3

Usai melepaskan pakaian, aku pun segera mandi dan berganti baju.

Saat menghadap cermin untuk menyisir rambut, mata ini terpaku pada wajah yang cahayanya seolah telah lenyap. Wajahku kusam seperti berbulan bulan tidak diurus.

Aku menghela napas panjang, pikiran ini pun seketika berkelana pada Mama yang terbaring lemah di rumah sakit. Haruskah diri ini membiarkan wanita yang telah merawat dan menyayngiku itu sendirian?

Oh, kadang aku tidak suka dengan perasaan ini. Perasaan lemah yang mendominasi. Seperti saat hatiku memilih untuk menawarkan diri menjadi pengantin Kak Vino demi kebahagiaan Mama.

Sial. Jika sedari dulu aku tahu jika Papa yang selama ini turut merawatku adalah seseorang yang selama ini pula aku cari. Mungkin, diriku telah mengajukan banyak pertanyaan kepadanya. Namun, kenyataan memang sering kali tidak bisa dipredikisi.

Lagi, aku menghela napas panjang. Berpikir lebih dalam tentang keputusan apa yang seharusnya aku ambil.

Pada akhirnya, perasaan ini kembali harus mengalah. Aku tidak bisa meninggalkan Mama dalam keadaan seperti ini. Setidaknya, sampai Mama sadar atau ada yang menjaga.

Aku keluar dari kamar. Saat berada di ruang tamu, baru menyadari jika dekorasi yang beberapa saat tadi menghiasi ruangan ini, kini telah bersih. Air mata kembali menitik, membayangkan betapa aku telah dipermalukan sedemikian rupa. Tanpa keterangan, tanpa penjelasan dan tanpa permintaan maaf.

"Non, gimana kabar nyonya?"

Aku segera mengusap wajah sampai kering. Lantas, tersenyum selebar mungkin ketika mendapati pekerja di rumah ini tengah menatap.

"Masih di rumah sakit. Sebaiknya Bibik segera bersiap dan temani Mama ya," kataku pelan yang dibalas dengan anggukan oleh wanita itu.

Tidak berselang lama. Aku dan wanita itu pun telah berada dalam mobil yang melaju ke rumah sakit.

Sesampainya di ruangan Mama, aku terkejut saat mendapati Papa yang kini duduk di samping ranjang dengan tangan yang menggenggam tangan Mama yang bebas dari selang infus.

Seketika, perasaan di dalam sini campur aduk. Antara marah, kecewa juga sedih, tetapi perasaan bahagia juga tidak bisa ditepis. Lelaki yang selama ini aku cari. Lelaki yang selama ini aku rindukan. Dan lelaki yang selama ini aku ketahui di mana keberadaannya, rupanya lelaki itu amat dekat denganku. Bahkan, kami tinggal di bawah atap yang sama.

Air mata ini kembali mengalir. Kali ini alirannya bagai bendungan air bah yang jebol.

"Ada apa, Non?"

Aku masih berada di luar kamar. Melalui kaca di pintu ini, bisa melihat dengan jelas aktivitas di dalam sana. Saat kepala Papa menoleh, aku buru buru menyingkir agar lelaki itu tidak melihat keberadaanku.

Aku menutup mulut, menyembunyikan suara tangisan yang mulai tidak bisa dikendalikan.

Selanjutnya, aku menyentuh bahu wanita yang menatapku dengan bingung, menekan bahu itu dengan pelan. Aku mengangguk lemah, mengusap wajah dengan kasar dan berpamitan pergi.

"Non mau ke mana, Non?" tanya Bibik sembari menahan lenganku. Namun, aku langsung menepisnya, menggeleng berulang kali.

"Bibik temui Mama saja. Aku pergi dulu." Aku berkata pelan kemudian melangkah lebar meninggalkan lorong rumah sakit yang sepi.

Saat menunggu pintu besi di hadapan terbuka, air mataku semakin mengalir deras. Aku sampai terduduk di lantai karena perasaan yang mengusap diri ini.

Sejujurnya, tidak terbayangkan sebelumnya apa yang aku lakukan. Pada kenyataannya, diri ini justru memilih kabur saat melihat Papa.

Papa. Oh, betapa aku merindukan panggilan itu untuk seseorang yang berarti bagi hidupku. Dan, saat seharusnya kami bertemu dan berbicara perasaan takut ini mendominasi membuatku memilih kabur. Entah sampai kapan hingga aku bisa bertatap muka dengan Papa.

Pintu besi itu terbuka, menunggu sebentar pengunjung lain yang keluar dari dalam sana. Setelah kosong, barulah aku masuk. Beruntung, tidak ada siapa pun di dalam sini.

Di dalam lift, aku menumpahkan tangis yang tidak bisa lagi kutahan. Menatap diri dari pantulan kaca di dalam sini, aku melihat wajah yang kacau dan putus asa.

Aku mengelap wajah dengan kasar. Kemudian keluar dari pintu yang kini terbuka setelah denting yang berbunyi.

Sebelum benar benar keluar dari sini, lebih dulu aku menuju kamar mandi untuk mencuci wajah, menghapus jejak basah yang tertinggal mengacaukan wajah ini.

Setelah dirasa cukup dan perasaan sedikit segar, aku pun segera keluar, mengeringkan wajah dengan tisu yang ada. Lantas, melangkah menuju pinggir jalan.

Hal selanjutnya yang ada di kepala adalah menjual perhiasan yang tadi aku bawa. Aku butuh makan dan menyambung hidup. Usai menjual perhiasan, barulah aku memesan taksi dan meluncur keluar dari kota besar yang terasa menyempit ini. Segala hal yang terjadi di sini, biarlah sampai di sini saja. Aku tidak ingin mengingat ataupun mengenang.

Kelak, jika diri ini telah siap aku ingin bertemu Mama dan mengucapkan terima kasih. Entah bagaimana perasaan wanita yang aku sayangi itu jika mengetahui status diri ini yang sebenarnya.

Jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam, aku berharap bahwa apa yang terjadi hari ini hanya mimpi buruk belaka dan akan menghilang ketika diriku terbangun dan kembali ke dunia nyata.

Dunia nyata tempat tinggalku adalah panti asuhan di mana aku ditinggalkan.

"Lho, Raisya? Kamu di sini." Bunda tampak terkejut dengan kedatanganku.

Jelas saja, tanpa kabar lebih dulu aku datang. Entah kapan terakhir aku datang ke sini. Beruntung masih ingat dengan nama dan tempatnya sehingga bisa dengan mudah ditemukan.

Tanpa menjawab pertanyaan itu, aku pun langsung menghambur ke dalam pelukan Bunda.

Aku tahu, Bunda sangat terkejut dan tidak menyangka dengan respons yang aku berikan. Namun, wanita yang telah menerima diriku saat bayi itu tidak menolak dan tidak pula mengajukan tanya lebih lanjut.

"Bunda ... apa kabar?" Aku bertanya dengan suara tersendat. Sesekali, isakan ini pun masih lolos dari mulutku.

"Bunda sehat, Sayang. Tumben kamu ke sini sendirian? Semua keluarga sehat kan?" Bunda balik bertanya dan tangannya begitu cekatan mengelus punggung ku, memberikan ketenangan kepada hati yang terasa remuk redam.

"Sehat semua. Mama saja yang sekarang sakit. Tadi Pa ... pa nemenin kok." Air mataku mengalir deras.

Saat menyebut Mama dan Papa, tidak bisa dipungkiri jika hati ini amat merindukan mereka. Padahal, aku sendiri yang memutuskan untuk pergi.

"Kamu istirahat dulu yuk! Pakai kamar di rumah Bunda saja ya? Kamar di panti penuh semua." Bunda merangkul bahuku, mengajak mengikuti langkahnya melewati bangunan panti tempat para anak tinggal.

"Semakin banyak penghuninya ya, Bunda?" tanyaku sekadar ingin tahu.

"Lumayan. Tapi banyak yang sudah besar, kok. Banyak yang kerja juga, tapi masih betah tinggal di sini sekalian mau biayain adik adik katanya." Bunda terkekeh pelan.

Aku harap, kekehan itu bisa menular kepadaku kemudian menghapus jejak kesedihan di hati. Namun, kesedihan ini sepertinya telah mengakar di dalam sana.

Terpopuler

Comments

alvalest

alvalest

bpk e ki kdue seng di cecar berbagai pertnyaan why?

2023-04-13

0

Leon Kampret

Leon Kampret

duh raisya ikut sedih aku

2023-04-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!