Apa yang ada dalam pikiranmu saat mendengar kata Panti asuhan. Tempat anak-anak jalanan, tempat anak yatim piatu, atau anak yang sengaja ditelantarkan oleh pihak keluarganya. Kamu tidak salah. Karena aku adalah salah satu dari anak yang tumbuh besar di tempat tersebut.
..._Ingga Sagara_...
...****...
Sinar matahari menyambut dengan indahnya, cahaya yang masuk melalui sela-sela jendela membangunkan seorang remaja berumur 18 tahun yang sedang tertidur lelap di tempat tidurnya.
Mata yang indah itupun mengerjap merasakan hangat dari sinar mentari pagi. Menyadarkan dirinya bahwa ia telah tertidur selepas melaksanakan shalat subuh. Dia adalah Ingga.
"Astagfirullah aku tertidur lagi." Ingga terlonjak dari tidurnya.
Tidak ingin membuang waktu Ingga pun bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Walau hanya sekedar menggosok gigi dan membasuh wajahnya.
"Jangan sampai aku terlambat. Sial! Aku baru ingat hari ini jadwalnya si guru Killer." Gumam Ingga sambil tergesa-gesa memakai seragam sekolahnya.
...****...
"Hufffh... untung saja gerbangnya belum ditutup." Ucap Ingga bernafas lega.
"Ingga! Kamu cepat masuk, sebentar lagi akan saya tutup gerbangnya. Tumben sekali kamu hampir terlambat." Kata Pak Asep seorang security sambil melihat ke arah Ingga.
"Hehe... baik Pak, terima kasih." Ingga bergegas masuk dengan sedikit berlari untuk segera sampai ke kelasnya.
SMA 1 Angkasa adalah sekolah terfavorit di Kota itu. Dengan akreditasi A menjadikan sekolah ini sebagai sekolah yang diimpikan banyak pelajar. Dan beruntungnya, Ingga Sagara sang remaja Panti adalah salah satu pelajar yang bisa menuntut ilmu di sekolah ini dengan bantuan Beasiswa yang ia dapatkan sewaktu lulus SMP.
Hal yang harus selalu Ingga syukuri dalam hidupnya. Karena bagaimanapun semua orang pasti memiliki sebuah cita-cita, Ingga pun demikian. Hidup dengan tanpa orang tua tidak menjadikan Ingga patah semangat dalam menggapai impiannya.
Ingga yang dari SD sampai SMP hanya mengandalkan kepintarannya, sehingga ia bisa mendapat Beasiswa untuk masuk ke sekolah yang diimpikannya sejak dulu.
Tapi, apa perasaan kalian ketika melihat anak yang lain diantar dan dijemput dengan suka cita oleh orang tuanya sedang Ingga hanya bisa menatap nanar pemandangan yang begitu hangat bagi sebagian orang namun justru sangat menyakitkan untuknya. Begitu berat hari-hari yang Ingga lalui tanpa sosok figura yang disebut orang tua. Ingga bukan tidak pernah mengeluh, tapi Ingga hanya sudah terlalu lelah untuk terus mengeluh mengenai keluarga.
Tinggal di Kosan kecil yang ia sewa, menjalani hidup seorang diri, bahkan tidak tahu siapa Ibu dan Ayahnya. Ya, Ingga sudah tidak tinggal di Panti satu tahun yang lalu saat ia masih kelas 11 SMA. Ingga memutuskan untuk bekerja sampingan karena tidak ingin merepotkan Ibu Panti yang telah merawatnya selama ini dengan memulai hidup mandiri.
Terlepas dari Ingga yang tidak mengenal kedua orang tuanya itu adalah benar. Entah ia pantas disebut anak yang durhaka atau memang kedua orang tuanya lah yang tidak menginginkannya. Lantas untuk apa Tuhan menitipkan dirinya pada orang tua yang tidak menginginkan seorang anak? Sungguh, Ingga hanyalah korban dari keegoisan manusia yang disebut dengan orang tua.
......................
"Assalamu'alaikum, maaf sedikit terlambat." Ucap Ingga pelan di depan pintu kelasnya, 12 IPA 1.
"Wa'alaikumsalam." Jawaban serentak dari siswa yang berada di dalam kelas sambil menatap heran ke arah Ingga.
Wajar saja jika mereka merasa heran. Tidak biasanya seorang Ingga sampai terlambat seperti hari ini. Semua siswa di kelasnya tahu bahwa Ingga adalah salah satu murid kesayangan Kepala Sekolah di SMA ini. Perilaku Ingga yang sopan santun terhadap guru ditambah dengan kepintaran yang ia miliki menjadikan Ingga siswa yang sering dibangga-banggakan oleh banyak guru. Tinggal di Panti tidak menjadikan Ingga remaja yang minim akan adab. Wajar jika Ingga selalu dijadikan contoh teladan bagi siswa-siswi yang lain.
Ingga berjalan melewati beberapa bangku menuju tempat duduknya yang ada di samping kanan sebelah jendela.
"Tidak biasanya anak Panti kita terlambat, mungkin dia kelelahan akibat bekerja setiap malam." Ejek Satria sambil terkekeh. Teman sekelas Ingga yang duduk di kursi paling belakang.
Ingga hanya diam tidak menanggapi. Rasanya sudah sangat malas hanya untuk mendengar perkataan orang yang selalu membicarakannya.
"Kau bisa diam tidak Satria. Tidak jadi masalah kalau Ingga datang terlambat hari ini, karena hari ini para guru sedang mengadakan rapat jadi dua jam pelajaran dikosongkan." Sanggah Raditya sang ketua kelas memberi pembelaan sekaligus informasi kepada semua teman kelasnya.
Satu kelas menjadi riuh dengan informasi yang baru saja mereka dengar, beberapa siswa mulai berhamburan keluar kelas untuk bersenang-senang mengisi waktu luang itu.
Ingga tersenyum. Remaja dengan postur tubuh yang tinggi itupun beranjak dari duduknya lalu menghampiri Raditya tanpa menghiraukan perkataan dari Satria.
"Dit! kalau memang jam belajar hari ini kosong aku akan pergi ke Perpustakaan untuk memejamkan mata. Kau tahu? di sini berisik sekali dengan suara anjing." Ingga balik terkekeh dan berlalu seraya menepuk pelan pundak Raditya.
Raditya melirik ke arah Satria yang sedang menahan kesal karena tidak dihiraukan oleh Ingga, terlebih mendengar perkataan Ingga yang menyamakan dirinya dengan binatang.
"Benar apa yang dia katakan, kau memang berisik seperti anjing." Ucap Raditya sambil melangkah keluar meninggalkan kelasnya.
......................
Ingga melangkah masuk ke dalam Perpustakaan, keadaan ruangan cukup sepi karena kebanyakan siswa menghabiskan waktu mereka di kantin atau di lapangan untuk bermain basket. Alasan Ingga lebih memilih pergi ke Perpustakaan memang untuk merebahkan diri. Apa yang dikatakan Satria tidak salah, Ingga memang kelelahan setelah semalaman bekerja.
Ingga terus berjalan melewati susunan rak-rak buku. Tujuannya adalah ke meja paling pojok yang ada di ruangan itu. Tempat yang sering Ingga datangi untuk sekedar merebahkan diri atau mengisi waktu luangnya dengan membaca.
Ingga menjatuhkan dirinya ke tempat duduk itu, melipat kedua tangannya dimeja untuk dijadikan tumpuan kepalanya. Ia mulai memikirkan perkataan Satria yang merendahkannya di kelas tadi. Memang bukan kali pertama Ingga mendapat perlakuan seperti itu oleh Satria dan temannya, tapi siapa yang akan terima jika sebuah harga diri direndahkan oleh orang lain.
Mengenai tentang harga diri, membuat ia kembali tersadar dengan impiannya selama ini. Ingga ingin bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sangat ingin. Dengan pendidikan yang tinggi mungkin ia tidak lagi dipandang rendah. Bisa bekerja di Perusahaan besar untuk menghidupi dirinya dan juga anak Panti, itu impian Ingga.
Bertemu dengan orang tua? Ah... rasanya Ingga sudah tidak terlalu memikirkan itu seperti saat ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Buktinya, tanpa mereka Ingga masih bisa bertahan hidup sampai sekarang.
"Ingga!" panggil seseorang menyadarkan Ingga dari lamunannya.
"Sandra, ada apa?" Ingga mendongak menatap Sandra yang berdiri dihadapannya.
"Aku dengar kamu sedang ada di Perpustakaan jadi aku ke sini untuk melihat keadaanmu. Aku takut kamu merasa kesepian." Ucap Sandra perhatian.
Ingga masih diam.
"Dari tadi kamu hanya melamun saja. Jika ingin bercerita aku siap mendengar semua keluh kesahmu." Lanjutnya dengan senyum yang ia buat semanis mungkin.
Ingga menghela nafas lalu kembali menatap Sandra.
"Aku baik-baik saja Sandra. Terima kasih sudah menawarkan diri untuk menjadi pendengar yang baik. Tapi aku di sini hanya sedang menikmati waktuku sendiri." Tolak Ingga sambil berusaha tersenyum ke arah Sandra.
"Kau boleh pergi menemui teman-temanmu yang lain untuk menghabiskan waktu." Lanjutnya sedikit mengusir agar Sandra tidak menemaninya.
Senyum Sandra pun memudar. Rencananya untuk mendekati Ingga lagi-lagi gagal. Sandra menyukai Ingga sudah dari kelas 11. Tentunya karena Ingga adalah siswa yang tampan dan idola para siswi, membuat Sandra jadi lebih bersemangat untuk mendekati Ingga. Banyak orang tahu bahwa sebenarnya Sandra lah yang sering mencari-cari perhatian Ingga namun, Sandra tidak peduli itu. Yang dia pikirkan hanya bagaimana cara membuat Ingga menyukai dirinya.
"Oh... baiklah jika kamu sedang ingin sendiri, kalau begitu aku akan pergi menemui temanku di Kantin. Aku pergi dulu." Kilah Sandra pura-pura tersenyum.
Ingga hanya menanggapi dengan senyuman. Lalu setelah itu Sandra pun beranjak meninggalkan Perpustakaan dengan rasa kesal.
•
•
•
Mohon dukungannya untuk karya pertama saya 🙏🏻🥰
Bukan Ingga tidak menyadari sikap Sandra salah satu teman kelasnya yang selalu memberikan perhatian lebih kepadanya. Ingga hanya merasa dirinya tidak pantas untuk dekat dengan wanita apalagi sampai disukai oleh wanita.
Remaja dengan tinggi 175 cm, gigi gingsul yang Ingga miliki membuat senyumnya tampak begitu manis, iris mata berwarna hazel serta alis tebal dan hidung yang mancung menjadikan Ingga banyak diidolakan para siswi di sekolahnya. Bahkan ada yang sampai terang-terangan mengungkapkan perasaannya pada Ingga. Tinggal lama di Panti dengan status keluarga yang tidak jelas membuat Ingga sedikit tidak percaya diri mengenai urusan asmara apalagi ia tidak memiliki apa-apa. Itu sebabnya mengapa Ingga selalu dingin terhadap wanita. Ingga merasa tidak ada yang pantas dibanggakan dalam dirinya, khawatir bila nanti orang yang dekat dengannya malah mendapat hinaan seperti dirinya. Itu yang membuat Ingga sampai sekarang memilih untuk tetap sendiri.
Ingga memang terlahir sempurna. Pahatan Tuhan yang sangat indah, serta kecerdasan yang ia miliki. Mungkin itu semua menurun dari kedua orangtuanya. Tapi, mengapa ia yang sempurna ini sampai dibuang? Bukankah seorang anak itu adalah sebuah anugerah yang sengaja Tuhan titipkan.
Sempat ia bertanya pada sang pemilik Panti, Ibu Laras. Bagaimana ia bisa berada di sana dan siapa yang menitipkannya. Wanita berusia setengah abad itupun memberitahu Ingga.
"Dulu, ada seorang Bapak-bapak mungkin umurnya sekitar 35 tahun yang datang ke Panti asuhan ini. Beliau mengatakan bahwa dia telah menemukan seorang bayi di dekat tempat tinggalnya yang ada di pinggiran Kota. Karena dia baru kehilangan istrinya yang belum lama tiada dan merasa tidak bisa merawat mu akhirnya dia memutuskan untuk membawamu ke sini." Jelas Ibu Laras.
"Lalu apa orang itu tahu siapa yang sudah meninggalkanku di tempat itu Bu?" tanya Ingga waktu itu.
Ibu Laras menggeleng seraya menatap Ingga dengan mata sayu nya.
"Beliau juga tidak mengetahui asal-usul mu, dia hanya menemukan kertas yang melingkar di tanganmu dengan tulisan sebuah nama. Ingga Sagara." Lanjut Ibu Laras dengan mata yang berkaca-kaca sambil menangkup wajah Ingga dengan kedua tangannya.
Deg!
Ingga merasa dunianya seakan berhenti.
Bisa kalian bayangkan betapa hancurnya hati Ingga mendengar kisah hidupnya yang begitu menyedihkan bahkan sejak ia baru dilahirkan ke dunia ini. Ingga bahkan tidak menginginkan kehidupan yang seperti ini, jika waktu bisa diulang mungkin Ingga lebih memilih mati dari pada harus menjalani kehidupan yang begitu berat ini seorang diri. Takdir memang begitu kejam untuk seorang Ingga yang rapuh.
Tanpa ia sadari air matanya tiba-tiba menetes tiap mengingat kisah pilu perjalanan hidupnya, dadanya begitu amat sesak bagai ditusuk ribuan belati. Ingga bukanlah lelaki yang mudah menangis. Tapi jika sudah mengingat kisah hidupnya, Ingga selalu merasa hatinya begitu hancur. Bergegas ia hapus air mata yang menetes di pipinya sambil mengatur nafas berkali-kali.
Merasa sudah lebih baik Ingga pun memutuskan untuk kembali ke kelasnya karena sebentar lagi jam pelajaran ketiga akan segera dimulai.
......................
Kriiiiing...
Bel sekolah pun berbunyi menandakan usainya waktu belajar. Semua siswa mulai meninggalkan kelas mereka satu persatu.
Ingga menjadi orang yang terakhir keluar dari dalam kelasnya. Sudah menjadi kebiasaannya menunggu area sekolah sepi terlebih dahulu karena Ingga tak begitu menyukai keramaian. Terlebih Ingga sering mendapat sapaan dari para siswi jika berpapasan di koridor yang membuat dirinya tidak nyaman karena merasa terlalu diperhatikan.
Ingga berjalan keluar kelas menyusuri koridor yang cukup sepi. Jarak Kosan yang ia sewa lumayan dekat dari sekolah jadi Ingga selalu pulang dan berangkat dengan berjalan kaki. Tentu saja alasan yang utama karena ia tidak memiliki kendaraan.
"Anak Panti!!" teriakan seseorang yang sangat familiar sampai membuat Ingga begitu jengah.
Ingga menghentikan langkahnya namun tidak berniat membalikkan badan untuk melihat siapa orang yang telah memanggilnya. Siapa lagi kalau bukan Satria sang pembuat onar.
"Kau masih bisa sombong dengan keadaanmu yang memprihatinkan ini." Ucap Satria berjalan mendekati Ingga sampai mereka saling berhadapan.
Ingga mengeryitkan kening. Apa yang pria ini katakan tadi. Bukankah yang selalu menyombongkan diri itu adalah dirinya. Ingga sungguh tidak mengerti dengan sikap Satria dan alasan apa yang membuatnya begitu membenci Ingga.
"Apa kau merasa menjadi pria yang keren karena selalu mendapat banyak perhatian dari para siswi di sekolah ini. Apa yang menarik dalam dirimu, apa mereka semua buta." Geram Satria dengan mengepalkan kedua tangannya.
"Padahal jika dibandingkan denganku, kau bukan apa-apa." Lanjut Satria.
Paham dengan apa yang Satria katakan Ingga tersenyum sinis, matanya terus menatap Satria yang ada dihadapannya tanpa rasa takut sedikitpun.
"Apa aku tidak salah dengar kalau seorang Satria Wijaya iri pada seorang anak Panti?" Ingga terkekeh mengucapkannya.
"Tutup mulutmu!" potong Satria dengan menarik kerah baju Ingga.
Ia tidak terima dengan apa yang telah Ingga katakan. Wajahnya merah padam karena menahan amarah.
Ingga menatap Satria dengan tatapan tajamnya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Ingga. Ia begitu tenang menghadapi amarah Satria tanpa ikut tersulut emosi.
Satria merasa terintimidasi oleh tatapan Ingga, ia pun melepas cengkraman tangannya dari kerah baju Ingga lalu memalingkan muka ke arah lain. Satria berdehem untuk menghilangkan rasa gugupnya.
Ingga membenarkan kerah bajunya yang sedikit berantakan akibat cengkraman dari Satria. Lalu menatap kembali ke arah Satria.
"Aku tidak ingin membuang waktuku apalagi mengotori tanganku hanya untuk memberimu pelajaran. Jika kau merasa iri dengan semua perhatian yang aku dapatkan, seharusnya dirimu sadar, kau memang tidak semenarik itu."
"Apa kau tahu? Tidak semua orang senang bila terlalu difokuskan. Dan aku adalah salah satu dari orang yang tidak menginginkan itu." Kata Ingga lagi.
Satria menatap Ingga tak percaya. Semua kalimat yang Ingga ucapkan sungguh membuat Satria sedikit terkejut.
Ingga membalikkan badannya. Sebelum ia melangkah Ingga kembali berucap.
"Satu hal lagi, orang yang lebih pantas untuk menutup mulut itu adalah kau, Satria Wijaya."
Ingga berlalu meninggalkan Satria yang tengah memekik kesal dengan ucapannya.
Satria menatap penuh kebencian punggung Ingga yang semakin lama semakin menjauh meninggalkan area sekolah. Semua yang dilakukan Ingga selalu membuat Satria merasa kesal. Dari segi fisik memang Ingga lebih tampan darinya apalagi soal kecerdasan. Tapi soal kekayaan Satria lah pemenangnya, banyak siswa di sekolah ini tahu bahwa Satria anak dari keluarga yang berada. Tapi mengapa orang lebih tertarik pada Ingga. Ingga selalu menjadi pusat perhatian dimana pun ia berada. Itu yang membuat Satria sangat membenci seorang Ingga.
Ingga akhirnya sampai di Kosannya. Ia duduk di teras lalu melepas kedua sepatu yang ia kenakan. Ingga cukup beruntung dalam urusan keperluan sekolah karena ia sering mendapat barang pemberian dari atasan tempat ia bekerja. Alasannya tentu saja karena Ingga sangat rajin dan tekun dalam menjalankan pekerjaannya. Dengan status Ingga yang masih seorang pelajar membuat sang atasan sering memberi perhatian lebih pada Ingga. Apalagi Ingga hidup seorang diri.
Mendapat banyak perhatian dari sang atasan kadang membuat Ingga merasa tidak enak hati. Bahkan Ingga juga sering menolak pemberian dari atasannya tapi sang atasan tetap memaksa agar Ingga menerima barang yang ia berikan. Ingga sangat bersyukur dan banyak berhutang budi karena selalu dikelilingi orang-orang yang baik.
Kerja keras yang ikhlas tidak akan membuatmu kecewa apapun hasil akhirnya.
