Anto tersenyum. Dia sepertinya mendapatkan kesenangan dengan mendekati seorang wanita yang bahkan baru dia kenal dalam hitungan jam. Entah lah. Mungkin ini semacam kesenangan setelah penat dengan hari-hari yang dia jalani.
Anto sering bepergian untuk urusan bisnis. Perkenalannya pada Jingga sebagai seorang pekerja seni kriya tak sepenuhnya salah. Dia memang mengerjakan banyak pesanan perhiasan dan juga memiliki semacam galeri dan toko di rumahnya. Tapi di balik itu, Anto adalah seorang anak kaya raya yang mengurus beberapa bisnis keluarga di beberapa kota.
Beberapa hotel bintang tiga milik keluarganya harus mendapat pengecekan berkala untuk membangun kualitas. Dia juga perlu memeriksa setiap kamar yang tidak boleh meninggalkan jejak kotoran ketika disewakan kepada orang lain.
Mamanya yang juga seorang mantan pebisnis, (saat ini dia mengeksklusifkan dirinya sebagai ibu rumah tangga dan sosialita) wanita itu memberikannya beberapa modal untuk membangun bisnis lain seperti restoran dengan tema yang disukai kalangan menengah ke atas yang dijaga kualitasnya agar tak sembarangan dimasuki orang-orang yang banyak bicara ketika makan.
Dan pria yang menutup identitasnya itu bertemu dengan wanita seperti Jingga. Wanita yang entah kenapa sangat manis ketika tersenyum dan mau menjawab ramah soal apa saja yang Anto coba angkat sebagai bahan pembicaraan. Wanita yang kini tersambung dalam chatnya di pukul dua dini hari, ketika dia menikmati suasana malam di sisi kota di mana hanya ada pedagang makanan sederhana dan juga lampu di bawah bukit yang seperti lautan.
"Wish u were here," ucap Anto yang lantas ia hapus lagi. Agak terlalu cepat untuk menginginkan seseorang yang baru ia kenal. "Kapan-kapan, kamu harus ke sini. Ini indah banget."
Kini tinggallah sepi. Anto sekarang ingin merasakan rasa melankolis di tempat tenang itu sebelum pulang. Dia harus benar-benar lelah sebelum akhirnya bisa tidur selama tiga jam.
"Pulang!" Sebuah pesan tampak seperti ibu jahat yang tak suka anaknya bermain terlalu jauh. "Pulang, Anto! Aku kesepian di rumah."
Anto membiarkan pesan itu cukup lama. Seseorang yang mulai ia tak sukai keberadaannya merusak malam syahdunya.
"Nanti."
"Nanti kapan? Ini udah mau pagi." Pesan itu seperti suara yang teriakannya bisa Anto dengar. Dia jengkel, tapi tak mungkin berpisah dari si pengirim pesan begitu saja. Mereka sudah terikat cukup lama, dan Anto tak bisa membuat sosok itu bersedih dengan kalimat perpisahan. "Aku sudah nunggu kamu buat makan malam. Aku sendirian seharian, tahu? Padahal aku berharap bisa bersama kamu lama-lama setelah kamu dari luar kota."
Anto menarik napas. Rasanya begitu sesak untuk dikekang sampai sebegitunya.
"Iya, sebentar lagi."
"Aku kecewa, Nto. Aku gak bisa diginiin." Pesan itu terkirim berserta sebuah foto wajah yang menangis. Kalau sudah begini, Anto tak mungkin meneruskan malam syahdunya sementara si pengirim pesan sudah memberi kode-kode getir.
"Iya, Yuda. Sebentar lagi aku sampai rumah."
Tak ada salah ketik atau salah baca hingga kalian harus mengulang nama tertulis itu. Anto memang berhubungan dengan pria bernama Yuda. Mereka menjalin sebuah ikatan yang mungkin bisa dibilang sangat terlarang.
Bagi kerabat dan semua yang kenal siapa Anto, Yuda bukanlah hal baru yang membuat mereka risi. Keduanya kerap menunjukkan kemesraan di depan umum seakan hal itu adalah hal yang lazim.
Hubungan itu tak terjalin begitu saja. Dimulai dari canda ringan dan juga perlakuan yang memanjakan. Seharusnya Anto tak pernah memulai semua pergerakan laknat itu. Tapi sekali dia tercebur, akan susah untuk bangkit lagi. Dan ketika sadar, dia suka dihadapkan pada satu hubungan rapuh yang bahkan bisa mencelakainya jika hubungan itu hancur.
Anto pernah mencoba untuk lepas dari Yuda. Tak hanya sekali, tapi mungkin sebanyak jari yang ia punya. Tapi perceraian sesaat itu hanya membuat Yuda sekarat. Pria itu mencoba mengakhiri hidupnya karena merasa sakit ketika dicampakan. Tampaknya kematian adalah obat terbaik ketika Yuda tak lagi percaya bahwa dia bisa memiliki kehidupan lain yang lebih manusiawi selain bersama Anto.
"Kamu kemana aja?" Yuda memeluk Anto tepat setelah pria itu memasuki rumahnya. Anto merasa risi. Dia ingin segera lepas dari Yuda, tapi pria itu pasti akan jadi sangat histeris.
"Cuma cari udara segar." Anto mencium kening Yuda, berharap hal itu bisa menenangkannya.
"Sama cewek?"
"Sendiri."
Anto melangkah menuju kamarnya. Dia ingin segera rebah tanpa banyak bicara. Dia tak tahu jika mata Yuda menatapnya dengan gelisah dan separuh ketakutan jika Anto berlaku serong di belakangnya.
"Nto?" Yuda bergerak dan memeluk pria itu dari belakang. Rasa sesak menelusup ke benak Anto dan membuatnya mencoba melepaskan tangan Yuda. "Aku kangen banget sama kamu."
"Aku tahu." Anto ingin menjeritkan dua kata itu namun tertelan menjadi gumaman bernada rendah. "Kamu tidur, ya. Besok kamu kuliah, kan? Bukannya besok hari pertama kamu?"
Yuda harus menurut. Dia juga kasihan jika Anto tak bisa istirahat karenanya. Terlebih, pria itu sepertinya akan sibuk selama ada di Jogja dan dia tidak bisa membiarkan saja dirinya memberatkan sang kekasih.
***
Jingga membuka mata tepat saat alaramnya berbunyi. Dia bergegas mencari kamar mandi dan membersihkan diri sebelum panggilan sholat berkumandang. Semacam kebiasaan agar bisa lebih bersih ketika menghadap Tuhannya.
Entah lah. Mungkin Jingga ingin noda di diri dan ruhnya sirna dengan aliran air itu.
Lalu ibadah pun dilakukan. Sebisa mungkin Jingga ingin khusuk pada setiap sujudnya. Dia tahu kalau kilasan memori buruk kerap datang ketika dia menghadap Tuhan, tapi jika dia tak menguatkan diri, maka mungkin dia tak akan bisa sama sekali menyentuh dasar khusuk sampai kapan pun.
Doa-doa dia panjatkan. Untuk dirinya, untuk keluarganya dan untuk Biru yang mungkin sedang berdoa seperti dirinya.
Lalu, seperti saat dia di rumah, Jingga akan mulai membersihkan rumahnya dan juga memasak. Dia harus sarapan karena peraturan tak tertulis keluarganya yang medarah daging mengedepankan sarapan sebagai pondasi sebelum menggempur kerasnya hidup. Itu kata Ibunya.
"Berangkat kuliah jam berapa?" Jingga melirik ponsel yang berbunyi saat dia sedang menuang makanan. Ada percikan saus yang membuat kakinya kepanasan hingga beberapa kali harus teralih dari ponsel itu.
"Jam delapan. Kenapa?" Jingga membalas pesan Anto yang datang tanpa diminta. Sepertinya pria itu benar-benar tertarik hingga mau tahu semua jadwalnya.
"Aku jemput di depan gangmu."
Jingga tersenyum dan menjilat saus yang menempel di jarinya.
"Kenapa harus di depan gang? Kenapa gak masuk aja?"
Balasan dari Anto jadi sangat lama. Jingga membayangkan pria itu tengah gemas dengan semua kalimat yang dia kirim dari chat.
"Kamu jangan nantangin aku, ya. Aku bisa jemput kamu sampai depan pintu rumahmu, kalau kamu mau."
Jingga tertawa. "Coba saja."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments