Ingga melangkah dengan gontai mengikuti Pak Harun yang pergi ke ruangannya. Ingga mulai merasa was-was khawatir bila ia akan dipecat karena suatu kesalahan yang mungkin telah ia lakukan.
Ingga sampai di ambang pintu ruangan Pak Harun. Pak Harun memberikan kode menyuruh Ingga untuk masuk. Kaki Ingga melangkah dengan pelan masuk ke dalam ruangan lalu akhirnya duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan sang atasan.
Wajah itu sedikit tertunduk. Saking gugupnya tangan Ingga sampai basah karena berkeringat. Ia tak berani menatap ke arah Pak Harun. Pak Harun melihat ekspresi Ingga yang tampak gugup dengan sedikit keringat yang membasahi keningnya, ia pun tertawa karena merasa lucu dengan kondisi Ingga sekarang.
Mendengar tawa yang keluar dari mulut Pak Harun membuat Ingga langsung mengangkat wajahnya lalu menatap bingung laki-laki yang ada dihadapannya. Setelah selanjutnya ia menyadari bahwa dirinya terlalu berpikir berlebihan padahal dari awal Pak Harun sudah mengatakan hanya ingin berbincang santai. Ingga merasa malu dengan tingkahnya yang berlebihan tadi.
Pak Harun menghentikan tawanya. Ia menatap Ingga.
"Tenanglah nak. Saya bukan ingin memecat mu jadi jangan menampakkan ekspresi gugup mu itu." Ucap Pak Harun masih dengan kekehan kecil.
"Maaf Pak saya terlalu berpikiran negatif." Kata Ingga tersenyum canggung.
Pak Harun mengangguk paham.
"Sebenarnya saya ingin membicarakan perihal orang tuamu. Maaf jika sebelumnya saya menyinggung perasaanmu. Tapi nak, sudah saatnya kamu mencari tahu tentang mereka bukan." Ucap Pak Harun pelan.
Ingga kembali tertunduk mendengar perkataan Pak Harun. Ia sadar bahwa selama ini ia memang hanya berdiam diri tanpa berniat mencari informasi apapun mengenai siapa orang tuanya. Ingga hanya takut bila apa yang ia dapatkan tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.
Ia menarik nafas pelan.
"Saya sudah mendapatkan kasih sayang seorang ayah dari Bapak dan kasih sayang seorang Ibu dari Bu Laras. Jadi untuk apa saya harus mencari tau tentang mereka Pak? Bahkan merekapun sama sekali tidak berusaha untuk mencari anak yang telah mereka telantarkan. Atau mungkin merekapun tak tahu bahwa saya masih hidup sampai sekarang." Ucap Ingga menahan sesak di dadanya.
Pak Harun paham dengan apa yang Ingga rasakan. Tapi yang Pak Harun harapkan untuk Ingga mencoba mencari tahu alasan yang sebenarnya. Semua yang terjadi pada Ingga selama ini pasti ada alasannya.
"Setidaknya kamu cari tahu dulu alasan kenapa mereka sampai menelantarkan mu Ingga. Saya yakin mereka mempunyai alasan dibalik ini semua." Pak Harun masih mencoba untuk membujuk dan meyakinkan Ingga.
"Pak, jika mereka memang menginginkan saya hadir ke dunia ini, mereka tidak akan sampai tega membuang saya. Mereka tidak akan membiarkan saya hidup di Panti asuhan dengan dibesarkan oleh orang lain. Apa mereka pantas disebut dengan orang tua?" Ingga meluapkan semua amarah yang selama ini ia pendam.
Tangan Ingga sampai terkepal jika mengingat betapa kejamnya mereka membuang buah hati mereka sendiri.
"Ingga, saya mengerti rasa sakit yang kamu rasakan. Saya tahu betapa menderitanya kamu selama ini." Ucap Pak Harun pelan dengan matanya yang memerah, membayangkan betapa sakitnya penderitaan yang selama ini Ingga rasakan.
"Tapi hidupmu tidak mungkin selamanya akan seperti ini. Saya yakin kedua orang tuamu memiliki alasan mereka sendiri. Setidaknya kamu coba mencari tahu terlebih dahulu. Nak, hidup tidak selamanya bergantung pada diri sendiri. Suatu saat kamu pasti membutuhkan yang namanya keluarga apalagi sosok orang tua. Saya percaya bahwa kamu anak yang baik dan pastinya paham dengan apa yang saya ucapkan." Lanjut Pak Harun sambil menatap lembut ke arah Ingga.
Ingga tertunduk semakin dalam. Lidahnya kelu untuk sekedar menyangkal perkataan yang diucapkan Pak Harun.
Pak Harun benar. Aku tidak mungkin selamanya hidup seperti ini. Batin Ingga berucap dengan pasrah.
"Kamu pikirkan kembali saran saya. Saya percaya kamu pasti pandai dalam membuat keputusan." Pak Harun berdiri menghampiri Ingga dan menepuk pundak Ingga pelan.
Ingga mendongak menatap Pak Harun sambil tersenyum tipis.
"Terima kasih Pak." Ucap Ingga lirih.
"Kamu sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Saya bangga padamu, apalagi dengan kedua orang tuamu jika mereka mengetahui bahwa anaknya telah tumbuh dewasa menjadi laki-laki yang sangat tampan dan cerdas."
Ingga kembali tersenyum mendengar apa yang Pak Harun ucapkan. Ia bangkit dari duduknya setelah itu pamit untuk kembali bekerja.
......................
Malam sudah semakin larut. Jam di dinding menunjukkan pukul 11.48 itu artinya sebentar lagi toko akan ditutup. Ingga bersiap-siap untuk pulang, biasanya ia akan diberi tumpangan oleh Kang Tejo karena rumah Kang Tejo searah dengan Kosannya Ingga.
Semua pekerja mulai menutup toko. Setelah memastikan semuanya sudah dikunci akhirnya mereka semua bisa pulang.
"Ayo Ingga." Ajak Kang Tejo yang tengah duduk di atas motor miliknya.
"Apa saya tidak merepotkan setiap hari terus menumpang Kang." Ucap Ingga merasa tak enak hati.
"Kamu ini seperti dengan orang yang tidak kenal saja. Sudah ayo kita pulang." Kang Tejo geleng-geleng kepala mendengar perkataan Ingga.
Ingga mengangguk lalu duduk di jok belakang motornya Kang Tejo. Setelah merasa Ingga sudah duduk, Kang Tejo mulai menjalankan motornya keluar area toko dan melaju membelah dinginnya angin malam.
......................
Kang Tejo menghentikan motornya di depan teras Kosan Ingga. Ingga segera turun lalu mengucapkan terima kasih pada Kang Tejo. Setelah Kang Tejo kembali melajukan motornya, Ingga baru melangkah masuk ke kamar Kostnya.
Ingga langsung membersihkan diri, mengganti pakaian lalu bersiap untuk beristirahat. Ia rebahkan tubuhnya di atas kasur. Lelah, itu yang Ingga rasakan setiap malam. Ia menatap langit-langit kamarnya. Ingatannya kembali berputar pada percakapannya dengan Pak Harun saat di tempat kerja.
Ingga menghela nafas berat.
Apa aku harus mencari tahu tentang mereka? Tapi bagaimana jika ternyata alasan mereka membuang ku memang karena tidak menginginkan kehadiranku. Batin Ingga berucap khawatir.
Alasan Ingga selama ini diam karena ia hanya takut jika sampai ia berhasil mencari tahu tentang mereka, menanyakan alasan mereka menelantarkan dirinya lalu jawaban yang mereka berikan membuat Ingga kembali patah. Ingga takut hal itu terjadi.
Tapi tidak mungkin aku selamanya hidup seperti ini bukan. Batin Ingga mulai meyakinkan dirinya sendiri.
Ingga menghembuskan nafasnya pelan.
Sungguh berat ketika isi pikiran dan hati kita tidak sejalan. Dan sekarang, Ingga memutuskan untuk mengikut dan mendengar apa kata hatinya. Entah apa yang nanti akan ia dapatkan.
"Baiklah. Tidak ada salahnya aku mencoba." Ingga bergumam memberikan semangat pada dirinya.
Cukup lama ia berperang dengan isi pikirannya. Sampai akhirnya ia tertidur karena kelelahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments