Kamu Berharga, Ingga
Apa yang ada dalam pikiranmu saat mendengar kata Panti asuhan. Tempat anak-anak jalanan, tempat anak yatim piatu, atau anak yang sengaja ditelantarkan oleh pihak keluarganya. Kamu tidak salah. Karena aku adalah salah satu dari anak yang tumbuh besar di tempat tersebut.
..._Ingga Sagara_...
...****...
Sinar matahari menyambut dengan indahnya, cahaya yang masuk melalui sela-sela jendela membangunkan seorang remaja berumur 18 tahun yang sedang tertidur lelap di tempat tidurnya.
Mata yang indah itupun mengerjap merasakan hangat dari sinar mentari pagi. Menyadarkan dirinya bahwa ia telah tertidur selepas melaksanakan shalat subuh. Dia adalah Ingga.
"Astagfirullah aku tertidur lagi." Ingga terlonjak dari tidurnya.
Tidak ingin membuang waktu Ingga pun bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Walau hanya sekedar menggosok gigi dan membasuh wajahnya.
"Jangan sampai aku terlambat. Sial! Aku baru ingat hari ini jadwalnya si guru Killer." Gumam Ingga sambil tergesa-gesa memakai seragam sekolahnya.
...****...
"Hufffh... untung saja gerbangnya belum ditutup." Ucap Ingga bernafas lega.
"Ingga! Kamu cepat masuk, sebentar lagi akan saya tutup gerbangnya. Tumben sekali kamu hampir terlambat." Kata Pak Asep seorang security sambil melihat ke arah Ingga.
"Hehe... baik Pak, terima kasih." Ingga bergegas masuk dengan sedikit berlari untuk segera sampai ke kelasnya.
SMA 1 Angkasa adalah sekolah terfavorit di Kota itu. Dengan akreditasi A menjadikan sekolah ini sebagai sekolah yang diimpikan banyak pelajar. Dan beruntungnya, Ingga Sagara sang remaja Panti adalah salah satu pelajar yang bisa menuntut ilmu di sekolah ini dengan bantuan Beasiswa yang ia dapatkan sewaktu lulus SMP.
Hal yang harus selalu Ingga syukuri dalam hidupnya. Karena bagaimanapun semua orang pasti memiliki sebuah cita-cita, Ingga pun demikian. Hidup dengan tanpa orang tua tidak menjadikan Ingga patah semangat dalam menggapai impiannya.
Ingga yang dari SD sampai SMP hanya mengandalkan kepintarannya, sehingga ia bisa mendapat Beasiswa untuk masuk ke sekolah yang diimpikannya sejak dulu.
Tapi, apa perasaan kalian ketika melihat anak yang lain diantar dan dijemput dengan suka cita oleh orang tuanya sedang Ingga hanya bisa menatap nanar pemandangan yang begitu hangat bagi sebagian orang namun justru sangat menyakitkan untuknya. Begitu berat hari-hari yang Ingga lalui tanpa sosok figura yang disebut orang tua. Ingga bukan tidak pernah mengeluh, tapi Ingga hanya sudah terlalu lelah untuk terus mengeluh mengenai keluarga.
Tinggal di Kosan kecil yang ia sewa, menjalani hidup seorang diri, bahkan tidak tahu siapa Ibu dan Ayahnya. Ya, Ingga sudah tidak tinggal di Panti satu tahun yang lalu saat ia masih kelas 11 SMA. Ingga memutuskan untuk bekerja sampingan karena tidak ingin merepotkan Ibu Panti yang telah merawatnya selama ini dengan memulai hidup mandiri.
Terlepas dari Ingga yang tidak mengenal kedua orang tuanya itu adalah benar. Entah ia pantas disebut anak yang durhaka atau memang kedua orang tuanya lah yang tidak menginginkannya. Lantas untuk apa Tuhan menitipkan dirinya pada orang tua yang tidak menginginkan seorang anak? Sungguh, Ingga hanyalah korban dari keegoisan manusia yang disebut dengan orang tua.
......................
"Assalamu'alaikum, maaf sedikit terlambat." Ucap Ingga pelan di depan pintu kelasnya, 12 IPA 1.
"Wa'alaikumsalam." Jawaban serentak dari siswa yang berada di dalam kelas sambil menatap heran ke arah Ingga.
Wajar saja jika mereka merasa heran. Tidak biasanya seorang Ingga sampai terlambat seperti hari ini. Semua siswa di kelasnya tahu bahwa Ingga adalah salah satu murid kesayangan Kepala Sekolah di SMA ini. Perilaku Ingga yang sopan santun terhadap guru ditambah dengan kepintaran yang ia miliki menjadikan Ingga siswa yang sering dibangga-banggakan oleh banyak guru. Tinggal di Panti tidak menjadikan Ingga remaja yang minim akan adab. Wajar jika Ingga selalu dijadikan contoh teladan bagi siswa-siswi yang lain.
Ingga berjalan melewati beberapa bangku menuju tempat duduknya yang ada di samping kanan sebelah jendela.
"Tidak biasanya anak Panti kita terlambat, mungkin dia kelelahan akibat bekerja setiap malam." Ejek Satria sambil terkekeh. Teman sekelas Ingga yang duduk di kursi paling belakang.
Ingga hanya diam tidak menanggapi. Rasanya sudah sangat malas hanya untuk mendengar perkataan orang yang selalu membicarakannya.
"Kau bisa diam tidak Satria. Tidak jadi masalah kalau Ingga datang terlambat hari ini, karena hari ini para guru sedang mengadakan rapat jadi dua jam pelajaran dikosongkan." Sanggah Raditya sang ketua kelas memberi pembelaan sekaligus informasi kepada semua teman kelasnya.
Satu kelas menjadi riuh dengan informasi yang baru saja mereka dengar, beberapa siswa mulai berhamburan keluar kelas untuk bersenang-senang mengisi waktu luang itu.
Ingga tersenyum. Remaja dengan postur tubuh yang tinggi itupun beranjak dari duduknya lalu menghampiri Raditya tanpa menghiraukan perkataan dari Satria.
"Dit! kalau memang jam belajar hari ini kosong aku akan pergi ke Perpustakaan untuk memejamkan mata. Kau tahu? di sini berisik sekali dengan suara anjing." Ingga balik terkekeh dan berlalu seraya menepuk pelan pundak Raditya.
Raditya melirik ke arah Satria yang sedang menahan kesal karena tidak dihiraukan oleh Ingga, terlebih mendengar perkataan Ingga yang menyamakan dirinya dengan binatang.
"Benar apa yang dia katakan, kau memang berisik seperti anjing." Ucap Raditya sambil melangkah keluar meninggalkan kelasnya.
......................
Ingga melangkah masuk ke dalam Perpustakaan, keadaan ruangan cukup sepi karena kebanyakan siswa menghabiskan waktu mereka di kantin atau di lapangan untuk bermain basket. Alasan Ingga lebih memilih pergi ke Perpustakaan memang untuk merebahkan diri. Apa yang dikatakan Satria tidak salah, Ingga memang kelelahan setelah semalaman bekerja.
Ingga terus berjalan melewati susunan rak-rak buku. Tujuannya adalah ke meja paling pojok yang ada di ruangan itu. Tempat yang sering Ingga datangi untuk sekedar merebahkan diri atau mengisi waktu luangnya dengan membaca.
Ingga menjatuhkan dirinya ke tempat duduk itu, melipat kedua tangannya dimeja untuk dijadikan tumpuan kepalanya. Ia mulai memikirkan perkataan Satria yang merendahkannya di kelas tadi. Memang bukan kali pertama Ingga mendapat perlakuan seperti itu oleh Satria dan temannya, tapi siapa yang akan terima jika sebuah harga diri direndahkan oleh orang lain.
Mengenai tentang harga diri, membuat ia kembali tersadar dengan impiannya selama ini. Ingga ingin bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sangat ingin. Dengan pendidikan yang tinggi mungkin ia tidak lagi dipandang rendah. Bisa bekerja di Perusahaan besar untuk menghidupi dirinya dan juga anak Panti, itu impian Ingga.
Bertemu dengan orang tua? Ah... rasanya Ingga sudah tidak terlalu memikirkan itu seperti saat ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Buktinya, tanpa mereka Ingga masih bisa bertahan hidup sampai sekarang.
"Ingga!" panggil seseorang menyadarkan Ingga dari lamunannya.
"Sandra, ada apa?" Ingga mendongak menatap Sandra yang berdiri dihadapannya.
"Aku dengar kamu sedang ada di Perpustakaan jadi aku ke sini untuk melihat keadaanmu. Aku takut kamu merasa kesepian." Ucap Sandra perhatian.
Ingga masih diam.
"Dari tadi kamu hanya melamun saja. Jika ingin bercerita aku siap mendengar semua keluh kesahmu." Lanjutnya dengan senyum yang ia buat semanis mungkin.
Ingga menghela nafas lalu kembali menatap Sandra.
"Aku baik-baik saja Sandra. Terima kasih sudah menawarkan diri untuk menjadi pendengar yang baik. Tapi aku di sini hanya sedang menikmati waktuku sendiri." Tolak Ingga sambil berusaha tersenyum ke arah Sandra.
"Kau boleh pergi menemui teman-temanmu yang lain untuk menghabiskan waktu." Lanjutnya sedikit mengusir agar Sandra tidak menemaninya.
Senyum Sandra pun memudar. Rencananya untuk mendekati Ingga lagi-lagi gagal. Sandra menyukai Ingga sudah dari kelas 11. Tentunya karena Ingga adalah siswa yang tampan dan idola para siswi, membuat Sandra jadi lebih bersemangat untuk mendekati Ingga. Banyak orang tahu bahwa sebenarnya Sandra lah yang sering mencari-cari perhatian Ingga namun, Sandra tidak peduli itu. Yang dia pikirkan hanya bagaimana cara membuat Ingga menyukai dirinya.
"Oh... baiklah jika kamu sedang ingin sendiri, kalau begitu aku akan pergi menemui temanku di Kantin. Aku pergi dulu." Kilah Sandra pura-pura tersenyum.
Ingga hanya menanggapi dengan senyuman. Lalu setelah itu Sandra pun beranjak meninggalkan Perpustakaan dengan rasa kesal.
•
•
•
Mohon dukungannya untuk karya pertama saya 🙏🏻🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Deana Ulandari
Awalnya patah semangat karena aku keterbalikan dari sosok Ingga, tapi Ingga memang benar. Tidak adanya orangtua seharusnya tidak membuat kitaa patah semangat untuk mengejar impian kita bukan?
:)
2023-06-08
1
Secrets
Lanjutkan😍
2023-04-01
1