Biru Jingga Kelabu

Biru Jingga Kelabu

Mabuk Laut

Ada dalam cinta itu seperti mabuk laut yang menyenangkan. Kita bisa berkata bahwa ruh kita separuh tak sadar, tapi sesuatu menyusup ke dalam raga dan membuat ketidak sadaran itu jadi menyenangkan.

Jingga dan Biru saling mencintai. Itu yang semua orang katakan belakangan ini. Kedua manusia itu tak pernah melepaskan tangan mereka ketika bersama dan saling memandang dengan pandangan sayang.

"Kita sebenarnya apa?" Biru menengadah ke langit dan bergumam pelan. Saat itu warna langit secantik wanita di sisinya, dan anak-anak kecil bermain riang seperti hiasan malaikat kecil dalam atap rumah orang Eropa pada jaman dahulu. Rasanya hari itu semua jadi sangat sempurna.

"Entah juga, Biru."

"Entah?" Bukan entah jawaban yang dia ingin dengar dari Jingga. Dia ingin sesuatu yang lebih berkesan seperti wajah malu-malu dan juga kedipan mata.

Saat itu Jingga menarik napas. Sepertinya dia lelah. Entah lelah pada hal macam apa. Apakah dia lelah pada Biru yang selama ini tengah mengumpulkan keberanian untuk mencintainya?

"Jingga, bagaimana kalau aku melamarmu untuk jadi istrimu sampai maut datang?"

Biru bergetar. Wajah jingga saat itu justru keruh dan seperti air bah yang penuh air mata.

"Bukankah cukup jika kita hanya bersahabat saja?" Jawaban tajam seperti pisau pada jelaga lemah di perdapuran.

Biru terdiam. Dia ditolak bahkan sebelum pelatuk cinta di hatinya menumbuk bokong peluru.

Pria patah hati itu lalu pergi. Dia meninggalkan Jingga yang diam di sisi taman dengan dada sekeruh wajahnya.

Biru bukan yang pertama. Jingga harap dia jadi yang terakhir setelah segala omong kosong soal romansa. Jingga tak pernah mau untuk membuka dirinya karena dia tahu, wanita sepertinya tak pantas untuk cinta

"Tuhan, kenapa engkau menggodaku dengan cinta di saat aku tak pantas?" Wajah Jingga terbenam dalam telapak tangannya. Sekalut itu dia sekarang.

Saat hari gelap, saat panggilan ibadah bergema dari pengeras suara di masjid-masjid, Jingga mulai bangkit karena dia tahu Ibunya mungkin khawatir karena perginya sang anak seharian ini.

"Assalamualaikum." Jingga mengucap salam seraya melepas sepatunya yang berdebu. Pintu rumah terbuka hingga tampak seorang wanita yang masih terbalut mukenanya.

"Waalaikumsalam. Sore banget pulangnya, Ngga? Mandi dan sholat sana."

Jingga tersenyum kikuk dan menurut. Toh mandi tak harus berlangsung semalaman, dan sholat bukan perkara sulit untuk tak dijalani. Jadi, saat dia selesai membersihkan diri, dia segera menghadap Tuhannya dan meluapkan apa yang ada di hati.

"Tuhan? Aku yang kotor ini, apakah bisa merasakan kembali manisnya cinta?" Suara doa itu lirih. Jingga seperti berusaha mencari jawaban terbaik atas apa yang sudah jelas bagi nasibnya. "Aku sudah bermain dengan tubuhku hanya demi nafsu dan kesenangan semata. Aku bahkan tak lagi punya rahim untuk bisa kembali memiliki anak. Kukira dulu aku bisa tenang hanya dengan menjalani hidupku yang arogan, sampai aku tahu bila segala pilihanku adalah kesalahan."

Jingga menangis. Isaknya membuat pundak lemah itu berguncang dan membuatnya ingin bersujud lebih lama lagi.

"Tuhan, di hidup ini, aku sudah kalah."

Jingga meraup wajahnya. Tuhan mungkin tidak menjawab dengan cara manusia menjawab, tapi Jingga berharap suatu saat dia akan menemukan jalan yang tepat yang bisa mengembalikan kebahagiaannya.

"Jingga! Ayo makan!" Ibu di luar kamar sudah tak sabar dengan ibadah anaknya. Dia ingin lekas berbagi makanan yang dia masak dan menatap wajah puas sang anak.

Tapi saat pintu kamar terbuka, justru kusam dan sembab yang terlihat.

"Jingga? Ada apa?"

Jingga menggeleng. Ibunya terlalu baik untuk disakiti dengan ceritanya. Jingga ingin semua yang terjadi hanya jadi lukanya sendiri. Bahkan jika bisa, dia ingin membawanya sampai mati.

Kedua wanita itu berakhir di meja makan. Sang ibu memberi satu centong nasi dan beberapa lauk pendamping yang biasanya akan dilahap cepat oleh si anak.

"Kamu sakit?" Mata Ibu Jingga melirk anaknya yang seperti tak berselera.

Jingga menggeleng. Seharusnya dia menutupi raut sedih itu.

"Apa gara-gara Biru?"

Sukma Jingga seperti tergerakkan. Dia sedikit terkejut dengan tanya sang Ibu yang tepat sasaran.

"Biru kemarin telepon ibu. Dia cerita soal banyak hal, termasuk kemungkinan jika dia ingin menjadikanmu istrinya."

Kali ini Jingga seperti dihujam badai. Nama Biru saja sudah membuatnya kacau, apa lagi dengan seluruh curahan hatinya yang sepertinya sungguh-sungguh.

"Jingga sepertinya tak akan mau menikah, Bu."

"Loh kok gitu?" Sontak Ibu terkejut. Bagaimana bisa hal yang sebegitu buruk terucap oleh bibir Jingga. "Apa alasannya, Nak?"

Baru saja Ibu hendak memaksa Jingga untuk menjelaskan, kursi Jingga tergeser dan memperlihatkan tubuh wanita itu yang pergi ke kamarnya.

Ibu hanya diam. Rasa khawatir di dadanya membuatnya terus menerka tentang rahasia apa yang Jingga-anaknya simpan.

Jingga sendiri sedang membenamkan wajahnya dalam pelukan bantal. Dia ingin suara tangisnya teredam. Dia ingin jerit dan kesedihannya tak terdengar telinga siapa pun.

Sedang nun jauh di sana, seorang pria bernama Biru menatap layar ponselnya dan seperti gundah karena tak punya keberanian untuk menghubungi si dia yang terkasih.

Foto Jingga penuh dalam folder ponselnya. Dia bahkan menyimpan kenangan mereka ketika masih duduk di bangku sekolah dasar.

Setelah sekian tahun mengenal dan merasa cocok, jawaban Jingga bukanlah sesuatu yang bisa Biru duga. Padahal dia sudah sangat percaya diri dengan kemungkinan diterimanya dirinya. Padahal dia sudah bersiap untuk langkah lain yang lebih berani.

Tapi tidak-nya Jingga berarti tidak yang hakiki. Biru sudah tak punya kesempatan dan dia tak bisa berbuat hal lain.

Bahkan, jika kini dia rindu akan wanita itu, Biru tak akan mampu mendekati diri Jingga atau rumahnya sekali pun. Dia tak mungkin bisa menatap wajah sang pujaan hati yang mungkin menganggapnya sebagai makhluk konyol yang gampang menyerah.

Tiba-tiba ponsel berdering. Ibu Jingga membuat mata Biru mendelik lebar karena tak menyangka beliau menghubunginya di saat seperti ini.

"Sebenarnya ada apa?" Ibu paruh baya itu bertanya dengan sangat lemah lembut.

Apa yang bisa Biru berikan sebagai jawaban? Apa yang pantas Biru jelaskan yang seharusnya menjadi penjelasan langsung lewat mulut Jingga?

"Biru, ibu tak tahu apa yang terjadi, tapi Jingga tak mau makan sejak pulang. Dia lesu dan sepertinya ada sesuatu yang terjadi, ya? Ada apa, Biru?"

Haruskah Biru marah. Disaat Jingga menolaknya, bukan kah seharusnya dia yang sakit hati dan menyerah lemah?

"Maaf, Bu. Saya juga tak punya jawaban kenapa Jingga seperti itu." Biru memainkan jarinya pada ujung seprai yang terburai. "Bu, Saya tutup ya teleponnya? Saya sedang sibuk untuk hal lain."

Lalu panggilan itu selesai begitu saja. Tak ada lagi pertanyaan atau hal lain yang memancing gundah di dada Biru. Tidak, dia tak mau dan tak akan menerima jika hal di luar dirinya merusaknya.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!