“Saya ingin mengajukan surat pengunduran diri saya, Pak Hardi.” ucap Arin sambil mengulurkan selembar amplop putih pada Pak Hardi yang merupakan manajer di kantor tempat ia bekerja selama 5 tahun.
Tatapan sinis dan seakan sedang mencaci maki dirinya. Arin hanya bisa diam dan menunggu surat pengunduran dirinya diterima. Jantungnya berdebar dengan cepat penuh dengan kecemasan yang membuat tangannya gemetar.
“Kenapa? Kenapa tiba-tiba kamu mengajukan resign?” tanyanya seakan sedang memojoki Arin yang menjadi bisu karena terlalu tegang. “Apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan lain? Memang kamu nggak sayang sama pekerjaan kamu saat ini. Cari kerja itu sulit, tapi kamu malah keluar …,” ucapnya.
“Saya tahu itu pak,”
“Kalau kamu tahu itu, kenapa resign? Kamu ini perempuan … pacar nggak punya, penampilan biasa saja, ngomong aja gak becus, siapa yang mau terima orang kayak kamu selain tempat ini.” ungkapnya dengan begitu halus cara bicaranya untuk menyindir kelemahan Arin.
Arin semakin tidak tahan dengan ucapan orang yang bahkan tidak pernah sekalipun menghargai para pegawainya dan hanya santai duduk di ruangannya. Jika ia tetap bertahan, ini sama saja Arin akan kehilangan dirinya sendiri. Arin mencoba untuk bersenandung di dalam pikirannya agar tidak mendengar ocehan orang tua yang hanya mementingkan isi perutnya saja. Mulut yang penuh bisa yang bisa beracun yang bisa membunuh seseorang secara perlahan.
“Jadi, apa kamu masih yakin ingin mengundurkan diri?” tanyanya sekali lagi setelah berbicara menghina Arin dengan mulut besarnya.
“Iya. Saya sangat yakin.”
“Tidak perlu di proses, kamu bisa keluar sekarang,” ucapnya sambil mengedikkan dagunya ke arah pintu sebagai tanda jika surat pengunduran diri milik Arin sudah diterima.
Arin tersenyum mendengarnya, itu berarti dirinya tidak usah menunggu dan harus kembali mendengar ocehan pria tua itu. “Terima kasih, Pak.” ucap Arin yang kemudian berjalan keluar ruangan.
Arin sudah berada di meja kerjanya. Sebuah kotak kardus berukuran besar yang ia bawa untuk mengambil semua barang-barang miliknya yang ada di kantor. Salah seorang pegawai menghampiri Arin dan membatu memasukkan barang-barang. Dia bernama Andin.
“Kak Arin, beneran keluar. Nanti aku nggak ada temannya lagi dong …, padahal Kak Arin sudah banyak ngebantu aku,” ucapnya dengan nada sedih tak rena senior kesukaannya tiba-tiba mengundurkan diri.
“Kamu harus belajar berteman dengan yang lain, Ka Fitri juga baik. tapi memang dia jarang berbicara …,” ucap Arin.
“Huff … terus setelah ini kaka bakal kemana? Ada pekerjaan lain?” tanya Andin.
“Untuk saat ini masih belum tau, mungkin beristirahat di rumah. Kamu masih bisa hubungi aku kalau kesepian.” ucap Arin.
“Serius kak? Asik …!” ucap Andin, dia benar-benar anak yang polos dan berhati murni. Semoga saja dia bisa bertahan ditempat ini.
“Makasih ya, sudah bantu. aku pergi …” ucap Arin yang sudah selesai mengepak barang-barang. Arin terdiam beberapa saat, matanya melihat sekeliling — terlihat tidak ada satupun yang peduli dengan dirinya. Ingin rasanya mengucapkan salam perpisahan dengan sopan, namun melihat para teman kerjanya membuat Arin mengurungkan niatnya.
“Hati-hati di jalan kak,” ucap Andin.
“Eung. Thank you …” ucap Arin dengan menelan rasa perih, ia mulai berjalan keluar dari ruangan kantor yang berada di gedung lantai 15.
Berjalan memasuki lift berada dengan beberapa orang pekerja dari berbagai divisi. Mereka tampak begitu sibuk dengan pekerjaan mereka. Sekilas beberapa mereka melihat ke arah Arin, seakan pemandangan ini menjadi biasa.
Akhirnya …
Aku bebas …
Arin berjalan keluar dari gedung, udara hangat yang menyambutnya sungguh terasa segera. Bagaimana bisa rasanya berbeda udara saat ia masih terjebak dalam gedung ini adan setelah berhasil keluar dari gedung ini. Sungguh menakjubkan. Bahkan Arin bisa merasa bahagia hanya dengan menghirup udara.
Inikah yang namanya kebebasan …
***
“APA?!! KELUAR?? KAMU SERIUS DENGAN PILIHAN KAMU? MAU JADI APA KAMU SETELAH KELUAR?” tanya Ibu membentak, ia tak terima mendengar anaknya yang tiba-tiba memutuskan untuk keluar dari pekerjaan.
Padahal Arin baru saja sampai di depan pintu rumah, sepatunya pun belum sampai ia buka namun ia sudah dibentak karena pilihannya.
“Kenapa kamu nggak diskusikan dulu sama kamu?” tanya Ayah yang juga sama dengan Ibu tak terima dengan berita mengejutkan ini bagi mereka.
Arin hanya bisa menghela nafas melihat kedua orang tuanya yang bahkan tidak ada bedanya dengan teman di tempat kerjanya. Tidak peduli pada dirinya. Sungguh ironis. baru saja ia mendapatkan kebebasan namun sesampainya di rumah malah dapat penghakiman. Arin masih terdiam melihat betapa paniknya kedua orang tuanya yang sedang berdebat di hadapannya.
Lagi pula sejak kapan aku mengharapkan sesuatu dari mereka …
Lucunya …
Arin memutuskan untuk berjalan ke kamarnya — mengabaikan kedua orang tuanya yang masih berdebat. Ibu langsung menyadari kepergian anaknya yang sama sekali tidak mau mendengarkan nasihat. Mereka berpikir jika anak keduanya itu benar-benar sangat keras kepala dan selalu melakukan hal dengan sesukanya. Itulah pandangan mereka terhadap Arin yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
BRAKK!!
Arin membanting pintu dengan sangat keras hingga membuat kedua orang tuanya terdiam. Arin sebisa mungkin tidak melampiaskan kemarahannya dengan kata-kata yang mungkin bisa menyakitkan orang lain, tetapi ia selalu melampiaskan kesabarannya pada benda mati.
Berdiri membelakangi pintu dengan kedua mata yang penuh dengan air mata yang tertahan namun akhirnya terjatuh juga. Rasa yang tak terbendungkan lagi meluap bersama dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Arin akhirnya menangis tanpa suara.
DUK DUK DUK!!
Suara pintu yang digedor dengan sangat keras dari luar. “ARIN! BUKA PINTUNYA! ARIN!! KAMU NGGAK SUNGGUH-SUNGGUH RESIGN ‘KAN? ARIN!! KAMU DENGAR NGGAK SIH!!” bentak Ibu yang begitu marah pada anaknya yang malah mengucilkan diri didalam kamar seakan sedang melarikan diri dari masalah.
Arin hanya terus menangis sambil memukul dadanya yang terasa sesak hingga ia mulai terengah-engah kehilangan nafas. Terlalu berat beban yang ia tanggung sendiri. Jiwa dan batinnya yang sudah rapuh bagaikan tembikar yang terlalu lama dibakar hingga akhirnya ia menjadi abu saat disentuh. Seperti itulah keadaan Arin saat ini, terduduk lemas di depan pintu sambil memeluk dirinya sendiri disaat ibunya terus mencoba membuka pintu dari luar.
Suara dering telepon berbunyi, ada sebuah pesan masuk membuat Arin berhenti menangis. Pikirannya teralihkan pada ponsel miliknya. Dan sepertinya Ibu sudah tidak lagi mencoba untuk masuk ke kamarnya. Arin mengambil ponsel di dalam tas — tatapan matanya terdiam saat melihat sebuah pesan masuk dari nomor yang tak ia kenal. Pesan itu berisikan,
| Assalamualaikum. Aku Haru Ardiansyah. Boleh aku berkenalan sama kamu?
Bab 2 - Dua Kehidupan Yang Berbeda
Arin terdiam beberapa detik setelah membaca pesan yang sungguh menggelikan itu. Rasanya menyesal karena sudah membacanya. Tanpa pikir panjang Arin langsung mematikan ponselnya — melemparkan begitu saja. Arin kembali termenung dengan tatapan kosong, ia bingung apa yang sedang ia harap hingga begitu bergegas membaca pesan spam. Dirinya saat ini benar-benar sedang tersesat.
Matahari bahkan belum terbangun dari tidur panjangnya. Suara alarm yang sudah berbunyi lebih dulu dibandingkan ayam jantan, Arin yang masih terjaga setelah semalam menangis sendirian di kamar hingga akhirnya membuatnya kelelahan dan pada akhirnya ia tertidur. Telinganya seakan otomatis mendengar suara alarm tersebut. Mata yang masih terpejam namun tangan kanannya berusaha mencari ponsel yang terlintas di ingatannya, terakhir kali ia meletakan ponsel tersebut di bawah bantal.
Tangannya sudah meraba-raba, Arin masih tetap tidak bisa menemukan ponsel yang terus berdering semakin membuatnya jengkel. Ia teringat satu hal yang sontak membuatnya langsung terbangun dengan kedua mata yang terbelalak sempurna. Arin dengan panik langsung mencari ponselnya, di dalam pikiran saat ini jika alarm itu adalah jam di mana ia harus segera bersiap untuk berangkat kerja, jika tidak ia akan terlambat. Tentu saja Arin berhasil menemukan ponselnya dan langsung mematikan dering alarm — melihat jam yang menunjukkan pukul 5 pagi. Sial, ia harus segera bergegas untuk bersiap-siap.
“Tunggu dulu!!”.
Sebuah ingatan terlintas di saat otaknya belum siap untuk bekerja hingga membuatnya telat menyadari satu hal. “Aku ‘kan udah resign? Kenapa bangun? Dasar bodoh!” tanya Arin untuk dirinya sendiri. Arin terkekeh akan kebodohannya sendiri.
Benar juga. Kenapa ia panik hanya karena akan terlambat masuk bekerja disaat dirinya baru saja berhenti dari pekerjaan. Tampaknya kebiasaan yang sudah mendarah daging membutuhkan waktu untuk pulih.
Arin menghela nafas panjang sebelum ia kembali menghempaskan tubuhnya ke kasur untuk kembali tidur. Baru saja ingin kembali memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara pintu yang digedor-gedor dari luar. Tidak lain adalah Ibunya.
“ARIN!! BANGUN!! AYO CEPAT BANGUN, NANTI KAMU KESIANGAN BERANGKAT KERJANYA!!” sahut ibu.
Tampaknya ibu masih belum percaya jika anaknya sudah berhenti bekerja. Setelah pertengkaran semalam hingga membuat air mata Arin mengering karena terlalu banyak menangis. Dirinya memang belum sempat menjelaskan dengan seksama akan alasan dirinya keluar dari perusahaan. Arin hanya bisa menghela nafas dan mencoba untuk mengabaikan ibunya dengan kembali tidur. Namun ibu tidak mau mengalah, dia terus memanggil-manggil namanya.
“ARIN …!! CEPAT BANGUN!! INI SUDAH JAM 7!!”.
Ibu dan anak sama-sama memiliki watak yang keras kepala dan tidak ingin mengalah satu sama lain. Usahanya untuk tetap diam dan mengabaikan Ibunya pun berhasil setelah beberapa menit, suara teriakan ibunya pun menghilang. Arin melepaskan bantal dari wajahnya dan kembali mencoba untuk tidur dengan posisi yang nyaman.
***
“Pokoknya saya mau laporan keluhan hari ini harus selesai. Tolong bilang bagian IT untuk memperbaiki servernya dipercepat, karena kita akan update aplikasi secepat mungkin.” ucap Haru sambil menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba hingga sontak orang yang tampak sibuk mencatat setiap ucapannya juga ikut menghentikan langkahnya dengan cepat agar tidak menabrak.
“Apa lagi, Pak?” tanya Dimas.
“Hari ini saya pulang cepat. Jadi jangan tambahkan jadwal.” ucap Haru sambil menunjukkan ke arah Dimas yang merupakan seorang system manager di perusahaan startup miliknya.
“Ahh .., Iya, Pak. Tapi pak …” sahut Dimas mencoba menghentikan Haru yang baru saja ingin melanjutkan langkahnya menuju ruang kantornya.
“Apa?” tanya Haru.
“Kerjasama kita dengan CAA …?”
“Ah, kapan?” tanya Haru.
“Besok.”
“Besok?! Serius, kok saya bisa lupa. Ya sudah … siapkan semua jangan sampai kesepakatan kerjasama kita gagal. Oke!” ucap Haru.
“Baik, Pak!!”
Kemudian Haru membalikan tubuhnya — berjalan masuk kedalam ruang kantornya. Meja kerjanya yang tampak penuh dengan berkas-berkas data analisa dan beberapa proyek kerjasama yang sedang ia rencanakan untuk mengembakan aplikasi miliknya. Sudah hampir dua bulan Haru benar-benar terlihat seperti orang yang gila akan pekerjaan.
Duduk dibangkunya — mengalakan komputer untuk memerikakan kembali tugas yang sudah diselesaikan oleh anak buahnya. Aplikasi yang bernama ‘Eventoon’ yang sudah berjalan kurang lebih 10 tahun. Sebuah portal penerbit Novel dan juga Komik digital. Menerbitkan karya orisinal yang berkualitas.
Setelah berhasil masuk pasar Jepang dan China. ‘Eventoon’ yang berada dibawah perusahaan Haru Eventoon Crop. Kini ia sedang melakukan sayapnya untuk masuk pasar Amerika dan Eropa dengan bekerja sama dengan perusahan CAA atau bisa disebut Creative Artists Agency.
Disela kesibukannya, ia tiba-tiba teringat akan suatu hal yang membuatnya segera mengambil ponselnya dan memberikan sebuah pesan yang ia kirimkan pada seseorang.
Tampak raut wajah kecewa saat mengetahui jika tidak ada balasan dari orang yang ia kirimkan pesan. “Dia cuman baca, apa dia sibuk?” tanya Haru yang bertanya pada dirinya sendiri — menatap layar ponsel dengan sedikit harapan jika ada sebuah balasan pesan. Haru kembali meletakan ponselnya di atas meja, karena ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum ia pergi keluar untuk bertemu para penulis yang karya terpilih untuk dijadikan novel fisik. Sungguh hari yang sibuk.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 malam. Arin masih berada di bawah selimut tempat tidurnya. Sekitar 12 jam Arin tertidur. Ia kembali dibangkukan dengan ponselnya yang berdering. Matanya yang masih terpejam melihat layar ponsel, sebuah panggilan masuk dari adiknya.
“Emm … apa?” tanya Arin dengan setengah sadar.
“Kakak, belum bangun juga!! Ini sudah jam berapa!!” omel Anna.
“Ini juga udah bangun. Kenapa telepon? Lo lagi nggak dirumah?” tanya Arin.
“Aku abis nganterin Ibu sama Bapak ke terminal,” jawabnya.
Jawaban adiknya membuat Arin langsung terbengun — ia bingung dengan hal yang baru ia ketahui. “Ke terminal? Memangnya mereka mau kemana?” tanya Arin.
“Teh Nur ‘kan mau nikah lusa besok. Kakak lupa?” tanya Anna yang terdengar jengkel.
“Ahh … iya yah … gue lupa.”
“Idih … kebiasaan. Mau nitip sesuatu nggak? Sekalian aku diluar,”
“Boleh. Pesen MCD Burger dua yang chese, apa nggak yang paketan aja. Terus sama MC Kopi nya. Uangnya gue kirim.” ucap Arin.
“Oke. Sekalian buat aku, aku juga lapar belum makan.”
“Iya.”
Kemudian sambungan teleponnya terputus. Dengan mata yang masih sulit untuk membuka dan mungkin karena efek tidur terlalu lama membuat tubuhnya tak berdaya, hingga membuat Arin kembali menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Namun Arin tersadar jika dirinya belum sempat sholat magrib. Dengan memaksakan seluruh tubuhnya — Arin beranjak dari tempat tidur sebelum adzan isya berkumandang.
Berjalan menuju ruang tengah. Arin duduk sambil menyalakan televisi sembari menunggu Anna, adiknya pulang. Muka yang begitu sembab dan sama sekali tidak bersemangat untuk hidup, namun Arin kini berada dalam fase dimana ia sedang tidak merasakan apapun. Pikiran dan hatinya kosong seperti komputer yang baru saja diinstal ulang.
