Wanita Pengganti

Wanita Pengganti

1

Aku masih terlalu kecil kala itu. Mungkin, sekitar umur enam atau tujuh tahun saat sepasang suami istri itu mengdopsiku dari panti asuhan.

Apakah aku senang punya keluarga baru?

Tentu saja. Terutama, ketika ibu penjagaku mengatakan kalau aku akan disayang, dimanja dan mendapatkan apa pun yang diriku inginkan. Hmm, membayangkannya saja diri ini sudah sangat bahagia. Apalagi jika ucapan itu menjadi kenyataan. Rasanya ... dunia berada dalam genggaman.

Hari itu tiba. Sepasang suami istri itu membawaku keluar dari panti asuhan. Aku dibawa menggunakan sebuah mobil yang mewah. Tentu saja untuk pertama kalinya diri ini naik kendaraan indah, seperti dongeng yang sering dibacakan oleh ibu penjaga di malam hari.

Menjadi seorang putri itu akan sangat mengasyikkan. Apa yang aku inginkan akan tersedia. Akan ada orang juga yang melayaniku. Oh, bahagianya.

Sepasang suami istri itu memintaku agar memanggil mereka dengan Mama dan Papa. Aku pun mengangguk antusias.

"Mama ... Papa," sebutku kala itu dengan perasaan gembira.

Wanita yang duduk di sampingku pun langsung memelukku. Seketika, ada yang menghangat di dalam dadaku. Tiba-tiba saja suasana menjadi sangat sendu. Aku menitikkan air mata, entah karena perasaan apa. Mungkinkah seseorang yang merasakan kebahagiaan yang membuncah di dalam dada akan menitikkan air mata? Aku contohnya.

Hingga ... aku tidak tahu berapa lama perjalanan yang kami tempuh itu. Sebab, mataku tidak lagi tahan untuk terbuka. Aku terlelap dengan kepala berada di atas pangkuan Mama. Diri ini hanya mengingat jika wanita yang kini kupanggil Mama itu terus mengelus kepalaku.

Aku tidur dengan nyaman dan berselimut kehangatan. Seperti mimpi, aku seolah tengah berada di tengah taman bunga yang indah. Sampai rasanya, diri ini enggan untuk bangun lagi. Namun, aku harus terjaga karena mendengar suara langkah kaki yang mendekat.

Mataku pun akhirnya terbuka dan sedikit merasa bingung karena berada di tempat yang asing. Sampai, saat aku melihat Mama yang tersenyum kepadaku. Dia duduk di pinggir ranjang dengan nampan di pangkuan. Sebuah mangkuk yang asapnya masih mengepul, mengeluarkan aroma yang menggiurkan. Perutku begitu saja merasakan lapar.

"Kamu makan, lalu mandi. Nanti Mama yang akan menyiapkan baju gantimu," kata Mama dengan suara lembut dan tatapan yang tidak bisa aku artikan apa maknanya. Namun, yang pasti. Tatapan itu seperti tengah menyiratkan sesuatu.

Aku makan dengan lahap. Sup ini sangat nikmat. Aku belum pernah makan makanan selezat ini. Oh, di panti asuhan kami makan bersama-sama dengan menu seadanya. Itu saja, sudah cukup nikmat di lidah. Dan sekarang ini, aku menikmati makanan selezat ini sendirian. Wah, aku sudah berubah menjadi seorang putri.

Sesuai yang dikatakan Mama kepadaku bahwa setelah makan aku harus segera mandi. Aku pun berjalan ke kamar mandi dengan cepat.

Wah, tidak hanya kamar yang aku tiduri tadi yang terlihat indah. Kamar mandinya pun terlihat sangat indah. Ada sebuah bak di dalamnya. Tidak ingin membuang waktu, diriku langsung masuk ke dalam bak mandi itu. Ah, nyaman sekali.

Aku masih ingin berlama-lama berendam di dalam bak mandi ini, kalau saja tidak terdengar suara panggilan dari Mama.

Tidak ingin jika Mama baruku itu menunggu lama. Aku pun bergegas keluar dari bak mandi, menggunakan handuk yang tersampir di dalam ruangan ini dan bergegas keluar. Senyuman Mama menyambut kedatanganku.

Tanpa segan, wanita itu membuka handukku. Sebenarnya, aku merasa malu. Namun, merasakan kasih sayang Mama dan betapa wanita itu antusias mengeringkan badanku maka kubiarkan saja dia meladeniku.

