Melanjutkan Pendidikan

"Benar kamu mau ke Jogjakarta?" Ibu melipat baju Jingga yang sudah dia susun sedemikian rupa menurut fungsi dan kecocokan dari jenisnya. "Apa gak terlalu mendadak? Sebelumnya, kamu tak pernah cerita kalau kamu mau melanjutkan S2?"

Jingga tersenyum. Perkara pendidikan ini sebenarnya sudah dia rancang sejak pertama kali mendapat gelar sarjana. Dan setelah adegan penembakan oleh Biru, sepertinya saat ini adalah saat terbaik untuk melakukannya.

Tampak seperti lari dari masalah, tapi, bukankah lari jauh lebih baik dari membuat jiwa lebih kacau dari masalah yang Jingga ciptakan sendiri.

"Jingga baru apply formulir pendaftaran, sih. Setelah itu sisanya tinggal menunggu pengumuman dan segala *****-bengeknya."

"Ngga ... " Ibu tampak khawatir. "Ibu tahu ada yang kamu simpan. Ibu tak akan memaksa kamu bercerita, tapi kalau kau butuh Ibu, Ibu akan selalu ada untukmu, Sayang."

Jingga memberengut. Dia menahan air mata agar tak bercampur dengan emosinya yang meledak sebentar lagi. Dia sudah tak lagi bisa bertahan jika digempur banyak tanya yang dia tak suka.

"Tiketnya ibu simpan di dompetmu, ya. Jangan lupa kabari ibu kalau kamu sudah sampai di tempatmu."

Jingga mengangguk dan memeluk Ibunya. "Jingga hanya berharap doa terbaik dari Ibu. Selebihnya, biar Jingga urus diri Jingga di sana." Jingga melepas pelukannya dan tersenyum. "Jangan khawatirkan Jingga. Umur Jingga bahkan sudah tidak bisa disebut remaja lagi."

Pintu rumah Jingga diketuk bahkan sebelum Jingga berhasil mengangkat kopernya. Seseorang dengan suara yang Jingga kenal mengucap salam dengan nada yang sangat hangat.

Jingga berdoa agar instingnya salah, tapi ketika melihat seorang pria berwajah keruh menatapnya, Jingga yakin kalau doanya tidak terkabul dengan baik.

"Biru?"

"Ibumu yang minta aku mengantarmu." Biru mencoba memberi salam pada Ibu Jingga dan memberi kode agar Jingga segera memasuki ruang mobil.

"Tuhan, cobaan apa lagi ini?"

Jingga yakin dirinya akan goyah dengan cepat. Dia bisa saja memeluk Biru dan berkata bahwa dia ingin sekali Biru menikahinya. Tapi, bukankah menjilat ludah sendiri adalah hal yang menyedihkan? Jingga tak mungkin membuat perasaan Biru lebih koyak dari pada dirinya sendiri.

"Kamu jangan lupa hubungi orang tuamu, setelah sampai." Jingga diam saja dengan nasihat Biru. Toh hal seperti itu hanya seperti ucapan template yang biasa. "Kalau ada apa-apa, bilang padaku. Aku akan ke Jogja secepat yang aku bisa."

Jingga menunduk dan mencoba tersenyum. "Terima kasih." Hanya itu yang bisa dia ucap.

Perjalanan selanjutnya berlangsung canggung. Mobil itu diisi kediaman dan hal kikuk. Padahal bisanya mereka akan mencandai satu sama lain. Padahal Jingga akan melempar ejekan jika wajah Biru berubah serius.

Semua sudah berubah. Tak ada lagi canda dan tawa. Segala yang semula terasa manis justru jadi canggung yang menyedihkan.

"Biru, andai kamu datang di waktu yang tepat."

Yah. Andai Biru datang sebelum Jingga kenal dengan cintanya yang di luar batas. Andai Biru menjadi prianya yang dengan sabar menjaga selaput dara Jingga hingga hari pernikahan terjadi.

Lagi-lagi manusia selalu terlenan dengan berbagai andai-andai. Dengan berbagai penolakan atas apa yang mereka bangun dengan tangan mereka sendiri.

Mobil masuk ke dalam parkiran setelah berjam-jam perjalanan yang menjemukan. Jingga sendiri menarik kopernya dan berusaha memberikan kesan terakhir ketika Biru menatapnya.

"Sampai jumpa lagi kapan-kapan." Jingga melambai.

"Sampai jumpa lagi di rumah." Biru membalas lambaian yang ditambah dengan raut suram.

Langkah demi langkah menuntun Jingga pada jalan hidup yang baru. Dia harus bisa kembali menjadi pribadi positif setelah semua pelarian yang baru dia mulai. Dia ingin, ketika sampai kembali ke rumah, dia berani bercerita pada Biru tentang semua yang dia alami selama mereka mendalami cinta.

Pintu pesawat tertutup. Jingga melirik ke arah jendela dan melihat sayap pesawat yang menjauhi landasan terbang.

"Wahai angin, bawa aku dan dosaku jauh dari tanah ini. Biarkan aku meluapkan apa yang sudah terjadi pada masa silam."

Pluk!

Baru saja Jingga khusuk merapal doa, sebuah kepala menyender di bahunya dan membuatnya mendorong kepala itu tanpa sengaja. Bahkan, karena terlalu kuat, kepala itu membawa tubuhnya untuk tersuruk pada celah jalan di antara kursi.

"Aw! Aw!" Seorang pria memegangi pinggangnya. Sial baginya yang tak memakai sabuk pengaman dengan benar. Apa lagi dengan berbagai turbulansi, jatuhnya si pria pasti membawa sakit yang lumayan.

"Ma-maaf. Enggak sengaja." Jingga berusaha membantu sang pria untuk Kemabli ke bangkunya dan menjadi tontonan bagi manusia lain di sekitar mereka.

"Tak apa. Aku gak sampai keseleo, sih. Aw!"

"Duh, gak keseleo kok ngejerit? Sakit banget, pasti. Aku minta kompres air hangat, ya."

Tiba-tiba tangan pria itu menangkap pergelangan tangan Jingga.

"No. Aku gak apa. Serius." Dia memberi kode agar Jingga kembali duduk. Sikap hebohnya membuat penumpang lain merasa tak nyaman.

"Aku beneran minta maaf banget. Tadi aku kaget waktu kamu nyender di pundak aku."

Pemuda itu tertawa hingga lesung pipinya tertekuk sempurna.

"Harusnya aku yang minta maaf. Aku kebiasaan tidur sebelum terbang. Biar ngurangin mual." Pria itu menjulurkan tangannya. Sepertinya dia mencoba jadi pria yang bersahabat untuk Jingga. "Anto."

"Antonio Blanco?"

Pemuda itu tertawa. Sepertinya pengetahuan langka Jingga sejalan dengannya.

"Aku Jingga, ngomong-ngomong." Jingga menjabat mantap tangan pria itu sebagai tanda bahwa dia open mind dan suka bergaul dengan banyak kalangan. "Kamu mau ke Jogja?"

Pria itu melirik hingga kerut di keningnya terlihat. "Menurut pesawat yang aku pakai, ya, aku mau ke Jogja. Kamu sendiri? Mau ke pasar, kah?"

Jingga mendelik canggung. Pria ini membuatnya merasa lucu dan malu di saat yang sama.

"Kamu Jogjanya mana? Kali aja kita satu tujuan."

"Aku di Sleman, sih. Kamu."

"Agak jauh, aku di Bantulnya. Kerja atau kuliah?"

"Tebak." Pria itu sangat mempesona dengan caranya melempar jawaban.

"Kuliah."

"Aku kerja."

Jingga memberi simbol o pada mulutnya. Dia ternyata tertarik untuk bicara pada seseorang yang baru dia temui sampai lupa kalau baru saja patah hati.

"Bidang apa?".

"Usaha kecil. Aku buka custome perhiasan."

"Emas?"

"Apa pun yang bahannya bisa kusediakan."

Tentu saja Jingga tertarik. Dia tak pernah menemukan seniman semenarik Anto. Dia berbicara dengan baik, tidak suka merayu seperti pria pencari cinta, dan punya jiwa seni yang sedikit membuat Jingga terpesona.

Perjalanan mereka bahkan jadi perjalanan yang menyenangkan. Sebuah berkah ketika memulai hidup di negeri orang yang tak berkerabat siapa pun.

"Kamu bisa mampir ke tempat kerjaku. Toko perhiasanku gak segede toko silver di Bantul, tapi kamu bisa main dan lihat-lihat beberapa karya yang aku pajang di galeri."

Jingga tentu menyambut tawaran itu. "Bakal seneng banget. Aku pasti mampir suatu saat nanti "

"Oh, ya." Anto membuka ponselnya. "Aku minta nomer kamu, dong. Siapa tahu kamu jadi langganan aku."

Jingga bukan tipe yang angkuh ketika berhadapan dengan orang yang menarik, dan menurutnya, Anto sangat pantas untuk ada di barisan kontak ponselnya.

"Aku tunggu kedatanganmu. Nanti bakal aku buatin cincin paling bagus yang cocok buat kamu."

"Dengan senang hati," balas Jingga tanpa ragu

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!