The Childish Husband

The Childish Husband

Membelikan Mainan

"Astaga, Beben! Kamu beli apa sebanyak itu?" pekik Lestari saat melihat Ben, suaminya, pulang dengan menenteng banyak plastik mall yang entah apa isinya.

Ben melewati Lestari begitu saja seolah tanpa rasa dosa. "Ini mainan buat si Adek nanti."

Perempuan berkulit putih yang sedang mengandung itu masih mematung di depan pintu. Sudah ia duga, pasti suaminya membeli barang-barang yang tidak penting lagi, untuk ke sekian kalinya.

"Adek siapa? Kamu?" Lestari mengacak pinggang. Nada bicaranya sedikit meninggi.

Istri mana yang tidak kesal melihat suaminya yang bahkan masih pengangguran, justru berfoya-foya dengan membeli mainan-mainan seperti anak kecil.

"Ya Adek yang keluar dari perut kamu nanti," jawab Ben enteng. Ia menata beberapa gundam dan figure kesukaannya yang baru dibeli.

Lestari tak henti menggeleng-gelengkan kepala. Bayi dalam perutnya saja masih berusia 5 bulan, untuk apa suaminya itu sudah repot-repot membelikannya mainan?

Ia duduk di samping Ben. "Ngawur kamu! Jangan boros-boros lagi dong, Beben. Kita harus menyiapkan financial buat anak kita nanti," ucap Lestari dengan mengurut dada. Kesabarannya terus diuji dengan perilaku suaminya.

"Gampang itu, nanti tinggal minta uang sama Papa," sahut Ben. Ia memang anak dari seorang pemilik hotel bintang lima yang memiliki cabang di mana-mana. Selama ini, sumber uang yang didapat tidak lain adalah dari sang ayah.

"Kita kan udah membangun rumah tangga sendiri, Ben. Jangan apa-apa minta orang tua. Harusnya kamu itu bekerja, bukannya beli mainan gak jelas begini," omel Lestari. Ia mengelus-elus perutnya yang terlihat mulai membuncit.

Tanpa menggubris nasehat dari sang istri, Ben bergegas beranjak ke dalam kamar. Lestari mengekorinya walau dengan perasaan kecewa.

Ben langsung memainkan game di ponselnya beberapa detik setelah ia membaringkan badan di atas ranjang. Lestari turut membaringkan tubuh berisinya di samping Ben. Ia membuat kenyamanan dengan mengelus-elus perutnya.

Pandangannya ke arah langit-langit kamar. Mencoba sejenak melupakan sikap suaminya yang masih kekanak-kanakan.

Sebagai seorang laki-laki, usia dua puluh tahun seharusnya sudah cukup membuat dirinya bisa bertanggung jawab. Baik dengan sendiri, ataupun dengan orang yang disayangi. Tapi, tidak dengan suaminya. Ia terbiasa dimanja oleh kedua orang tuanya.

"Nanti makan malam belikan ayam geprek, ya. Aku pengin ayam geprek. Lagi malas masak juga," pinta Lestari. Hamil dengan usia kandungan yang masih muda memang banyak keinginan, apalagi perihal makanan.

"Nggak bisa. Mau main sama teman." Seperti biasa, Ben mengutamakan orang lain daripada istri dan calon anaknya.

Lestari bangkit. Ia menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. "Ayolah, Ben. Jangan teman terus yang diprioritaskan. Aku ini istri kamu loh," protesnya.

Ben tak menjawab. Lagi-lagi Lestari harus menelan kekecewaan. Jangankan dimanjakan selayaknya istri pada umumnya, untuk sekedar membeli makanan saja Lestari harus melakukannya sendiri.

Ben masih terus bermain game. Sementara itu, Lestari memijit pelipis. Rasanya lelah sekali mempunyai suami seperti Ben.

Usia Ben dan Lestari terpaut 5 tahun. Ben berusia 20 tahun, sementara Lestari 25 tahun. Mereka menikah atas dasar kecelakaan. Andai kecelakaan itu tidak terjadi, Lestari akan berjuang setengah mati untuk meraih cita-citanya sebagai dosen terlebih dahulu sebelum membina pernikahan.

***

Seorang perempuan bertubuh pendek namun agak berisi, nampak tengah mencari-cari buku di perpustakaan. Ia menempuh pendidikan S2 di sebuah kampus ternama. Di sela-sela kesibukan kuliahnya, perempuan bernama Lestari itu bekerja paruh waktu sebagai tour guide.

Kecantikan dan kecerdasan Lestari membuat ada banyak pria yang mendekati. Namun, tidak ada satupun yang ia tanggapi karena hatinya sudah berpenghuni. Lestari sudah menjalin hubungan bersama laki-laki bernama Ben selama dua tahun terakhir.

Ben masih menempuh pendidikan S1 di kampus yang sama dengan Lestari. Awal benih-benih cinta mereka juga tumbuh di sana.

Meskipun usia Lestari 5 tahun lebih tua daripada Ben, tapi sepasang kekasih itu sama-sama tidak pernah mempermasalahkan.

"Hei?" sapa Lestari saat melihat Ben juga ada di perpustakaan itu. Ia pun bergegas menghampiri sang dambaan hati. "Tumben ke perpustakaan, mau cari apa? Biar aku bantu."

"Enggak, cuma gabut," sahut Ben. Ia memang sedikit irit omong.

Lestari tak mengeluarkan suara. Kedua matanya tak berhenti menatap ketampanan sang kekasih.

"Mau ke kantin aja deh, ikut nggak?" Ben meletakkan buku yang sempat ia pegang ke rak.

"Oh, enggak deh. Aku masih harus cari buku soalnya. Ya udah kamu duluan aja." Lestari menelan ludah. Padahal ia berharap Ben akan menemaninya mencari buku. Tapi, yang terjadi justru Ben meninggalkannya. Ia lupa kalau sang kekasih memiliki sifat yang cenderung cuek dan dingin.

Suatu malam, Ben dan Lestari nampak duduk saling berhadapan di sebuah coffee shop. Di atas meja, sudah tersaji satu cangkir espresso dan satu cangkir macchiato. Juga ada beberapa pastry dan kentang yang tak terhitung di atas piring.

Lestari mengenakan baju yang lumayan ketat dan terbuka, membuat Ben tak mengedipkan mata saat melihat bagian-bagian indah pada tubuh sang kekasih.

Perempuannya memang berisi, namun pada bagian-bagian tertentu saja. Perutnya rata, pun pinggangnya ramping. Saat berpakaian ketat seperti ini, lekuk tubuhnya terlihat seperti gitar Spanyol.

"Habis ini, langsung ke hotel, ya," ajak Ben sedikit ragu.

Lestari yang tengah menyeruput secangkir macchiato pun sedikit tersedak. "Ho-hotel? Mau ngapain, Beben?"

"Cuma mau menikmati waktu berdua yang lebih intens aja." Kedua mata Ben menatap Lestari. "Kamu tau maksud aku kan?"

Lestari mulai berpikir lebih jauh. "Ah, enggak deh, Ben. Aku mau langsung pulang ke kontrakan aja."

Laki-laki mengajak ke hotel. Untuk apa lagi, kalau bukan untuk melakukan hal terlarang?

"Ayolah, kita udah dua tahun. Masa masih nggak mau," bujuk Ben.

"Aduh, aku nggak bisa si, Ben." Lestari mulai ketakutan. Ia takut kesuciannya direnggut sebelum akad nikah.

Ben terus membujuk Lestari. Perlahan ia mengelus tangan kanan kekasihnya itu. "Ayolah, Sayang."

"Ben, please. Aku nggak mau." Mata Lestari mulai berkaca-kaca.

Ini bukan pertama kalinya ia diajak Ben ke hotel. Tapi, kali ini tidak seperti sebelumnya. Ben terlihat cukup menyeramkan.

Seketika Lestari merasa bersalah karena salah memilih pakaian. Padahal niatnya hanya agar penampilannya terlihat menyenangkan Ben.

Ben membuang napas kasar. "Okey, aku ke toilet dulu," pamitnya.

Lestari meremas jari-jemarinya. Perasaannya sedikit lebih lega, ia juga memutuskan untuk pergi ke toilet saja.

Saat melihat Lestari sudah masuk ke toilet, Ben bergegas menghampiri seorang barista. Ia nampak memberikan bubuk pada barista itu.

"Campurkan bubuk ini ke dalam latte, okey?" perintah Ben pada barista itu.

Barista itu hanya mengaminkan permintaan pelanggannya. "Siap, Kak. Nanti saya antar pesanannya langsung ke meja Kakak."

"Sip," jawab Ben lalu kembali ke meja asalnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!