Sampai

"Bagaimana rumah kontrakannya?" Biru mengirim pesan dan membuat Jingga semakin tak enak hati. Perasaannya yang hancur akibat ulahnya sendiri, kini semakin tak karuan dan membuat kepalanya sedikit terasa pusing.

“Aku baru sampai. Kontrakannya lumayan. Mungkin aku akan istirahat sebentar, baru memulai membereskan semua barangku.”

“Baguslah.”

Hanya itu. Baguslah soal apa? Apa bagus bagi Biru karena wanita yang menolaknya berada jauh darinya? Atau bagus bagi Biru untuk ada di kepastian bahwa dia tak bisa memiliki barang satu inci pun apa yang ada pada diri Jingga?

Air mata sudah tak lagi bisa dia bendung. Jingga ingin menyalahkan seseorang, tapi di situasi ini, dia lah yang salah.

“Cukup, Jingga. Benahi dirimu. Kamu ada di Jogja bukan untuk membunuh dirimu dalam tangis.” Jingga menarik napas. Dia butuh cukup banyak oksigen agar bisa tetap hidup. Agar senggal tangis itu hilang dan berganti jadi kelegaan.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Seseorang mencoba menghubunginya dan membuatnya sedikit lupa akan kesedihannya yang lalu.

“Gimana? Udah sampai di rumah?”

Anto. Dia pasti sedang memastikan kalau dia menghubungi nomer yang tepat.

Jingga tanpa ragu mempost foto beberapa barangnya. Dia bahkan menyisipkan pose dua jari sebagai tanda bahwa dia masih bersemangat untuk melakukan banyak hal.

“Aku sepertinya butuh perkakas rumah tangga. Kontrakannya kosong, dan aku bingung mau makan apa di tempat yang tak ada kompor.”

“Burjo, dong.”

Kening Jingga mengerut. “Burjo itu apa?”

Emotikon senyum menempel pada pesan dari Anto. “Nanti aku kasih tahu. Share lokasimu, dong. Aku jemput buat cari tempat makan.”

Harus, kah? Maksudnya, Jingga baru saja mengenal Anto. Dia bahkan tak tahu dari mana tempat asal pria itu. Tapi Anto teman yang menyenangkan, pun Jingga tak tahu betul tempat-tempat yang ada di Jogja. Lagi pula, kalau Anto macam-macam, dia bisa memukulnya dengan sikutnya yang tajam. Segala tulang yang menonjol di tubuh Jingga bisa jadi senjata yang baik.

Jingga lekas menekan ponselnya. Dia butuh teman dan juga makanan enak. Tadi, sebelum terbang, dia belum sempat makan apa pun, dan sepertinya makanan bernama burjo itu cukup menarik.

Jadi, setelah membersihkan diri, menyemprotkan beberapa minyak wangi dan menunggu dengan manis di depan rumahnya, Anto datang dengan sebuah mobil yang entah berjenis apa. Hanya saja mobil itu terlihat mahal dan bau kopi menguar ketika Jingga memasuki ruangan di dalamnya.

“Jadi ke burjo?” Anto membenahi sabuk pengaman Jingga tanpa diminta.

“Emang burjo itu apa, sih?”

Anto tersenyum. “Kamu beneran gak tahu atau pura-pura gak tahu?” Harusnya Anto tahu jawabannya dari tatapan polos mata Jingga. “Beneran gak tahu burjo? Bubur kacang ijo, loh?”

“Hah? Bubur kacang ijo? Kok jadi burjo?”

Anto tertawa. “Uniknya lagi, isi warungnya gak cuma bubur. Nasi dan mi instan juga ada.”

Jingga sepertinya berharap terlalu tinggi. Lagi pula, Anto datang dengan sebuah mobil besar yang sepertinya tak cocok dengan warung bubur kacang ijo. Membuat Jingga bertanya, apa semua pelanggan bubur kacang ijo punya kendaraan sementereng Anto?

Mobil itu menempati parkir dengan cepat. Memperlihatkan sebuah warung yang disesaki beberapa orang dengan berbagai pesanan. Tak ada tempat yang seperti itu di kota Jingga. Dan bau bubur kacang hijau dari kuali besar tercium sangat nikmat.

“Aku mau pesen ... “ Jingga menatapi menu yang ditempel dengan tulisan jelas di dinding. “Magelangan itu apaan, sih?”

Anto tersenyum. “Coba aja pesan.” Ucapan Anto terdengar seperti tantangan. Haruskah Jingga benar-benar menuruti rasa ingin tahunya.

“Kalau gitu, aku mau satu.” Jingga menyambut tantangan itu. Kalau dia tak suka, dia bisa memesan hal lain tanpa membuat masalah yang cukup berarti. Lagi pula, ini hanya soal makanan dan dia ada di tempat baru, jadi rasanya tak masalah untuk banyak mencoba.

Hal yang mengejutkan dari makanan bernama magelangan itu adalah porsinya yang luar biasa. Makanan itu sendiri merupakan campuran dari nasi goreng dan mie goreng. Mereka ditambahi bumbu-bumbu yang terdiri dari bawang-bawangan, cabai, dan juga bumbu mie instan goreng.

Jingga meneguk liur melihat bagaimana tumpah ruahnya makanan itu. Dia tak yakin makanan sebanyak dan seamburadul itu bisa habis ke dalam perutnya.

“Ayo di makan?”

Anto adalah jenis manusia baru, menurut Jingga. Dia terlihat memiliki banyak uang tapi bisa makan dengan rakus di warung sederhana yang menyajikan gunungan nasi dan campuran mie. Sedang Jingga sendiri terbiasa dengan sikap malu-malu yang khas seorang wanita. Dia bingung harus mulai menyendok makanan dari mana dan memutuskan menyerah untuk menjadi wanita yang tahu table manner.

“Enak?” Anto melirik pada mata Jingga yang berbinar.

“Luar biasa.” Rasanya Jingga sanggup hingga suapan terakhir dengan rasa sefantastis itu.

***

Suara tangis terdengar saat Jingga tertidur. Asalnya bukan dari alam gaib atau pun ranting yang bergesek pada tubuh kerabatnya. Suara itu keluar dari mulut Jingga yang tengah tertidur. Harusnya, setelah semua lelahnya, dia bisa tidur dengan nyaman di rumah yang baru ia tempati.

Tapi tidak.

Rasa patah hatinya pada Biru membuatnya merasa bersalah.

“Biru, maaf.” Suara Jingga bergetar. Dia bahkan membuat sebuah suara sesak seperti orang yang tersiksa. “Aku cinta kamu, Biru. Tapi aku tak tahu apakah aku pantas untukmu?”

Lalu, setelah bayangan punggung Biru yang mengabur, Jingga terbangun. Dia mulai merasakan rasa lemas akibat tangis yang meleleh hingga ke bantalnya.

“Aku bisa gila kalau terus seperti ini,” gumam Jingga yang memutuskan untuk tak tidur di saat hatinya kacau.

Tangan Jingga lantas meraih ponsel yang tergeletak di mejanya. Sepertinya ada beberapa pesan yang masuk sementara dia terlelap. Salah satunya tentu dari si charming Anto. Dia sepertinya menyukai Jingga dan Jingga tak merasa keberatan dengan pendekatan agresif itu.

“Apa Jogja menyenangkan?”

Jingga tersenyum seraya mengetik. Ajaib memang Anto satu ini. Dia bisa membuat Jingga lupa dari rasa sedihnya yang seperti genangan banjir.

“Lumayan. Sekarang aku tahu cara makan enak dan banyak tanpa membuat kantong sengsara.”

Lalu emotikon senyum. Emotikon semacam ini jarang muncul di chat pria lain yang jingga kenal.

“Mau jalan?” tany Anto.

Jingga tentu bingung. Dia bahkan memastikan jam di ponselnya yang masih menunjukkan angka dua pagi.

“Gak salah?”

“Gak mau?” Anto justru balas bertanya.

“Menurutmu, apa ada cewek waras yang mau diajak pergi sepagi ini? Jam segini bahkan gak bisa disebut pagi.”

“Jadi kamu gak mau?” Lagi-lagi Anto membalas dengan pertanyaan baru. Tak lama, sebuah foto masuk ke aplikasi chat ponsel Jingga dan memperlihatkan lautan lampu yang menerangi daratan. Sepertinya foto itu diambil dari atas perbukitan dan menciptakan efek lautan bersinar yang memanjakan mata. “Jogja day 1. Kamu harusnya mau waktu kuajak ke sini. Di sini tempat paling keren untuk ngopi dan mempersalahkan takdir.”

Jingga tersenyum. Jarinya berdansa pada keyboard virtual ponselnya. “Aku tak akan tertipu pada ajakan manis seorang pria walau dia mengirimiku foto tercantik di hari pertama kepindahanku.”

Jingga melihat Anto mengiriminya barisan suara tawa. “Padahal aku harap aku bisa mendekati wanita secantik kamu untuk malam yang masih panjang ini.”

“kalau begitu, perjuanganmu masih sangat jauh, wahai pria.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!