Bukan Ingga tidak menyadari sikap Sandra salah satu teman kelasnya yang selalu memberikan perhatian lebih kepadanya. Ingga hanya merasa dirinya tidak pantas untuk dekat dengan wanita apalagi sampai disukai oleh wanita.
Remaja dengan tinggi 175 cm, gigi gingsul yang Ingga miliki membuat senyumnya tampak begitu manis, iris mata berwarna hazel serta alis tebal dan hidung yang mancung menjadikan Ingga banyak diidolakan para siswi di sekolahnya. Bahkan ada yang sampai terang-terangan mengungkapkan perasaannya pada Ingga. Tinggal lama di Panti dengan status keluarga yang tidak jelas membuat Ingga sedikit tidak percaya diri mengenai urusan asmara apalagi ia tidak memiliki apa-apa. Itu sebabnya mengapa Ingga selalu dingin terhadap wanita. Ingga merasa tidak ada yang pantas dibanggakan dalam dirinya, khawatir bila nanti orang yang dekat dengannya malah mendapat hinaan seperti dirinya. Itu yang membuat Ingga sampai sekarang memilih untuk tetap sendiri.
Ingga memang terlahir sempurna. Pahatan Tuhan yang sangat indah, serta kecerdasan yang ia miliki. Mungkin itu semua menurun dari kedua orangtuanya. Tapi, mengapa ia yang sempurna ini sampai dibuang? Bukankah seorang anak itu adalah sebuah anugerah yang sengaja Tuhan titipkan.
Sempat ia bertanya pada sang pemilik Panti, Ibu Laras. Bagaimana ia bisa berada di sana dan siapa yang menitipkannya. Wanita berusia setengah abad itupun memberitahu Ingga.
"Dulu, ada seorang Bapak-bapak mungkin umurnya sekitar 35 tahun yang datang ke Panti asuhan ini. Beliau mengatakan bahwa dia telah menemukan seorang bayi di dekat tempat tinggalnya yang ada di pinggiran Kota. Karena dia baru kehilangan istrinya yang belum lama tiada dan merasa tidak bisa merawat mu akhirnya dia memutuskan untuk membawamu ke sini." Jelas Ibu Laras.
"Lalu apa orang itu tahu siapa yang sudah meninggalkanku di tempat itu Bu?" tanya Ingga waktu itu.
Ibu Laras menggeleng seraya menatap Ingga dengan mata sayu nya.
"Beliau juga tidak mengetahui asal-usul mu, dia hanya menemukan kertas yang melingkar di tanganmu dengan tulisan sebuah nama. Ingga Sagara." Lanjut Ibu Laras dengan mata yang berkaca-kaca sambil menangkup wajah Ingga dengan kedua tangannya.
Deg!
Ingga merasa dunianya seakan berhenti.
Bisa kalian bayangkan betapa hancurnya hati Ingga mendengar kisah hidupnya yang begitu menyedihkan bahkan sejak ia baru dilahirkan ke dunia ini. Ingga bahkan tidak menginginkan kehidupan yang seperti ini, jika waktu bisa diulang mungkin Ingga lebih memilih mati dari pada harus menjalani kehidupan yang begitu berat ini seorang diri. Takdir memang begitu kejam untuk seorang Ingga yang rapuh.
Tanpa ia sadari air matanya tiba-tiba menetes tiap mengingat kisah pilu perjalanan hidupnya, dadanya begitu amat sesak bagai ditusuk ribuan belati. Ingga bukanlah lelaki yang mudah menangis. Tapi jika sudah mengingat kisah hidupnya, Ingga selalu merasa hatinya begitu hancur. Bergegas ia hapus air mata yang menetes di pipinya sambil mengatur nafas berkali-kali.
Merasa sudah lebih baik Ingga pun memutuskan untuk kembali ke kelasnya karena sebentar lagi jam pelajaran ketiga akan segera dimulai.
......................
Kriiiiing...
Bel sekolah pun berbunyi menandakan usainya waktu belajar. Semua siswa mulai meninggalkan kelas mereka satu persatu.
