Sang istri mengguncang tubuhnya, membuat Ben kembali membuka mata. "Apa?"
Lestari memandang tajam sorot mata suaminya. "Kamu mau sampai kapan kaya gini?"
Pertanyaan itu tak dibalas sepatah katapun oleh Ben. Laki-laki bertubuh proporsional itu hanya memandang istrinya sejenak, lalu menarik selimut.
"Beben, jawab!" Lestari kembali menggoyang-goyangkan tubuh Ben. "Kamu pilih aku atau kamu yang kerja?" imbuh perempuan itu.
Sebenarnya pertanyaan itu tak lebih dari sekadar ancaman karena ia tidak mungkin bekerja selain dari rumah.
Ia hanya ingin suaminya mulai membangun harga diri. Bukankah harga diri laki-laki adalah bekerja?
"Nggak perlu kerja. Kalau perlu uang tinggal minta papa." Ucapan yang sama, solusi yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
Ben membelakangi sang istri, matanya mulai terpejam untuk meraih mimpi. Mimpi dalam arti yang sesungguhnya.
Lestari mengembuskan napas panjang. Meskipun keluarga suaminya adalah orang kayavraya, tapi kalau suaminya sendiri pengangguran, tidak ada yang bisa dibanggakan, sungguh. Justru memalukan baginya.
"Aku nggak mau terus-terusan kaya gitu." Ia mulai mengikat rambut seperlunya. "Pokoknya aku mau kamu kerja. Titik." Ia pun beranjak menuju kamar mandi.
***
Mentari mulai meninggi. Rumah sudah bersih dan rapi, semua dikerjakan oleh Lestari seorang diri. Kini ia hendak belanja, masih menunggu tukang sayur yang biasa melewati depan rumahnya.
Sembari menunggu, ia menyiram tanaman menggunakan selang. Sesekali ada tetangga yang menyapa. Meskipun rumahnya tergolong mewah, namun ia tinggal di kompleks yang sederhana. Warganya banyak yang ramah, pun banyak yang sebaliknya.
Tak lama kemudian, tukang sayur yang dinanti akhirnya datang. Ibu-ibu lantas bergegas menyerbu dagangan itu, tak terkecuali Lestari.
Seperti ibu-ibu pada umumnya, mereka pun saling membuka obrolan sembari memilih-milih sayuran dan semacamnya. Sementara itu, Lestari hanya mendengar obrolan mereka yang sebagian besar adalah tentang kesalahan orang lain.
Ia tak berani ikut bicara karena hanya dirinyalah yang paling muda. Pun masih tergolong baru di kompleks ini. Lagipula, dosanya sudah banyak. Ia tak mau menambahnya lebih banyak lagi.
Mata Lestari tertuju pada jagung manis. Kepalanya langsung memikirkan bakwan jagung, pasti sangat nikmat dimakan selagi hangat. Ia pun mengambil dua jagung manis berukuran cukup besar.
Selain itu, ia juga memilih kangkung sebagai menu sayuran hari ini. Tak lupa membeli tahu dan tempe kesukaannya. Entah akan ia jadikan apa nanti.
"Saya duluan ya, Ibu-ibu," pamitnya pada empat ibu-ibu yang masih betah mengobrol. Sepertinya mereka lebih fokus mengobrol daripada berbelanja.
"Iya, Tari," jawab mereka kompak.
Sepersekian detik setelah Lestari pergi dari tempat itu, rupanya mereka mulai membicarakan rumah tangga Ben dan Lestari.
"Ben tuh kerjanya apa ya, Bu? Kok di rumah terus kayaknya?" bisik salah satu dari mereka.
"Ehh, iya lho, Bu. Dia pasti pengangguran."
"Waduh, percuma bapaknya kaya raya tapi anaknya malas-malasan ya, Bu." Mereka saling berbisik-bisik, tapi masih sampai ke telinga Lestari.
Lestari hanya bisa menelan ludah. Meski semua yang dikatakan oleh ibu-ibu itu benar adanya, tapi dada perempuan itu terasa sesak seketika. Tak sanggup mendengar lebih lama lagi, langkah kakinya pun ia percepat untuk masuk ke dalam rumah.
Semua belanjaan yang tadi telah ia beli, ditelakkan di dapur. Ia akan ke kamar terlebih dahulu untuk memastikan apakah Ben sudah bangun atau masih tidur. Sekarang sudah pukul 11.15, seharusnya ia sudah bangun.
"Beben?" panggil Lestari saat menuju ke dalam kamar. Ia melihat sang suami yang ternyata masih terlelap dalam tidurnya. "Bangun, dong!" Ia mencoba membangunkan Ben, tapi tiada guna.
Saat kembali menuju dapur, bel rumahnya tiba-tiba berdering. Pertanda ada tamu yang sedang menunggu di depan. Ia meletakkan kembali pisau yang sempat ia raih.
Sebelum membuka pintu, perempuan itu mengintip tamunya dari balik jendela. Rupanya tamu itu adalah mama mertuanya. Rita, namanya. "Aduh, Mama."
Bergegas ia membuka pintu. "Mama!" sapanya saraya mendekatkan tubuh untuk sekedar merangkul. "Apa kabar, Ma?" tanya Lestari berbasa-basi.
"Mama sehat, Papa di kantor juga sehat. Kamu gimana, Sayang?" Mama Rita membalas rangkulan Lestari, kemudian mengelus pelan perut sang menantu. "Adek bayi baik-baik aja, kan?"
"Iya, Ma. Baik semua kok. Sehat." Lestari mengulas senyum lebar sedari tadi.
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Lestari mempersilakan mertuanya duduk di ruang tamu. "Mama mau minum apa? Jus? Atau teh aja?"
"Jus alpukat, boleh. Mama suka," jawab Mama Rita tanpa menimbang-nimbang. "Oh ya, Beben di mana? Masih tidur?" Ia nampak mengedarkan pandangan, mencari-cari sosok sang anak namun tak ia temukan.
"Iya, Ma. Masih tidur." Lestari melemahkan pundak. "Entah sampai kapan dia kaya begitu, Ma," lirihnya nyaris tak bersuara.
"Kenapa, Sayang?" tanya Mama Rita yang tak mendengar ucapan sang menantu.
"Nggak apa-apa kok, Ma. Tari ke dapur dulu, ya." Belum waktunya untuk berbicara dari ke hati. Mertuanya baru saja sampai, ia harus menyambut dengan bahagia. Tidak boleh langsung mencurahkan isi hati yang berantakan itu.
Satu buah alpukat mentega, dimasukkan Lestari ke dalam blender. Tak lupa memasukkan gula, namun tak banyak, dan air secukupnya.
Tak lama kemudian, jus alpukat yang sudah jadi pun ia bawa menuju ruang tamu untuk Mama Rita. Namun, saat tiba di sana, tidak ada mertuanya itu. Ia meletakkan gelas di atas meja, kemudian mencari sang mertua ke dalam kamar.
Tebakannya benar, ia ada di dalam kamar, nampak tengah menepuk-nepuk pelan pundak sang anak. Entah tujuannya untuk membangunkan, atau justru untuk semakin membuat Ben terlelap dalam tidur.
"Ma?" sapa Lestari dengan suara pelan. "Jusnya Tari taruh meja, ya."
"Iya, Sayang. Mama mau sama Beben dulu, ya."
Lestari mengangguk. "Kalau gitu Tari masak dulu ya, Ma."
Di dapur, Lestari mulai memipil jagung menggunakan pisau. Seperti yang direncanakan, ia akan membuat bakwan jagung.
Bumbu-bumbu yang dibutuhkan, ia ulek. Kemudian dicampur dengan tepung dan jagung yang sudah disiapkan. Setelah kekentalannya sesuai, Lestari langsung menggoreng di atas wajan.
Sembari menunggu bakwan matang dan berwarna kecoklatan, ia memotong kangkung untuk nanti ditumis.
Setelah kurang lebih satu jam memasak menu makan siang, akhirnya semuanya pun matang. Lestari bergegas menyiapkan beragam masakan itu di atas meja makan.
"Wah, pintar sekali menantu Mama. Sepertinya enak semua." Mama Rita tiba-tiba datang ke meja makan.
"Tapi ini hanya masakan sederhana kok, Ma." Lestari mengulas senyum. "Beben masih belum bangun ya, Ma?"
"Iya, Sayang. Udah nggak apa-apa biarin aja," jawab Mama Rita enteng.
"Tapi, Ma. Apa nggak sebaiknya Beben mulai dilatih kerja?" Perlahan Lestari mencurahkan apa-apa yang menyesakkan dadanya.
"Belum waktunya, Tari. Dia itu masih suka main-main. Udah, biarin aja. Kalau kamu butuh uang, bilang aja sama Mama, oke?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments