NovelToon NovelToon

Biru Jingga Kelabu

Mabuk Laut

Ada dalam cinta itu seperti mabuk laut yang menyenangkan. Kita bisa berkata bahwa ruh kita separuh tak sadar, tapi sesuatu menyusup ke dalam raga dan membuat ketidak sadaran itu jadi menyenangkan.

Jingga dan Biru saling mencintai. Itu yang semua orang katakan belakangan ini. Kedua manusia itu tak pernah melepaskan tangan mereka ketika bersama dan saling memandang dengan pandangan sayang.

"Kita sebenarnya apa?" Biru menengadah ke langit dan bergumam pelan. Saat itu warna langit secantik wanita di sisinya, dan anak-anak kecil bermain riang seperti hiasan malaikat kecil dalam atap rumah orang Eropa pada jaman dahulu. Rasanya hari itu semua jadi sangat sempurna.

"Entah juga, Biru."

"Entah?" Bukan entah jawaban yang dia ingin dengar dari Jingga. Dia ingin sesuatu yang lebih berkesan seperti wajah malu-malu dan juga kedipan mata.

Saat itu Jingga menarik napas. Sepertinya dia lelah. Entah lelah pada hal macam apa. Apakah dia lelah pada Biru yang selama ini tengah mengumpulkan keberanian untuk mencintainya?

"Jingga, bagaimana kalau aku melamarmu untuk jadi istrimu sampai maut datang?"

Biru bergetar. Wajah jingga saat itu justru keruh dan seperti air bah yang penuh air mata.

"Bukankah cukup jika kita hanya bersahabat saja?" Jawaban tajam seperti pisau pada jelaga lemah di perdapuran.

Biru terdiam. Dia ditolak bahkan sebelum pelatuk cinta di hatinya menumbuk bokong peluru.

Pria patah hati itu lalu pergi. Dia meninggalkan Jingga yang diam di sisi taman dengan dada sekeruh wajahnya.

Biru bukan yang pertama. Jingga harap dia jadi yang terakhir setelah segala omong kosong soal romansa. Jingga tak pernah mau untuk membuka dirinya karena dia tahu, wanita sepertinya tak pantas untuk cinta

"Tuhan, kenapa engkau menggodaku dengan cinta di saat aku tak pantas?" Wajah Jingga terbenam dalam telapak tangannya. Sekalut itu dia sekarang.

Saat hari gelap, saat panggilan ibadah bergema dari pengeras suara di masjid-masjid, Jingga mulai bangkit karena dia tahu Ibunya mungkin khawatir karena perginya sang anak seharian ini.

"Assalamualaikum." Jingga mengucap salam seraya melepas sepatunya yang berdebu. Pintu rumah terbuka hingga tampak seorang wanita yang masih terbalut mukenanya.

"Waalaikumsalam. Sore banget pulangnya, Ngga? Mandi dan sholat sana."

Jingga tersenyum kikuk dan menurut. Toh mandi tak harus berlangsung semalaman, dan sholat bukan perkara sulit untuk tak dijalani. Jadi, saat dia selesai membersihkan diri, dia segera menghadap Tuhannya dan meluapkan apa yang ada di hati.

"Tuhan? Aku yang kotor ini, apakah bisa merasakan kembali manisnya cinta?" Suara doa itu lirih. Jingga seperti berusaha mencari jawaban terbaik atas apa yang sudah jelas bagi nasibnya. "Aku sudah bermain dengan tubuhku hanya demi nafsu dan kesenangan semata. Aku bahkan tak lagi punya rahim untuk bisa kembali memiliki anak. Kukira dulu aku bisa tenang hanya dengan menjalani hidupku yang arogan, sampai aku tahu bila segala pilihanku adalah kesalahan."

Jingga menangis. Isaknya membuat pundak lemah itu berguncang dan membuatnya ingin bersujud lebih lama lagi.

"Tuhan, di hidup ini, aku sudah kalah."

Jingga meraup wajahnya. Tuhan mungkin tidak menjawab dengan cara manusia menjawab, tapi Jingga berharap suatu saat dia akan menemukan jalan yang tepat yang bisa mengembalikan kebahagiaannya.

"Jingga! Ayo makan!" Ibu di luar kamar sudah tak sabar dengan ibadah anaknya. Dia ingin lekas berbagi makanan yang dia masak dan menatap wajah puas sang anak.

Tapi saat pintu kamar terbuka, justru kusam dan sembab yang terlihat.

"Jingga? Ada apa?"

Jingga menggeleng. Ibunya terlalu baik untuk disakiti dengan ceritanya. Jingga ingin semua yang terjadi hanya jadi lukanya sendiri. Bahkan jika bisa, dia ingin membawanya sampai mati.

Kedua wanita itu berakhir di meja makan. Sang ibu memberi satu centong nasi dan beberapa lauk pendamping yang biasanya akan dilahap cepat oleh si anak.

"Kamu sakit?" Mata Ibu Jingga melirk anaknya yang seperti tak berselera.

Jingga menggeleng. Seharusnya dia menutupi raut sedih itu.

"Apa gara-gara Biru?"

Sukma Jingga seperti tergerakkan. Dia sedikit terkejut dengan tanya sang Ibu yang tepat sasaran.

"Biru kemarin telepon ibu. Dia cerita soal banyak hal, termasuk kemungkinan jika dia ingin menjadikanmu istrinya."

Kali ini Jingga seperti dihujam badai. Nama Biru saja sudah membuatnya kacau, apa lagi dengan seluruh curahan hatinya yang sepertinya sungguh-sungguh.

"Jingga sepertinya tak akan mau menikah, Bu."

"Loh kok gitu?" Sontak Ibu terkejut. Bagaimana bisa hal yang sebegitu buruk terucap oleh bibir Jingga. "Apa alasannya, Nak?"

Baru saja Ibu hendak memaksa Jingga untuk menjelaskan, kursi Jingga tergeser dan memperlihatkan tubuh wanita itu yang pergi ke kamarnya.

Ibu hanya diam. Rasa khawatir di dadanya membuatnya terus menerka tentang rahasia apa yang Jingga-anaknya simpan.

Jingga sendiri sedang membenamkan wajahnya dalam pelukan bantal. Dia ingin suara tangisnya teredam. Dia ingin jerit dan kesedihannya tak terdengar telinga siapa pun.

Sedang nun jauh di sana, seorang pria bernama Biru menatap layar ponselnya dan seperti gundah karena tak punya keberanian untuk menghubungi si dia yang terkasih.

Foto Jingga penuh dalam folder ponselnya. Dia bahkan menyimpan kenangan mereka ketika masih duduk di bangku sekolah dasar.

Setelah sekian tahun mengenal dan merasa cocok, jawaban Jingga bukanlah sesuatu yang bisa Biru duga. Padahal dia sudah sangat percaya diri dengan kemungkinan diterimanya dirinya. Padahal dia sudah bersiap untuk langkah lain yang lebih berani.

Tapi tidak-nya Jingga berarti tidak yang hakiki. Biru sudah tak punya kesempatan dan dia tak bisa berbuat hal lain.

Bahkan, jika kini dia rindu akan wanita itu, Biru tak akan mampu mendekati diri Jingga atau rumahnya sekali pun. Dia tak mungkin bisa menatap wajah sang pujaan hati yang mungkin menganggapnya sebagai makhluk konyol yang gampang menyerah.

Tiba-tiba ponsel berdering. Ibu Jingga membuat mata Biru mendelik lebar karena tak menyangka beliau menghubunginya di saat seperti ini.

"Sebenarnya ada apa?" Ibu paruh baya itu bertanya dengan sangat lemah lembut.

Apa yang bisa Biru berikan sebagai jawaban? Apa yang pantas Biru jelaskan yang seharusnya menjadi penjelasan langsung lewat mulut Jingga?

"Biru, ibu tak tahu apa yang terjadi, tapi Jingga tak mau makan sejak pulang. Dia lesu dan sepertinya ada sesuatu yang terjadi, ya? Ada apa, Biru?"

Haruskah Biru marah. Disaat Jingga menolaknya, bukan kah seharusnya dia yang sakit hati dan menyerah lemah?

"Maaf, Bu. Saya juga tak punya jawaban kenapa Jingga seperti itu." Biru memainkan jarinya pada ujung seprai yang terburai. "Bu, Saya tutup ya teleponnya? Saya sedang sibuk untuk hal lain."

Lalu panggilan itu selesai begitu saja. Tak ada lagi pertanyaan atau hal lain yang memancing gundah di dada Biru. Tidak, dia tak mau dan tak akan menerima jika hal di luar dirinya merusaknya.

***

Melanjutkan Pendidikan

"Benar kamu mau ke Jogjakarta?" Ibu melipat baju Jingga yang sudah dia susun sedemikian rupa menurut fungsi dan kecocokan dari jenisnya. "Apa gak terlalu mendadak? Sebelumnya, kamu tak pernah cerita kalau kamu mau melanjutkan S2?"

Jingga tersenyum. Perkara pendidikan ini sebenarnya sudah dia rancang sejak pertama kali mendapat gelar sarjana. Dan setelah adegan penembakan oleh Biru, sepertinya saat ini adalah saat terbaik untuk melakukannya.

Tampak seperti lari dari masalah, tapi, bukankah lari jauh lebih baik dari membuat jiwa lebih kacau dari masalah yang Jingga ciptakan sendiri.

"Jingga baru apply formulir pendaftaran, sih. Setelah itu sisanya tinggal menunggu pengumuman dan segala *****-bengeknya."

"Ngga ... " Ibu tampak khawatir. "Ibu tahu ada yang kamu simpan. Ibu tak akan memaksa kamu bercerita, tapi kalau kau butuh Ibu, Ibu akan selalu ada untukmu, Sayang."

Jingga memberengut. Dia menahan air mata agar tak bercampur dengan emosinya yang meledak sebentar lagi. Dia sudah tak lagi bisa bertahan jika digempur banyak tanya yang dia tak suka.

"Tiketnya ibu simpan di dompetmu, ya. Jangan lupa kabari ibu kalau kamu sudah sampai di tempatmu."

Jingga mengangguk dan memeluk Ibunya. "Jingga hanya berharap doa terbaik dari Ibu. Selebihnya, biar Jingga urus diri Jingga di sana." Jingga melepas pelukannya dan tersenyum. "Jangan khawatirkan Jingga. Umur Jingga bahkan sudah tidak bisa disebut remaja lagi."

Pintu rumah Jingga diketuk bahkan sebelum Jingga berhasil mengangkat kopernya. Seseorang dengan suara yang Jingga kenal mengucap salam dengan nada yang sangat hangat.

Jingga berdoa agar instingnya salah, tapi ketika melihat seorang pria berwajah keruh menatapnya, Jingga yakin kalau doanya tidak terkabul dengan baik.

"Biru?"

"Ibumu yang minta aku mengantarmu." Biru mencoba memberi salam pada Ibu Jingga dan memberi kode agar Jingga segera memasuki ruang mobil.

"Tuhan, cobaan apa lagi ini?"

Jingga yakin dirinya akan goyah dengan cepat. Dia bisa saja memeluk Biru dan berkata bahwa dia ingin sekali Biru menikahinya. Tapi, bukankah menjilat ludah sendiri adalah hal yang menyedihkan? Jingga tak mungkin membuat perasaan Biru lebih koyak dari pada dirinya sendiri.

"Kamu jangan lupa hubungi orang tuamu, setelah sampai." Jingga diam saja dengan nasihat Biru. Toh hal seperti itu hanya seperti ucapan template yang biasa. "Kalau ada apa-apa, bilang padaku. Aku akan ke Jogja secepat yang aku bisa."

Jingga menunduk dan mencoba tersenyum. "Terima kasih." Hanya itu yang bisa dia ucap.

Perjalanan selanjutnya berlangsung canggung. Mobil itu diisi kediaman dan hal kikuk. Padahal bisanya mereka akan mencandai satu sama lain. Padahal Jingga akan melempar ejekan jika wajah Biru berubah serius.

Semua sudah berubah. Tak ada lagi canda dan tawa. Segala yang semula terasa manis justru jadi canggung yang menyedihkan.

"Biru, andai kamu datang di waktu yang tepat."

Yah. Andai Biru datang sebelum Jingga kenal dengan cintanya yang di luar batas. Andai Biru menjadi prianya yang dengan sabar menjaga selaput dara Jingga hingga hari pernikahan terjadi.

Lagi-lagi manusia selalu terlenan dengan berbagai andai-andai. Dengan berbagai penolakan atas apa yang mereka bangun dengan tangan mereka sendiri.

Mobil masuk ke dalam parkiran setelah berjam-jam perjalanan yang menjemukan. Jingga sendiri menarik kopernya dan berusaha memberikan kesan terakhir ketika Biru menatapnya.

"Sampai jumpa lagi kapan-kapan." Jingga melambai.

"Sampai jumpa lagi di rumah." Biru membalas lambaian yang ditambah dengan raut suram.

Langkah demi langkah menuntun Jingga pada jalan hidup yang baru. Dia harus bisa kembali menjadi pribadi positif setelah semua pelarian yang baru dia mulai. Dia ingin, ketika sampai kembali ke rumah, dia berani bercerita pada Biru tentang semua yang dia alami selama mereka mendalami cinta.

Pintu pesawat tertutup. Jingga melirik ke arah jendela dan melihat sayap pesawat yang menjauhi landasan terbang.

"Wahai angin, bawa aku dan dosaku jauh dari tanah ini. Biarkan aku meluapkan apa yang sudah terjadi pada masa silam."

Pluk!

Baru saja Jingga khusuk merapal doa, sebuah kepala menyender di bahunya dan membuatnya mendorong kepala itu tanpa sengaja. Bahkan, karena terlalu kuat, kepala itu membawa tubuhnya untuk tersuruk pada celah jalan di antara kursi.

"Aw! Aw!" Seorang pria memegangi pinggangnya. Sial baginya yang tak memakai sabuk pengaman dengan benar. Apa lagi dengan berbagai turbulansi, jatuhnya si pria pasti membawa sakit yang lumayan.

"Ma-maaf. Enggak sengaja." Jingga berusaha membantu sang pria untuk Kemabli ke bangkunya dan menjadi tontonan bagi manusia lain di sekitar mereka.

"Tak apa. Aku gak sampai keseleo, sih. Aw!"

"Duh, gak keseleo kok ngejerit? Sakit banget, pasti. Aku minta kompres air hangat, ya."

Tiba-tiba tangan pria itu menangkap pergelangan tangan Jingga.

"No. Aku gak apa. Serius." Dia memberi kode agar Jingga kembali duduk. Sikap hebohnya membuat penumpang lain merasa tak nyaman.

"Aku beneran minta maaf banget. Tadi aku kaget waktu kamu nyender di pundak aku."

Pemuda itu tertawa hingga lesung pipinya tertekuk sempurna.

"Harusnya aku yang minta maaf. Aku kebiasaan tidur sebelum terbang. Biar ngurangin mual." Pria itu menjulurkan tangannya. Sepertinya dia mencoba jadi pria yang bersahabat untuk Jingga. "Anto."

"Antonio Blanco?"

Pemuda itu tertawa. Sepertinya pengetahuan langka Jingga sejalan dengannya.

"Aku Jingga, ngomong-ngomong." Jingga menjabat mantap tangan pria itu sebagai tanda bahwa dia open mind dan suka bergaul dengan banyak kalangan. "Kamu mau ke Jogja?"

Pria itu melirik hingga kerut di keningnya terlihat. "Menurut pesawat yang aku pakai, ya, aku mau ke Jogja. Kamu sendiri? Mau ke pasar, kah?"

Jingga mendelik canggung. Pria ini membuatnya merasa lucu dan malu di saat yang sama.

"Kamu Jogjanya mana? Kali aja kita satu tujuan."

"Aku di Sleman, sih. Kamu."

"Agak jauh, aku di Bantulnya. Kerja atau kuliah?"

"Tebak." Pria itu sangat mempesona dengan caranya melempar jawaban.

"Kuliah."

"Aku kerja."

Jingga memberi simbol o pada mulutnya. Dia ternyata tertarik untuk bicara pada seseorang yang baru dia temui sampai lupa kalau baru saja patah hati.

"Bidang apa?".

"Usaha kecil. Aku buka custome perhiasan."

"Emas?"

"Apa pun yang bahannya bisa kusediakan."

Tentu saja Jingga tertarik. Dia tak pernah menemukan seniman semenarik Anto. Dia berbicara dengan baik, tidak suka merayu seperti pria pencari cinta, dan punya jiwa seni yang sedikit membuat Jingga terpesona.

Perjalanan mereka bahkan jadi perjalanan yang menyenangkan. Sebuah berkah ketika memulai hidup di negeri orang yang tak berkerabat siapa pun.

"Kamu bisa mampir ke tempat kerjaku. Toko perhiasanku gak segede toko silver di Bantul, tapi kamu bisa main dan lihat-lihat beberapa karya yang aku pajang di galeri."

Jingga tentu menyambut tawaran itu. "Bakal seneng banget. Aku pasti mampir suatu saat nanti "

"Oh, ya." Anto membuka ponselnya. "Aku minta nomer kamu, dong. Siapa tahu kamu jadi langganan aku."

Jingga bukan tipe yang angkuh ketika berhadapan dengan orang yang menarik, dan menurutnya, Anto sangat pantas untuk ada di barisan kontak ponselnya.

"Aku tunggu kedatanganmu. Nanti bakal aku buatin cincin paling bagus yang cocok buat kamu."

"Dengan senang hati," balas Jingga tanpa ragu

Sampai

"Bagaimana rumah kontrakannya?" Biru mengirim pesan dan membuat Jingga semakin tak enak hati. Perasaannya yang hancur akibat ulahnya sendiri, kini semakin tak karuan dan membuat kepalanya sedikit terasa pusing.

“Aku baru sampai. Kontrakannya lumayan. Mungkin aku akan istirahat sebentar, baru memulai membereskan semua barangku.”

“Baguslah.”

Hanya itu. Baguslah soal apa? Apa bagus bagi Biru karena wanita yang menolaknya berada jauh darinya? Atau bagus bagi Biru untuk ada di kepastian bahwa dia tak bisa memiliki barang satu inci pun apa yang ada pada diri Jingga?

Air mata sudah tak lagi bisa dia bendung. Jingga ingin menyalahkan seseorang, tapi di situasi ini, dia lah yang salah.

“Cukup, Jingga. Benahi dirimu. Kamu ada di Jogja bukan untuk membunuh dirimu dalam tangis.” Jingga menarik napas. Dia butuh cukup banyak oksigen agar bisa tetap hidup. Agar senggal tangis itu hilang dan berganti jadi kelegaan.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Seseorang mencoba menghubunginya dan membuatnya sedikit lupa akan kesedihannya yang lalu.

“Gimana? Udah sampai di rumah?”

Anto. Dia pasti sedang memastikan kalau dia menghubungi nomer yang tepat.

Jingga tanpa ragu mempost foto beberapa barangnya. Dia bahkan menyisipkan pose dua jari sebagai tanda bahwa dia masih bersemangat untuk melakukan banyak hal.

“Aku sepertinya butuh perkakas rumah tangga. Kontrakannya kosong, dan aku bingung mau makan apa di tempat yang tak ada kompor.”

“Burjo, dong.”

Kening Jingga mengerut. “Burjo itu apa?”

Emotikon senyum menempel pada pesan dari Anto. “Nanti aku kasih tahu. Share lokasimu, dong. Aku jemput buat cari tempat makan.”

Harus, kah? Maksudnya, Jingga baru saja mengenal Anto. Dia bahkan tak tahu dari mana tempat asal pria itu. Tapi Anto teman yang menyenangkan, pun Jingga tak tahu betul tempat-tempat yang ada di Jogja. Lagi pula, kalau Anto macam-macam, dia bisa memukulnya dengan sikutnya yang tajam. Segala tulang yang menonjol di tubuh Jingga bisa jadi senjata yang baik.

Jingga lekas menekan ponselnya. Dia butuh teman dan juga makanan enak. Tadi, sebelum terbang, dia belum sempat makan apa pun, dan sepertinya makanan bernama burjo itu cukup menarik.

Jadi, setelah membersihkan diri, menyemprotkan beberapa minyak wangi dan menunggu dengan manis di depan rumahnya, Anto datang dengan sebuah mobil yang entah berjenis apa. Hanya saja mobil itu terlihat mahal dan bau kopi menguar ketika Jingga memasuki ruangan di dalamnya.

“Jadi ke burjo?” Anto membenahi sabuk pengaman Jingga tanpa diminta.

“Emang burjo itu apa, sih?”

Anto tersenyum. “Kamu beneran gak tahu atau pura-pura gak tahu?” Harusnya Anto tahu jawabannya dari tatapan polos mata Jingga. “Beneran gak tahu burjo? Bubur kacang ijo, loh?”

“Hah? Bubur kacang ijo? Kok jadi burjo?”

Anto tertawa. “Uniknya lagi, isi warungnya gak cuma bubur. Nasi dan mi instan juga ada.”

Jingga sepertinya berharap terlalu tinggi. Lagi pula, Anto datang dengan sebuah mobil besar yang sepertinya tak cocok dengan warung bubur kacang ijo. Membuat Jingga bertanya, apa semua pelanggan bubur kacang ijo punya kendaraan sementereng Anto?

Mobil itu menempati parkir dengan cepat. Memperlihatkan sebuah warung yang disesaki beberapa orang dengan berbagai pesanan. Tak ada tempat yang seperti itu di kota Jingga. Dan bau bubur kacang hijau dari kuali besar tercium sangat nikmat.

“Aku mau pesen ... “ Jingga menatapi menu yang ditempel dengan tulisan jelas di dinding. “Magelangan itu apaan, sih?”

Anto tersenyum. “Coba aja pesan.” Ucapan Anto terdengar seperti tantangan. Haruskah Jingga benar-benar menuruti rasa ingin tahunya.

“Kalau gitu, aku mau satu.” Jingga menyambut tantangan itu. Kalau dia tak suka, dia bisa memesan hal lain tanpa membuat masalah yang cukup berarti. Lagi pula, ini hanya soal makanan dan dia ada di tempat baru, jadi rasanya tak masalah untuk banyak mencoba.

Hal yang mengejutkan dari makanan bernama magelangan itu adalah porsinya yang luar biasa. Makanan itu sendiri merupakan campuran dari nasi goreng dan mie goreng. Mereka ditambahi bumbu-bumbu yang terdiri dari bawang-bawangan, cabai, dan juga bumbu mie instan goreng.

Jingga meneguk liur melihat bagaimana tumpah ruahnya makanan itu. Dia tak yakin makanan sebanyak dan seamburadul itu bisa habis ke dalam perutnya.

“Ayo di makan?”

Anto adalah jenis manusia baru, menurut Jingga. Dia terlihat memiliki banyak uang tapi bisa makan dengan rakus di warung sederhana yang menyajikan gunungan nasi dan campuran mie. Sedang Jingga sendiri terbiasa dengan sikap malu-malu yang khas seorang wanita. Dia bingung harus mulai menyendok makanan dari mana dan memutuskan menyerah untuk menjadi wanita yang tahu table manner.

“Enak?” Anto melirik pada mata Jingga yang berbinar.

“Luar biasa.” Rasanya Jingga sanggup hingga suapan terakhir dengan rasa sefantastis itu.

***

Suara tangis terdengar saat Jingga tertidur. Asalnya bukan dari alam gaib atau pun ranting yang bergesek pada tubuh kerabatnya. Suara itu keluar dari mulut Jingga yang tengah tertidur. Harusnya, setelah semua lelahnya, dia bisa tidur dengan nyaman di rumah yang baru ia tempati.

Tapi tidak.

Rasa patah hatinya pada Biru membuatnya merasa bersalah.

“Biru, maaf.” Suara Jingga bergetar. Dia bahkan membuat sebuah suara sesak seperti orang yang tersiksa. “Aku cinta kamu, Biru. Tapi aku tak tahu apakah aku pantas untukmu?”

Lalu, setelah bayangan punggung Biru yang mengabur, Jingga terbangun. Dia mulai merasakan rasa lemas akibat tangis yang meleleh hingga ke bantalnya.

“Aku bisa gila kalau terus seperti ini,” gumam Jingga yang memutuskan untuk tak tidur di saat hatinya kacau.

Tangan Jingga lantas meraih ponsel yang tergeletak di mejanya. Sepertinya ada beberapa pesan yang masuk sementara dia terlelap. Salah satunya tentu dari si charming Anto. Dia sepertinya menyukai Jingga dan Jingga tak merasa keberatan dengan pendekatan agresif itu.

“Apa Jogja menyenangkan?”

Jingga tersenyum seraya mengetik. Ajaib memang Anto satu ini. Dia bisa membuat Jingga lupa dari rasa sedihnya yang seperti genangan banjir.

“Lumayan. Sekarang aku tahu cara makan enak dan banyak tanpa membuat kantong sengsara.”

Lalu emotikon senyum. Emotikon semacam ini jarang muncul di chat pria lain yang jingga kenal.

“Mau jalan?” tany Anto.

Jingga tentu bingung. Dia bahkan memastikan jam di ponselnya yang masih menunjukkan angka dua pagi.

“Gak salah?”

“Gak mau?” Anto justru balas bertanya.

“Menurutmu, apa ada cewek waras yang mau diajak pergi sepagi ini? Jam segini bahkan gak bisa disebut pagi.”

“Jadi kamu gak mau?” Lagi-lagi Anto membalas dengan pertanyaan baru. Tak lama, sebuah foto masuk ke aplikasi chat ponsel Jingga dan memperlihatkan lautan lampu yang menerangi daratan. Sepertinya foto itu diambil dari atas perbukitan dan menciptakan efek lautan bersinar yang memanjakan mata. “Jogja day 1. Kamu harusnya mau waktu kuajak ke sini. Di sini tempat paling keren untuk ngopi dan mempersalahkan takdir.”

Jingga tersenyum. Jarinya berdansa pada keyboard virtual ponselnya. “Aku tak akan tertipu pada ajakan manis seorang pria walau dia mengirimiku foto tercantik di hari pertama kepindahanku.”

Jingga melihat Anto mengiriminya barisan suara tawa. “Padahal aku harap aku bisa mendekati wanita secantik kamu untuk malam yang masih panjang ini.”

“kalau begitu, perjuanganmu masih sangat jauh, wahai pria.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!