Percakapan Kakak Adik
“Assalamualaikum …” sahut seseorang yang berjalan masuk dari pintu sontak membuat lamunan Arin terpecahkan. Ternyata yang datang adiknya dengan membawa dua kantong plastik yang ukuran cukup besar — berjalan menghampirinya.
“Sudah sampai. Belinya banyak banget, siapa aja emang yang makan sampai dua plastik begitu?” tanya Arin heran.
“Buat sekalian besok pagi. Aku juga beli cake di cake, abis duitnya sisa banyak jadi aku abisin semua.” ucap Anna tampak senang sambil meletakan semua plastik itu di atas meja. “Kak, tolong siapin ya, aku mau mandi bentar!!” ucap Anna yang langsung bergegas pergi ke kamar mandi meninggalkan Arin yang hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan adiknya.
Arin langsung mengeluarkan makanan yang akan mereka makan, sedangkan sisanya ia memasukkan ke dalam kulkas. Perutnya sudah terasa sangat lapar ditambah aroma burger yang masih hangat membuatnya sudah tidak sabar. Namun ia harus pergi ke dapur untuk meletakan makanan yang akan disimpan dikulkas. Arin mempercepatkan gerakannya akan semua cepat selesai. Setelah semua makanan masuk ke dalam kulkas, Arin berjalan untuk memasak ramen sebagai lauk tambahan. Kepalanya yang terasa pusing karena tidur seperti orang yang mati suri, ramen adalah makanan yang pas untuk menghilangkan rasa pusing kelapanya.
Hanya tinggal menunggu 2 menit hingga ramen resep spesial buatannya jadi. Tak lama Ana keluar dari kamar mandi menghampirinya.
“Kakak buat ramen? Emang nggak kebanyakkan? Abis itu semua?” tanya Anna merasa heran tak percaya melihat kakaknya yang sedang memasak ramen setelah memesan 2 paket jumbo burger. Bagaimana bisa dia menghabiskan semua makanan itu.
“Kepala gue pusing, makanya gue bikin.” ucap Arin.
“Oke. Entar aku minta ya …,” ucap Anna sambil cengegesan — berjalan kembali ke ruang tengah.
“Nggak boleh!” tolak Arin dengan tatapan datar.
“Oke!!” sahut Anna yang bahkan tidak pedulikan penolakkan kakaknya.
Berjalan dengan hati-hati dengan kedua tangan yang sedang membawa panci panas yang berisikan ramen. Arin mempercepat langkahnya — meletakan panci ramen tersebut di atas meja. Tampak raut wajah yang takjub dari Anna melihat betapa lezatnya ramen buatan kakaknya yang memang tidak pernah salah. Tanpa perlu berlama-lama lagi, mereka segera memakan makanan mereka masing-masing.
“Wah … kelihatannya enak!!” ucap Anna sambil mengambil ramen tersebut ke dalam mangkuk miliknya.
Asap putih ngebul dengan aroma gurih khas ramen membuat Anna tak sabar ingin segera melihatnya.
Slurp …
“Ahh … panas!”
“Gimana? Enak?” tanya Arin — dengan sedikit harapan.
“Enak!”
Arin pun tersenyum mendengarnya, ia segera menyeruput kuah pedas dari ramen.
SLURP …
Seketika pusing di kepalanya perlahan mulai membaik. Rasa pedas, gurih dan manis membuat kedua matanya terbelalak. Syaraf-syaraf di tubuhnya seakan mulai bangun. Wajahnya menjadi berbinar hanya karena sesuap ramen. Tidak hanya di sana, Arin juga langsung membuka pembungkus burger, melahap dengan satu gigitan besar hingga membuat mulutnya menjadi penuh, Arin sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
“Kak!” sahut Anna.
“Eung?”
“Kakak beneran keluar kerja?” tanya Anna yang merasa penasaran akan alasan kenapa kakaknya tiba-tiba keluar kerja. Walau sesungguh ia yakin jika kakaknya pasti memiliki alasan tersendiri hingga membuat sebuah keputusan yang begitu mendadak hingga bertengkar dengan Ayah dan Mama yang saat ini sedang di Bandung.
Arin menganggukkan kepalanya, “Eung!”.
“Kenapa? Nggak jadi …! Terus abis ini kakak mau kemana?” tanya Anna.
