Ayah, Aku Ingin Pulang

Ayah, Aku Ingin Pulang

1. Kisah Rachel Kecil

Rachel yang kini berusia sembilan tahun harus berperan sebagai anak dewasa yang mengurus segala sesuatunya seorang diri. Tubuhnya yang masih kecil dengan keterbatasan tenaganya yang sedang mencuci baju kedua orangtuanya.

Ibunya adalah seorang wanita gila yang tidak bisa Rachel ajak bicara ataupun bermanja ria. Ibunya sibuk berjalan di pasar dengan memungut apa saja yang ia sukai.

Ayahnya harus bekerja sebagai pekerja serabutan untuk menghasilkan uang yang dibayar perhari. Semua itu di lakukan pak Lukman untuk membeli obat untuk istrinya dan juga seliter beras untuk makan mereka hari itu.

Salah satu guru Rachel, Bu Nita menghampiri Rachel yang sedang mencuci baju di anak sungai. Padahal saat ini sedang musim dingin namun Rachel tidak mempedulikan keadaan alam. Ia hanya ingin menyelesaikan tugasnya.

"Rachel.. !" Sapa Bu Mita diawali salam.

"Eh, Bu Mita!" Rachel memberikan senyum pada gurunya tersebut yang baru mengajar satu bulan di sekolah Rachel.

"Ibu nyuci juga?" Tanya Rachel sambil melihat sesuatu di sekitar anak sungai itu.

"Ibu hanya ingin melihat alam di sekitar sini saja Rachel. Apakah kamu selalu mencuci sendiri baju-baju kedua orangtuamu?"

"Iya, Bu."

"Ke mana ibumu dan juga ayahmu?"

"Ayahku sedang bekerja dan ibuku....?" Rachel terlihat bingung untuk menjawab karena sangat sesak saat mendengar orang-orang baru yang belum mengetahui ibunya.

"Apakah ibumu sudah tidak ada Rachel?"

"Masih ada Bu. Hanya saja ibuku tidak bisa di andalkan untuk melakukan apapun." Ujar Rachel sambil menyikat baju ayahnya.

"Apakah ibumu sakit, Rachel?"

"Hmm!"

"Ibumu sakit apa?"

"Sakit jiwa ibu, alias gila." Sahut Rachel dengan susah payah.

"Dari mana kamu bisa belajar mencuci?"

"Melihat ayahku saat usiaku masih empat tahun."

"Sejak kapan kamu belajar mencuci?"

"Saat usiaku tujuh tahun?"

"Apa pekerjaan ayahmu?"

"Buruh panggul."

"Maksudmu?"

"Ayah memanggul beras, karung terigu, kadang semen, atau balok kayu memasukkan ke atas mobil kontainer atau truk hingga penuh."

"Berapa mereka membayar ayahmu dalam sebulan?"

"Tidak dalam gaji bulanan karena ayah bekerja serabutan. Jadi langsung di bayar saat pekerjaannya selesai."

"Berapa?"

"Dua puluh ribu."

"Apa...?" Sentak Bu Mita tidak percaya dengan pendengarannya.

"Kami tidak pernah mengeluh ibu. Yang penting bisa makan hari ini saja sudah membuat kami selalu bersyukur." Timpal Rachel dengan tetap sibuk mencuci baju kedua orangtuanya hingga bersih.

"Kenapa tidak membiarkan ayahmu saja yang mencuci bajunya Rachel?"

"Ayahku sudah terlalu lelah bekerja. Aku tidak ingin melihat ayahku pulang lalu menyelesaikan pekerjaan rumah. Apa yang bisa aku lakukan, yah aku lakukan."

"Apakah ibu boleh main ke rumah kamu?"

"Rumahku sungguh tidak layak untuk didatangi tamu cantik seperti Bu guru. Aku takut Bu Mita tidak akan merasa nyaman nantinya."

"Tidak masalah bagi Bu Mita, Rachel. Kemiskinan kita hanya di dunia saja, di akhirat tidak ada lagi perbedaan status sosial karena semuanya di kasih kenikmatan oleh Allah sesuai dengan amal perbuatannya." Ucap Bu Mita meyakinkan Rachel untuk menerimanya sebagai tamu.

"Baiklah. Tapi Rachel juga harus mencari sayuran dan juga siput kali untuk bisa menjadi teman makan siang ini." Ucap Rachel.

"Sayur apa Rachel?"

"Kangkung atau bayam yang tumbuh liar di sekitar ngarai ini. Rumah ku tidak jauh dari ngarai ini. Kadang aku juga suka cari rebung. Tapi aku tidak bawa golok untuk memotong rebung." Lanjut Rachel sambil melangkah kan kaki kecilnya di antara pepohonan di sekitarnya diikuti ibu Mita.

Rachel memungut banyak siput di kali dan di bungkus dengan daun lotus lalu melanjutkan mencari sayuran yang tumbuh di antara tanaman liar lainnya.

Setelah cukup untuk bisa di masak untuk makan siang dan malam, Rachel mengajak Bu Mita ke rumahnya yang tidak jauh dari ngarai. Bu Mita menatap rumah yang lebih pantas disebut gubuk reyot. Hatinya begitu miris mengetahui keadaan rumah siswanya itu.

"Sebentar ya Bu! Aku ingin menjemur dulu baju-baju ini. Setelah itu kita bisa ngobrol lagi sambil memasak." Ucap Mita lalu mengambil bangku kecil untuk bisa naik di bangku itu menggantung pakaian dia dan kedua orangtuanya untuk di jemur.

Ia harus memeras lagi bagian bawah baju supaya cepat kering karena baju yang mereka miliki hanya lima potong masing-masing di antara mereka.

Usai menjemur, Rachel mencuci siput sungai itu lagi lalu merebusnya sebentar. Ia memasak dengan menggunakan kayu bakar.

Sambil menunggu siput matang, Rachel menyiangi sayur dibantu ibu Mita agar gadis ini cepat menyelesaikan pekerjaannya.

"Apakah siput itu hanya direbus saja?"

"Tidak ibu. Aku ingin memasaknya dengan bumbu asam manis pedas."

"Apakah tidak ada rasa lainnnya?" Tanya Bu Mita.

"Ada Bu."

"Apa?"

"Asin."

"Yang mana kehidupanmu yang bisa kamu rasakan diantara manis, asam, asin dan pedas itu?" Tanya Bu Mita.

"Kehidupanku rasanya asin, Bu."

"Kenapa terasa asin?"

"Ayahku mencari nafkah dengan bekerja keras hingga keringatnya bercucuran ditengah terik matahari saat musim panas. Bukankah keringat itu rasanya asin, Bu?

Saat aku terlalu banyak menangis, air mataku juga terasa asin." Jawab Rachel dengan wajah sendu.

Gadis kecil ini mengangkat panci rebusan siput lalu menyaringnya. Ia mulai meracik bumbu dengan menguleknya. Beberapa menit kemudian semu masakannya sudah matang. Ia mencoba siput asam manis pedasnya ternyata sangat pedas. Lidahnya sedikit rasa terbakar namun ia mampu menahannya.

Bu Mita memperhatikan gadis kecil itu yang terlihat wajahnya memerah menahan rasa pedas walaupun sudah berulangkali ia meneguk air.

"Mengapa kamu memasaknya terlalu pedas Rachel?"

"Untuk ukuran usiaku makanan itu sangat pedas tapi cukup standar untuk kedua orangtuaku yang senang dengan makanan pedas. Kalau mengikuti selera ku maka akan terasa hambar di lidah kedua orangtuaku." Ucap Rachel sambil tersenyum dan kembali menemani ibu gurunya mengobrol.

"Rachel...!"

"Apakah kalian makan apa adanya seperti itu setiap hari?"

"Iya Bu. Kami baru bisa makan daging saat hari kurban kalau ada yang mengantarkan kami daging. Sudah makan nasi saja kami sudah sangat bersyukur. Kami selalu mengumpulkan uang untuk membeli obat ibu yang lumayan mahal." Jelas Rachel.

"Apakah ibumu harus meminum obat setiap hari?"

"Hmm! Jika telat minum obat, ibu akan mengamuk bahkan ingin membunuhku." Ucap Rachel.

"Ya Allah, mengerikan sekali Rachel penyakit ibumu. Apakah kamu ingin sekali ibumu sembuh?"

"Iya Bu Mita. Aku ingin ibu sembuh secepatnya. Dengan begitu teman-temanku tidak lagi mengatai ku kalau aku anak orang gila." Jelas Rachel sambil menangis.

"Apa keinginanmu pada ibu saat dia sembuh nanti Rachel?"

"Aku ingin ibuku memasak untukku."

"Kenapa meminta ibu memasak untukmu?"

"Bukankah setiap ibu di dunia ini akan memasak untuk anaknya?"

"Apakah kamu tidak malu memiliki ibu seorang wanita gila?"

Air mata Rachel bercucuran menahan kesedihannya mendengar pertanyaan gurunya.

Terpopuler

Comments

Wicih Rasmita

Wicih Rasmita

next

2023-04-01

1

gerakan tambahan🤸🍋🌶️🥒🥕

gerakan tambahan🤸🍋🌶️🥒🥕

menarik. lanjut

2023-04-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!