Aku hanya diam, sesekali tersenyum dan mengucapkan terima kasih saat Mama selesai memakaikan aku baju ganti yang telah dia persiapkan. Kemudian menarikku menghadap cermin.

Mama menyisir rambutku dengan sangat pelan, lalu memoles wajahku dengan bedak. Oh, tidak lupa Mama memakaikan bandana berwarna merah muda di kepalaku ini.

"Kamu cantik sekali putrinya mama," kata wanita itu sambil memelukku dengan erat. Mama juga menciumi wajahku, seluruhnya. Sampai-sampai, aku merasa kalau bedak yang tadi dia aplikasikan di wajahku ini hilang begitu saja. Hingga, wajahku kembali polos tidak berbedak.

Aku cukup tercengang kala melihat air mata yang mengalir di wajah Mama. Dia menangis.

Tanganku bergerak begitu saja untuk mengusap air mata di pipi Mama. Lantas, aku pun menggeleng pelan. Pandangan kami bertemu dan Mama pun kembali memelukku dan menumpahkan tangis dalam pelukan.

"Maafkan Mama. Tidak seharusnya Mama menangis. Tidak seharusnya Mama bersedih. Mama harus bahagia karena sudah punya putri lagi. Kamu cantik dan ketika memakai pakaiannya ini, Mama bisa merasakan kehadirannya di rumah ini." Mama menghapus jejak basah di pipinya dengan punggung tangan. Dia tersenyum dan begitu saja memelukku kembali dengan erat. "Oh, putriku yang malang."

Entah apa maksud ucapan Mama itu. Otak kecilku ini belum bisa mencerna dengan baik ucapan Mama baruku itu. Hingga, aku hanya bisa diam saja menerima setiap perlakuan darinya.

"Ayo keluar! Nanti akan Mama kenalkan dengan kakak kamu ya," ajaknya sambil menggandeng tanganku mengajak keluar dari kamar.

Di ruang yang di dalamnya ada televisi yang sangat besar, duduk Papa dan seorang anak lelaki berusia remaja. Tampaknya, sih, begitu. Lelaki itu terlihat tampan nan rupawan. Dadaku berdebar kencang karenanya.

"Pa, lihat putri kita ada di dalam tubuh Raisya. Cantik kan?"

Aku mendongak, menatap wajah Mama yang kini tampak berseri. Sangat berbeda dengan saat berada di kamar tadi.

"I-ya, Ma, dia sangat cantik." Papa berujar pelan dengan suara tergagap.

"Dia bukan adikku, Ma," sahut lelaki yang duduk di samping Papa itu. Wajahnya tampak sangat sedih.

"Mulai sekarang dia jadi adik kamu, Vino. Jaga dan sayangi dia dengan sepenuh hati. Jangan sampai kamu sakiti dia," sahut Mama dengan wajah galak.

Kedua lelaki beda usia itu saling berpandangan. Keduanya pun sama-sama mengangguk kemudian, lalu lelaki bernama Vino itu berdiri menghampiriku.

"Selamat datang, Raisya. Aku kakak kamu sekarang. Panggil aku Kak Vino," ujar Kak Vino kemudian dengan senyum lebar.

Kak Vino mengulurkan tangan, yang kusambut dengan uluran tangan pula. Kami bersalaman dengan senyum yang terkembang lebar.

Lantas, ucapan Kak Vino membuatku sadar akan sesuatu.

"Dia Raisya, Ma. Aku akan menganggapnya sebagai adikku mulai saat ini. Tapi bukan adikku yang telah pergi. Orang yang sudah meninggal tidak akan bisa hidup kembali."

Bahwa ... Mama memposisikan aku sebagai putrinya yang telah meninggal.

"Iya, Raisya memang bukan adikmu yang telah lama pergi. Tapi, Raisya adalah wanita pengganti kehadiran adik kamu, Vino. Kamu harus menyayangi Raisya seperti kamu menyayangi adik kamu itu."

Rasanya, ada yang menyayat hatiku saat diri ini dijadikan pengganti untuk putrinya yang telah meninggal.

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

aku mampir Thor

2023-05-02

0

Zifa

Zifa

ntah kenapa thor aku masih kurang sukak dengan Raisya karena sempat jadi pelakor.. semoga cerita ttg derita Raisya bisa mengubah ketidaksukaan ku..
lanjut othor

2023-04-05

0

Diana Susanti

Diana Susanti

sedih,,,,tapi berbahaya lah Raisa,,,karena dikelilingi semua anggota keluarga

2023-04-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!