"Kamu di fakultas ini?" Anto melirik dari pintu mobil yang terbuka.
"Iya. Mau masuk?"
"Gak usah repot-repot. Gak ada kopi, kan?"
Lelucon bagus itu membuat Jingga menahan tawa.
Pada akhirnya pertemuan mereka hari itu berlangsung singkat. Jingga bahkan belum sempat membalas kebaikan Anto dengan mengajaknya makan.
Gedung yang Jingga tuju berada cukup dekat dari jalan raya. Jika berjalan kurang dari seratus meter, dia akan menemukan fakultas lain yang diisi mahasiswa yang masuk dalam program magister.
"Ah! Maaf!" Seorang pria menyenggol Jingga yang bisa-bisanya melamun di tempat sepi itu.
"It's oke. Selama Gucci bagku gak tergores kamu selamat, nona cantik."
Jingga terpana dengan penampakan sosok itu. Seorang pria elegan yang sedikit kemayu tapi tidak terlihat norak. Melihat pria itu seperti melihat master piece dari caranya mengenakan kemeja putih dan juga celana warna kaki.
Kulitnya sawo matang dan terlihat begitu bersih. Jarang sekali pria dengan kulit seperti itu bisa terlihat sangat cantik di mata wanita.
Pria itu duduk di kelas yang sama dengan Jingga. Dia mengambil kursi secara asal pada bangku yang ada di depan Jingga.
"Hay!"
"Ya?" Jingga terkejut saat pria itu menegurnya. Dia sepertinya terlalu supel untuk penampakan elegannya. "Oh, Hay!" Jingga yang sadar setelah cukup lama mulai menyalami tangan itu.
"Namaku Yuda."
"Aku Jingga."
"Kamu S1 apa, dulu?" tanya pria itu yang membuat Jingga sedikit canggung.
"Aku ambil Gizi. Kamu?"
Pria itu memberi kode dengan menutup mulutnya seperti terkejut. "Aku mau bilang kalau kita sama, tapi enggak. Aku ambil S1 KesMas. Tahu kan kampusnya yang mana? Ada tuh di deket ringrud."
Jingga terdiam. Sepertinya dia menahan tawa karena polah tingkah menggemaskan pria itu.
"Kamu naik apa ke sini? By the way, tinggal di mana kamu?
"Aku tinggal di Bantul. Tadi temenku yang anter aku ke kampus."
Sepertinya keduanya cocok. Pria bernama Yuda itu bahkan bersedia memberikan tumpangan untuk pulang kembali ke rumah kontrakan Jingga jiga Jingga tak keberatan.
Sebuah pertemuan memang bagusnya seperti ini. Tidak melulu tertutup gengsi karena merasa paling tinggi di banding setiap manusia yang lain.
Yuda sendiri sosok cemerlang yang punya banyak pengetahuan. Dia mengambil program magister bukan untuk mencari sebuah pekerjaan, tapi mencari wawasan baru untuk bekalnya di kemudian hari.
"Mamaku bangun rumah sakit. Kami suka bakti sosial dan bikin banyak pertemuan buat membahas penyakit masyarakat. Kapan-kapan kamu dateng, ya. Aku tahu kamu cerdas dan suka tema menarik soal kesehatan masyarakat."
Tentu saja Jingga tertarik. Dia suka diskusi dan juga segala hal yang menurutnya layak diperbincangkan. Dia dengan senang hati menerima undangan Yuda dan tanpa sadar menjadikan keduanya sebagai teman dekat dengan cepat.
"Jinggajinggajingga!" Pria gemulai itu berlari kecil dan tampak repot ketika beberap barangnya jatuh dari tas.
"Ya ampun, Yud. Kamu hati-hati lah kalau jalan. Pod kamu hampir keinjek, tuh." Jingga dengan telaten mengumpulkan barang-barang yang Yuda jatuhkan satu persatu.
"Sweet heart. Kamu baik banget mau bantuin aku. Peluk sini." Yuda tampak gemas. Jiwa ekstrovertnya mencintai Jingga dengan cara yang jujur. "Kamu udah makan? Ikut aku, yuk."
"Ke mana?"
"Ya makan, sayang. Kan konteks pertama yang kutanya soal makan." Yuda lagi-lagi menahan diri untuk tak mencubut Jingga. "Aku traktir. Makan enak, minum lezat, dan ada spot fotonya."
Jingga tak bisa menolak. Yuda teman pertamanya di kampus ini dan mereka seperti magnet yang saling tertarik.
"Kita pakai mobil pacarku, ya. Sebentar lagi orangnya datang." Yuda menyipit pada pergerakan sebuah mobil berwarna putih. Dia melambai dengan anggun namun berhasil membuat hati Jingga gagal berfungsi. "Anto! Sini!"
"Ya, Tuhan!" Jingga hampir menjerit.
"Ya Tuhan! Kamu kaget, ya? Iya, aku pacaran sama cowok!" Yuda melompat centil dan menarik pria kaku yang menatap Jingga dengan wajah keruh. "Namanya Anto, dan kami sudah sedekat lem dan stiker. I can't life without him." Dan satu kecupan di pipi Anto. "Yuk, ah. Aku udah laper! Ayo cepetan bergerak!"
Anto sendiri memberi kode tangkupan tangan di depan dadanya. "Plis, jangan bilang apa-apa," ucap gerak bibir Anto yang seperti ketakutan.
Mereka bertiga berakhir dalam satu meja di sebuah kafe dengan harga makanan yang tak semurah magelangan burjo. Yuda sendiri terus memesan makanan yang baginya merupakan menu terenak tanpa tahu bahwa Jingga berusaha untuk tak beradu tatap dengan Anto.
"Kita lagi di kuburan, ya?" Yuda berceloteh sembari memunguti kentang di pinggir piringnya. "Aku gak pernah tahu kalian berdua begitu pendiem." Yuda melihat penuh selidik. "Kalian pasti canggung banget karena makan siangnya gak direncanain. Tapi beneran, aku pengen kalian berdua ketemu karena aku ngerasa klop banget dengan kalian."
Pria itu berceloteh sepanjang acara makan. Dia tak tahu kalau Jingga berusaha tak menggubris chat Anto yang dikirim dengan penuh semangat.
"Plis, anggep kita gak kenal." Satu chat yang menjadi penutup chat panik lain.
***
Jingga mengempaskan dirinya pada ranjangnya yang empuk. Hari ini terasa begitu panjang, menarik dan lucu. Dia tak pernah mengira akan terlibat dalam sebuah ikatan yang tak pernah dia pikirkan.
"Padahal aku kira, aku akan menjalin cinta dengan pria itu." Jingga menarik napas dan tersenyum. "Siapa sangka kalau dia gay."
"I am really sorry." Pesan Anto terbaca sesaat sebelum Jingga menuju kamar mandi.
"Kenapa harus minta maaf?" Ya. Jingga tak paham apa yang salah dari Anto sehingga pria itu harus minta maaf.
"Hanya saja, tadi itu pasti canggung sekali."
Jingga mendengus dan merasa chat Anto begitu lucu. "Enggak juga. Hanya saja, aku sedikit terkejut. Lagi pula, agak aneh kenapa kamu gak kasih tahu aja ke Yuda kalau kita saling kenal."
"Kamu pun juga begitu, kan?"
Iya juga.
"Jingga, kalau Yuda tahu kita saling kenal, aku bakal didiamkan kaya kopi yang gak enak. Dia bakal berbuat aneh seharian dan menangis kaya cewek PMS."
Jingga menarik napas. Ternyata hubungan seliar Anto dan Yuda pun punya celah masalah. Dia sendiri merasa harus menjaga jarak dari keduanya karena mencium sesuatu bahaya.
"Kamu sepertinya gak bisa sering-sering ketemu aku."
Jingga harap, balasan Anto akan berbunyi seperti seseorang yang merajuk, seperti seorang pecinta yang tak bisa jauh dari kekasihnya.
Tapi tidak. Anto justru mengiyakan dengan barisan kalimat datar.
"Kamu benar. Aku sudah punya Yuda dan tak bisa bikin dia sakit hati karena aku deket sama kamu." Jingga membaca kalimat itu dengan rasa kesal. Entah kenapa dia tak suka dengan apa yang Anto ucapkan. "Tapi kita akan sering ketemu. Yuda suka banget sama kamu. Dan dia bakal kirim undangan ke berbagai acara yang bikin kamu dan dia jadi sering bersama."
Namun, apa itu penting, sekarang?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments