Hari-hari ku berlalu dengan kebahagiaan. Bukan. Lebih tepatnya, aku yang berusaha untuk terus bahagia, menikmati peran yang mereka inginkan. Mau bagaimana pun diri ini menolak, tetap saja aku harus menjadi yang Mama mau. Jadi, aku memutuskan untuk menuruti.
Perasaanku ini hanya milikku sendiri. Dan, aku tidak mau jika harus kembali hidup di panti asuhan. Aku ingin sekolah, ingin meraih cita-cita dan ingin menemukan orang tua kandungku.
Kata Bunda, aku masih memiliki seorang ayah. Sementara sang ibu, telah meninggal dunia saat melahirkanku.
Begitu besar pengorbanan seorang wanita dalam melahirkan anak mereka, tetapi cukup sebanding dengan perasaan bahagia ketika memilikinya.
Pertanyaanku saat ini. Apakah ibuku bahagia telah melahirkanku? Apakah ayahku bahagia telah memiliki diriku? Sebab, jika Ayah menginginkan kehadiranku. Mengapa dia membuangku ke panti asuhan itu?
Pada akhirnya, semua tanya itu pun meluap bersama tekad untuk bertahan hidup dan menggapai cita. Dan, kebersamaan bersama Kak Vino telah mengubah perasaan nelangsa menjadi kebahagiaan.
Dia adalah kakak yang baik. Sangat baik sekali. Aku menyayangi lelaki itu sampai perasaan ini pun mengakar kuat dan ingin hidup bersama dengannya selamanya.
Hingga, suatu hari aku harus merasakan sakit hati yang luar biasa di kala Kak Vino ingin melamar seorang gadis. Padahal saat itu, Mama sedang merencanakan perjodohannya dengan wanita pilihan Mama.
Kak Vino nekat meninggalkan rumah demi bisa menikah dengan pujaan hatinya.
Aku ingin sekali menjadi seseorang yang mungkin saja bisa dipikirkan Kak Vino untuk dinikahi, tetapi keinginan itu tampaknya hanyalah keinginan semata. Sebab, sampai istrinya Kak Vino itu kabur dari rumah dan Mama menjodohkan kami pun Kak Vino tetap menolak.
Kecewa? Tentu saja. Namun, aku tidak bisa berbuat apa pun. Walaupun pada kenyataannya, aku merasa senang saat Kak Vino memperhatikan aku dan selalu ada di setiap waktu yang aku butuhkan. Menciptakan angan yang lebih tinggi tentangnya, sampai bertekad melakukan segala cara untuk bisa mendapatkannya.
Aku mengusulkan tentang pernikahan pura-pura hanya demi Mama. Di dalam hatiku, telah menyusun rencana agar bisa menjerat Kak Vino untuk bisa bertahan dengan pernikahan ini. Namun, apa yang aku rencanakan kembali gagal karena Kak Vino tiba-tiba saja meninggalkanku tanpa alasan.
Hari itu aku seperti tengah mati. Ragaku saja yang bergerak, tetapi jiwaku seakan telah tercabut dan melayang entah ke mana. Sementara itu, Mama tiba-tiba saja pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Aku bertahan di rumah sakit, menemani Mama yang sedang diperiksa dokter masih dengan pakaian pengantin.
Hari itu adalah hari yang sangat menyedihkan buatku. Aku tidak pernah merasa sesedih ini untuk semua alasan kesedihan yang pernah aku alami.
Berulang kali aku menghubungi Papa, berulang kali pula nomor itu tidak aktif.
Bingung. Itulah yang aku rasakan. Terlebih, aku tidak memiliki cukup uang untuk bisa bertahan di rumah sakit ini.
Setelah menimbang beberapa menit lamanya, aku pun memutuskan untuk menghubungi Kak Vino. Calon pengantin yang dengan tega telah meninggalkanku sendirian dalam kekacauan ini.
Lima panggilan tidak dijawab. Mungkin dia sedang sibuk dengan istrinya itu.
Aku mendengkus kecewa. Dengan perasaan malu yang tidak bisa dihilangkan dari diri ini, aku memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada lelaki itu. Mau bagaimana pun juga, Mama adalah mamanya juga.
[Kak, Mama masuk rumah sakit. Aku menghubungi Papa tapi nomornya tidak aktif.]
[Tolong, Kak!]
Pesan yang aku kirimkan langsung dibaca, tetapi tidak juga mendapatkan balasan.
Menanggalkan harga diri dan rasa malu yang tersisa, aku kembali mengirimkan pesan kepada lelaki itu.
[Aku butuh bantuan Kakak sekarang.]
Aku menunggu dengan cemas saat melihat nomor Kak Vino sedang mengetik.
[Kita tidak bisa bersama, Raisya. Jangan memaksakan diri.]
[Bilang sama Mama, aku enggak bisa ditipu daya lagi.]
Air mataku seketika mengalir. Begitu dalamkah sakit hati yang Kak Vino rasakan karena diriku ini? Sampai-sampai, dia tidak lagi percaya kepadaku.
Aku hendak mengambil gambar Mama dan mengirimkan kepada Kak Vino saat dokter berbalik. Aku tahu dokter ingin berbicara kepadaku.
"Pasien mengalami stroke ringan. Sekarang kita tunggu dia sadar. Pasien sedang beristirahat."
Usai menjelaskan keadaan Mama, sang dokter pun berpamitan pergi meninggalkan ruang rawat ini.
Aku mendekati ranjang. Betapa perasaan ini amat menyayangi Mama. Terlepas dari apa pun Mama menganggap diriku, dia tetap saja orang yang selalu memperlakukan aku dengan baik.
Aku menggenggam satu tangan Mama yang tidak terpasang selang infus. Mengangkat tangan itu dan mencium punggung tangannya dengan perasaan takzim.
Air mataku menitik lagi. Betapa Mama sekarang tampak menjadi orang yang sangat menyedihkan. Di saat keadaannya benar benar sakit, anak dan suaminya justru tidak ada bersamanya.
Sesuai niatku tadi, aku pun mengambil foto Mama dan mengirimkan gambar tersebut kepada Kak Vino. Tidak lupa menuliskan keterangan sesuai yang dijelaskan dokter yang telah memeriksa kondisi Mama tadi.
Dengan perasaan menyedihkan, aku pun memotret diriku sendiri.
[Aku bahkan tidak sempat mengganti pakaian pengantin ini, Kak. Apakah kamu masih menganggap kalau aku bersandiwara?]
Aku menuliskan pesan singkat itu kepada Kak Vino. Sayangnya, lelaki itu tidak lagi online. Hingga berjam-jam lamanya dan aku sampai tertidur menunggu balasan darinya.
Sejujurnya, bukan hanya Kak Vino yang lelah. Aku juga lelah dengan keadaan ini. Namun, apakah aku salah dengan perasaan yang hinggap di dada ini untuk kakak kesayangan?
[Kita saudara satu ayah. Itu adalah fakta yang tidak bisa ditampik. Jadi berhenti lah bermimpi bahwa kita akan menikah. Kita tidak bisa bersama selain sebagai saudara kakak dan adik. Kamu mengerti kan, Raisya?]
Aku melangkah cepat keluar dari ruang rawat Mama. Duduk di kursi penunggu dengan perasaan hancur.
Benarkah lelaki yang selama ini aku cari adalah orang yang sebenarnya telah berada di sekitarku?
Oh, takdir macam apa ini?
Akan lebih baik jika aku dan Kak Vino bukanlah saudara yang sebenarnya. Sehingga, aku tetap bisa memelihara dan menyimpan perasaan ini untuknya. Dia pasti mengada ada kan?
[Kakak bohong kan?]
Aku mengirimkan pesan dengan sisa nyawa yang tertinggal. Sebab, jika memang benar apa yang dikatakan Kak Vino, aku bersumpah akan pergi dari sini sekarang juga.
[Papa yang mengatakan hal itu kepadaku.]
Selanjutnya, aku mendapatkan kiriman gambar dari isi pesan yang dikirimkan Papa. Detik itu juga, aku pun beranjak dari kursi dan meninggalkan rumah sakit ini.
Maafkan aku, Mama. Aku harus pergi. Aku sudah tidak tahu lagi ke mana akan meletakkan wajah ini sekarang. Perasaan malu sekaligus terhina yang kini kurasakan.
Sepanjang jalan pulang, air mata terus mengalir deras membasahi wajah yang telah kacau ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Diana Susanti
kasihan raisha
2023-04-06
0
Wahyu
wahhhhh... berarti Raisya jahat kalau dia pergi begitu saja, padahal mamanya vino masih belum sadar ...... harus nya dia balas budi dong dengan mama yang mbelain dia......ntah gimana jadinya itu mama kalau tahu anak yang dijaga,dibelain ternyata anaknya suaminya dengan wanita lain 😁😁😁😁😁
2023-04-06
1