Ingga menjadi orang yang terakhir keluar dari dalam kelasnya. Sudah menjadi kebiasaannya menunggu area sekolah sepi terlebih dahulu karena Ingga tak begitu menyukai keramaian. Terlebih Ingga sering mendapat sapaan dari para siswi jika berpapasan di koridor yang membuat dirinya tidak nyaman karena merasa terlalu diperhatikan.
Ingga berjalan keluar kelas menyusuri koridor yang cukup sepi. Jarak Kosan yang ia sewa lumayan dekat dari sekolah jadi Ingga selalu pulang dan berangkat dengan berjalan kaki. Tentu saja alasan yang utama karena ia tidak memiliki kendaraan.
"Anak Panti!!" teriakan seseorang yang sangat familiar sampai membuat Ingga begitu jengah.
Ingga menghentikan langkahnya namun tidak berniat membalikkan badan untuk melihat siapa orang yang telah memanggilnya. Siapa lagi kalau bukan Satria sang pembuat onar.
"Kau masih bisa sombong dengan keadaanmu yang memprihatinkan ini." Ucap Satria berjalan mendekati Ingga sampai mereka saling berhadapan.
Ingga mengeryitkan kening. Apa yang pria ini katakan tadi. Bukankah yang selalu menyombongkan diri itu adalah dirinya. Ingga sungguh tidak mengerti dengan sikap Satria dan alasan apa yang membuatnya begitu membenci Ingga.
"Apa kau merasa menjadi pria yang keren karena selalu mendapat banyak perhatian dari para siswi di sekolah ini. Apa yang menarik dalam dirimu, apa mereka semua buta." Geram Satria dengan mengepalkan kedua tangannya.
"Padahal jika dibandingkan denganku, kau bukan apa-apa." Lanjut Satria.
Paham dengan apa yang Satria katakan Ingga tersenyum sinis, matanya terus menatap Satria yang ada dihadapannya tanpa rasa takut sedikitpun.
"Apa aku tidak salah dengar kalau seorang Satria Wijaya iri pada seorang anak Panti?" Ingga terkekeh mengucapkannya.
"Tutup mulutmu!" potong Satria dengan menarik kerah baju Ingga.
Ia tidak terima dengan apa yang telah Ingga katakan. Wajahnya merah padam karena menahan amarah.
Ingga menatap Satria dengan tatapan tajamnya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Ingga. Ia begitu tenang menghadapi amarah Satria tanpa ikut tersulut emosi.
Satria merasa terintimidasi oleh tatapan Ingga, ia pun melepas cengkraman tangannya dari kerah baju Ingga lalu memalingkan muka ke arah lain. Satria berdehem untuk menghilangkan rasa gugupnya.
Ingga membenarkan kerah bajunya yang sedikit berantakan akibat cengkraman dari Satria. Lalu menatap kembali ke arah Satria.
"Aku tidak ingin membuang waktuku apalagi mengotori tanganku hanya untuk memberimu pelajaran. Jika kau merasa iri dengan semua perhatian yang aku dapatkan, seharusnya dirimu sadar, kau memang tidak semenarik itu."
"Apa kau tahu? Tidak semua orang senang bila terlalu difokuskan. Dan aku adalah salah satu dari orang yang tidak menginginkan itu." Kata Ingga lagi.
Satria menatap Ingga tak percaya. Semua kalimat yang Ingga ucapkan sungguh membuat Satria sedikit terkejut.
Ingga membalikkan badannya. Sebelum ia melangkah Ingga kembali berucap.
"Satu hal lagi, orang yang lebih pantas untuk menutup mulut itu adalah kau, Satria Wijaya."
Ingga berlalu meninggalkan Satria yang tengah memekik kesal dengan ucapannya.
Satria menatap penuh kebencian punggung Ingga yang semakin lama semakin menjauh meninggalkan area sekolah. Semua yang dilakukan Ingga selalu membuat Satria merasa kesal. Dari segi fisik memang Ingga lebih tampan darinya apalagi soal kecerdasan. Tapi soal kekayaan Satria lah pemenangnya, banyak siswa di sekolah ini tahu bahwa Satria anak dari keluarga yang berada. Tapi mengapa orang lebih tertarik pada Ingga. Ingga selalu menjadi pusat perhatian dimana pun ia berada. Itu yang membuat Satria sangat membenci seorang Ingga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments