Bab 5 - Anak Itik Yang Malang
“Memangnya kenapa kamu keluar? Kamu pasti capek ya …?” tanya Nenek yang juga merasa ingin tahu dengan keputusan cucu kenapa bisa sampai berhenti bekerja dan juga khawatir melihat ekspresi wajah cucunya tiu tampak tak bersemangat sejak tadi.
“Enggak kok, Nek.” jawab Arin dengan nada yang lembut, ia mencoba untuk tetap bersikap tidak peduli akan orang-orang yang terus menyudutkan dirinya.
“Paman nasehati kamu ya ... Diumur kamu yang sekarang itu bukan lagi umur yang dipergunakan untuk bersenang-senang. Lihat Mama sama Bapak kamu, mereka menyuruh kamu buat cari pasangan itu ya … buat kebaikanmu.” ungkapnya.
Lantas perkataan itu membuat Arin menyeringai lucu mendengarnya. Bagaimana bisa seseorang yang bahkan tidak tau hidup seperti apa yang ia jalani hingga mudahnya mereka menghakiminya.
“Deh! Di kasih tau kok malah senyum, dengerin loh!” ucapnya yang menyadari jika Arin tersenyum seakan sedang meremehkannya.
“Tau! Gitu tuh, kalau orang udah keras kepala! Dia itu aneh, Nek. Kalau dikasih tau ngebantah, di kasih saran buat kebaikan dia malah milih hal yang buat masa depannya suram. Capek punya anak kayak begitu! Emangnya nggak malu apa, udah tua, pengangguran, nggak mau bersosialisasi. Mau jadi apa coba!” ucap Ibu.
Sungguh rasanya menyakitkan mendnegar cuman itu keluar dari mulut ibunya sendiri di depan banyaknya orang. Rasanya dirinya sedang ditelanjagi didepan banyak mata, sungguh hancur raga dan batinnya. Tangannya mulai gemetar, kedua mata yang mulai memerah karena menahan air mata.
“Tuh! Dengerin mama kamu! Dia itu cuman pengen yang terbaik buat hidup kamu, agar kamu bisa menjalani hidup yang lebih baik,” ucap paman Yusuf.
“Hahaha … ehfk … haha …!”
Arin mulai tertawa dengan nada yang aneh hingga membuat semua yang mendengar tawanya merasa bingung dengan apa yang saat ini sedang terjadi.
“Lah, kok! Malah ketawa!!” ucap paman yang tampak mulai kesal dengan ketidak sopanan Arin.
Kemudian Arin mulai berhenti tertawa. Wajahnya seketika langsung berubah 180 derajat — tak berekspresi membuat suasana disana menjadi hening. Bahkan Anna yang duduk disamping Arin pun ikut merasa bingung dengan sikap kakaknya yang tiba-tiba aneh, dia bersikap tidak seperti kakak yang ia kenal.
“Memangnya paman siapa aku? Emangnya paman tau hidup yang aku jalani selama ini? Kenapa mulut paman bicara seakan aku ini hidup hanya bersenang-senang? Memangnya paman melihat hidupnya selama 24/7? Enggak ‘kan …?” tanya Arin yang akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam. Seperti ada dorong yang besar dari dalam dirinya hingga memiliki keberanian untuk mengatakannya.
Semua terdiam seakan menjadi membisu.
“Eh … kamu itu, kok malah ngomongnya kayak gitu. Paman itu nasehatin kamu biar pikiran kamu terbuka. Dunia ini keras. Paman hanya ingin kamu mengetahuinya itu.” ungkapnya.
“Nenek …” sahut Arin sambil melihat ke arah Neneknya yang menatapnya dengan tatapan bingung dan juga sedih.
“Iya …”
“Apa mata aku ingin terlihat mata orang yang masih hidup?” tanya Arin.
Nenek terdiam mendengarnya, begitu juga semua orang yang ada disana.
“Nenek …, kenapa sih banyak manusia yang menghakimi aku? Padahal aku udah susah payah bertahan di ujung jurang agar nggak jatuh, tapi kenapa semakin banyak yang mendorong aku buat jatuh? Nenek … sebenarnya jiwa aku itu udah lama mati. Disini …” sambil memukul keras dadanya, “Disini itu sudah kosong, yang nenek lihat aku ini cuman cangkang kacang yang udah kosong.” ungkap Arin sambil menelan dalam-dalam perasaan sedihnya agar air mata yang sudah mengenang di matanya tidak jatuh. Harga dirinya tidak mengizinkan dirinya menangis. Arin mencoba bertahan.
“Waktu aku butuh seseorang, setidaknya satu saja … satu orang saja yang mau mengulurkan tangan buat aku disaat aku berada di ujung kematian. Tapi apa …? Nggak ada. Lalu kenapa? Kenapa … disaat aku sudah mulai menemukan dirinya dan tidak membutuhkan siapa-siapa, banyak orang yang datang seakan-akan mereka peduli sama hidup aku, orang-orang itu mencoba memberikan aku nasehat untuk kebaikan aku …,” ucap Arin sambil melihat ke arah pamannya sebagai sebuah sindiran halus akan ucapannya, lalu ia kembali mengalihkan pandangan ke arah Nenek yang tampak meneteskan air mata mendengar ucapannya.
“Bukannya itu terdengar lucu ‘kan, Nek …? Aku beneran nggak paham sama orang-orang yang hanya bisanya berbicara tanpa memikirkan perasaan orang lain hanya karena bersembunyi dari balik kalimat, ‘Ini semua demi kebaikanmu ..,’ huff …” Arin menghela nafas berat — menyeka air matanya yang terjatuh karena tak sanggup untuk membendungnya lagi.
“Bahkan mama dan bapak nggak tau kalau anaknya pernah mencoba buat bunuh diri. Mama nggak pernah tau seberapa keras anaknya mencoba untuk memenuhi kemauannya. Bahkan bapak nggak pernah tau kalau anak perempuannya pernah trauma akan laki-laki. Nek …, apa nenek tau kenapa sampai saat ini aku memilih untuk bertahan hidup?” tanya Arin — terdiam beberapa saat.
“A—aku … aku itu takut, aku takut kalau aku mati bunuh diri Allah nggak bakal terima aku disana. Dunia ini aku nggak peduli jika aku nggak diterima dimanapun. Tapi jangan sampai aku juga nggak diterima di surganya Allah …” ungkap Arin yang akhirnya semua air matanya tumpah sejadi-jadinya. Arin menangis ditengah-tengah orang-orang yang akhirnya merasa bersalah karena perbuatan mereka telah menyudutkan Arin. Mereka hanya bisa merunduk dan terdiam.
Ibunya pun ikut menangis karena ini pertama kalinya ia mendengar suara hati anak perempuannya yang selama ini tidak diketahui jika ternyata anaknya memikirkan hal yang tidak terduga.
Nenek berjalan menghampiri cucunya yang masih menangis — memeluknya dengan erat. “Ya ampun … cucu nenek yang malang … kamu hebat cucuku … cucuku adalah yang terhebat, menangislah … nggak apa-apa. Maafkan nenek ya … maafkan nenek …,” ucapnya.
Sebuah kejadian yang tidak pernah diduga oleh siapapun membuat semua hanya bisa terhenyak melihat seorang anak yang terlihat sangat acuh ternyata menyimpan banyak luka. Semua orang memang memiliki masalah dan setiap masalah orang tidak bisa dibanding-bandingkan. Akan tetapi sebagai sesama manusia, bukankah menjaga perkataan adalah dasar etika yang harus dimiliki setiap manusia.
Setelah kejadian yang menguras emosinya. Akhirnya Arin dan Anna memutuskan untuk kembali ke Jakarta lebih cepat. Tatapan mata yang kosong menatap ke jendela bus, Arin terus terdiam membuat Anna merasa khawatir. Ia pun masih sangat terkejut dengan pengakuan kakaknya. Ia pikir kakak keduanya itu wanita yang sangat kuat dan pekerja keras. Namun dirinya telah salah. Kini ia sudah melihat sosok Arin dengan semua kelemahannya. Perasaan bersalah dan sedih Anna rasakan jika melihat ke arah kakaknya yang tampak melamun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Is Wanthi
aduh Bu, mental Arin tambah anjlok aja anaknya dapat omongan kaya gitu
2023-04-04
0