Mencoba untuk menelan makanannya dengan perlahan sebelum menjawab pertanyaan Anna. “Dirumah, nggak deh! Gue mau pindah rumah.” jawab Arin.
Sontak membuat Anna terkejut mendengarnya. “ Pindah?!!! Emang uang kakak banyak??” tanya Anna yang tak percaya akan rencana kakaknya yang terlalu nekat.
“Ada, njirr. Iya kali gue keluar asal keluar. Terus gue hidup gimana kalau nggak ada uang. Sebenarnya gue udah dapet apartemen yang murah, bagus lagi.” ucap Arin.
“Dimana? Berapa? Mana ada jaman sekarang apartemen murah, dibohongi kali …!!” ucap Anna dengan nada bicara yang membuat Arin merasa jengkel.
“Dia pikir gue orang yang gampang ketipu? Sial!” tutur Arin dalam hatinya — kesal, namun saat Anna menoleh ke arahnya dengan kecepatan kilat Arin langsung mengalihkan pandangannya — kembali fokus pada makanan.
“Ya enggak lah, besok gue tinggal tanda tangan.” ucap Arin.
“Aku ikut kakak ya?” tanya Anna.
Arin terdiam — bingung dengan perkataannya adiknya.
“Lo serius?” tanya Arin menatap tajam.
“Eung! Serius! Aku malas dengan Mama sama Bapak berantem mulu, belum lagi Si Nenek sihir,” ucap Anna mencoba menyakinkan kakak keduanya yang sepertinya tak mempercayai ucapannya. Padahal ia menggunakan nada bicara yang serius.
Arin masih terdiam menatap adiknya. Dirinya hanya ingin memastikan jika adiknya sedang tidak berbohong padanya, karena memang anak ini selalu mengatakan hal-hal omong kosong. Namun jika dipikirkan kembali, mungkin Anna mengatakan hal yang sesungguhnya, mungkin memang dia hanya sedang menunggu, hanya saja dia tidak memiliki kekuatan dan masih ingin memiliki tempat untuk bersandar.
“Oke.” ucap Arin yang kemudian melahap kembali burger miliknya.
Anna tersenyum mendengar jawaban kakaknya. Akhirnya ia akan mendapatkan tempat tinggal yang lebih nyaman dan ruang privasi.
“Tapi sekolah lo gimana? Lokasinya jauh lo …,” ucap Arin baru menyadari kenyataan tersebut.
“Nggak apa-apa, yang penting aku nggak tinggal disini.” ucap Anna begitu percaya diri.
“Cih!! Oke, awas jangan ngeluh!” ucap Arin.
“Iya.”
***
Keesokkan harinya, sesuai dengan perkataan Arin semalam pada adiknya. Ia akan pergi untuk mengurus apartemen. Sebenarnya satu bulan sebelum Arin keluar dari pekerjaannya, ia mendapatkan sebuah tawaran dari seseorang yang ingin menjual cepat apartemennya. Temannya bilang jika kenalannya itu baru saja putus dengan kekasihnya dan apartemen mereka saling bersebelahan. Wanita itu langsung pergi ke London untuk melanjutkan studinya dan akhirnya apartemen itu terbengkalai dan akhirnya kekasih dari wanita itu memutuskan untuk menjualnya.
Arin bersama Anna masuk kedalam apartemen yang kini sudah sah menjadi miliknya. Seorang dari agen properti menemani mereka untuk melihat-lihat apartemen yang tampak sudah lebih bersih dan bagus dibandingkan sebelumnya. Benar. Saat pertama kali Arin ditawarkan apartemen mewah ini terlihat sangat kacau seperti rumah yang habis dirampok.
“Sesuai dengan kontrak dan harga yang sudah disepakati. Pemilik memberikan beberapa properti seperti kulkas, mesin cuci, AC, tempat tidur dan juga televisi di ruang utama. Silahkan dicek kembali. Dan ini kunci apartemennya,” ucap Si agen properti yang begitu ramah sambil memberikan Arin kunci apartemen tersebut.
“Iya. Terima kasih.” ucap Arin.
“Kalau begitu saya permisi.” ucapnya yang kemudian berjalan pergi meninggalkan Arin dan Anna yang masih tampak terkagum-kagum tak percaya jika mereka bisa mendapatkan tempat tinggal yang begitu mewah dengan harga 150 juta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!