4

Seminggu sudah aku tinggal di sini, rasa begitu sangat lama karena pikiran dan gerak tubuh tidak sinkron.

Aku beraktivitas membantu Bunda, mengawasi anak-anak panti juga membantu bagian dapur menyiapkan makan untuk mereka.

Sesuai yang Bunda bilang kalau ada beberapa anak yang sudah tumbuh menjadi remaja dan dewasa, mereka bekerja pagi-pagi sekali sampai di rumah menjelang sore hari. Maka, di pagi hari adalah menjadi waktu yang sangat sibuk. Selain untuk menyiapkan sarapan juga bekal makan siang untuk anak-anak yang sekolah, dapur juga menyiapkan bekal makan siang untuk mereka yang bekerja. Secara otomatis, pekerjaan dapur menjadi dua kali lipat di waktu pagi hari.

Aku ikut sibuk dan terus menyibukkan diri agar pikiran hang terus berkelana pada kondisi kesehatan Mama yang kini tidak aku ketahui gimana perkembangannya, lalu Papa yang sampai saat ini belum aku dengar penjelasannya.

"Kak, kok, melamun?"

Pertanyaan itu membuatku tergagap. Aku yang tengah menyendok nasi untuk menyiapkan kotak bekal malah sibuk dengan pikiran sendiri.

"Oh ... iya, Bik, maaf," balasku tergagap dengan perasaan tidak enak hati.

Tangan ini masih menggantung dengan nasi yang siap aku masukkan ke wadah pun segera melanjutkan pekerjaan. Beberapa orang tampak tengah memperhatikan kegiatanku, tidak selayaknya diri ini malah melamun sementara waktu terus bergulir tidak mau menunggu.

Pekerjaan pagi telah selesai, berlanjut dengan membereskan dapur dan membersihkan halaman.

Aku segera membawa piring kotor dan peralatan makan lain setelah ruang makan ini kosong. Di pagi hari, para penghuni panti memang dibebaskan tugas mencuci piring mereka mengingat setiap dari mereka harus segera menuju tempat kegiatan masing-masing.

"Kakak Raisya makan dulu saja," kata Bibik lagi. Wanita yang wajahnya tampak lebih tua dari usianya itu terlihat tengah sibuk membereskan meja makan, memindahkan lauk pauk dan sayur mayur ke area dapur.

"Nanti saja, Bik. Bibik saja yang makan duluan, biar saya yang bereskan meja makan." Aku menjawab, meninggalkan sejenak pekerjaan cuci piring yang menumpuk itu, membantu Bibik membawa makanan yang dipindahkan.

"Bibik juga nanti saja, Kak. Belum tenang kalau belum selesai pekerjaan dapur ini. Rasanya enggak enak untuk makan," balasnya dengan senyum tipis.

"Kalau begitu, aku melanjutkan pekerjaanku dulu biar kita cepat selesai. Setelah itu, kita makan bersama sebelum membereskan yang lain. Bagaimana?" Aku memberi usul dengan suara riang.

"Ya, Bibik setuju." Bibik menyambut usulan dariku dengan suara yang tidak kalah riang pula. Membuat perasaanku membaik.

Aku tidak bisa membayangkan sebelumnya, bagaimana wanita itu membereskan semua kekacauan ini sendirian. Aku ikut membantu saja ... rasanya pekerjaan di sini tidak ada habisnya.

Saat aku dan Bibik menikmati sarapan, Bunda datang dan langsung membuat wanita yang duduk di sampingku itu seketika berdiri.

"Selamat pagi, Bunda. Bunda mau sarapan atau ada sesuatu yang lain yang dibutuhkan?" Suara Bibik terdengar terbata. Dia terlihat sekali jika sedang gugup.

"Bunda sudah sarapan?" tanyaku kemudian, kalau saja bisa membantu Bibik mengurai kegugupan.

"Kamu makan yang banyak ya, jangan kerja terus. Masak baru seminggu di sini udah kelihatan kurus begitu." Ucapan Bunda terdengar sebagai aksi protes buatku.

Aku mengulas senyum tipis, lalu berdiri dan menggandeng lengan Bunda.

"Aku malah bingung kalau diam saja, Bunda. Enakan begini ... membantu Bibik menyelesaikan pekerjaan." Aku berkata lembut dengan senyum lebar.

"Kamu ini. Ayo lanjutkan makannya! Bunda mau makan juga."

Aku menarik kursi untuk Bunda duduk, sementara itu Bibik langsung menyiapkan piring beserta sendok dan garpu untuk Bunda.

Selanjutnya, perbincangan hangat diiringi denting sendok yang berada dengan piring yang terdengar di ruangan ini.

Kami membicarakan apa saja, dari hal remeh temeh sampai Bunda menceritakan masa kecilku.

Ya, Bibik adalah orang baru di sini. Dulu juru masak di panti ini adalah seorang wanita paruh baya yang kini sudah meninggal sekitar sepuluh tahun yang lalu. Sebelum Bibik yang menjadi juru masak di panti ini, sudah ada sekitar empat orang yang bergonta- ganti.

Pertanyaan tentang asal usul siapa diriku ini semakin mengganggu. Setelah mendengar cerita Bunda, pertanyaan pertanyaan yang menggangguku satu pekan terakhir ini semakin membuat kepalaku ini ingin meledak.

Tidak tahan lagi, aku pun menyusul Bunda yang meninggalkan ruangan ini menuju tempat kerjanya.

Aku mengetuk pintu tiga kali, kemudian menarik handle dan membuka pintu di hadapan dengan sangat hati-hati.

Bunda tampak tengah duduk dengan ponsel di telinga. Tangannya terangkat memberi isyarat agar aku menunggu.

Aku menyimpulkan kalau Bunda tengah berteleponan dengan anak lelakinya yang entah tinggal di mana, beberapa percakapan yang tertangkap telinga aku bisa menangkap kalau anaknya itu akan melangsungkan pernikahan.

Beberapa menit berlalu, aku menunggu dengan berdiri kaku dan kaki yang terasa mulai kesemutan. Aku begitu saja bernapas lega saat Bunda memutuskan panggilan telepon dan meletakkan benda pipih itu ke atas meja.

"Maaf karena lama menunggu, Raisya. Tadi anak Bunda, katanya bulan depan mau melamar kekasihnya. Kamu bisa bantu Bunda untuk mencari perlengkapan untuk lamaran kan? Bunda lebih nyaman kalau belanja sama kamu." Wajah Bunda tampak ceria.

Aku segera mengangguk menunjukkan persetujuan. Aku sendiri tidak ingat dengan anak Bunda itu. Seperti apa rupanya, umur berapa dan siapa namanya, aku tidak ingat sama sekali.

"Dia itu ... enggak mau pulang ke sini, terlalu betah di Jakarta. Setelah kuliah dan kerja di sana ... eh, malah dapat pacar orang sana juga. Ada-ada saja, anak semata wayang jauh pula dari Bunda. Untung saja banyak anak-anak di sini jadi Bunda tidak terlalu kesepian ditinggal dia."

Aku menyimak dalam diam cerita Bunda. Aku bisa merasakan betapa kesepiannya Bunda sekarang. Ah, tiba-tiba saja ingatanku tertuju kepada Mama yang masih terbaring sakit, ya ... mungkin saja Mama masih di rumah sakit tanpa anak yang mendapingi.

Terbersit rasa penyesalan dalam hatiku karena tidak mengaktifkan nomor telepon. Aku benar benar ingin mengindar dari rasa sakit yang terus membuat mimpi buruk dalam hidupku. Namun, jika mengingat bagaimana Mama memperlakukan dengan sangat baik membuatku tidak enak hati.

"Bunda," panggilku dengan suara lirih.

"Oh ... maaf ... maaf, kenapa malah Bunda yang curhat sih? Kamu ada perlu apa datang ke ruangan Bunda. Pasti ada sesuatu yang serius yang ingin kamu bicarakan bukan."

Aku mengangguk. Lantas, Bunda menyuruhku duduk di hadapannya.

"Ada apa?" tanya Bunda penuh perhatian.

"Bunda ... aku ingin bertanya tentang siapa yang mengantarkan aku sampai ke panti ini?" tanyaku dengan suara lirih. Namun, aku yakin kalau Bunda pasti mendengar suaraku ini.

Mata Bunda mendelik lebar, sampai beberapa detik berlalu yang terasa seperti berabad bagiku itu tidak ada suara yang Bunda ucapkan.

"Bunda," panggilku mendesak.

"Pak Bambang. Pak Bambang yang menitipkan kamu di sini," kata Bunda lirih dan seketika itu juga langit seolah runtuh menimpa tubuhku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!