Rachel yang kini berusia sembilan tahun harus berperan sebagai anak dewasa yang mengurus segala sesuatunya seorang diri. Tubuhnya yang masih kecil dengan keterbatasan tenaganya yang sedang mencuci baju kedua orangtuanya.
Ibunya adalah seorang wanita gila yang tidak bisa Rachel ajak bicara ataupun bermanja ria. Ibunya sibuk berjalan di pasar dengan memungut apa saja yang ia sukai.
Ayahnya harus bekerja sebagai pekerja serabutan untuk menghasilkan uang yang dibayar perhari. Semua itu di lakukan pak Lukman untuk membeli obat untuk istrinya dan juga seliter beras untuk makan mereka hari itu.
Salah satu guru Rachel, Bu Nita menghampiri Rachel yang sedang mencuci baju di anak sungai. Padahal saat ini sedang musim dingin namun Rachel tidak mempedulikan keadaan alam. Ia hanya ingin menyelesaikan tugasnya.
"Rachel.. !" Sapa Bu Mita diawali salam.
"Eh, Bu Mita!" Rachel memberikan senyum pada gurunya tersebut yang baru mengajar satu bulan di sekolah Rachel.
"Ibu nyuci juga?" Tanya Rachel sambil melihat sesuatu di sekitar anak sungai itu.
"Ibu hanya ingin melihat alam di sekitar sini saja Rachel. Apakah kamu selalu mencuci sendiri baju-baju kedua orangtuamu?"
"Iya, Bu."
"Ke mana ibumu dan juga ayahmu?"
"Ayahku sedang bekerja dan ibuku....?" Rachel terlihat bingung untuk menjawab karena sangat sesak saat mendengar orang-orang baru yang belum mengetahui ibunya.
"Apakah ibumu sudah tidak ada Rachel?"
"Masih ada Bu. Hanya saja ibuku tidak bisa di andalkan untuk melakukan apapun." Ujar Rachel sambil menyikat baju ayahnya.
"Apakah ibumu sakit, Rachel?"
"Hmm!"
"Ibumu sakit apa?"
"Sakit jiwa ibu, alias gila." Sahut Rachel dengan susah payah.
"Dari mana kamu bisa belajar mencuci?"
"Melihat ayahku saat usiaku masih empat tahun."
"Sejak kapan kamu belajar mencuci?"
"Saat usiaku tujuh tahun?"
"Apa pekerjaan ayahmu?"
"Buruh panggul."
"Maksudmu?"
"Ayah memanggul beras, karung terigu, kadang semen, atau balok kayu memasukkan ke atas mobil kontainer atau truk hingga penuh."
"Berapa mereka membayar ayahmu dalam sebulan?"
"Tidak dalam gaji bulanan karena ayah bekerja serabutan. Jadi langsung di bayar saat pekerjaannya selesai."
"Berapa?"
"Dua puluh ribu."
"Apa...?" Sentak Bu Mita tidak percaya dengan pendengarannya.
"Kami tidak pernah mengeluh ibu. Yang penting bisa makan hari ini saja sudah membuat kami selalu bersyukur." Timpal Rachel dengan tetap sibuk mencuci baju kedua orangtuanya hingga bersih.
"Kenapa tidak membiarkan ayahmu saja yang mencuci bajunya Rachel?"
"Ayahku sudah terlalu lelah bekerja. Aku tidak ingin melihat ayahku pulang lalu menyelesaikan pekerjaan rumah. Apa yang bisa aku lakukan, yah aku lakukan."
"Apakah ibu boleh main ke rumah kamu?"
"Rumahku sungguh tidak layak untuk didatangi tamu cantik seperti Bu guru. Aku takut Bu Mita tidak akan merasa nyaman nantinya."
"Tidak masalah bagi Bu Mita, Rachel. Kemiskinan kita hanya di dunia saja, di akhirat tidak ada lagi perbedaan status sosial karena semuanya di kasih kenikmatan oleh Allah sesuai dengan amal perbuatannya." Ucap Bu Mita meyakinkan Rachel untuk menerimanya sebagai tamu.
"Baiklah. Tapi Rachel juga harus mencari sayuran dan juga siput kali untuk bisa menjadi teman makan siang ini." Ucap Rachel.
"Sayur apa Rachel?"
"Kangkung atau bayam yang tumbuh liar di sekitar ngarai ini. Rumah ku tidak jauh dari ngarai ini. Kadang aku juga suka cari rebung. Tapi aku tidak bawa golok untuk memotong rebung." Lanjut Rachel sambil melangkah kan kaki kecilnya di antara pepohonan di sekitarnya diikuti ibu Mita.
Rachel memungut banyak siput di kali dan di bungkus dengan daun lotus lalu melanjutkan mencari sayuran yang tumbuh di antara tanaman liar lainnya.
Setelah cukup untuk bisa di masak untuk makan siang dan malam, Rachel mengajak Bu Mita ke rumahnya yang tidak jauh dari ngarai. Bu Mita menatap rumah yang lebih pantas disebut gubuk reyot. Hatinya begitu miris mengetahui keadaan rumah siswanya itu.
"Sebentar ya Bu! Aku ingin menjemur dulu baju-baju ini. Setelah itu kita bisa ngobrol lagi sambil memasak." Ucap Mita lalu mengambil bangku kecil untuk bisa naik di bangku itu menggantung pakaian dia dan kedua orangtuanya untuk di jemur.
Ia harus memeras lagi bagian bawah baju supaya cepat kering karena baju yang mereka miliki hanya lima potong masing-masing di antara mereka.
Usai menjemur, Rachel mencuci siput sungai itu lagi lalu merebusnya sebentar. Ia memasak dengan menggunakan kayu bakar.
Sambil menunggu siput matang, Rachel menyiangi sayur dibantu ibu Mita agar gadis ini cepat menyelesaikan pekerjaannya.
"Apakah siput itu hanya direbus saja?"
"Tidak ibu. Aku ingin memasaknya dengan bumbu asam manis pedas."
"Apakah tidak ada rasa lainnnya?" Tanya Bu Mita.
"Ada Bu."
"Apa?"
"Asin."
"Yang mana kehidupanmu yang bisa kamu rasakan diantara manis, asam, asin dan pedas itu?" Tanya Bu Mita.
"Kehidupanku rasanya asin, Bu."
"Kenapa terasa asin?"
"Ayahku mencari nafkah dengan bekerja keras hingga keringatnya bercucuran ditengah terik matahari saat musim panas. Bukankah keringat itu rasanya asin, Bu?
Saat aku terlalu banyak menangis, air mataku juga terasa asin." Jawab Rachel dengan wajah sendu.
Gadis kecil ini mengangkat panci rebusan siput lalu menyaringnya. Ia mulai meracik bumbu dengan menguleknya. Beberapa menit kemudian semu masakannya sudah matang. Ia mencoba siput asam manis pedasnya ternyata sangat pedas. Lidahnya sedikit rasa terbakar namun ia mampu menahannya.
Bu Mita memperhatikan gadis kecil itu yang terlihat wajahnya memerah menahan rasa pedas walaupun sudah berulangkali ia meneguk air.
"Mengapa kamu memasaknya terlalu pedas Rachel?"
"Untuk ukuran usiaku makanan itu sangat pedas tapi cukup standar untuk kedua orangtuaku yang senang dengan makanan pedas. Kalau mengikuti selera ku maka akan terasa hambar di lidah kedua orangtuaku." Ucap Rachel sambil tersenyum dan kembali menemani ibu gurunya mengobrol.
"Rachel...!"
"Apakah kalian makan apa adanya seperti itu setiap hari?"
"Iya Bu. Kami baru bisa makan daging saat hari kurban kalau ada yang mengantarkan kami daging. Sudah makan nasi saja kami sudah sangat bersyukur. Kami selalu mengumpulkan uang untuk membeli obat ibu yang lumayan mahal." Jelas Rachel.
"Apakah ibumu harus meminum obat setiap hari?"
"Hmm! Jika telat minum obat, ibu akan mengamuk bahkan ingin membunuhku." Ucap Rachel.
"Ya Allah, mengerikan sekali Rachel penyakit ibumu. Apakah kamu ingin sekali ibumu sembuh?"
"Iya Bu Mita. Aku ingin ibu sembuh secepatnya. Dengan begitu teman-temanku tidak lagi mengatai ku kalau aku anak orang gila." Jelas Rachel sambil menangis.
"Apa keinginanmu pada ibu saat dia sembuh nanti Rachel?"
"Aku ingin ibuku memasak untukku."
"Kenapa meminta ibu memasak untukmu?"
"Bukankah setiap ibu di dunia ini akan memasak untuk anaknya?"
"Apakah kamu tidak malu memiliki ibu seorang wanita gila?"
Air mata Rachel bercucuran menahan kesedihannya mendengar pertanyaan gurunya.
Sambil menyeka air matanya, Rachel menjawab pertanyaan gurunya." Ada ibu di jalan hidupku, susahkan pun ku mau. Asalkan ada ibu di sisiku, aku rela sedih seumur hidupku. Tidak ada yang lebih pedih yang dirasakan seorang anak jika harus kehilangan kedua orangtuanya saat mereka masih kecil. Asalkan ada ibu, kebahagiaan ku terasa sempurna, jadi aku tidak pernah malu memiliki seorang ibu gila." Rachel menarik nafasnya lega usai menjawab pertanyaan gurunya.
Ibu Mita memeluk gadis kecil ini yang begitu tangguh menghadapi kehidupan yang serba kekurangan dengan ayah yang hanya menjual tenaganya demi rupiah dan ibu yang menghabiskan waktunya dengan penyakit mentalnya.
"Kamu yang sabar ya sayang. Anggaplah kehidupan yang saat ini kamu jalani sebagai soal ujian yang sulit. Jika kamu bisa melaluinya, derajat mu akan ditinggikan oleh Allah." Ucap ibu Mita sambil mengusap air mata Rachel yang berusaha tersenyum padanya.
Keduanya kembali bercerita hingga akhirnya ibu Mita pamit pulang. Rachel mengantar gurunya ini supaya tidak nyasar ke mana tempat karena ibu Mita baru datang ke ngarai itu.
"Besok ibu boleh main ke sini, lagi Rachel? Mumpung masih libur." Pinta Bu Mita.
"Silahkan ibu! Dengan senang hati. Terimakasih sudah mampir di gubuk ku. Maafkan Rachel karena tidak bisa menyuguhkan apapun untuk Bu guru." Ucap Rachel.
"Ibu yang harus berterimakasih kepadamu karena kamu sudah memberikan pelajaran berharga untuk ibu hari ini." Ucap ibu Mita yang masih gadis ini.
Keduanya saling melambaikan tangannya. Rachel kembali ke rumahnya untuk mencuci lagi beberapa perabotan kotor bekas ia masak.
Tidak lama kemudian, kedua orangtuanya pulang. Sang ayah menautkan tangannya pada sang istri begitu setianya.
Bagi Rachel, ayahnya adalah pria sejati yang tidak pernah berpaling sedikitpun dari istrinya saat wanita yang telah memberikannya seorang putri itu mengalami gila saat putrinya berusia tiga tahun.
Rachel menyambut kedatangan kedua orangtuanya dengan menyiapkan makan siang untuk mereka. Saat berkumpul seperti ini, ketiganya merasakan kehangatan keluarga. Walaupun Rachel hanya bisa berkomunikasi dengan ayahnya, namun ibunya selalu saja tersenyum, entah Rachel cerita sedih atau gembira, ibu Oca, hanya bisa menyatakan perasaannya melalui senyumnya.
"Ayah...! Tadi ada Bu Mita, guru sekolah ku mampir ke rumah kita. Kami berbincang banyak hari ini dan dia tidak sungkan bermain di sini walaupun keadaan kita seperti ini dan Rachel menceritakan apa adanya pada Bu Mita." Ungkap Rachel.
"Oh iya. Ayah senang mendengarnya. Asalkan kamu nyaman dengan gurumu itu, ayah tidak masalah." Ucap pak Lukman.
Pak Lukman menyiapkan obat untuk istrinya untuk di minum wanita berusia tiga puluh tahun itu. Pak Lukman harus menemani istrinya agar bisa tidur siang dan tidak kelayapan lagi di pasar. Ia harus kembali bekerja karena ada yang memakai tenaganya.
"Ayah akan pulang sebelum magrib. Tunggulah ibumu dan pastikan dia tidak kembali ke pasar." Ucap pak Lukman usai menunaikan sholat duhur bersama putrinya, Rachel.
"Baik, ayah." Ucap Rachel lalu menyalami ayahnya yang kembali kerja.
Rachel mengelus rambut ibunya yang sudah nampak lembab.
"Besok, Rachel akan membersihkan rambut ibu." Jawab Rachel lalu mengecup kening ibunya.
Gadis ini mengambil buku pelajarannya untuk mengerjakan tugas sekolah untuk hari Senin. Rachel tergolong siswa yang sangat cerdas di kelasnya. Tidak heran ia selalu mendapatkan prestasi gemilang dikelasnya.
...----------------...
Keesokan harinya, sesuai janji Bu Mita yang ingin berkunjung lagi ke rumah Rachel, mendatangi gadis itu dengan membawa beberapa oleh-oleh untuk Rachel, seperti bahan sembako.
"Kenapa ibu Mita harus repot-repot membawa oleh-oleh untuk kami?"
"Kebetulan tadi, ibu belanja untuk kebutuhan sehari-hari dan ingat kamu, jadi ibu sekalian belikan untuk kamu. Tolong jangan ditolak ya!" Ucap gadis yang berusia 20 tahun ini.
Bu Mita tergolong gadis yang berasal dari keluarga berada. Saat kekasihnya memutuskan hubungan mereka karena alasan yang tidak jelas, Bu Mita ingin menenangkan pikirannya dan melamar di sekolah Rachel yang gajinya tidak seberapa. Ia ingin melarikan dirinya dari kesedihan dan rasa kecewanya dengan menekuni hal yang bermanfaat.
Padahal ayahnya adalah seorang pengusaha hebat di kota Jakarta. Namun Bu Mita lebih memilih tinggal di kota kecil di daerah yang sangat jauh dari kota Jakarta yang ada di Sumatra.
Usai merapikan oleh-oleh dari Bu Mita pada rak kecil dari anyaman rotan yang dibuat oleh ayahnya, Rachel pamit kepada Bu Mita untuk mengkeramas rambut ibunya. Bu Mita tidak mempermasalahkan itu karena ia ingin melihat bagaimana seorang Rachel kecil merawat ibunya.
Rachel membawa ibunya ke sungai. Saat sudah tiba di anak sungai, Rachel menyiram kepala ibunya dengan air sungai menggunakan gayung dari batok kelapa yang sudah di bersihkan. Betapa terkejutnya Bu Mita saat Rachel mencuci rambut ibunya dengan deterjen.
"Rachel...! Kenapa kamu mengkeramas rambut ibumu dengan detergen kenapa tidak menggunakan shampo?"
"Karena kami tidak bisa membeli shampo karena menghemat biaya pengeluaran. Uang yang kami punya hanya untuk makan dan membeli obat ibu."
Degggg...
Hati Bu Mita seperti diremas kuat oleh kenyataan pahit yang dirasakan oleh Rachel kecil." Ya Allah, kenapa begitu menyedihkan kehidupan Rachel sementara aku yang punya segalanya masih mengeluh pada Allah hanya karena cinta." Batin Bu Mita.
Karena Bu Mita datangnya sudah sore membuat ia sulit kembali ke pasar karena saat ini pasar sudah tutup. Ia berjanji akan membelikan kebutuhan untuk Rachel agar gadis ini bisa hidup normal seperti orang lain.
Usai menggantikan baju ibunya dan wanita gila ini terlihat sudah bersih, ia malah ingin turun ke pasar padahal sebentar lagi sudah menjelang magrib.
Sekuat mungkin Rachel menahannya ibunya agar tetap tinggal di rumah namun ibunya kekeh ingin kembali ke pasar.
"Ibu...! Jangan pergi lagi! sebentar lagi ayah pulang," ajak Rachel sambil menarik tangan ibunya, namun genggaman tangan Rachel dihempas oleh ibunya.
"Nanti Rachel kasih uang ya Bu." Bujuk Rachel namun ibunya tidak peduli.
Setiap kali Rachel berusaha menarik tangan ibunya, ibunya selalu saja berontak dan berusaha melepaskan tangan putrinya dari tangannya membuat jari jemari kecil itu memerah.
Rachel akhirnya mengalah dan mengikuti ibunya ke pasar sambil menangis pilu. Penolakan ibunya sangat membuat hatinya hancur. Tangisnya tersedu-sedu hingga menjadi tontonan orang di pasar. Ada yang prihatin dengan keadaan Rachel namun sebagian yang lain merasa tidak peduli.
"Oh ibuku, betapa mahal aku harus membayar hutang ku padamu yang telah mengandung dan melahirkan aku dengan susah payah yang harus aku tebus dengan perasaan yang menyedihkan seperti ini." Batin Rachel sambil menangis.
Tidak lama kemudian, Rachel bertemu dengan ayahnya dan pak Lukman mengendong putrinya yang terlihat lelah hingga Rachel tertidur di gendongan ayahnya. Ketiganya kembali ke rumah mereka tepat kumandang adzan magrib.
Ketika lulus SMA, Rachel meminta ijin ayahnya untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Saat itu usia Rachel masih tujuh belas tahun. Ia ingin bekerja sambil kuliah. Saat itu mereka sudah ditinggal pergi oleh sang ibu untuk selama-lamanya.
Usia Rachel yang masih 15 tahun harus menelan pil pahit karena kehilangan ibunya yang saat itu hampir sembuh dari gangguan mentalnya tapi takdir tidak berpihak padanya karena sang ibu menderita kangker hati lalu berpulang secepatnya karena ketiadaan biaya.
"Ayah...! Rachel ingin bekerja. Ayah sudah tua dan harus istirahat. Nanti kalau Rachel sudah dapat pekerjaan, jangan bekerja lagi. Lebih baik ayah bercocok tanam atau beternak ayam sebagai hobi saja karena kita tidak begitu banyak biaya untuk ngurus ibu." Ucap Rachel.
"Iya nak, kalau itu kemauan kamu. Ayah hanya memberikan dukungan dan doa agar kamu sukses di perantauan. Ayah ingin berpesan agar kamu tidak lupa dengan sholat karena itu sebagai penolong mu baik di dunia maupun di akhirat. Juga jaga akhlak mulia agar derajat mu terangkat. Tidak usah terpengaruh sama teman atau tawaran yang menggiurkan dan tak masuk akal karena harta dunia tidak akan di bawa mati." Ucap pak Lukman..
"Baik ayah. Rachel akan selalu ingat pesan ayah. Kalau begitu Rachel berangkat dulu ayah." Ucap Rachel mencium punggung tangan ayahnya begitu lama hingga keduanya saling berpelukan sambil menangis.
"Ayah jaga kesehatan. Doakan Rachel semoga berhasil." Ucap Rachel saat hendak naik ojek menuju pelabuhan untuk menumpang kapal very menuju Jakarta.
Dengan membawa uang tabungan secukupnya, Rachel mencari kos sederhana untuk bisa melindungi dirinya dari panas dan hujan. Gadis yang sudah berhijab ini benar-benar menyelidiki dulu tempat tinggalnya yang jauh dari tempat maksiat agar tidak terjerumus.
Kebetulan Rachel memiliki teman kos yang senasib dengannya saat keduanya tidak sengaja mendatangi tempat kos itu bersama." Hai..! Siapa namamu?" Tanya Mia.
"Rachel."
"Kenalkan namaku Mia. Apakah kamu ingin kos di sini?"
"Begitulah."
"Kalau begitu kita tinggal sekamar saja biar biayanya lebih murah." Tawar Mia.
"Kebetulan sekali. Uangku juga tidak banyak untuk membayar sewa. Kalau begitu kita bisa patungan buat bayar kos." Ucap Rachel.
Setelah keduanya bertemu ibu pemilik kos, keduanya ke kamar mereka yang paling pojok." Kamar mandinya di dalam. Sudah ada dua tempat tidur tingkat dan juga kulkas kecil. Satu bulannya 500 ribu." Ucap Ibu Henny.
Keduanya membayar langsung satu juta untuk tiga bulan ke depan. Ibu kos memberikan kunci pada keduanya.
"Peraturan di sini yaitu tidak boleh ada yang bawa masuk cowok! Gunakan listrik untuk rice cooker dan gosokan. Tidak ada AC di kamar ini. Kalau kamar yang ada AC nya harganya satu juta sebulan." Ucap Bu Henny lalu meninggalkan keduanya.
"Terimakasih ibu."
Rachel dan Mia langsung akrab. Mereka merapikan pakaian mereka dari koper kecil mereka di lemari masing-masing.
"Untuk menghemat uang kita sebelum dapat pekerjaan, apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Mia.
"Aku mau puasa Senin Kamis saja. Makan seadanya. Yang penting harus prihatin kalau mau sukses." Ujar Rachel.
"Ok. Aku mau ikut cara kamu saja." Ucap dua gadis cantik yang berasal dari keluarga miskin ini.
...----------------...
Setelah mendapatkan pekerjaan sebagai OB di sebuah perusahaan, Rachel dan Mia mati-matian mengumpulkan uang. Rupanya keduanya punya cita-cita yang berbeda. Rachel ingin mengambil kursus sebagai make-up artist sementara Mia ingin kuliah diploma tiga dengan jurusan perhotelan.
Sebagai anak baru mereka harus giat bekerja. Kegigihan keduanya hanya untuk mencapai cita-cita mereka, kadang mereka hanya makan seadanya yaitu tahu dan tempe. Di tempat kerjaan mereka sangat berhati-hati agar tidak ceroboh dalam bekerja.
Sebenarnya Rachel masih memiliki cita-cita yang tinggi. Ia ingin menjadi seorang dokter psikiater. Tapi untuk mencapai itu semua ia harus mengasah skillnya terlebih dahulu baru bisa mencapai apa yang dia inginkan. Dua juga tidak ingin mengumbar cita-citanya itu pada Mia.
Sejalannya waktu, enam bulan kemudian, Rachel mampu menyelesaikan khusus kecantikan itu dan kini dia harus mencari pelanggannya yang mau menggunakan jasanya untuk merias wajah.
Sahabatnya Weni yang merupakan seniornya menghubungi Rachel untuk memberikan gadis itu pekerjaan.
"Rachel...!"
"Hallo Wen, ada apa?"
"Aku lagi butuh tenaga mu untuk membantu bos ku untuk merias pendamping pengantin wanita. Temanku sedang terserang flu jadi tidak bisa datang. Apakah kamu bisa datang ke hotel Harris, sekarang?"
"Alhamdulillah..! Aku mau banget Weni. Tolong share alamatnya!"
"Oke."
Tidak butuh waktu lama Rachel sudah tiba di hotel itu lalu menghubungi Weni.
"Kamu di mana Weni?"
"Di kamar 735."
"Ok. Aku ke situ ya."
"Di tunggu."
Rachel berjalan dengan cepat menuju kamar yang di maksud. Tidak berapa lama Rachel sudah bergabung dengan para perias lainnya untuk merias para pendamping wanita.
"Hai mbak! Kenalkan namaku Rachel. Aku yang akan merias anda." Ucap Rachel santun.
"Dandan aku yang cantik. Awas saja kalau jelek." Ucap Mega.
"Insya Allah. Aku akan membuat orang yang menatapmu terpesona dengan kecantikan mbak malam ini." Ucap Rachel.
Iapun membaca doa terlebih dahulu baru mendadani pelanggan pertamanya. Setengah jam berkutat dengan peralatan kecantikan itu, kini gadis yang bernama Tania itu terlihat sangat cantik bahkan orang tidak mengenalinya sama sekali.
Temannya yang lain yang belum dandan akhirnya berebut untuk didandani oleh Rachel.
"Ade cantik. Aku mau di dandani kamu aja deh." Pinta Rianti.
"Boleh mbak. Silahkan duduk!"
Rachel kembali bertempur dengan peralatan make-upnya seakan menyihir para gadis itu berubah menjadi bidadari dalam semalam. Saat pengantin keluar, para pendamping mempelai wanita mengambil pose cantik mereka dengan sang pengantin. Sang mempelai wanita memperhatikan wajah kedua sahabatnya itu yang sangat cantik malam ini menanyakan perias mereka.
"Kalian berdua sangat cantik malam ini. Siapa yang dandanin kalian? " Tanya Shirin pada keduanya.
"Sepertinya dia seorang MUA baru deh." Jawab Rianti.
"Tahu tadi, aku mau di dandan sama dia saja. Sekarang sudah terlanjur ya sudah nggak apa deh. Tapi tolong minta kartu namanya atau paling tidak dapatkan nomor ponselnya ya. Nanti kirim ke aku!" Pinta Sherin
"Ok siap."
Weni mengenalkan Rachel pada bos-nya penyelenggaraan IO wedding organizer tersebut. Nyonya Soraya langsung jatuh cinta dengan Rachel dan meminta gadis itu untuk mendampingi mereka setiap kali ada acara yang sama.
"Sepertinya namamu jadi viral barusan karena semua orang memuji hasil riasan makeup pada beberapa gadis pendamping mempelai wanita. Asal kamu mau ikut aku, aku akan membayarmu dua juta setiap minggunya karena setiap Sabtu Minggu sudah ada jadwal wedding. Bagaimana? Apakah kamu mau?" Tanya nyonya Soraya.
"Apa..? Dua juta setiap kali saya bantu dandan?" Tanya Rachel tidak percaya dengan uang sebanyak itu yang akan ia terima dalam tiap minggunya.
"Mau pakai banget Nyonya." Ucap Rachel sambil meremas tangan Weni.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!