“Wah .. Kak, ini mah mewah banget apartemennya. Lihat kamarnya juga udah ada tempat tidur!!” ucap Anna yang tampak begitu bersemangat saat mengetahui ia akan di rumah impiannya. Kedua kakinya tidak berhenti berjalan untuk menelusuri setiap sudut ruangan.
Bukan hanya Anna yang terkagum-kagum, bahkan Arin sampai tidak bisa berkata-kata. Sebuah apartemen dengan pemandangan langsung kota Jakarta dan dimana ia bisa melihat langit dari dekat adalah impian Arin sejak lama. Entah sebuah keberuntungan atau apapun ini, saat ini Arin benar-benar sangat bahagia.
Arin menikmati pemandangan dari balik kaca besar yang terbentang di depan nya. Langit biru dengan gumpalan awan, kini ia bisa menikmatinya setiap hari setelah bertahun-tahun terkurung dalam kamar kecil yang bahkan sulit untuk menghirup udara segar. Namun dirinya kini bisa memiliki apa yang ia butuhkan dan inginkan setelah perjuangan yang berat.
Tiba-tiba Anna datang dan memecahkan pemikirannya yang terlarut dalam suasana.
“Kak, ayo kita pergi, satu jam lagi busnya berangkat!” ajak Anna.
Sontak Arin terkejut mendengarnya — melihat jam tanganya yang sudah menunjukkan pukul 9.15, padahal bus akan berangkat di jam 10. Hari ini ia akan menyusul Ibu dan Ayahnya yang saat ini sudah berada di rumah Nenek. Berangkat dengan menggunakan bus menuju Bandung yang membutuhkan jarak tempuh sekitar 7 jam.
“Oh iya! Ayo, nanti ketinggalan lagi, gue sambil pesan ojek dulu,” ucap Arin sambil berjalan keluar apartemen bersama Anna.
***
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Arin dan Anna turun dari bus yang berhenti di sebuah mobil ojek online yang ia pesan saat di terminal. Karena rumah Neneknya masuk kedalam sebuah gang sempit dan tidak ada akses jalan masuk untuk mobil, itu sebabnya mereka harus berjalan.
Jalan yang tampak begitu gelap hingga mereka harus menggunakan senter ponsel milik Arin. Samping kanan mereka persawahan yang membentang luas dan sebelah kiri mereka pohon-pohon besar dan ada beberapa rumah warga. Suara-suara serangga malam yang memecahkan kesunyian. Memang sedikit menakutkan, tapi mau bagaimana lain hanya itu jalan satu-satu menuju rumah Nenek.
Berjalan sekitar 5 menit dari jalan besar. Suara-suara musik khas yang mulai terdengar itu menandakan jika sudah tidak jauh lagi lokasi rumah keluarga besar Nenek. Langkah Arin langsung berhenti seketika saat melihat begitu banyak orang yang sedang sibuk mempersiapkan untuk acara pernikahan besok. Rasanya tiba-tiba energi menghilang hingga tidak ada kekuatan untuk melangkah masuk kedalam banyak kerumunan orang-orang itu.
Anna yang hanya terus melangkah tersadar jika di samping sudah tidak kakaknya yang ternyata masih tertinggal dibelakang. “Kenapa dia diem disitu?” gumam Anna heran — berjalan kembali menghampiri Arin.
“Kak! Dih … malah bengong disitu? Ayo masuk!!” tanya Anna.
“Kita cari tempat lain aja yuk!!” ucap Arin — merengek seperti anak kecil dihadapan Anna yang langsung terheran-heran melihat kelakuan kakaknya.
“Ngomong apa sih!! Nggak jelas deh! Ayo cepet masuk! Udah pegel nih kaki!” omel Anna.
Arin hanya menghela nafas pasrah mengikuti langkah adiknya memasuki zona yang sangat Arin benci yaitu melihat banyak orang dan berada di sebuah kerumunan orang. Namun apa boleh buat, jika ia pergi itu sama saja ia tidak menghormati saudaranya.
Kedatang mereka langsung disambut hangat oleh sanak saudara mereka dengan begitu antusias. Terutama Nenek yang langsung memberikan pelukkan hangat pada kedua cucu yang saat beliau rindukkan. Arin yang berusaha untuk tetap tersenyum hangat walau di dalam pikirannya ia sungguh ia mencari tempat yang sepi untuk mengembalikan energinya yang sudah nol persen.
***
Sehari setelah acara pernikahan selesai, hampir semua keluarga besar Nenek berkumpul diruang tengah, ngobrol-ngobrol ringan. Begitu ramai membuat Arin dan Anna memilih untuk disudut ruangan. Awalnya Arin berniat untuk pergi mencari angin, tapi karena tak enak hati dan khawatir dibilang tidak sopan dengan terpaksa akhirnya Arin hanya bisa pasrah mendengar ocehan-ocehan banyaknya mulut yang berbicara.
“Eh!! Arin! Diem-diem aja di pojokannya? Ngobrollah! ‘Kan udah lama nggak ngumpul-ngumpul kayak gini.” celetus saudara sepupunya yang bernama Nisa. Dia anak paman Yusuf, kakak pertama dari Ibunya.
“Kamu sendiri kapan nyusul? Umur kamu udah 27 tahun loh!!” tanya bibi Anik yang sedang menikmati cemilan yang disediakan disana.
Sontak membuat Arin terdiam beberapa saat. Padahal dirinya hanya diam dan sengaja duduk dipojokkan agar tidak ada yang mengusik nya sambil bermain ponsel, tapi tetap saja namanya disebutkan juga.
“Nggak tau.” jawab Arin dengan singkat kembali fokus pada ponselnya.
“Pacar kamu nggak punya?” tanyanya lagi.
“Sungguh menyebalkan orang itu,” pikir Arin mencoba untuk bersabar untuk menghormatinya.
“Nggak ada.” jawab Arin.
“Dia aja baru keluar dari tempat kerja, bagaimana mau punya pacar. Masa depannya sudah suram dia!!” celus Ibu sontak membuat perhatian semakin tertuju pada Arin.
Hanya hanya bisa menatap sinis ke arah Ibunya, entah apa yang dia pikirkan hingga mengatakan hal itu di depan banyak orang. Rasa kesal yang mulai bergejolak dalam hatinya melihat tatapan semua orang yang ada di ruang tengah.
“Loh! Kamu keluar? Kenapa? Emangnya nggak sayang? Bukannya udah lama kerja disana?” tanya Bibi Anik dengan tatapan yang begitu penasaran akan hidup Arin.
“Terus sekarang kamu nganggur? Ya ampun … nyari kerja sekarang susah kenapa malah keluar,” tambah anak perempuan dari Bibi Anik yang kini sudah memiliki satu anak, tatapan meremehkan itu semakin membuat Arin jengkel. Namun Arin memilih untuk tidak memperdulikannya.
“Tau tuh!! Coba kasih nasehat ke dia! Sudah berkali-kali dikasih nasehat nggak pernah didengar, keras kepala bangat anaknya!” ucap Ibu.
“Kalau kamunya dirumah aja, gimana mau cepet dapet jodoh. Tau jodoh itu memang sudah ditakdirkan, tapi kita sebagai manusia juga harus berusaha, ikhtiar … usia kamu itu udah nggak muda lagi. Saudara-saudara kamu yang umurnya jauh lebih muda daripada kamu aja udah pada nikah, masa kamu nggak pengen menikah sih …?” tanya paman Yusuf dengan nada yang lembut namun sangat membuat Arin semakin merasa geram.
“Dengerin tuh!! Aku itu udah sering bilangan dia, jadi orang jangan nggak mau bergaul sama orang lain, sama tetangga aja sama dia nggak kenal. Kalau mati siapa yang mau dikubur kalau bukan tetangganya, jadi orang kok anti sosial banget, capek aku bilangin dia!!” ucap Ibu menambah kemarahan yang saat ini masih Arin pendam.
Arin hanya diam dan mencoba untuk tidak mendengarkan, mengunci mulutnya serapat mungkin walau sesungguhnya ingin sekali ia mengatakan semua yang ada dipikirannya saat ini. Tapi Arin merasa waktu dan tempat yang tidak memungkinkan dimana hampir keluarga besar Nenek ada di sini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments