nafas melihat kedua orang tuanya yang bahkan tidak ada bedanya dengan teman di tempat kerjanya. Tidak peduli pada dirinya. Sungguh ironis. baru saja ia mendapatkan kebebasan namun sesampainya di rumah malah dapat penghakiman. Arin masih terdiam melihat betapa paniknya kedua orang tuanya yang sedang berdebat di hadapannya.
Lagi pula sejak kapan aku mengharapkan sesuatu dari mereka …
Lucunya …
Arin memutuskan untuk berjalan ke kamarnya — mengabaikan kedua orang tuanya yang masih berdebat. Ibu langsung menyadari kepergian anaknya yang sama sekali tidak mau mendengarkan nasihat. Mereka berpikir jika anak keduanya itu benar-benar sangat keras kepala dan selalu melakukan hal dengan sesukanya. Itulah pandangan mereka terhadap Arin yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
BRAKK!!
Arin membanting pintu dengan sangat keras hingga membuat kedua orang tuanya terdiam. Arin sebisa mungkin tidak melampiaskan kemarahannya dengan kata-kata yang mungkin bisa menyakitkan orang lain, tetapi ia selalu melampiaskan kesabarannya pada benda mati.
Berdiri membelakangi pintu dengan kedua mata yang penuh dengan air mata yang tertahan namun akhirnya terjatuh juga. Rasa yang tak terbendungkan lagi meluap bersama dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Arin akhirnya menangis tanpa suara.
DUK DUK DUK!!
Suara pintu yang digedor dengan sangat keras dari luar. “ARIN! BUKA PINTUNYA! ARIN!! KAMU NGGAK SUNGGUH-SUNGGUH RESIGN ‘KAN? ARIN!! KAMU DENGAR NGGAK SIH!!” bentak Ibu yang begitu marah pada anaknya yang malah mengucilkan diri didalam kamar seakan sedang melarikan diri dari masalah.
Arin hanya terus menangis sambil memukul dadanya yang terasa sesak hingga ia mulai terengah-engah kehilangan nafas. Terlalu berat beban yang ia tanggung sendiri. Jiwa dan batinnya yang sudah rapuh bagaikan tembikar yang terlalu lama dibakar hingga akhirnya ia menjadi abu saat disentuh. Seperti itulah keadaan Arin saat ini, terduduk lemas di depan pintu sambil memeluk dirinya sendiri disaat ibunya terus mencoba membuka pintu dari luar.
Suara dering telepon berbunyi, ada sebuah pesan masuk membuat Arin berhenti menangis. Pikirannya teralihkan pada ponsel miliknya. Dan sepertinya Ibu sudah tidak lagi mencoba untuk masuk ke kamarnya. Arin mengambil ponsel di dalam tas — tatapan matanya terdiam saat melihat sebuah pesan masuk dari nomor yang tak ia kenal. Pesan itu berisikan,
| Assalamualaikum. Aku Haru Ardiansyah. Boleh aku berkenalan sama kamu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Rosa Rosiana
menarik
2023-05-21
0
Is Wanthi
waikum salam, boleh 🙂🙂🙂🙂🙂
2023-04-01
0