Tak berselang lama, Lestari kembali dari toilet. Ben pura-pura bermain ponsel untuk menutupi rasa cemasnya. Sebenarnya ia khawatir Lestari akan menyadari aksi buruknya. Terlebih, Lestari adalah perempuan yang cerdik.
"Maaf Ben, jadi nunggu lama," ucap Lestari seraya duduk di hadapan Ben.
"Santai aja," balas Ben. "Oh ya, aku tadi pesan latte buat kamu."
Sementara itu, macchiato milik Lestari sudah diteguk habis oleh Ben saat kekasihnya itu belum kembali dari toilet. Itu ia lakukan agar Lestari mau meminum latte yang mendadak dipesannya.
Tak lama kemudian, salah satu karyawan dari coffee shop itu datang dengan membawa kopi latte. "Silakan, Kak," ucapnya santun.
Lestari mengangguk satu kali. "Terima kasih," sahutnya.
"Ayo diminum, Sayang," pinta Ben. Ia sudah tidak sabar ingin melihat pengaruh dari obat bubuk yang telah dicampurkan ke dalam kopi latte.
Lestari sedikit curiga. Tidak biasanya Ben memanggilnya dengan sebutan romantis. Tapi, ia sama sekali tidak curiga ada obat mencurigakan di dalam kopi latte itu.
"Iya deh." Ia menyeruput kopi latte itu tanpa ragu.
Ben meminta Lestari untuk meminumnya lebih banyak lagi. Perempuan itu pun mengiyakan begitu saja. Lagipula, tidak terjadi apa-apa pada dirinya.
Setelah cukup banyak meminum kopi latte itu, Ben yakin obatnya sudah masuk ke dalam tubuh sang kekasih, walaupun efeknya belum terlihat. Ia pun mengajak Lestari untuk pergi dari sana.
Tiba di mobil, kepala Lestari mulai terasa pusing.
"Kenapa?" tanya Ben pura-pura tidak tahu. Padahal jelas, itu adalah pengaruh dari obat bubuk yang dibubuhkan pada minuman yang telah diteguk Lestari.
Lestari terus memijit pelipisnya. Semakin lama, semakin pusing sekali rasanya. Ia hanya bisa merintih. Lalu, tak lama setelahnya, tubuhnya pun ambruk. Ben menangkap tubuh sang kekasih sekenanya. Lalu ia benarkan posisinya.
Rencananya sudah berjalan sesuai harapan. Ben pun tersenyum miring. Setelah ini, ia akan membawa Lestari menuju hotel terdekat.
Tidak hanya menyebabkan kesadaran Lestari hilang, tapi obat itu juga dapat menaikkan gairah Lestari saat sudah sadar nantinya.
Sebenarnya Ben tidak mau melakukan aksi jahat itu, ia hanya terpaksa karena hasratnya terlanjur meninggi. Sedangkan Lestari sudah menolaknya berkali-kali.
Saat di hotel, Ben pun mulai meluncurkan aksinya. Dan semua berjalan sebagaimana mestinya. Kesucian Lestari yang ia jaga selama ini hilang seketika, direnggut satu malam oleh kekasihnya.
Dua bulan kemudian, Lestari mengalami gejala kehamilan. Apa yang ia takutkan semenjak melakukan hal terlarang dengan Ben, akhirnya kejadian.
Ia menangis siang malam. Tak henti-hentinya meminta maaf kepada orang tua. Di sisi lain, Ben siap bertanggung jawab. Keluarganya pun tidak kaget mendengarnya.
Akhirnya, mereka pun menikah. Walaupun Ben dan Lestari sama-sama belum siap. Tapi, hanya itu jalan satu-satunya yang bisa dilakukan.
***
Lamunan panjang tentang masa lalu Lestari buyar seketika saat Ben meminta diambilkan handuk dengan volume suara yang tinggi.
"Ambilkan handuk!" teriak Ben lagi.
Lestari berdiri seraya memegangi pinggang belakang. "Iya, sebentar."
Ia pun memberikan handuk pada Ben yang sudah ada di kamar mandi.
"Jangan lupa nanti handuknya ditaruh di tempat semula, jangan diletakkan sembarangan!" pesan Lestari, karena biasanya Ben selalu meletakkan handuk basah di sembarang tempat. Terkadang masalah sekecil itu membuat Lestari merasa lelah sendiri.
"Gampang," sahut Ben ringan, seperti biasanya.
Lestari duduk di ruang televisi. Ia membuka laptop warna hitam, hendak mencari-cari pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Rasanya tidak enak jika terus-terusan meminta uang pada mertuanya. Walau tidak banyak, ia ingin bisa menghasilkan uang sendiri. Setidaknya untuk dirinya sendiri.
Beberapa lama kemudian, Ben sudah terlihat rapi dengan celana pendek dan kaos branded warna hitam. Juga jam tangan yang menempel di tangan kirinya.
Pandangan Lestari lekas menuju ke arah suaminya. "Kamu yakin mau main sore-sore begini?" tanya Lestari dengan wajah mendung.
"Iyalah. Udah janjian." Ben nampak meraih kunci mobil. Lestari berdiri, hendak mencegahnya pergi. Tapi, apalah daya, Ben tidak pernah mendengarkan ucapannya.
Saat-saat seperti ini, Lestari merasa ragu dengan pernikahan ini. Pun ragu dengan pengakuan cinta dari Ben selama ini.
Setelah suara mobil Ben terdengar kian menjauh, Lestari menuju ruangan di mana Ben menyimpan semua mainannya. Ia memandangi satu per satu. Sesekali ada yang ia ambil, laluia letakkan kembali.
'Apa selama ini aku benar-benar menikahi anak kecil?' batinnya dalam hati.
Ia tahu, Ben belum siap dengan pernikahan ini. Apalagi dengan kehadiran sang buah hati nanti?
Lestari terus memandangi sekeliling. Rumah mewah namun tak begitu besar ini adalah pemberian dari orang tua Ben. Ia sedang berpikir keras, sampai kapan sang suami akan hidup di bawah ketiak orang tuanya seperti ini?
Pukul 18.30, Ben belum pulang, sementara Lestari sudah tak bisa menahan lapar. Ia pun memasak nasi goreng dengan ogah-ogahan. Rasanya ingin sekali seperti perempuan-perempuan hamil pada umumnya, yang hanya dengan meminta satu kali, langsung dituruti oleh suaminya.
Lestari mulai mengiris bumbu untuk nasi goreng. Tidak lupa mengiris dua sosis secara serong. Pun menyiapkan yang lain-lain, kemudian dimasak menjadi satu piring nasi goreng.
Di tempat lain, Ben sedang asyik bermain game dengan ketiga temannya. Ketiga temannya itu seumuran dengan Ben, dan mereka belum menikah.
Keempat pemuda itu membiarkan makanan dan menuman yang tersaji di hadapannya. Mereka lebih memilih bermain game kesukaan, tanpa memedulikan apapun lagi.
Pukul 22.00, Lestari mulai menghubungi Ben. Selain karena khawatir, sudah menjadi kewajiban Ben untuk pulang saat mulai larut seperti ini. Ia adalah seorang suami, bukan bujangan lagi. Tidak seharusnya sebebas itu.
Lestari menelpon Ben satu kali, dua kali, hingga tiga kali, teleponnya ditolak. Ia menitikkan air mata, ingin dibelai manja hingga tertidur pulas. Tapi, lagi-lagi ia tidak bisa mendapatkan keinginannya.
Perempuan itu pun merebahkan tubuh di kasur bermotif bunga. Sesekali masih berharap Ben akan tiba di kamar ini beberapa detik kemudian.
Tapi, hingga detik ke 321, Ben tak kunjung pulang. Sementara Lestari sudah berada di alam mimpi.
***
Pagi-pagi sekali, Lestari bangun dari tidurnya. Ada Ben di ranjang yang sama. Tapi, suaminya itu belum tidur, melainkan masih memainkan game online di ponselnya.
"Kamu belum tidur?" tanya Lestari seraya mengucek kedua mata.
"Nanti dulu," jawab Ben. Pandangannya masih fokus pada layar ponsel.
Lestari bangun, mulai menurunkan selimut. "Nanti kapan? Ini udah pagi. Jangan dibiasakan kaya gitu." Seperti biasa, Lestari mulai menasehati apa yang sekiranya harus dilakukan Ben. Tapi, seperti biasa juga, Ben mengabaikannya.
"Nggak baik tidur di pagi hari. Jadi penyakit nanti. Harusnya kamu mulai ikut papamu kerja," imbuh perempuan itu.
"Gampang itu," sahut Ben. Ia meletakkan ponsel di sampingnya, kemudian mulai memejamkan mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments