Ben tiba-tiba datang ke dapur dengan wajah bantal, nampak belum dibasuh air sedikit pun. Lestari hanya memandangi kedatangan sang suami.
Ben lantas mengambil mie instan dari dalam laci dapur. Membuat Lestari membelalakkan mata seketika. "Beben!" teriaknya.
Ben menoleh. "Kenapa?" tanyanya seolah tanpa dosa.
"Aku masak sebanyak ini loh, kok kamu malah mau masak mie," tegur Lestari. Ia tidak tahan melihat pemandangan ini. Jerih payahnya seketika terasa tak dihargai.
"Nggak apa-apa, Sayang. Kalau dia mau, biarin aja." Mama Rita lagi-lagi membela sang anak. Lestari hanya bisa mengelus dada. Pantas saja Ben tumbuh menjadi pemuda yang kekanak-kanakan, karena didikan Mama Rita memang seperti ini.
Lestari tidak berani berbicara lebih jauh lagi. Ia sudah pasti kalah. "Ya udah deh, hati-hati, apinya sedang aja," pesannya.
"Dibantu dong, Sayang," pinta Mama Rita. "Itu Ben nggak bisa. Dia belum pernah."
Ben memang baru bisa memasak mie instan setelah berumah tangga dengan Lestari. Sang istri sempat mengajarinya beberapa kali. Ia mewajibkan sang suami untuk bisa melakukan perkara semudah itu.
"Bisa, kok, Ma," sahut Lestari. "Udah pernah juga sebelumnya."
Tiba-tiba muncul api dari plastik bungkus mie yang dipegang Ben. Ia tak sengaja mendekatkan bungkus itu pada kompor yang menyala. Ben pun teriak. "Mama! Mama!"
"Aduh, Sayang. Itu gimana, aduh. Mana di sini nggak ada orang." Mama Rita tak bisa berbuat apa-apa, ia terbiasa meminta bantuan asisten rumah tangganya untuk menyelesaikan masalah semacam ini.
Tanpa menunggu lama, Lestari bergegas meraih lap yang dibasahi dengan air. Kemudian ia lemparkan ke atas api yang menyala. "Udah," ucapnya.
Mama Rita tak bisa berkata-kata. Ia melihat Lestari bak pahlawan. "Sayang, are you okay?"
Ia mengkhawatirkan sang menantu karena baru saja ia berlarian ke sana ke mari, sementara kondisinya kini tengah mengandung.
"I'm okay, Ma. Itu hanya masalah kecil, kok," jawab Lestari seraya kembali duduk.
Ben turut menghampiri istri cantiknya. "Nggak apa-apa kan?"
"Aman." Lestari menunjukkan jari jempolnya.
Ia harus memberikan contoh seperti ini pada Ben agar kemampuannya dalam memperjuangkan hidup bisa berkembang. Kalau perempuan mengandung seperti Lestari saja bisa menyelesaikan masalah seperti ini, seharusnya Ben juga bisa. Apalagi ia pemuda yang sehat dan kekar.
"Lebih baik dibuang saja kompornya. Kita ganti dengan kompor listrik," ucap Mama Rita tanpa pikir panjang.
Lestari hanya bisa mengembuskan napas. "Mama, please. Itu nggak perlu, kok. Kompornya masih bisa dipakai," jelasnya. Ia sangat membenci pemborosan.
Bahkan ia tahu, di luar sana masih banyak orang yang membutuhkan kompor seperti ini. Bagaimana mungkin ia bisa membuangnya begitu saja?
"Udah, dibuang aja. Ganti kompor listrik." Ben memihak sang mama. Mereka terus-terusan saling membela, Lestari kian lelah lama-lama.
Usai drama siang itu, Mama Rita pun pulang. Ia sempat menyicipi masakan Lestari sebentar. Ia memuji makanan buatan sang menantu enak. Namun, karena lauk dan sayur yang disajikan bukan menu kesukaannya, Mama Rita pun hanya memakan sedikit saja.
Sementara itu, Ben mau tidak mau harus memakan masakan sang istri karena tidak ada pilihan lagi. Ia tidak berani meneruskan aktivitas memasaknya, dan Lestari enggan membantunya.
***
Pada petang menjelang, Lestari nampak baru selesai mandi. Ia mengedarkan pandangan karena pakaian yang telah disiapkan untuk ganti banu ternyata tidak ada di tempat semula. Sontak ia bergegas menanyakannya pada sang suami.
"Beben!" panggil Lestari dengan nada tinggi. "Ben?" Ia mencari suaminya itu ke ruang sebelah.
"Hem?" tanya Ben singkat. Ia tengah asyik merakit gundam barunya. Musik jenis metal pun terdengar dari music box di ruangan itu.
"Baju aku di mana?" Lestari bertanya dengan nada kesal. Ia sudah menyiapkan baju lebih dulu agar setelah mandi tidak perlu repot-repot mencari.
"Baju apa?" Wajah Ben nampak serius, seolah tengah menyelesaikan masalah besar.
"Baju aku yang di kasur tadi. Dimana? Jawab!"
"Ada syaratnya," jawab Ben. Membuat Lestari kian mendekat ke arah suaminya.
"Syarat apa? Aneh banget. Udah cepet kasih tau di mana baju aku?" pinta Lestari. Ia sudah kedinginan karena hanya mengenakan handuk sebatas paha. Semua kimono-nya masih menumpuk, belum dicuci.
Ben yang sedari tadi hanya memandang mainan gundamnya, kini mulai melirik sang istri dengan tatapan yang mencurigakan.
"Syaratnya buka handuk!" Ben seolah sedang mengincar sesuatu dari tubuh sang istri.
"Ogah, nggak mau," jawab Lestari ketus. Bukan bermaksud ingin membangkang pada suami. Tapi, rasanya ia sudah lelah hari ini.
Apalagi, Ben hanya peduli padanya saat ada maunya saja. Selebihnya, suaminya itu pasti bersikap seolah-olah tidak peduli dengannya.
Saat Lestari memutuskan untuk kembali ke kamar, Ben bergegas mendarat di depan pintu, lalu mengunci pintu itu. "Mau kemana hayo," godanya, seperti macan yang hendak menelan mangsa.
"Beben, please. Aku capek," protes Lestari seraya meronta-ronta saat disentuh suaminya itu. Tapi, justru membuat handuk yang menutup tubuhnya terjatuh ke lantai. Ben langsung kegirangan dan mulai menjalankan aksinya.
***
"Mau makan malam apa? Ayam geprek?" tanya Ben, tak digubris oleh sang istri yang sibuk menatap layar laptop. "Sayang?" imbuhnya.
Mendengar kata panggilan romantis itu, Lestari pun mengarahkan pandangannya pada sang suami. Panggilan itu terdengar begitu asing karena Ben jarang memanggik sang istri dengan sebutan itu.
"Apa? Coba ulangi!" pinta Lestari. Ia jarang diperlakukan romantis, sehingga saat sekali saja diperlakukan dengan manis, rasanya begitu berbunga-bunga.
"Sayang, mau geprek?" Ben menurut. Ia mengulangi satu kali lagi.
Lestari menjadi senyum-senyum sendiri. "Mau, Sayang. Sekarang, ya," balasnya dengan penuh perasaan.
Sebenarnya, ia juga ingin sekali memanggil sang suami dengan panggilan sayang. Hanya saja, Ben sangat jarang melakukannya, hingga membuat Lestari memilih melakukan hal yang sama.
"Siap. Tapi ada syaratnya."
Mendengar ucapan itu, Lestari kembali curiga. Pasti Ben ada maunya. Ia pasti ingin mengulang momen-momen indah seperti sore tadi.
"Syarat apa, sih. Syarat-syarat terus. Padahal sama istri sendiri," omel Lestari. Ia kembali menggulir halaman yang ada dalam layar laptopnya.
"Besok pas pagi-pagi, lagi ya." Ben mendekat pada sang istri. "Please!" Ia memohon mohon. Seperti anak kecil yang memohon pada sang mama untuk dibelikan mainan.
Sikap Ben memang masih kekanak-kanakan. Tapi, kalau untuk perihal hasrat biologis, ia sudah jauh lebih dewasa daripada Lestari.
"Lagi apa coba?" tanya Lestari pura-pura tidak memahami. "Yang penting sekarang belikan ayam geprek dulu." Ia berusaha mengalihkan topik obrolan.
Kini ia sedang mengandung. Harus berhati-hati dalam melakukan apapun. Ia tidak mau kehilangan sang buah hati walau kehamilannya tidak ia harapkan sebelumnya.
"Tapi kamu buka baju dulu," pinta Ben semakin melunjak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments