Balasan Pengkhianatan

Balasan Pengkhianatan

Episode 1

"Sudah mau berangkat ya, Mas? " tanyaku saat melihat suamiku sudah siap dengan setelan kantornya.

"Hmm."

"Nanti pulang jam berapa, Mas? Bisa pulang lebih awal 'kan? Soalnya nanti ibu mau datang ke sini, " tanyaku lagi.

"Aku juga belum tahu, kalau pekerjaan di kantor tidak banyak kuusahakan pulang cepat. "

Singkat, padat, dan jelas. Begitulah respon suamiku belakangan ini, sikapnya berubah 360 derajat. Dia seperti bukan lagi suamiku yang dulu, sikapnya dulu begitu hangat dan tidak pernah sekalipun mengabaikanku. Tapi semenjak kecelakaan yang kualami waktu itu menyebabkan kami kehilangan calon bayi kami dan sekarang aku pun lumpuh. Sejak saat itu Mas Ari mendiamkan aku, menyalahkan aku atas kepergian calon bayi kami. Dia yang tadinya selalu bersikap lembut, sekarang sikapnya selalu dingin terhadapku.

Andai saja waktu itu aku tidak pergi, andai saja waktu itu aku tetap di rumah dan tidak bersikeras menjemput Mas Ari di Bandara. Mungkin saat ini perutku sudah buncit oleh bayi yang kukandung. Dan hari ini aku hanya bisa duduk diatas kursi roda, menjadi istri yang merepotkan untuknya. Aku sedih dan terpukul atas kecelakaan waktu itu, ditambah sikap Mas Ari yang begitu membuat diriku semakin terpuruk.

Hampir setiap hari Mas Ari selalu pulang terlambat, tiap kali kutanya alasannya pasti selalu banyak pekerjaan di kantor. Dia seolah sengaja menghindar dariku, hampir tidak pernah lagi kami bicara berdua diatas tempat tidur seperti sebelumnya. Atau bahkan mungkin ia sudah tidak berhasrat melihatku yang lumpuh ini? Aku benar-benar sedih memikirkan hal itu.

"Hati-hati bawa mobilnya ya, Mas. "

"Aku tidak seceroboh kamu!" sahut Mas Ari.

Perkataannya barusan terasa begitu menyakitkan, padahal aku hanya memberi perhatian padanya tapi responnya selalu mengingatkan aku pada kejadian itu.

Aku mencium tangannya dan Mas Ari pun berangkat kerja. Di rumah ini kami hanya tinggal berdua, kadang ada Bibi yang bertugas membersihkan rumah dan itu pun tidak menginap. Aku selalu merasa kesepian di rumah, waktuku kadang kuhabiskan dengan menangis, aku benar-benar merasa bersalah pada suamiku. Aku ingat betul saat ia datang ke rumah sakit dengan wajah yang sangat khawatir, tapi yang pertama kali ia tanyakan adalah kondisi janinku.

Flash back 6 bulan lalu.

"Nazwa! Apa yang terjadi? Anak... anak kita? Dia baik-baik saja kan? " tanya Mas Ari saat tiba di ruang rawatku.

Aku yang tadinya menyambut kedatangannya dengan senyuman perlahan senyum itu surut, aku tak kuasa memberi tahukan kabar duka ini.

"Maaf, Mas... Maafin aku, kata dokter dia tidak bisa diselamatkan.. " ucapku lirih.

Mas Ari menunjukkan wajah frustasi dan ia mengusap wajahnya dengan kasar.

"Kok bisa sih, Na? Apa kamu tidak bisa menjaganya dengan baik? Aku sudah bilang jangan jemput aku, tapi kenapa kamu masih keras kepala hah? " bentak Mas Ari membuat sekujur tubuhku terasa beku.

Untuk pertama kalinya ia berucap dengan nada tinggi padaku.

"Maaf, Mas.. Tadinya kupikir aku akan menjemput kamu dan kita... "

"Sudah cukup! Aku tidak mau mendengar apapun lagi, kamu ceroboh, Na! Ceroboh!"

Mas Ari pergi berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi ke arahku. Aku begitu sedih dengan kejadian ini, aku juga korban, yang aku butuhkan adalah dia. Tapi Mas Ari tidak mau dengar apapun, dia meninggalkan aku sendiri di rumah sakit.

Flash back off.

"Mbak, kok melamun di sini toh? Maaf saya langsung masuk, tadi saya salam nggak ada yang nyahut. Saya takut ada apa-apa sama Mbak, " kata Bi Minah tukang bersih-bersih di rumah.

"Oh iya, Bi. Maaf saya tidak dengar tadi. "

"Iya, Mbak. Kalau begitu saya lanjut bersih-bersih dulu ya, Mbak. "

"Iya, Bi."

Bi Minah adalah salah satu orang yang selalu menemaniku saat siang hari selama 6 bulan terakhir ini, beliau juga selalu setia mendengar curahan hatiku. Terkadang Bi Minah juga selalu mengingatkan aku untuk selalu kuat saat pikiran negatif mulai menyelimuti. Sebelumnya suasana rumah ini begitu hangat, selalu ada kemesraan di setiap sudut rumah. Mas Ari selalu memanjakanku bahkan ia selalu berusaha pulang lebih awal hanya untuk berdua denganku.

Tetapi sekarang rumah ini terasa begitu dingin dan sepi. Tidak ada lagi keharmonisan menghiasi rumah ini, bahkan rasanya ini bukan lagi seperti rumah.

.

.

Pukul 22:00 WIB.

"Baru pulang, Mas? " tanyaku saat melihat suamiku menutup pintu rumah.

"Kenapa belum tidur?"

"Aku nunggu kamu, Mas. Sini ku bantu, Mas... " aku mendorong kursi rodaku mendekat ke arahnya. Baru sejengkal tanganku hendak menyentuhnya, Mas Ari menepisnya.

"Aku capek mau langsung mandi, kamu tidurlah! " ucapnya berlalu ke kamar mandi.

Sedih, sudah pasti kurasakan. Rasanya seperti tidak lagi diinginkan, Mas Ari benar-benar terasa begitu jauh dariku.

"Mas... Apa kamu mau langsung tidur? Boleh aku bicara sebentar? " tanyaku saat Mas Ari naik ke atas ranjang.

"Bicara apa? Besok pagi saja, aku lelah. "

"Kenapa kamu berubah, Mas? Kenapa sikap mu dingin seperti itu padaku? Kamu masih marah atas kejadian itu? Aku juga sedih, Mas.. Aku juga merasa kehilangan, tapi kecelakaan itu di luar kendaliku.. hiks... hiks.. " aku terisak mengajukan pertanyaan itu.

"Aku tidak marah, aku hanya kecewa karena kamu keras kepala. Kamu tahu aku sangat mendambakan seorang anak, itu anak pertama kita. Tapi karena keras kepalamu itu dia haru pergi secepat itu, " jawab Mas Ari.

"Aku sudah minta maaf, Mas. Tapi sikap mu sudah bukan lagi kamu yang dulu, kamu seolah menghindariku. Setiap hari kamu pulang malam, bahkan tadi ibuku datang mungkin kamu tidak ingat! "

"Maaf, Na.. Tadi aku benar-benar sibuk, lain kali aku tidak akan lupa. Lebih baik sekarang kamu tidur ya, " ucap Mas Ari menenangkan tapi justru aku merasa seolah dia tidak ingin bicara panjang denganku lagi.

"Apa kamu tidak ingin kita program hamil lagi, Mas? " tanyaku membuat Mas Ari kembali menatapku.

"Dikondisi kamu seperti sekarang? Mengurusku saja kamu tidak bisa, bagaimana mau program hamil? Aku juga tidak mau nanti anakku lahir jadi tak terurus! "

"Sudah malam, lebih baik tidur! " tukasnya.

Sakit sekali rasanya mendengar kalimat terakhir Mas Ari, dia benar, bahkan untuk mengurusnya saja aku masih kesusahan. Tapi apakah harus ia katakan hal itu sekarang?

Tidakkah ia berpikir jika kalimatnya itu benar-benar menyakitiku?

Mas Ari merebahkan tubuhnya dan mematikan lampu, ia pun tidur dengan memunggungiku. Selama pernikahan kami, Mas Ari selalu memelukku saat tidur. Tapi sekarang bahkan aku hanya bisa memandangi punggungnya saja, tiap kali aku menyentuhnya pasti ia akan menghindar. Benar-benar bukan lagi Mas Ari yang kukenal.

...****************...

Terpopuler

Comments

Deli Waryenti

Deli Waryenti

Kalau 360 derajat berarti gak berubah tuh. Yg benar 180 derajat

2023-06-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!