"Pak Bambang meninggalkan kamu saat bayi merah, kemudian beberapa tahun kemudian dia datang bersama Bu Sekar, istrinya itu, untuk mengadopsi kamu, Raisya."
Itu adalah kisah yang Bunda ceritakan. Walaupun rasanya ada sedikit perbedaan dari kisah yang pernah dia ceritakan dulu.
"Setiap bulan, Pak Bambang mengirim uang untuk kebutuhan kamu dan memberi kelebihan untuk diberikan kepada panti. Anak -anak yang lain cukup terbantu oleh uang yang dikirimkan itu."
Aku dan Bunda bertatapan sejenak. Setelah satu tarikan napas, dia kembali melanjutkan kisah.
"Seperti yang pernah Bunda ceritakan dulu kalau Mama kamu memang sudah meninggal dunia ...."
"Apa ... Bunda tahu status Papa dengan mama kandungku? Apakah mereka menikah atau ...." Lidahku kelu. Suara yang ingin aku keluarkan terpaksa harus ditelan kembali.
"Bunda tidak tahu ... Pak Bambang yang lebih tahu dan lebih berhak untuk menceritakan kisahnya kepadamu, Raisya." Bunda berujar pelan, sangat pelan. Sampai ... suara itu terdengar seperti bisikan di telinga. Kalau saja tidak hanya kami berdua yang berada di ruangan ini, sudah tentulah suara Bunda tidak akan bisa sampai ke indera pendengaranku. Aku sangat beruntung dengan kesunyian di dalam ruangan ini, sehingga tidak sedikit pun bisa menghambat obrolan kami.
Aku menunduk. Tanpa bisa dicegah, air mata ini mengalir membasahi pipi. Aku menghapus air mata dengan tangan secara kasar. Perasaan sedih ini tidak bisa dihalau dengan mudah.
Perasaan sedih sekaligus merana ini terus bertahan sampai di malam hari. Menjelang tidur, aku memeriksa ponsel yang selama di sini memang aku matikan. Tidak sanggup rasanya menerima kenyataan diri ini yang belum jelas asal- usulanya. Anak sah atau justru lahir di luar pernikahan.
Air mata ini kembali mengalir. Aku menghapus jejak basah di pipi menggunakan ujung kaus yang aku kenakan. Menghapusnya sampai kering, tidak lagi bersisa.
Tangan ini bergerak, dengan mata yang fokus menatap layar. Degup jantung berirama tidak beraturan. Mata ini mendelik kala melihat banyak panggilan dari Papa, Mama ... juga Kak Vino.
Ah, mereka memang keluargaku. Pasti Mama bingung aku pergi ke mana. Selama ini, walaupun aku melanjutkan pendidikan di kota lain, tetapi tidak pernah lepas dari pengawasan Mama.
Selanjutnya, aku membuka pesan beruntun dari ketiga orang tersebut. Pesan dari Mama yang paling banyak dengan pertanyaan yang hampir sama semua. Mama menanyakan aku di mana?
Aku menarik napas panjang, kemudian memgembuskan secara perlahan. Saat ini, aku merasa belum siap untuk bertemu mereka -orang tuaku, apalagi jika Kak Vino ternyata juga ada bersama Mama dan Papa. Aku belum siap bertemu lelaki itu.
Setelah semua yang terjadi di antara aku dan Kak Vino, rasa -rasanya diri ini tidak memiliki muka untuk bertemu pandang dengannya. Terlebih, jika mengingat bahwa aku yang merencanakan pernikahan pura -pura, sementara di dalam hati ini justru bertekad untuk membuat Kak Vino jatuh cinta dan meninggalkan istrinya agar tetap hidup bersama denganku. Ah, betapa kejam serta piciknya pemikiran itu.
Aku tersentak kaget, bahkan benda pipih di tangan ini pun sampai terpental ke atas kasur saat merasakan getaran tanda panggilan masuk.
Aku mengambil benda pipih itu, melirik sekilas ke arah layar yang berpendar. Nama Papa muncul di layar sebagai pemanggil. Belum siap mental diri ini menghadapinya, aku pun segera menekan tombol power dengan lama sampai layar ponsel itu menggelap dan getar itu pun mati.
Setelah meletakkan ponsel ke balik bantal, aku pun segera merebahkan diri. Tidak lupa, menarik selimut untuk menutupi tubuh sampai ke bagian batas leher. Aku menarik dan mengembuskan napas secara kasar berulang kali, kalau saja sesak di dalam dada bisa sedikit berkurang. Namun, tentu tidak semudah yang diinginkan.
Bohong jika di dalam hati ini aku tidak mengharapkan kedatangan Papa atau Mama di panti ini untuk menjemputku. Bohong jika aku mengatakan baik -baik saja selama tinggal di sini dalam keadaan meninggalkan Mama yang sedang sakit.
Sesungguhnya, ingin sekali aku merawat Mama. Namun, tidak juga bisa dipungkiri jika ada rasa takut di dalam dada yang tidak mudah aku tipis begitu saja. Perasaan ini sangat menyiksa diriku.
Apakah aku anak hasil pernikahan atau tidak?
Aku memejamkan mata dengan pikiran penuh yang siap meledakkan kepala. Rasanya, otak ini pun mendidih dan siap memuntahkan lahar panas. Sementara itu, di dalam dadaku terasa seperti disayat oleh pisau berkarat.
Kalau saja aku tidak dilahirkan di dunia ini, sudah pastilah diri ini tidak akan merasakan kesedihan ini.
***
Pagi ini, Bunda telah bersiap mengajakku ke pasar. Dia ingin membelikan perhiasan untuk calon istri putranya yang siap dikamar beberapa pekan lagi. Terhitung tiga minggu lagi, Bunda akan berangkat ke Jakarta untuk menemui sang putra dan melangsungkan lamaran secara resmi.
"Kudu beli sekarang apa yang bisa dibeli, Sya. Nanti kalau belinya di waktu yang mepet, repot sekali." Bunda beeujar sembari menenteng tas tangannya. Dia mengenakan pakaian yang sangat rapi, layaknya orang yang hendak bepergian saja.
Sementara aku yang diajak Bunda menemani belanja, hanya mengenakan pakaian santai. Celana jins dengan atasan kaus oblong. Selain karena aku yang tidak ingin repot, diri ini juga hanya membawa pakaian seadanya. Jadi, tidak banyak pilihan.
Sesampainya di toko perhiasan, Bunda meminta pendapatku dalam memilih perhiasan yang akan dibelinya untuk sang calon menantu. Dengan senang hati aku ikut merekomendasikan set peehiasan sesuai pengalaman selama ini ketika menemani Mama belanja.
Aku ingat, perhiasan Mama sangat bagus dan mewah. Mama memang paling jago dalam memilih perhiasan, tiada duanya.
"Bagus juga pilihan kamu, Raisya. Enggak sia sia Bunda ajak kamu. Untuk yang lain juga, kamu saja nanti yang bantu Bunda pilih ya." Suara dan ekspresi Bunda menunjukkan kegembiraan, aku senang mendengarnya.
"Aku sangat senang kalau bisa membantu, Bunda," kataku apa adanya.
Di hari- hari selanjutnya, aku dan Bunda terus sibuk memilih dan menyiapkan barang-barang untuk acara lamaran. Sebenarnya, agak repot juga kalau bawa barang-barang sebanyak ini dari sini. Akan lebih praktis kalau belinya di sana saja. Namun, Bunda bersikukuh menolak.
"Kita bawanya dikit saja, Sya. Sisanya nanti bisa dikasihkan pas acara hari H dan saat wanita itu sudah sah jadi menantu Bunda."
Aku mengernyit heran dengan penuturan Bunda. Namun, diri ini juga tidak membantah. Bagiku, apa yang dikatakan Bunda itu tidaklah lazim seperti kebanyakan orang. Ya sudahlah, yang penting Bunda happy aja.
Kami berangkat menggunakan mobil, dengan beberapa orang yang ikut. Anak panti juga ada yang ikut, terutama yang dewasa dan bisa ikut. Beberapa tetangga dan sanak saudara juga ikut. Tepatnya, kami berangkat dengan tiga mobil menuju Jakarta.
Perjalanan yang panjang nan melelahkan, sebanding dengan apa yang didapat. Acara lamaran berlangsung sesuai rencana dan pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Wahyu
Raisya..... tidak peduli kamu lahir dari hasil pernikahan atau tidak,kamu harus tetap semangat dan meneruskan hidupmu .... tunjukkan baktimu kepada orang yang sudah menjadi keluargamu... karena menyesal/bencipun tidak ada guna....kita tidak bisa memilih terlahir dari siapa/bagaimana 🙏🙏🙏🙏💪💪💪💪💪
2023-05-03
0
Diana Susanti
lanjut kak mantab
2023-05-03
0