"Astaga, Beben! Kamu beli apa sebanyak itu?" pekik Lestari saat melihat Ben, suaminya, pulang dengan menenteng banyak plastik mall yang entah apa isinya.
Ben melewati Lestari begitu saja seolah tanpa rasa dosa. "Ini mainan buat si Adek nanti."
Perempuan berkulit putih yang sedang mengandung itu masih mematung di depan pintu. Sudah ia duga, pasti suaminya membeli barang-barang yang tidak penting lagi, untuk ke sekian kalinya.
"Adek siapa? Kamu?" Lestari mengacak pinggang. Nada bicaranya sedikit meninggi.
Istri mana yang tidak kesal melihat suaminya yang bahkan masih pengangguran, justru berfoya-foya dengan membeli mainan-mainan seperti anak kecil.
"Ya Adek yang keluar dari perut kamu nanti," jawab Ben enteng. Ia menata beberapa gundam dan figure kesukaannya yang baru dibeli.
Lestari tak henti menggeleng-gelengkan kepala. Bayi dalam perutnya saja masih berusia 5 bulan, untuk apa suaminya itu sudah repot-repot membelikannya mainan?
Ia duduk di samping Ben. "Ngawur kamu! Jangan boros-boros lagi dong, Beben. Kita harus menyiapkan financial buat anak kita nanti," ucap Lestari dengan mengurut dada. Kesabarannya terus diuji dengan perilaku suaminya.
"Gampang itu, nanti tinggal minta uang sama Papa," sahut Ben. Ia memang anak dari seorang pemilik hotel bintang lima yang memiliki cabang di mana-mana. Selama ini, sumber uang yang didapat tidak lain adalah dari sang ayah.
"Kita kan udah membangun rumah tangga sendiri, Ben. Jangan apa-apa minta orang tua. Harusnya kamu itu bekerja, bukannya beli mainan gak jelas begini," omel Lestari. Ia mengelus-elus perutnya yang terlihat mulai membuncit.
Tanpa menggubris nasehat dari sang istri, Ben bergegas beranjak ke dalam kamar. Lestari mengekorinya walau dengan perasaan kecewa.
Ben langsung memainkan game di ponselnya beberapa detik setelah ia membaringkan badan di atas ranjang. Lestari turut membaringkan tubuh berisinya di samping Ben. Ia membuat kenyamanan dengan mengelus-elus perutnya.
Pandangannya ke arah langit-langit kamar. Mencoba sejenak melupakan sikap suaminya yang masih kekanak-kanakan.
Sebagai seorang laki-laki, usia dua puluh tahun seharusnya sudah cukup membuat dirinya bisa bertanggung jawab. Baik dengan sendiri, ataupun dengan orang yang disayangi. Tapi, tidak dengan suaminya. Ia terbiasa dimanja oleh kedua orang tuanya.
"Nanti makan malam belikan ayam geprek, ya. Aku pengin ayam geprek. Lagi malas masak juga," pinta Lestari. Hamil dengan usia kandungan yang masih muda memang banyak keinginan, apalagi perihal makanan.
"Nggak bisa. Mau main sama teman." Seperti biasa, Ben mengutamakan orang lain daripada istri dan calon anaknya.
Lestari bangkit. Ia menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. "Ayolah, Ben. Jangan teman terus yang diprioritaskan. Aku ini istri kamu loh," protesnya.
Ben tak menjawab. Lagi-lagi Lestari harus menelan kekecewaan. Jangankan dimanjakan selayaknya istri pada umumnya, untuk sekedar membeli makanan saja Lestari harus melakukannya sendiri.
Ben masih terus bermain game. Sementara itu, Lestari memijit pelipis. Rasanya lelah sekali mempunyai suami seperti Ben.
Usia Ben dan Lestari terpaut 5 tahun. Ben berusia 20 tahun, sementara Lestari 25 tahun. Mereka menikah atas dasar kecelakaan. Andai kecelakaan itu tidak terjadi, Lestari akan berjuang setengah mati untuk meraih cita-citanya sebagai dosen terlebih dahulu sebelum membina pernikahan.
***
Seorang perempuan bertubuh pendek namun agak berisi, nampak tengah mencari-cari buku di perpustakaan. Ia menempuh pendidikan S2 di sebuah kampus ternama. Di sela-sela kesibukan kuliahnya, perempuan bernama Lestari itu bekerja paruh waktu sebagai tour guide.
Kecantikan dan kecerdasan Lestari membuat ada banyak pria yang mendekati. Namun, tidak ada satupun yang ia tanggapi karena hatinya sudah berpenghuni. Lestari sudah menjalin hubungan bersama laki-laki bernama Ben selama dua tahun terakhir.
Ben masih menempuh pendidikan S1 di kampus yang sama dengan Lestari. Awal benih-benih cinta mereka juga tumbuh di sana.
Meskipun usia Lestari 5 tahun lebih tua daripada Ben, tapi sepasang kekasih itu sama-sama tidak pernah mempermasalahkan.
"Hei?" sapa Lestari saat melihat Ben juga ada di perpustakaan itu. Ia pun bergegas menghampiri sang dambaan hati. "Tumben ke perpustakaan, mau cari apa? Biar aku bantu."
"Enggak, cuma gabut," sahut Ben. Ia memang sedikit irit omong.
Lestari tak mengeluarkan suara. Kedua matanya tak berhenti menatap ketampanan sang kekasih.
"Mau ke kantin aja deh, ikut nggak?" Ben meletakkan buku yang sempat ia pegang ke rak.
"Oh, enggak deh. Aku masih harus cari buku soalnya. Ya udah kamu duluan aja." Lestari menelan ludah. Padahal ia berharap Ben akan menemaninya mencari buku. Tapi, yang terjadi justru Ben meninggalkannya. Ia lupa kalau sang kekasih memiliki sifat yang cenderung cuek dan dingin.
Suatu malam, Ben dan Lestari nampak duduk saling berhadapan di sebuah coffee shop. Di atas meja, sudah tersaji satu cangkir espresso dan satu cangkir macchiato. Juga ada beberapa pastry dan kentang yang tak terhitung di atas piring.
Lestari mengenakan baju yang lumayan ketat dan terbuka, membuat Ben tak mengedipkan mata saat melihat bagian-bagian indah pada tubuh sang kekasih.
Perempuannya memang berisi, namun pada bagian-bagian tertentu saja. Perutnya rata, pun pinggangnya ramping. Saat berpakaian ketat seperti ini, lekuk tubuhnya terlihat seperti gitar Spanyol.
"Habis ini, langsung ke hotel, ya," ajak Ben sedikit ragu.
Lestari yang tengah menyeruput secangkir macchiato pun sedikit tersedak. "Ho-hotel? Mau ngapain, Beben?"
"Cuma mau menikmati waktu berdua yang lebih intens aja." Kedua mata Ben menatap Lestari. "Kamu tau maksud aku kan?"
Lestari mulai berpikir lebih jauh. "Ah, enggak deh, Ben. Aku mau langsung pulang ke kontrakan aja."
Laki-laki mengajak ke hotel. Untuk apa lagi, kalau bukan untuk melakukan hal terlarang?
"Ayolah, kita udah dua tahun. Masa masih nggak mau," bujuk Ben.
"Aduh, aku nggak bisa si, Ben." Lestari mulai ketakutan. Ia takut kesuciannya direnggut sebelum akad nikah.
Ben terus membujuk Lestari. Perlahan ia mengelus tangan kanan kekasihnya itu. "Ayolah, Sayang."
"Ben, please. Aku nggak mau." Mata Lestari mulai berkaca-kaca.
Ini bukan pertama kalinya ia diajak Ben ke hotel. Tapi, kali ini tidak seperti sebelumnya. Ben terlihat cukup menyeramkan.
Seketika Lestari merasa bersalah karena salah memilih pakaian. Padahal niatnya hanya agar penampilannya terlihat menyenangkan Ben.
Ben membuang napas kasar. "Okey, aku ke toilet dulu," pamitnya.
Lestari meremas jari-jemarinya. Perasaannya sedikit lebih lega, ia juga memutuskan untuk pergi ke toilet saja.
Saat melihat Lestari sudah masuk ke toilet, Ben bergegas menghampiri seorang barista. Ia nampak memberikan bubuk pada barista itu.
"Campurkan bubuk ini ke dalam latte, okey?" perintah Ben pada barista itu.
Barista itu hanya mengaminkan permintaan pelanggannya. "Siap, Kak. Nanti saya antar pesanannya langsung ke meja Kakak."
"Sip," jawab Ben lalu kembali ke meja asalnya.
Tak berselang lama, Lestari kembali dari toilet. Ben pura-pura bermain ponsel untuk menutupi rasa cemasnya. Sebenarnya ia khawatir Lestari akan menyadari aksi buruknya. Terlebih, Lestari adalah perempuan yang cerdik.
"Maaf Ben, jadi nunggu lama," ucap Lestari seraya duduk di hadapan Ben.
"Santai aja," balas Ben. "Oh ya, aku tadi pesan latte buat kamu."
Sementara itu, macchiato milik Lestari sudah diteguk habis oleh Ben saat kekasihnya itu belum kembali dari toilet. Itu ia lakukan agar Lestari mau meminum latte yang mendadak dipesannya.
Tak lama kemudian, salah satu karyawan dari coffee shop itu datang dengan membawa kopi latte. "Silakan, Kak," ucapnya santun.
Lestari mengangguk satu kali. "Terima kasih," sahutnya.
"Ayo diminum, Sayang," pinta Ben. Ia sudah tidak sabar ingin melihat pengaruh dari obat bubuk yang telah dicampurkan ke dalam kopi latte.
Lestari sedikit curiga. Tidak biasanya Ben memanggilnya dengan sebutan romantis. Tapi, ia sama sekali tidak curiga ada obat mencurigakan di dalam kopi latte itu.
"Iya deh." Ia menyeruput kopi latte itu tanpa ragu.
Ben meminta Lestari untuk meminumnya lebih banyak lagi. Perempuan itu pun mengiyakan begitu saja. Lagipula, tidak terjadi apa-apa pada dirinya.
Setelah cukup banyak meminum kopi latte itu, Ben yakin obatnya sudah masuk ke dalam tubuh sang kekasih, walaupun efeknya belum terlihat. Ia pun mengajak Lestari untuk pergi dari sana.
Tiba di mobil, kepala Lestari mulai terasa pusing.
"Kenapa?" tanya Ben pura-pura tidak tahu. Padahal jelas, itu adalah pengaruh dari obat bubuk yang dibubuhkan pada minuman yang telah diteguk Lestari.
Lestari terus memijit pelipisnya. Semakin lama, semakin pusing sekali rasanya. Ia hanya bisa merintih. Lalu, tak lama setelahnya, tubuhnya pun ambruk. Ben menangkap tubuh sang kekasih sekenanya. Lalu ia benarkan posisinya.
Rencananya sudah berjalan sesuai harapan. Ben pun tersenyum miring. Setelah ini, ia akan membawa Lestari menuju hotel terdekat.
Tidak hanya menyebabkan kesadaran Lestari hilang, tapi obat itu juga dapat menaikkan gairah Lestari saat sudah sadar nantinya.
Sebenarnya Ben tidak mau melakukan aksi jahat itu, ia hanya terpaksa karena hasratnya terlanjur meninggi. Sedangkan Lestari sudah menolaknya berkali-kali.
Saat di hotel, Ben pun mulai meluncurkan aksinya. Dan semua berjalan sebagaimana mestinya. Kesucian Lestari yang ia jaga selama ini hilang seketika, direnggut satu malam oleh kekasihnya.
Dua bulan kemudian, Lestari mengalami gejala kehamilan. Apa yang ia takutkan semenjak melakukan hal terlarang dengan Ben, akhirnya kejadian.
Ia menangis siang malam. Tak henti-hentinya meminta maaf kepada orang tua. Di sisi lain, Ben siap bertanggung jawab. Keluarganya pun tidak kaget mendengarnya.
Akhirnya, mereka pun menikah. Walaupun Ben dan Lestari sama-sama belum siap. Tapi, hanya itu jalan satu-satunya yang bisa dilakukan.
***
Lamunan panjang tentang masa lalu Lestari buyar seketika saat Ben meminta diambilkan handuk dengan volume suara yang tinggi.
"Ambilkan handuk!" teriak Ben lagi.
Lestari berdiri seraya memegangi pinggang belakang. "Iya, sebentar."
Ia pun memberikan handuk pada Ben yang sudah ada di kamar mandi.
"Jangan lupa nanti handuknya ditaruh di tempat semula, jangan diletakkan sembarangan!" pesan Lestari, karena biasanya Ben selalu meletakkan handuk basah di sembarang tempat. Terkadang masalah sekecil itu membuat Lestari merasa lelah sendiri.
"Gampang," sahut Ben ringan, seperti biasanya.
Lestari duduk di ruang televisi. Ia membuka laptop warna hitam, hendak mencari-cari pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Rasanya tidak enak jika terus-terusan meminta uang pada mertuanya. Walau tidak banyak, ia ingin bisa menghasilkan uang sendiri. Setidaknya untuk dirinya sendiri.
Beberapa lama kemudian, Ben sudah terlihat rapi dengan celana pendek dan kaos branded warna hitam. Juga jam tangan yang menempel di tangan kirinya.
Pandangan Lestari lekas menuju ke arah suaminya. "Kamu yakin mau main sore-sore begini?" tanya Lestari dengan wajah mendung.
"Iyalah. Udah janjian." Ben nampak meraih kunci mobil. Lestari berdiri, hendak mencegahnya pergi. Tapi, apalah daya, Ben tidak pernah mendengarkan ucapannya.
Saat-saat seperti ini, Lestari merasa ragu dengan pernikahan ini. Pun ragu dengan pengakuan cinta dari Ben selama ini.
Setelah suara mobil Ben terdengar kian menjauh, Lestari menuju ruangan di mana Ben menyimpan semua mainannya. Ia memandangi satu per satu. Sesekali ada yang ia ambil, laluia letakkan kembali.
'Apa selama ini aku benar-benar menikahi anak kecil?' batinnya dalam hati.
Ia tahu, Ben belum siap dengan pernikahan ini. Apalagi dengan kehadiran sang buah hati nanti?
Lestari terus memandangi sekeliling. Rumah mewah namun tak begitu besar ini adalah pemberian dari orang tua Ben. Ia sedang berpikir keras, sampai kapan sang suami akan hidup di bawah ketiak orang tuanya seperti ini?
Pukul 18.30, Ben belum pulang, sementara Lestari sudah tak bisa menahan lapar. Ia pun memasak nasi goreng dengan ogah-ogahan. Rasanya ingin sekali seperti perempuan-perempuan hamil pada umumnya, yang hanya dengan meminta satu kali, langsung dituruti oleh suaminya.
Lestari mulai mengiris bumbu untuk nasi goreng. Tidak lupa mengiris dua sosis secara serong. Pun menyiapkan yang lain-lain, kemudian dimasak menjadi satu piring nasi goreng.
Di tempat lain, Ben sedang asyik bermain game dengan ketiga temannya. Ketiga temannya itu seumuran dengan Ben, dan mereka belum menikah.
Keempat pemuda itu membiarkan makanan dan menuman yang tersaji di hadapannya. Mereka lebih memilih bermain game kesukaan, tanpa memedulikan apapun lagi.
Pukul 22.00, Lestari mulai menghubungi Ben. Selain karena khawatir, sudah menjadi kewajiban Ben untuk pulang saat mulai larut seperti ini. Ia adalah seorang suami, bukan bujangan lagi. Tidak seharusnya sebebas itu.
Lestari menelpon Ben satu kali, dua kali, hingga tiga kali, teleponnya ditolak. Ia menitikkan air mata, ingin dibelai manja hingga tertidur pulas. Tapi, lagi-lagi ia tidak bisa mendapatkan keinginannya.
Perempuan itu pun merebahkan tubuh di kasur bermotif bunga. Sesekali masih berharap Ben akan tiba di kamar ini beberapa detik kemudian.
Tapi, hingga detik ke 321, Ben tak kunjung pulang. Sementara Lestari sudah berada di alam mimpi.
***
Pagi-pagi sekali, Lestari bangun dari tidurnya. Ada Ben di ranjang yang sama. Tapi, suaminya itu belum tidur, melainkan masih memainkan game online di ponselnya.
"Kamu belum tidur?" tanya Lestari seraya mengucek kedua mata.
"Nanti dulu," jawab Ben. Pandangannya masih fokus pada layar ponsel.
Lestari bangun, mulai menurunkan selimut. "Nanti kapan? Ini udah pagi. Jangan dibiasakan kaya gitu." Seperti biasa, Lestari mulai menasehati apa yang sekiranya harus dilakukan Ben. Tapi, seperti biasa juga, Ben mengabaikannya.
"Nggak baik tidur di pagi hari. Jadi penyakit nanti. Harusnya kamu mulai ikut papamu kerja," imbuh perempuan itu.
"Gampang itu," sahut Ben. Ia meletakkan ponsel di sampingnya, kemudian mulai memejamkan mata.
Sang istri mengguncang tubuhnya, membuat Ben kembali membuka mata. "Apa?"
Lestari memandang tajam sorot mata suaminya. "Kamu mau sampai kapan kaya gini?"
Pertanyaan itu tak dibalas sepatah katapun oleh Ben. Laki-laki bertubuh proporsional itu hanya memandang istrinya sejenak, lalu menarik selimut.
"Beben, jawab!" Lestari kembali menggoyang-goyangkan tubuh Ben. "Kamu pilih aku atau kamu yang kerja?" imbuh perempuan itu.
Sebenarnya pertanyaan itu tak lebih dari sekadar ancaman karena ia tidak mungkin bekerja selain dari rumah.
Ia hanya ingin suaminya mulai membangun harga diri. Bukankah harga diri laki-laki adalah bekerja?
"Nggak perlu kerja. Kalau perlu uang tinggal minta papa." Ucapan yang sama, solusi yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
Ben membelakangi sang istri, matanya mulai terpejam untuk meraih mimpi. Mimpi dalam arti yang sesungguhnya.
Lestari mengembuskan napas panjang. Meskipun keluarga suaminya adalah orang kayavraya, tapi kalau suaminya sendiri pengangguran, tidak ada yang bisa dibanggakan, sungguh. Justru memalukan baginya.
"Aku nggak mau terus-terusan kaya gitu." Ia mulai mengikat rambut seperlunya. "Pokoknya aku mau kamu kerja. Titik." Ia pun beranjak menuju kamar mandi.
***
Mentari mulai meninggi. Rumah sudah bersih dan rapi, semua dikerjakan oleh Lestari seorang diri. Kini ia hendak belanja, masih menunggu tukang sayur yang biasa melewati depan rumahnya.
Sembari menunggu, ia menyiram tanaman menggunakan selang. Sesekali ada tetangga yang menyapa. Meskipun rumahnya tergolong mewah, namun ia tinggal di kompleks yang sederhana. Warganya banyak yang ramah, pun banyak yang sebaliknya.
Tak lama kemudian, tukang sayur yang dinanti akhirnya datang. Ibu-ibu lantas bergegas menyerbu dagangan itu, tak terkecuali Lestari.
Seperti ibu-ibu pada umumnya, mereka pun saling membuka obrolan sembari memilih-milih sayuran dan semacamnya. Sementara itu, Lestari hanya mendengar obrolan mereka yang sebagian besar adalah tentang kesalahan orang lain.
Ia tak berani ikut bicara karena hanya dirinyalah yang paling muda. Pun masih tergolong baru di kompleks ini. Lagipula, dosanya sudah banyak. Ia tak mau menambahnya lebih banyak lagi.
Mata Lestari tertuju pada jagung manis. Kepalanya langsung memikirkan bakwan jagung, pasti sangat nikmat dimakan selagi hangat. Ia pun mengambil dua jagung manis berukuran cukup besar.
Selain itu, ia juga memilih kangkung sebagai menu sayuran hari ini. Tak lupa membeli tahu dan tempe kesukaannya. Entah akan ia jadikan apa nanti.
"Saya duluan ya, Ibu-ibu," pamitnya pada empat ibu-ibu yang masih betah mengobrol. Sepertinya mereka lebih fokus mengobrol daripada berbelanja.
"Iya, Tari," jawab mereka kompak.
Sepersekian detik setelah Lestari pergi dari tempat itu, rupanya mereka mulai membicarakan rumah tangga Ben dan Lestari.
"Ben tuh kerjanya apa ya, Bu? Kok di rumah terus kayaknya?" bisik salah satu dari mereka.
"Ehh, iya lho, Bu. Dia pasti pengangguran."
"Waduh, percuma bapaknya kaya raya tapi anaknya malas-malasan ya, Bu." Mereka saling berbisik-bisik, tapi masih sampai ke telinga Lestari.
Lestari hanya bisa menelan ludah. Meski semua yang dikatakan oleh ibu-ibu itu benar adanya, tapi dada perempuan itu terasa sesak seketika. Tak sanggup mendengar lebih lama lagi, langkah kakinya pun ia percepat untuk masuk ke dalam rumah.
Semua belanjaan yang tadi telah ia beli, ditelakkan di dapur. Ia akan ke kamar terlebih dahulu untuk memastikan apakah Ben sudah bangun atau masih tidur. Sekarang sudah pukul 11.15, seharusnya ia sudah bangun.
"Beben?" panggil Lestari saat menuju ke dalam kamar. Ia melihat sang suami yang ternyata masih terlelap dalam tidurnya. "Bangun, dong!" Ia mencoba membangunkan Ben, tapi tiada guna.
Saat kembali menuju dapur, bel rumahnya tiba-tiba berdering. Pertanda ada tamu yang sedang menunggu di depan. Ia meletakkan kembali pisau yang sempat ia raih.
Sebelum membuka pintu, perempuan itu mengintip tamunya dari balik jendela. Rupanya tamu itu adalah mama mertuanya. Rita, namanya. "Aduh, Mama."
Bergegas ia membuka pintu. "Mama!" sapanya saraya mendekatkan tubuh untuk sekedar merangkul. "Apa kabar, Ma?" tanya Lestari berbasa-basi.
"Mama sehat, Papa di kantor juga sehat. Kamu gimana, Sayang?" Mama Rita membalas rangkulan Lestari, kemudian mengelus pelan perut sang menantu. "Adek bayi baik-baik aja, kan?"
"Iya, Ma. Baik semua kok. Sehat." Lestari mengulas senyum lebar sedari tadi.
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Lestari mempersilakan mertuanya duduk di ruang tamu. "Mama mau minum apa? Jus? Atau teh aja?"
"Jus alpukat, boleh. Mama suka," jawab Mama Rita tanpa menimbang-nimbang. "Oh ya, Beben di mana? Masih tidur?" Ia nampak mengedarkan pandangan, mencari-cari sosok sang anak namun tak ia temukan.
"Iya, Ma. Masih tidur." Lestari melemahkan pundak. "Entah sampai kapan dia kaya begitu, Ma," lirihnya nyaris tak bersuara.
"Kenapa, Sayang?" tanya Mama Rita yang tak mendengar ucapan sang menantu.
"Nggak apa-apa kok, Ma. Tari ke dapur dulu, ya." Belum waktunya untuk berbicara dari ke hati. Mertuanya baru saja sampai, ia harus menyambut dengan bahagia. Tidak boleh langsung mencurahkan isi hati yang berantakan itu.
Satu buah alpukat mentega, dimasukkan Lestari ke dalam blender. Tak lupa memasukkan gula, namun tak banyak, dan air secukupnya.
Tak lama kemudian, jus alpukat yang sudah jadi pun ia bawa menuju ruang tamu untuk Mama Rita. Namun, saat tiba di sana, tidak ada mertuanya itu. Ia meletakkan gelas di atas meja, kemudian mencari sang mertua ke dalam kamar.
Tebakannya benar, ia ada di dalam kamar, nampak tengah menepuk-nepuk pelan pundak sang anak. Entah tujuannya untuk membangunkan, atau justru untuk semakin membuat Ben terlelap dalam tidur.
"Ma?" sapa Lestari dengan suara pelan. "Jusnya Tari taruh meja, ya."
"Iya, Sayang. Mama mau sama Beben dulu, ya."
Lestari mengangguk. "Kalau gitu Tari masak dulu ya, Ma."
Di dapur, Lestari mulai memipil jagung menggunakan pisau. Seperti yang direncanakan, ia akan membuat bakwan jagung.
Bumbu-bumbu yang dibutuhkan, ia ulek. Kemudian dicampur dengan tepung dan jagung yang sudah disiapkan. Setelah kekentalannya sesuai, Lestari langsung menggoreng di atas wajan.
Sembari menunggu bakwan matang dan berwarna kecoklatan, ia memotong kangkung untuk nanti ditumis.
Setelah kurang lebih satu jam memasak menu makan siang, akhirnya semuanya pun matang. Lestari bergegas menyiapkan beragam masakan itu di atas meja makan.
"Wah, pintar sekali menantu Mama. Sepertinya enak semua." Mama Rita tiba-tiba datang ke meja makan.
"Tapi ini hanya masakan sederhana kok, Ma." Lestari mengulas senyum. "Beben masih belum bangun ya, Ma?"
"Iya, Sayang. Udah nggak apa-apa biarin aja," jawab Mama Rita enteng.
"Tapi, Ma. Apa nggak sebaiknya Beben mulai dilatih kerja?" Perlahan Lestari mencurahkan apa-apa yang menyesakkan dadanya.
"Belum waktunya, Tari. Dia itu masih suka main-main. Udah, biarin aja. Kalau kamu butuh uang, bilang aja sama Mama, oke?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!