Aku masih terlalu kecil kala itu. Mungkin, sekitar umur enam atau tujuh tahun saat sepasang suami istri itu mengdopsiku dari panti asuhan.
Apakah aku senang punya keluarga baru?
Tentu saja. Terutama, ketika ibu penjagaku mengatakan kalau aku akan disayang, dimanja dan mendapatkan apa pun yang diriku inginkan. Hmm, membayangkannya saja diri ini sudah sangat bahagia. Apalagi jika ucapan itu menjadi kenyataan. Rasanya ... dunia berada dalam genggaman.
Hari itu tiba. Sepasang suami istri itu membawaku keluar dari panti asuhan. Aku dibawa menggunakan sebuah mobil yang mewah. Tentu saja untuk pertama kalinya diri ini naik kendaraan indah, seperti dongeng yang sering dibacakan oleh ibu penjaga di malam hari.
Menjadi seorang putri itu akan sangat mengasyikkan. Apa yang aku inginkan akan tersedia. Akan ada orang juga yang melayaniku. Oh, bahagianya.
Sepasang suami istri itu memintaku agar memanggil mereka dengan Mama dan Papa. Aku pun mengangguk antusias.
"Mama ... Papa," sebutku kala itu dengan perasaan gembira.
Wanita yang duduk di sampingku pun langsung memelukku. Seketika, ada yang menghangat di dalam dadaku. Tiba-tiba saja suasana menjadi sangat sendu. Aku menitikkan air mata, entah karena perasaan apa. Mungkinkah seseorang yang merasakan kebahagiaan yang membuncah di dalam dada akan menitikkan air mata? Aku contohnya.
Hingga ... aku tidak tahu berapa lama perjalanan yang kami tempuh itu. Sebab, mataku tidak lagi tahan untuk terbuka. Aku terlelap dengan kepala berada di atas pangkuan Mama. Diri ini hanya mengingat jika wanita yang kini kupanggil Mama itu terus mengelus kepalaku.
Aku tidur dengan nyaman dan berselimut kehangatan. Seperti mimpi, aku seolah tengah berada di tengah taman bunga yang indah. Sampai rasanya, diri ini enggan untuk bangun lagi. Namun, aku harus terjaga karena mendengar suara langkah kaki yang mendekat.
Mataku pun akhirnya terbuka dan sedikit merasa bingung karena berada di tempat yang asing. Sampai, saat aku melihat Mama yang tersenyum kepadaku. Dia duduk di pinggir ranjang dengan nampan di pangkuan. Sebuah mangkuk yang asapnya masih mengepul, mengeluarkan aroma yang menggiurkan. Perutku begitu saja merasakan lapar.
"Kamu makan, lalu mandi. Nanti Mama yang akan menyiapkan baju gantimu," kata Mama dengan suara lembut dan tatapan yang tidak bisa aku artikan apa maknanya. Namun, yang pasti. Tatapan itu seperti tengah menyiratkan sesuatu.
Aku makan dengan lahap. Sup ini sangat nikmat. Aku belum pernah makan makanan selezat ini. Oh, di panti asuhan kami makan bersama-sama dengan menu seadanya. Itu saja, sudah cukup nikmat di lidah. Dan sekarang ini, aku menikmati makanan selezat ini sendirian. Wah, aku sudah berubah menjadi seorang putri.
Sesuai yang dikatakan Mama kepadaku bahwa setelah makan aku harus segera mandi. Aku pun berjalan ke kamar mandi dengan cepat.
Wah, tidak hanya kamar yang aku tiduri tadi yang terlihat indah. Kamar mandinya pun terlihat sangat indah. Ada sebuah bak di dalamnya. Tidak ingin membuang waktu, diriku langsung masuk ke dalam bak mandi itu. Ah, nyaman sekali.
Aku masih ingin berlama-lama berendam di dalam bak mandi ini, kalau saja tidak terdengar suara panggilan dari Mama.
Tidak ingin jika Mama baruku itu menunggu lama. Aku pun bergegas keluar dari bak mandi, menggunakan handuk yang tersampir di dalam ruangan ini dan bergegas keluar. Senyuman Mama menyambut kedatanganku.
Tanpa segan, wanita itu membuka handukku. Sebenarnya, aku merasa malu. Namun, merasakan kasih sayang Mama dan betapa wanita itu antusias mengeringkan badanku maka kubiarkan saja dia meladeniku.
Aku hanya diam, sesekali tersenyum dan mengucapkan terima kasih saat Mama selesai memakaikan aku baju ganti yang telah dia persiapkan. Kemudian menarikku menghadap cermin.
Mama menyisir rambutku dengan sangat pelan, lalu memoles wajahku dengan bedak. Oh, tidak lupa Mama memakaikan bandana berwarna merah muda di kepalaku ini.
"Kamu cantik sekali putrinya mama," kata wanita itu sambil memelukku dengan erat. Mama juga menciumi wajahku, seluruhnya. Sampai-sampai, aku merasa kalau bedak yang tadi dia aplikasikan di wajahku ini hilang begitu saja. Hingga, wajahku kembali polos tidak berbedak.
Aku cukup tercengang kala melihat air mata yang mengalir di wajah Mama. Dia menangis.
Tanganku bergerak begitu saja untuk mengusap air mata di pipi Mama. Lantas, aku pun menggeleng pelan. Pandangan kami bertemu dan Mama pun kembali memelukku dan menumpahkan tangis dalam pelukan.
"Maafkan Mama. Tidak seharusnya Mama menangis. Tidak seharusnya Mama bersedih. Mama harus bahagia karena sudah punya putri lagi. Kamu cantik dan ketika memakai pakaiannya ini, Mama bisa merasakan kehadirannya di rumah ini." Mama menghapus jejak basah di pipinya dengan punggung tangan. Dia tersenyum dan begitu saja memelukku kembali dengan erat. "Oh, putriku yang malang."
Entah apa maksud ucapan Mama itu. Otak kecilku ini belum bisa mencerna dengan baik ucapan Mama baruku itu. Hingga, aku hanya bisa diam saja menerima setiap perlakuan darinya.
"Ayo keluar! Nanti akan Mama kenalkan dengan kakak kamu ya," ajaknya sambil menggandeng tanganku mengajak keluar dari kamar.
Di ruang yang di dalamnya ada televisi yang sangat besar, duduk Papa dan seorang anak lelaki berusia remaja. Tampaknya, sih, begitu. Lelaki itu terlihat tampan nan rupawan. Dadaku berdebar kencang karenanya.
"Pa, lihat putri kita ada di dalam tubuh Raisya. Cantik kan?"
Aku mendongak, menatap wajah Mama yang kini tampak berseri. Sangat berbeda dengan saat berada di kamar tadi.
"I-ya, Ma, dia sangat cantik." Papa berujar pelan dengan suara tergagap.
"Dia bukan adikku, Ma," sahut lelaki yang duduk di samping Papa itu. Wajahnya tampak sangat sedih.
"Mulai sekarang dia jadi adik kamu, Vino. Jaga dan sayangi dia dengan sepenuh hati. Jangan sampai kamu sakiti dia," sahut Mama dengan wajah galak.
Kedua lelaki beda usia itu saling berpandangan. Keduanya pun sama-sama mengangguk kemudian, lalu lelaki bernama Vino itu berdiri menghampiriku.
"Selamat datang, Raisya. Aku kakak kamu sekarang. Panggil aku Kak Vino," ujar Kak Vino kemudian dengan senyum lebar.
Kak Vino mengulurkan tangan, yang kusambut dengan uluran tangan pula. Kami bersalaman dengan senyum yang terkembang lebar.
Lantas, ucapan Kak Vino membuatku sadar akan sesuatu.
"Dia Raisya, Ma. Aku akan menganggapnya sebagai adikku mulai saat ini. Tapi bukan adikku yang telah pergi. Orang yang sudah meninggal tidak akan bisa hidup kembali."
Bahwa ... Mama memposisikan aku sebagai putrinya yang telah meninggal.
"Iya, Raisya memang bukan adikmu yang telah lama pergi. Tapi, Raisya adalah wanita pengganti kehadiran adik kamu, Vino. Kamu harus menyayangi Raisya seperti kamu menyayangi adik kamu itu."
Rasanya, ada yang menyayat hatiku saat diri ini dijadikan pengganti untuk putrinya yang telah meninggal.
Hari-hari ku berlalu dengan kebahagiaan. Bukan. Lebih tepatnya, aku yang berusaha untuk terus bahagia, menikmati peran yang mereka inginkan. Mau bagaimana pun diri ini menolak, tetap saja aku harus menjadi yang Mama mau. Jadi, aku memutuskan untuk menuruti.
Perasaanku ini hanya milikku sendiri. Dan, aku tidak mau jika harus kembali hidup di panti asuhan. Aku ingin sekolah, ingin meraih cita-cita dan ingin menemukan orang tua kandungku.
Kata Bunda, aku masih memiliki seorang ayah. Sementara sang ibu, telah meninggal dunia saat melahirkanku.
Begitu besar pengorbanan seorang wanita dalam melahirkan anak mereka, tetapi cukup sebanding dengan perasaan bahagia ketika memilikinya.
Pertanyaanku saat ini. Apakah ibuku bahagia telah melahirkanku? Apakah ayahku bahagia telah memiliki diriku? Sebab, jika Ayah menginginkan kehadiranku. Mengapa dia membuangku ke panti asuhan itu?
Pada akhirnya, semua tanya itu pun meluap bersama tekad untuk bertahan hidup dan menggapai cita. Dan, kebersamaan bersama Kak Vino telah mengubah perasaan nelangsa menjadi kebahagiaan.
Dia adalah kakak yang baik. Sangat baik sekali. Aku menyayangi lelaki itu sampai perasaan ini pun mengakar kuat dan ingin hidup bersama dengannya selamanya.
Hingga, suatu hari aku harus merasakan sakit hati yang luar biasa di kala Kak Vino ingin melamar seorang gadis. Padahal saat itu, Mama sedang merencanakan perjodohannya dengan wanita pilihan Mama.
Kak Vino nekat meninggalkan rumah demi bisa menikah dengan pujaan hatinya.
Aku ingin sekali menjadi seseorang yang mungkin saja bisa dipikirkan Kak Vino untuk dinikahi, tetapi keinginan itu tampaknya hanyalah keinginan semata. Sebab, sampai istrinya Kak Vino itu kabur dari rumah dan Mama menjodohkan kami pun Kak Vino tetap menolak.
Kecewa? Tentu saja. Namun, aku tidak bisa berbuat apa pun. Walaupun pada kenyataannya, aku merasa senang saat Kak Vino memperhatikan aku dan selalu ada di setiap waktu yang aku butuhkan. Menciptakan angan yang lebih tinggi tentangnya, sampai bertekad melakukan segala cara untuk bisa mendapatkannya.
Aku mengusulkan tentang pernikahan pura-pura hanya demi Mama. Di dalam hatiku, telah menyusun rencana agar bisa menjerat Kak Vino untuk bisa bertahan dengan pernikahan ini. Namun, apa yang aku rencanakan kembali gagal karena Kak Vino tiba-tiba saja meninggalkanku tanpa alasan.
Hari itu aku seperti tengah mati. Ragaku saja yang bergerak, tetapi jiwaku seakan telah tercabut dan melayang entah ke mana. Sementara itu, Mama tiba-tiba saja pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Aku bertahan di rumah sakit, menemani Mama yang sedang diperiksa dokter masih dengan pakaian pengantin.
Hari itu adalah hari yang sangat menyedihkan buatku. Aku tidak pernah merasa sesedih ini untuk semua alasan kesedihan yang pernah aku alami.
Berulang kali aku menghubungi Papa, berulang kali pula nomor itu tidak aktif.
Bingung. Itulah yang aku rasakan. Terlebih, aku tidak memiliki cukup uang untuk bisa bertahan di rumah sakit ini.
Setelah menimbang beberapa menit lamanya, aku pun memutuskan untuk menghubungi Kak Vino. Calon pengantin yang dengan tega telah meninggalkanku sendirian dalam kekacauan ini.
Lima panggilan tidak dijawab. Mungkin dia sedang sibuk dengan istrinya itu.
Aku mendengkus kecewa. Dengan perasaan malu yang tidak bisa dihilangkan dari diri ini, aku memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada lelaki itu. Mau bagaimana pun juga, Mama adalah mamanya juga.
[Kak, Mama masuk rumah sakit. Aku menghubungi Papa tapi nomornya tidak aktif.]
[Tolong, Kak!]
Pesan yang aku kirimkan langsung dibaca, tetapi tidak juga mendapatkan balasan.
Menanggalkan harga diri dan rasa malu yang tersisa, aku kembali mengirimkan pesan kepada lelaki itu.
[Aku butuh bantuan Kakak sekarang.]
Aku menunggu dengan cemas saat melihat nomor Kak Vino sedang mengetik.
[Kita tidak bisa bersama, Raisya. Jangan memaksakan diri.]
[Bilang sama Mama, aku enggak bisa ditipu daya lagi.]
Air mataku seketika mengalir. Begitu dalamkah sakit hati yang Kak Vino rasakan karena diriku ini? Sampai-sampai, dia tidak lagi percaya kepadaku.
Aku hendak mengambil gambar Mama dan mengirimkan kepada Kak Vino saat dokter berbalik. Aku tahu dokter ingin berbicara kepadaku.
"Pasien mengalami stroke ringan. Sekarang kita tunggu dia sadar. Pasien sedang beristirahat."
Usai menjelaskan keadaan Mama, sang dokter pun berpamitan pergi meninggalkan ruang rawat ini.
Aku mendekati ranjang. Betapa perasaan ini amat menyayangi Mama. Terlepas dari apa pun Mama menganggap diriku, dia tetap saja orang yang selalu memperlakukan aku dengan baik.
Aku menggenggam satu tangan Mama yang tidak terpasang selang infus. Mengangkat tangan itu dan mencium punggung tangannya dengan perasaan takzim.
Air mataku menitik lagi. Betapa Mama sekarang tampak menjadi orang yang sangat menyedihkan. Di saat keadaannya benar benar sakit, anak dan suaminya justru tidak ada bersamanya.
Sesuai niatku tadi, aku pun mengambil foto Mama dan mengirimkan gambar tersebut kepada Kak Vino. Tidak lupa menuliskan keterangan sesuai yang dijelaskan dokter yang telah memeriksa kondisi Mama tadi.
Dengan perasaan menyedihkan, aku pun memotret diriku sendiri.
[Aku bahkan tidak sempat mengganti pakaian pengantin ini, Kak. Apakah kamu masih menganggap kalau aku bersandiwara?]
Aku menuliskan pesan singkat itu kepada Kak Vino. Sayangnya, lelaki itu tidak lagi online. Hingga berjam-jam lamanya dan aku sampai tertidur menunggu balasan darinya.
Sejujurnya, bukan hanya Kak Vino yang lelah. Aku juga lelah dengan keadaan ini. Namun, apakah aku salah dengan perasaan yang hinggap di dada ini untuk kakak kesayangan?
[Kita saudara satu ayah. Itu adalah fakta yang tidak bisa ditampik. Jadi berhenti lah bermimpi bahwa kita akan menikah. Kita tidak bisa bersama selain sebagai saudara kakak dan adik. Kamu mengerti kan, Raisya?]
Aku melangkah cepat keluar dari ruang rawat Mama. Duduk di kursi penunggu dengan perasaan hancur.
Benarkah lelaki yang selama ini aku cari adalah orang yang sebenarnya telah berada di sekitarku?
Oh, takdir macam apa ini?
Akan lebih baik jika aku dan Kak Vino bukanlah saudara yang sebenarnya. Sehingga, aku tetap bisa memelihara dan menyimpan perasaan ini untuknya. Dia pasti mengada ada kan?
[Kakak bohong kan?]
Aku mengirimkan pesan dengan sisa nyawa yang tertinggal. Sebab, jika memang benar apa yang dikatakan Kak Vino, aku bersumpah akan pergi dari sini sekarang juga.
[Papa yang mengatakan hal itu kepadaku.]
Selanjutnya, aku mendapatkan kiriman gambar dari isi pesan yang dikirimkan Papa. Detik itu juga, aku pun beranjak dari kursi dan meninggalkan rumah sakit ini.
Maafkan aku, Mama. Aku harus pergi. Aku sudah tidak tahu lagi ke mana akan meletakkan wajah ini sekarang. Perasaan malu sekaligus terhina yang kini kurasakan.
Sepanjang jalan pulang, air mata terus mengalir deras membasahi wajah yang telah kacau ini.
Usai melepaskan pakaian, aku pun segera mandi dan berganti baju.
Saat menghadap cermin untuk menyisir rambut, mata ini terpaku pada wajah yang cahayanya seolah telah lenyap. Wajahku kusam seperti berbulan bulan tidak diurus.
Aku menghela napas panjang, pikiran ini pun seketika berkelana pada Mama yang terbaring lemah di rumah sakit. Haruskah diri ini membiarkan wanita yang telah merawat dan menyayngiku itu sendirian?
Oh, kadang aku tidak suka dengan perasaan ini. Perasaan lemah yang mendominasi. Seperti saat hatiku memilih untuk menawarkan diri menjadi pengantin Kak Vino demi kebahagiaan Mama.
Sial. Jika sedari dulu aku tahu jika Papa yang selama ini turut merawatku adalah seseorang yang selama ini pula aku cari. Mungkin, diriku telah mengajukan banyak pertanyaan kepadanya. Namun, kenyataan memang sering kali tidak bisa dipredikisi.
Lagi, aku menghela napas panjang. Berpikir lebih dalam tentang keputusan apa yang seharusnya aku ambil.
Pada akhirnya, perasaan ini kembali harus mengalah. Aku tidak bisa meninggalkan Mama dalam keadaan seperti ini. Setidaknya, sampai Mama sadar atau ada yang menjaga.
Aku keluar dari kamar. Saat berada di ruang tamu, baru menyadari jika dekorasi yang beberapa saat tadi menghiasi ruangan ini, kini telah bersih. Air mata kembali menitik, membayangkan betapa aku telah dipermalukan sedemikian rupa. Tanpa keterangan, tanpa penjelasan dan tanpa permintaan maaf.
"Non, gimana kabar nyonya?"
Aku segera mengusap wajah sampai kering. Lantas, tersenyum selebar mungkin ketika mendapati pekerja di rumah ini tengah menatap.
"Masih di rumah sakit. Sebaiknya Bibik segera bersiap dan temani Mama ya," kataku pelan yang dibalas dengan anggukan oleh wanita itu.
Tidak berselang lama. Aku dan wanita itu pun telah berada dalam mobil yang melaju ke rumah sakit.
Sesampainya di ruangan Mama, aku terkejut saat mendapati Papa yang kini duduk di samping ranjang dengan tangan yang menggenggam tangan Mama yang bebas dari selang infus.
Seketika, perasaan di dalam sini campur aduk. Antara marah, kecewa juga sedih, tetapi perasaan bahagia juga tidak bisa ditepis. Lelaki yang selama ini aku cari. Lelaki yang selama ini aku rindukan. Dan lelaki yang selama ini aku ketahui di mana keberadaannya, rupanya lelaki itu amat dekat denganku. Bahkan, kami tinggal di bawah atap yang sama.
Air mata ini kembali mengalir. Kali ini alirannya bagai bendungan air bah yang jebol.
"Ada apa, Non?"
Aku masih berada di luar kamar. Melalui kaca di pintu ini, bisa melihat dengan jelas aktivitas di dalam sana. Saat kepala Papa menoleh, aku buru buru menyingkir agar lelaki itu tidak melihat keberadaanku.
Aku menutup mulut, menyembunyikan suara tangisan yang mulai tidak bisa dikendalikan.
Selanjutnya, aku menyentuh bahu wanita yang menatapku dengan bingung, menekan bahu itu dengan pelan. Aku mengangguk lemah, mengusap wajah dengan kasar dan berpamitan pergi.
"Non mau ke mana, Non?" tanya Bibik sembari menahan lenganku. Namun, aku langsung menepisnya, menggeleng berulang kali.
"Bibik temui Mama saja. Aku pergi dulu." Aku berkata pelan kemudian melangkah lebar meninggalkan lorong rumah sakit yang sepi.
Saat menunggu pintu besi di hadapan terbuka, air mataku semakin mengalir deras. Aku sampai terduduk di lantai karena perasaan yang mengusap diri ini.
Sejujurnya, tidak terbayangkan sebelumnya apa yang aku lakukan. Pada kenyataannya, diri ini justru memilih kabur saat melihat Papa.
Papa. Oh, betapa aku merindukan panggilan itu untuk seseorang yang berarti bagi hidupku. Dan, saat seharusnya kami bertemu dan berbicara perasaan takut ini mendominasi membuatku memilih kabur. Entah sampai kapan hingga aku bisa bertatap muka dengan Papa.
Pintu besi itu terbuka, menunggu sebentar pengunjung lain yang keluar dari dalam sana. Setelah kosong, barulah aku masuk. Beruntung, tidak ada siapa pun di dalam sini.
Di dalam lift, aku menumpahkan tangis yang tidak bisa lagi kutahan. Menatap diri dari pantulan kaca di dalam sini, aku melihat wajah yang kacau dan putus asa.
Aku mengelap wajah dengan kasar. Kemudian keluar dari pintu yang kini terbuka setelah denting yang berbunyi.
Sebelum benar benar keluar dari sini, lebih dulu aku menuju kamar mandi untuk mencuci wajah, menghapus jejak basah yang tertinggal mengacaukan wajah ini.
Setelah dirasa cukup dan perasaan sedikit segar, aku pun segera keluar, mengeringkan wajah dengan tisu yang ada. Lantas, melangkah menuju pinggir jalan.
Hal selanjutnya yang ada di kepala adalah menjual perhiasan yang tadi aku bawa. Aku butuh makan dan menyambung hidup. Usai menjual perhiasan, barulah aku memesan taksi dan meluncur keluar dari kota besar yang terasa menyempit ini. Segala hal yang terjadi di sini, biarlah sampai di sini saja. Aku tidak ingin mengingat ataupun mengenang.
Kelak, jika diri ini telah siap aku ingin bertemu Mama dan mengucapkan terima kasih. Entah bagaimana perasaan wanita yang aku sayangi itu jika mengetahui status diri ini yang sebenarnya.
Jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam, aku berharap bahwa apa yang terjadi hari ini hanya mimpi buruk belaka dan akan menghilang ketika diriku terbangun dan kembali ke dunia nyata.
Dunia nyata tempat tinggalku adalah panti asuhan di mana aku ditinggalkan.
"Lho, Raisya? Kamu di sini." Bunda tampak terkejut dengan kedatanganku.
Jelas saja, tanpa kabar lebih dulu aku datang. Entah kapan terakhir aku datang ke sini. Beruntung masih ingat dengan nama dan tempatnya sehingga bisa dengan mudah ditemukan.
Tanpa menjawab pertanyaan itu, aku pun langsung menghambur ke dalam pelukan Bunda.
Aku tahu, Bunda sangat terkejut dan tidak menyangka dengan respons yang aku berikan. Namun, wanita yang telah menerima diriku saat bayi itu tidak menolak dan tidak pula mengajukan tanya lebih lanjut.
"Bunda ... apa kabar?" Aku bertanya dengan suara tersendat. Sesekali, isakan ini pun masih lolos dari mulutku.
"Bunda sehat, Sayang. Tumben kamu ke sini sendirian? Semua keluarga sehat kan?" Bunda balik bertanya dan tangannya begitu cekatan mengelus punggung ku, memberikan ketenangan kepada hati yang terasa remuk redam.
"Sehat semua. Mama saja yang sekarang sakit. Tadi Pa ... pa nemenin kok." Air mataku mengalir deras.
Saat menyebut Mama dan Papa, tidak bisa dipungkiri jika hati ini amat merindukan mereka. Padahal, aku sendiri yang memutuskan untuk pergi.
"Kamu istirahat dulu yuk! Pakai kamar di rumah Bunda saja ya? Kamar di panti penuh semua." Bunda merangkul bahuku, mengajak mengikuti langkahnya melewati bangunan panti tempat para anak tinggal.
"Semakin banyak penghuninya ya, Bunda?" tanyaku sekadar ingin tahu.
"Lumayan. Tapi banyak yang sudah besar, kok. Banyak yang kerja juga, tapi masih betah tinggal di sini sekalian mau biayain adik adik katanya." Bunda terkekeh pelan.
Aku harap, kekehan itu bisa menular kepadaku kemudian menghapus jejak kesedihan di hati. Namun, kesedihan ini sepertinya telah mengakar di dalam sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!