Ingga membuka pintu kamar Kostnya. Ruangan yang ukurannya hanya 3×4 dengan kamar mandi dan sebuah dapur kecil di dalamnya telah menjadi tempat bernaungnya Ingga selama satu tahun lebih ini. Ia merebahkan tubuhnya di kasur kecil yang sudah usang.
Krukk... krukk...
Bunyi perut Ingga terdengar cukup nyaring. Ingga hanya terkekeh sambil mengusap perutnya pelan. Ingga memang sangat lapar hari ini tapi harus ia tahan sampai malam tiba karena uang simpanannya yang sudah menipis. Ia harus bisa berhemat untuk beberapa hari ke depan. Jadi Ingga harus bekerja terlebih dahulu agar ia bisa membeli makan. Begitu berat hidup yang Ingga jalani. Sampai untuk makan pun ia harus bekerja keras terlebih dahulu.
...****...
Malam pun tiba. Ingga sedang bersiap berangkat ke tempat kerjanya selepas melaksanakan shalat maghrib.
Ingga bekerja di toko sembako milik Pak Harun. Pria baik hati yang memperbolehkan seorang pelajar seperti Ingga untuk bekerja. Ingga bekerja bagian shift malam dari pukul 07.00 sampai pukul 12.00 malam. Terkadang ia membawa buku untuk belajar sampai mengerjakan tugasnya di toko. Itu sebabnya Ingga sering kelelahan dan mengantuk bila di sekolah.
Perjalanan dari Kosan ke toko cukup memakan waktu sehingga Ingga harus berangkat sebelum pukul 07.00 agar bisa sampai tepat waktu.
......................
Nafas Ingga sedikit terengah setelah sampai di toko. Ia kemudian berjalan masuk menghampiri sang atasan yang kebetulan berada di meja kasir.
"Assalamu'alaikum Pak. Bagaimana keadaan toko hari ini?" Sapa Ingga ramah seraya mengulurkan tangan untuk menyalami Pak Harun.
"Wa'alaikumsalam. Nak Ingga kamu baru sampai." Jawab Pak Harun memberikan tangannya untuk disalami. Ingga mencium punggung tangan Pak Harun.
"Alhamdulillah hari ini pelanggannya cukup ramai. Adi dan yang lainnya sampai kewalahan tadi siang melayani pembeli." Lanjutnya sembari menepuk pelan punggung Ingga. Pak Harun tersenyum ramah ke arahnya.
Mendapat perlakuan yang baik dari Pak Harun Ingga merasa mendapat kasih sayang seorang ayah. Cukup lama ia memandang wajah teduh milik Pak Harun.
"Saya tahu kalau saya ini memang tampan dan menawan itu sebabnya dari tadi kamu begitu fokus memandang saya." Pak Harun terkekeh melihat Ingga yang terus memandangnya.
Sadar dengan apa yang Ingga lakukan ia pun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal seraya tersenyum canggung ke arah Pak Harun. Ingga terlalu larut dalam pikirannya sampai tidak menyadari kalau dia masih menatap wajah Pak Harun.
"Sudah sudah. Kamu cepat masuk ke dalam untuk mengecek beras yang ada di ruang belakang. Nanti saya panggil lagi untuk makan malam bersama." Ucap Pak Harun dan Ingga pun mengangguk.
"Baik Pak. Kalau begitu saya ke belakang sekarang." Pamit Ingga sopan dan dibalas dengan anggukan oleh Pak Harun.
Ingga sampai di ruang belakang tempat penyimpanan karung-karung beras. Ia mulai menghitung karung-karung yang telah dipesan pelanggan dan akan dikirimkan oleh pekerja yang lain. Ingga akan menambah atau mengurangi jumlah karung bila ada yang tidak sesuai dengan catatan pemesanan.
Dengan tubuh yang agak lemas karena belum makan seharian, Ingga mulai mengangkat satu persatu karung untuk dipisahkan. Cukup lama ia mengerjakan tugasnya itu sampai panggilan seseorang menghentikan aktifitasnya.
"Ingga!" Panggil Kang Tejo salah satu pekerja di toko.
"Eh... iya Kang, perlu bantuan saya?" Tanya Ingga saat melihat kedatangan Kang Tejo.
"Bukan Ga, saya ke sini karena disuruh Pak Harun untuk memanggil kamu makan malam bersama. Ayo tinggalkan dulu pekerjaanmu." Ajak Kang Tejo.
"Baik Kang. Tapi Kang Tejo pergi duluan saja, saya mau membersihkan diri dulu sebentar." Ingga memperlihatkan kedua tangannya yang kotor setelah mengangkat karung beras.
"Ya sudah kalau begitu. Nanti kalau sudah selesai cepat menyusul ya Ga." Ucap Kang Tejo ramah setelah itu beranjak meninggalkan Ingga.
Ingga tersenyum.
Beruntung sekali aku ini. Hidup seorang diri tapi aku tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang sebuah keluarga. Batin Ingga berucap.
Ingga melangkah masuk ke kamar mandi yang ada di ruangan itu untuk membersihkan bagian tubuhnya yang kotor. Setelah itu Ingga ikut menyusul Kang Tejo.
......................
Pak Harun melihat kedatangan Ingga yang keluar dari ruang belakang.
"Nak... ayo cepat kita makan bersama. Kemari duduk di samping saya" Ajak Pak Harun dengan tulusnya.
Ingga balas tersenyum lalu mengangguk. Langkahnya mendekat ke arah Pak Harun yang tengah duduk lesehan di atas karpet. Terdapat beberapa nasi bungkus yang sengaja Pak Harun beli untuk semua pekerjanya. Para pekerja akan makan bersama seperti ini bila Pak Harun tengah berada di toko. Jika beliau sedang ada keperluan di luar dan tidak sempat ke toko para pekerja akan diberi uang makan sebagai gantinya.
Sungguh tempat kerja yang sangat membuat karyawannya nyaman dan merasa beruntung. Dan gaji yang Pak Harun berikan untuk Ingga cukup jika hanya untuk dipakai kebutuhan sehari-hari tapi sangat kurang bila dipakai biaya kamar Kost. Belum lagi Ingga yang selalu ingin memberi sebagian uang hasil jeri payahnya kepada Bu Laras untuk sedikit membantu kebutuhan anak di Panti asuhan.
Ingga duduk disamping Pak Harun. Kelima pekerja mulai menyantap nasi bungkus yang di beli Pak Harun. Sederhana, namun terasa nikmat jika dimakan bersama-sama. Jadwal shift malam sebenarnya dari pukul 03.00 siang sampai pukul 12.00 malam. Sedangkan jadwal pulangnya Ingga di sekolah adalah pukul 04.00 sore, itu sebabnya ia bekerja pukul 07.00 malam. Tapi dengan kebaikan Pak Harun Ingga diperbolehkan bekerja walau hanya enam jam saja. Dan ya, itu yang menyebabkan gaji Ingga berbeda dari pekerja yang lain.
......................
Setelah semuanya selesai makan, mereka melanjutkan pekerjaannya masing-masing begitu pula dengan Ingga. Saat Ingga baru akan beranjak untuk kembali ke ruang belakang, ia dihentikan oleh panggilan seseorang.
"Ingga!" Panggil Pak Harun lembut.
Ingga membalikkan badan dan melihat Pak Harun yang sedang melangkah mendekat ke arahnya.
"Iya Pak. Bapak perlu bantuan saya?" Ingga mengira Pak Harun akan memberi ia perintah.
"Tidak ada nak, saya hanya ingin mengobrol sebentar sama kamu. Kita ke ruangan saya saja supaya lebih santai berbincang nya." Ajak Pak Harun yang membuat Ingga sedikit merasa heran.
Tidak biasanya Pak Harun mengajak Ingga berbincang sampai harus pergi ke ruangannya. Apa Ingga melakukan kesalahan sampai ia diajak berbicara hanya empat mata. Ingga mulai merasa cemas karena pikiran negatifnya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!