NovelToon NovelToon

Balasan Pengkhianatan

Episode 1

"Sudah mau berangkat ya, Mas? " tanyaku saat melihat suamiku sudah siap dengan setelan kantornya.

"Hmm."

"Nanti pulang jam berapa, Mas? Bisa pulang lebih awal 'kan? Soalnya nanti ibu mau datang ke sini, " tanyaku lagi.

"Aku juga belum tahu, kalau pekerjaan di kantor tidak banyak kuusahakan pulang cepat. "

Singkat, padat, dan jelas. Begitulah respon suamiku belakangan ini, sikapnya berubah 360 derajat. Dia seperti bukan lagi suamiku yang dulu, sikapnya dulu begitu hangat dan tidak pernah sekalipun mengabaikanku. Tapi semenjak kecelakaan yang kualami waktu itu menyebabkan kami kehilangan calon bayi kami dan sekarang aku pun lumpuh. Sejak saat itu Mas Ari mendiamkan aku, menyalahkan aku atas kepergian calon bayi kami. Dia yang tadinya selalu bersikap lembut, sekarang sikapnya selalu dingin terhadapku.

Andai saja waktu itu aku tidak pergi, andai saja waktu itu aku tetap di rumah dan tidak bersikeras menjemput Mas Ari di Bandara. Mungkin saat ini perutku sudah buncit oleh bayi yang kukandung. Dan hari ini aku hanya bisa duduk diatas kursi roda, menjadi istri yang merepotkan untuknya. Aku sedih dan terpukul atas kecelakaan waktu itu, ditambah sikap Mas Ari yang begitu membuat diriku semakin terpuruk.

Hampir setiap hari Mas Ari selalu pulang terlambat, tiap kali kutanya alasannya pasti selalu banyak pekerjaan di kantor. Dia seolah sengaja menghindar dariku, hampir tidak pernah lagi kami bicara berdua diatas tempat tidur seperti sebelumnya. Atau bahkan mungkin ia sudah tidak berhasrat melihatku yang lumpuh ini? Aku benar-benar sedih memikirkan hal itu.

"Hati-hati bawa mobilnya ya, Mas. "

"Aku tidak seceroboh kamu!" sahut Mas Ari.

Perkataannya barusan terasa begitu menyakitkan, padahal aku hanya memberi perhatian padanya tapi responnya selalu mengingatkan aku pada kejadian itu.

Aku mencium tangannya dan Mas Ari pun berangkat kerja. Di rumah ini kami hanya tinggal berdua, kadang ada Bibi yang bertugas membersihkan rumah dan itu pun tidak menginap. Aku selalu merasa kesepian di rumah, waktuku kadang kuhabiskan dengan menangis, aku benar-benar merasa bersalah pada suamiku. Aku ingat betul saat ia datang ke rumah sakit dengan wajah yang sangat khawatir, tapi yang pertama kali ia tanyakan adalah kondisi janinku.

Flash back 6 bulan lalu.

"Nazwa! Apa yang terjadi? Anak... anak kita? Dia baik-baik saja kan? " tanya Mas Ari saat tiba di ruang rawatku.

Aku yang tadinya menyambut kedatangannya dengan senyuman perlahan senyum itu surut, aku tak kuasa memberi tahukan kabar duka ini.

"Maaf, Mas... Maafin aku, kata dokter dia tidak bisa diselamatkan.. " ucapku lirih.

Mas Ari menunjukkan wajah frustasi dan ia mengusap wajahnya dengan kasar.

"Kok bisa sih, Na? Apa kamu tidak bisa menjaganya dengan baik? Aku sudah bilang jangan jemput aku, tapi kenapa kamu masih keras kepala hah? " bentak Mas Ari membuat sekujur tubuhku terasa beku.

Untuk pertama kalinya ia berucap dengan nada tinggi padaku.

"Maaf, Mas.. Tadinya kupikir aku akan menjemput kamu dan kita... "

"Sudah cukup! Aku tidak mau mendengar apapun lagi, kamu ceroboh, Na! Ceroboh!"

Mas Ari pergi berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi ke arahku. Aku begitu sedih dengan kejadian ini, aku juga korban, yang aku butuhkan adalah dia. Tapi Mas Ari tidak mau dengar apapun, dia meninggalkan aku sendiri di rumah sakit.

Flash back off.

"Mbak, kok melamun di sini toh? Maaf saya langsung masuk, tadi saya salam nggak ada yang nyahut. Saya takut ada apa-apa sama Mbak, " kata Bi Minah tukang bersih-bersih di rumah.

"Oh iya, Bi. Maaf saya tidak dengar tadi. "

"Iya, Mbak. Kalau begitu saya lanjut bersih-bersih dulu ya, Mbak. "

"Iya, Bi."

Bi Minah adalah salah satu orang yang selalu menemaniku saat siang hari selama 6 bulan terakhir ini, beliau juga selalu setia mendengar curahan hatiku. Terkadang Bi Minah juga selalu mengingatkan aku untuk selalu kuat saat pikiran negatif mulai menyelimuti. Sebelumnya suasana rumah ini begitu hangat, selalu ada kemesraan di setiap sudut rumah. Mas Ari selalu memanjakanku bahkan ia selalu berusaha pulang lebih awal hanya untuk berdua denganku.

Tetapi sekarang rumah ini terasa begitu dingin dan sepi. Tidak ada lagi keharmonisan menghiasi rumah ini, bahkan rasanya ini bukan lagi seperti rumah.

.

.

Pukul 22:00 WIB.

"Baru pulang, Mas? " tanyaku saat melihat suamiku menutup pintu rumah.

"Kenapa belum tidur?"

"Aku nunggu kamu, Mas. Sini ku bantu, Mas... " aku mendorong kursi rodaku mendekat ke arahnya. Baru sejengkal tanganku hendak menyentuhnya, Mas Ari menepisnya.

"Aku capek mau langsung mandi, kamu tidurlah! " ucapnya berlalu ke kamar mandi.

Sedih, sudah pasti kurasakan. Rasanya seperti tidak lagi diinginkan, Mas Ari benar-benar terasa begitu jauh dariku.

"Mas... Apa kamu mau langsung tidur? Boleh aku bicara sebentar? " tanyaku saat Mas Ari naik ke atas ranjang.

"Bicara apa? Besok pagi saja, aku lelah. "

"Kenapa kamu berubah, Mas? Kenapa sikap mu dingin seperti itu padaku? Kamu masih marah atas kejadian itu? Aku juga sedih, Mas.. Aku juga merasa kehilangan, tapi kecelakaan itu di luar kendaliku.. hiks... hiks.. " aku terisak mengajukan pertanyaan itu.

"Aku tidak marah, aku hanya kecewa karena kamu keras kepala. Kamu tahu aku sangat mendambakan seorang anak, itu anak pertama kita. Tapi karena keras kepalamu itu dia haru pergi secepat itu, " jawab Mas Ari.

"Aku sudah minta maaf, Mas. Tapi sikap mu sudah bukan lagi kamu yang dulu, kamu seolah menghindariku. Setiap hari kamu pulang malam, bahkan tadi ibuku datang mungkin kamu tidak ingat! "

"Maaf, Na.. Tadi aku benar-benar sibuk, lain kali aku tidak akan lupa. Lebih baik sekarang kamu tidur ya, " ucap Mas Ari menenangkan tapi justru aku merasa seolah dia tidak ingin bicara panjang denganku lagi.

"Apa kamu tidak ingin kita program hamil lagi, Mas? " tanyaku membuat Mas Ari kembali menatapku.

"Dikondisi kamu seperti sekarang? Mengurusku saja kamu tidak bisa, bagaimana mau program hamil? Aku juga tidak mau nanti anakku lahir jadi tak terurus! "

"Sudah malam, lebih baik tidur! " tukasnya.

Sakit sekali rasanya mendengar kalimat terakhir Mas Ari, dia benar, bahkan untuk mengurusnya saja aku masih kesusahan. Tapi apakah harus ia katakan hal itu sekarang?

Tidakkah ia berpikir jika kalimatnya itu benar-benar menyakitiku?

Mas Ari merebahkan tubuhnya dan mematikan lampu, ia pun tidur dengan memunggungiku. Selama pernikahan kami, Mas Ari selalu memelukku saat tidur. Tapi sekarang bahkan aku hanya bisa memandangi punggungnya saja, tiap kali aku menyentuhnya pasti ia akan menghindar. Benar-benar bukan lagi Mas Ari yang kukenal.

...****************...

Episode 2

Keesokan paginya saat aku membuka mata, Mas Ari tidak ada lagi di sampingku. Aku meraih ponselku untuk melihat jam, ternyata masih sangat pagi. Tapi kemana dia pergi sepagi ini?

Aku turun perlahan dari kasur dan duduk di kursi roda, sejak mengikuti terapi aku mulai terbiasa duduk di kursi roda sendiri tanpa harus dibantu lagi.

"Mas... "

"Mas... " aku memanggil suamiku sembari mencarinya di sekeliling rumah namun tidak juga kutemukan, lalu aku pun ke dapur untuk minum.

Saat di dapur aku melihat secarik kertas ada di meja makan, aku meraihnya dan rupanya ada sebuah pesan tertulis di sana.

"Hari ini aku ada tugas di luar kota sekitar seminggu. Jangan menunggu aku, aku pasti pulang setelah selesai. Aku tidak membangunkanmu karena kamu terlihat lelah.

Jaga diri baik-baik.

Ari"

Aku tersenyum kecut membacanya, biasanya Mas Ari paling malas jika ada pekerjaan yang mengharuskannya pergi keluar kota. Tapi hari ini bahkan ia tidak berpamitan akan pergi dinas ke luar kota.

"Pagi, Mbak.. Tumben ada di depan, " sapa Bi Minah yang baru saja datang.

"Pagi, Bi.. Iya nih lagi pingin menghirup udara segar, " kataku.

"Oh iya, Mbak. Saya lanjut bersih-bersih dulu ya," aku mengangguk dan Bi Minah berlalu ke dalam rumah.

Tidak bisa dibayangkan jika Bi Minah tidak ada, mungkin aku sudah merasa sangat sepi di rumah. Setelah ini aku berniat mengajak Bi Minah ke Mall sekaligus belanja kebutuhan dapur. Setelah sekian lama aku hanya diam di rumah, entah mengapa hari ini aku ingin pergi keluar. Sesekali boleh kan aku menghilangkan rasa penatku?

...----------------...

"Bi, habis ini temani saya ke Mall ya, saya mau refreshing. "

"Hari ini, Mbak? Nggak sama Pak Ari? " tanya Bi Minah.

"Iya, Bi, hari ini. Mas Ari lagi dinas ke luar kota, Bi. Kalaupun ada di rumah pasti dia akan sibuk dengan pekerjaannya, " kataku.

"Oh begitu... ya sudah saya segera beresin pekerjaan rumah dulu ya, Mbak. "

"Iya,Bi."

Setelah beberapa saat menunggu akhirnya aku dan Bi Minah berangkat menuju ke Mall. Aku memesan taxi online sejak 10 menit lalu.

Bi Minah dengan telaten membantuku turun dan duduk di kursi roda, malu sebenarnya kurasakan. Bahkan sampai dengan saat ini aku masih saja merepotkan orang di sekitarku, pantas saja suamiku selalu menghindar dariku karena aku sendiri pun sangat merepotkan. Lagi lagi Aku hanya bisa tersenyum kecut mengingat kenyataan.

"Kita kemana dulu nih, Mbak? " tanya Bi Minah.

"Ke sana ya, Bi! Aku mau beli lotion sama perlengkapan mandi, " tunjukku ke arah store yang menyediakan alat mandi.

Bi Minah mendorong kursi rodaku ke arah yang kutuju. Aku memilih barang yang akan kubeli dibantu dengan Bi Mina yang akan mengambilkan barang yang Tentu saja tidak bisa kujangkau.

"Sudah, Bi. Sepertinya itu sudah cukup, ayo kita bayar! " Kami pun menuju ke kasir untuk membayar barang belanjaan yang telah kami ambil.

Saat sedang mengantri untuk membayar belanjaan mataku tidak sengaja menangkap bayangan seseorang yang sepertinya aku kenali, dari bentuk postur tubuhnya Sepertinya itu adalah Mas Ari. Tapi bagaimana mungkin? suamiku sedang dinas ke luar kota hari ini, Jadi tidak mungkin dia ada di Mall ini.

Aku membuang jauh perasaan curigaku, Aku percaya sepenuhnya pada suamiku dan tidak mungkin Mas Ari akan membohongiku. Setelah selesai kami pun lanjut mengelilingi Mall. Namun lagi-lagi mataku melihat apa yang tadi kulihat.

Aku benar-benar tidak salah itu adalah Mas Ari, suamiku. Tapi sedang apa dia di sini? Di toko perhiasan? Bersama siapa dia?

Rasa penasaranku pun muncul dan aku harus memastikan Apakah itu benar Mas Ari atau bukan.

"Bi, kita ke store perhiasan sebentar ya aku mau lihat-lihat, Tapi masuknya dari sebelah sana saja, " kataku pada Bi Mina.

Aku masuk ke toko perhiasan Itu dari sisi lain, Bi Minah kusuruh melihat-lihat model perhiasan, sementara aku mendorong kursi rodaku sendiri mendekat ke arah Mas Ari.

Dan aku tidak salah, itu benar-benar Mas Ari. Dan dia... bersama seorang wanita? Siapa wanita itu? Dan sedang apa mereka di sini? Hal yang membuatku sangat terkejut Ketika aku melihat tangan Mas Ari merangkul pundak wanita yang bersamanya itu.

Bagai tersambar petir di siang bolong, aku menutup Mulutku tak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini.

"Mas, aku mau model yang ini. Cantik ya ditangan aku? " ucap perempuan itu.

"Ambil saja, Sayang! Apapun yang kamu mau, Mas akan belikan untukmu. "

Duar!

Lagi-lagi aku terkejut mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Mas Ari pada wanita yang sedang bersamanya itu, ditambah lagi tangannya mengelus rambut panjang wanita itu. Keduanya terlihat sangat dekat bahkan sangat mesra layaknya sepasang kekasih.

Karena tak ingin kehilangan momen, aku segera mengeluarkan ponselku dan merekam mereka berdua dari jauh. Tidak kusangka Mas Ari akan berbohong seperti ini padaku, Bahkan ia tega menghianatiku dari belakang.

Dan alasannya dinas ke luar kota hanyalah sebuah alasan agar ia bisa pergi bersama dengan selingkuhannya. Ternyata ini penyebab dari berubahnya sikapmu padaku, Mas? Tega sekali kamu membohongi aku.

"Mbak, kok di sini? Saya cari dari tadi lho," suara Bi Mina terdengar menghampiriku.

Aku segera menghapus air mataku yang jatuh dan menoleh ke arah Bik Minah.

"Iya, Bi, maaf tadi aku lihat yang di sebelah sini. "

"Apa sudah ada yang Mbak sukai? " tanya Bi Minah.

"Tidak ada, Bi. Lain waktu saja kita ke sini lagi, " ucapku.

Kami pun segera keluar dari toko itu dan lanjut membeli kebutuhan lainnya. Di sepanjang jalan aku hanya melamun mengingat kejadian tadi. Rasanya masih tak percaya itu adalah Mas Ari.

"Pak, kita ke Cafe Zamrud ya. Saya mau makan dulu, " kataku pada sang sopir taxi.

Dengan dibantu Bi Minah aku masuk ke dalam cafe, tempat di mana aku dan Mas Ari sering kali menghabiskan waktu berdua untuk dinner. Tapi kali ini aku datang bersama Bi Minah.

Kami memesan makanan dan aku sedikit tak berselera karena hal yang kulihat tadi.

Saat aku tenggelam dalam lamunan ku, Bi Minah tiba-tiba menggoyangkan sedikit tubuhku.

"Mbak, Mbak, lihat! Bukannya itu Pak Ari? Dia sama cewek, Mbak! " kata Bi Minah menunjuk ke arah depan.

Lagi-lagi hatiku terasa teriris melihatnya, suamiku datang ke tempat favorit kami dengan wanita lain. Dan sekarang aku yakin jika aku tidak salah lihat, sebab Bi Minah pun dengan yakin menyebut jika yang ada di sana adalah Mas Ari.

"Iya, Bi. Itu memang Mas Ari, suamiku."

Episode 3

Sepulang dari Mall aku dan Bi Minah menata barang belanjaan, aku hanya diam dan melamun. Mas Ari tadi tampak begitu mesra dan hangat pada wanita yang ia gandeng tadi. Aku tidak bisa jika hanya diam di rumah, aku harus mencari tahu siapa wanita itu dan apa hubungannya dengan suamiku.

"Minum teh nya, Mbak. "

Bi Minah membuatkanku teh herbal, beliau seolah tahu apa yang sedang kupikirkan saat ini. Bi Minah juga melihat jelas tadi dan aku memintanya untuk diam dan tidak mengadukan hal ini pada ibuku. Jika ibuku tahu entah apa yang akan Ibu lakukan, ibu pasti akan shock dan jatuh sakit.

"Bi, kalau boleh jujur saya sudah tidak kuat lagi. Aku kehilangan bayiku, kaki ku lumpuh dan sekarang suamiku main gila bersama wanita lain. Rasanya seperti mau mati saja, " ucapku disertai air mata yang keluar membasahi pipi.

"Yang sabar, Mbak. Jangan berpikir untuk menyerah secepat ini, Tuhan memberikan ujian seperti ini sebab Tuhan tahu Mbak Nana kuat menghadapinya," kata Bi Minah.

"Mbak harus semangat, harus rajin terapi supaya bisa jalan seperti dulu. Mbak harus bisa membalas perlakuan Pak Ari hari ini. Semangat, Mbak! "

"Terima kasih ya, Bi.. "

Aku tersenyum kecut, apa mungkin aku masih bisa berjalan? Dan membalas perlakuan Mas Ari? Bi Minah benar juga, aku tidak bisa terus diam seperti ini. Sekarang aku sudah tahu alasan mengapa suamiku berubah, dan aku tidak boleh menyerah menjadi wanita lemah.

Bahkan sampai sekarang ia sama sekali tidak menghubungiku, sekedar memberikan kabar atau basa-basi pun tidak. Mungkin saat ini ia sedang asik bersama wanita itu hingga lupa jika di rumah ada istri yang menunggu kabar darinya.

...----------------...

Author Pov.

Di lain pihak, di sebuah kamar hotel bintang lima Ari sedang bergelut dengan wanita yang selama 3 bulan ini membuatnya berpaling. Entah kenapa kesetiaan yang ia pegang runtuh begitu saja oleh rayuan Widya. Sementara Widya adalah teman satu kantornya, mereka mulai dekat sejak Ari lebih sering menghabiskan waktunya di kantor.

"Ah, Beb... kamu memang yang terbaik! Sayang sekali istri mu tidak bisa menikmati ini, " ujar Widya dengan nada sensual setelah pergumulan mereka.

"Oh iya, aku lupa mengabarinya! "

Ari bangkit dari atas tubuh Widya, ia meraih ponselnya dan mencari nama kontak 'istriku' lalu ia hubungi.

"Aku sudah bilang jangan main ponsel saat sedang bersamaku, aku tidak suka!" Widya merebut ponsel dari tangan Ari dan mencium bibir pria itu.

"Sebentar saja, Sayang. Setelah itu kita lanjutkan permainan, aku tidak ingin si lumpuh itu mengganggu kita, " ucap Ari.

Tanpa ia sadar telpon sudah tersambung dan Nazwa mendengar percakapan mereka. Tangan Nazwa gemetar dan air matanya sudah tak terbendung lagi, suaminya benar-benar telah mengkhianatinya.

"Hallo, Mas! " ucap Nazwa berkali-kali saat sang penelpon tak kunjung membuka suara.

"Hallo, Na. Kamu belum tidur? " Sahut Ari.

"Belum, Mas. Mas dinas di mana? Mas sudah makan? "

"Aku di Bandung, sudah makan tadi. Sebaiknya kamu tidur, ini sudah malam! "

"Iya, Mas.. Kamu jaga diri baik-baik ya di sana, Love you, Mas.. "

"Emph... Iyah.. Aku tutuph telponnya."

Nazwa mendengar suara Ari yang berat, tentu ia sangat mengenal suara apa itu. Suaminya itu sedang menahan gelombang nafsu di sebabkan oleh Widya yang sejak tadi tidak melepasnya.

"Kamu memang tidak pernah sabar ya, kalau dia dengar bagaimana? " tanya Ari melihat ke bawah dimana Widya sedang berjongkok.

"Memangnya wanita itu bisa apa kalau tahu? Berjalan saja dia tidak bisa, " balas Widya lalu melanjutkan aktifitasnya.

...----------------...

Tangan Nazwa gemetar dan air matanya turun begitu saja, apa yang baru saja ia dengar sangat menyakitkan. Dikondisi seperti ini ia harus mendengar fakta jika suaminya sedang bersama wanita lain. Bahkan hal itu ia lakukan secara sadar.

"Tega kamu, Mas! Setelah apa yang terjadi padaku kamu malah main gila di belakangku."

Tangan Nazwa terkepal, rasanya ia ingin marah dan mengamuk tetapi ia tak bisa berbuat apapun.

"Kupikir selama ini pria yang kunikahi sangat baik, tapi ternyata... ha konyol sekali! " Nazwa tertawa miris.

"Bodohnya aku masih berpikir dia berubah karena kecewa denganku, tapi rupanya ia punya wanita lain di luar.. Aku tidak mengira mereka sudah sejauh itu.. "

"Aku terlalu naif mengharapkan dia kembali seperti dulu. "

Nazwa merebahkan tubuhnya dan tak lama matanya terpejam, hari yang cukup melelahkan untuknya. Melihat suami jalan dengan wanita lain dan mengetahui fakta hubungan gelap itu benar-benar ada.

...****************...

'Mas, hari ini aku akan berangkat ke Bandung untuk keno terapi. Mungkin akan menginap di sana beberapa waktu, aku ingin sembuh dan menjadi istri mu yang selayaknya seperti dulu. Doakan aku ya, Mas. Semoga masih ada peluang untuk sembuh dan berjalan lagi seperti dulu, Love you Mas.. '

Pesan itu Nazwa kirimkan pada Ari, setelah semalaman ia bergulat dengan pikirannya dan ia sudah memutuskan untuk segera sembuh. Nazwa tak peduli jika itu akan membuatnya kelelahan, yang pasti ia ingin segera sembuh dan kembali berjalan normal seperti dulu. Toh selama ini sudah banyak perkembangan dalam pengobatan yang ia lakukan, hanya perlu sedikit usaha lebih keras lagi supaya ia benar-benar bisa berjalan lagi.

"Mbak, hati-hati di jalan ya.. Semoga pengobatan Mbak lancar dan segera sembuh, Bibi akan selalu berdoa untuk kesembuhan Mbak, " kata Bi Minah mengantar Nazwa ke depan rumah.

"Iya, Bi.. Doakan saya terus ya, Bi.. Saya janji akan segera kembali, Bibi jaga rumah baik-baik ya, " sahut Nazwa.

Nazwa memeluk sang Bibi sebagai salam perpisahan. Untung Bi Minah selalu menguatkannnya, jika tidak mungkin saat ini Nazwa akan terus bersedih dan hanya bisa meratapi nasib.

Nazwa masuk ke dalam mobil dan langsung berangkat, tekadnya sudah bulat. Kali ini ia harus sembuh dan memberikan pelajaran untuk suaminya.

Dulu saat mereka masih pacaran, Ari adalah pria yang baik. Tidak pernah macam-macam bahkan selalu menjaga Nazwa. Mereka pacaran selama 5 tahun, tapi saat umur pernikahan mereka masih seumur jagung justru diuji dengan kecelakaan itu. Cinta yang mereka jaga selama bertahun-tahun seakan tidak ada artinya lagi.

Ari bukan lagi orang yang sama, ia berubah dan sangat jauh berbeda.

"Nikmatilah waktu kebersamaan kalian selama aku pergi, karena setelah aku kembali nanti aku tidak akan membiarkan kalian hidup dengan tenang. Aku pasti akan kembali, " batin Nazwa.

...----------------...

Sementara di sisi lain Ari hanya membaca pesan dari Nazwa dengan malas, baginya mustahil untuk Nazwa bisa kembali berjalan normal seperti dulu.

"Siapa yang kirim pesan? " tanya Widya.

"Biasalah si Nazwa, dia pergi ke Bandung untuk berobat. "

"Justru itu hal yang bagus dong, Sayang. Kita bisa dengan leluasa menghabiskan waktu berdua. Bila perlu kita ke rumahmu saja supaya tidak perlu mahal-mahal bayar hotel, " usul Widya.

"Ide yang bagus, tapi nanti aku akan pastikan keadaan rumah dulu.. "

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!